Monday, March 29, 2010

Berebut Buku Gratis Dari Kandidat

akassar, Muktamar
Untuk merebut simpati muktamirin, para kandidat Ketua Umum PBNU ternyata tidak cukup hanya memaparkan visi maupun misi serta srtategi lewat famlet maupun brosur atau muncul dalam bentuk profil di media massa. Akan tetapi lebih dari itu, para kandidat juga pasang spanduk, baliho hingga membuat forum diskusi di arena muktamar.

Beberapa kandidat yang menyatakan maju dalam bursa Ketua Umum PBNU seperti KH. Ali Maschan Moesa, KH. Masdar Farid Mas'udi, H. Slamet Efendy Yusuf dan KH. Said Agil Siraj memilih buku sebagai media pengenalan gagasan dan pemikiran dirinya bagaimana membangun NU ke depan.

Jelang Masa Akhir Muktamar, Jamaah di Masjid Quba Membludak

Makassar, NU Online
Sejak sore mulai menyapa malam di Asrama Haji Sudiang Makassar pada hari Jum'at 26 Maret 2009 M. para peserta Muktamar berbondong-bondong memasuki Masjid Quba di kompleks asrama haji. Dan tak berapa lama, ketika senjakala telah sempurna menebar pesona, para jamaah sholat maghrib telah memenuhi seluruh ruangan utama masjid Quba, dan terus hingga meluber hingga teras paling pinggir.

Tak berapa lama adzan magrib berkumandang dan sholat Mahrib pun segera dimulai. Para jamaah khusyu' mendirikan sholat dengan suara imam yang merdu dan lantang. Karena tiada lagi tempat di masjid yang dapat dijadikan untuk shof dalam sekali "angkatan" berjamaah, maka kendati imam telah mengucapkan salam dengan sempurna, namun sholat berjamaah terus berlanjut sambung menyambung bergantian.

Gubernur 36 unit kerja pemerintahan untuk Sukseskan Muktamar

Makassar, Muktamar
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memperbantukan 36 unit kerja pemerintahan untuk menjamin pelaksanaan Muktamarke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar berjalan dengan baik. "Setiap kepala badan dan dinas menjadi pendamping setiap provinsi perwakilan penguruh NU wilayah," kata Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo di Makassar, Jum'at (26/3), pada kunjungannya ke lokasi penyelenggaraan muktamar di Asrama Haji Sudiang, Makassar.

Pada kesempatan tersebut sebagai tuan rumah penyelenggaraan muktamar, ia juga menyampaikan permohonan maaf, jika selama penyelenggaraan terdapat kekurangan-kekurangan.

Pimpinan NU Harus Mundur Jika Incar Jabatan Politik

Makassar, NU Online
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-32 di Asrama Haji Sudiang Makassar, Jum'at, memutuskan pimpinan NU yang mengincar jabatan politik, dari presiden hingga bupati/walikota, harus mundur dari jabatannya.

"Keputusan komisi organisasi, pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman, di Media Center Muktamar Makassar, Jum'at (26/3).

PBNU Harus Fokus pada Pemberdayaan Ekonomi

Makasar, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diharapkan semakin fokus terhadap pemberdayaan ekonomi warga nahdliyin. Warga NU yang berada di garis kemiskinan di perkotaan dan sebagian di desa yang bergerak di sektor perdagangan dan jasa harus diperkuat. Tanpa melakukanpenguatan terhadap ekonomi umat di lingkungan NU, maka kekuatan yang dimiliki NU dapat “dirayu” pihak lain.

Sedangkan fokus ketiga adalah sektor pertanian yang didominasi daerah pedesaan. Karena sebagian besar warga NU bermukim di pedesaan sebagai petani, maka tugas NU adalah bagaiamana meningkatkan kesejahteraan petani dengan menekan chost pertanian dan meningkatkan produksi pertanian, kata Khusnun.

Berita KH Sahal Mahfudz Kembali Terpilih jadi Rois Am PBNU

Makassar, Muktamar
Berdasar tata tertib yg disepakati bersama, calon Rois Am dinyatakan sah bila mendapat dukungan 99 suara. Hasil putaran pertama pemilihan Rois Am meloloskan KH Sahal Mahfudz dan KH Hasyim Muzadi. Namun seusai penghitungan suara, KH Hasyim Muzadi menyatakan tidak bersedia dicalonkan sebagai Rois Am PBNU periode 2010-2015 M.

Pernyataan ketidaksediaan KH Hasyim Muzadi ini disampaikan melalui surat yang dibacakan di depan sidang pleno ke-6. Dengan demikian secara aklamasi disepakati KH Sahal Mahfudz sebagai Rois Am PBNU periode 2010-2015 M.

Hak pilih Muktamirin yang digunakan berjumlah 492 suara. KH Sahal Mahfudz mendapatkan dukungan sebanyak 272 suara, KH Hasyim Muzadi 180 suara dan KH Maemun Zubair mendapatkan 39 suara. Habib Luthfi disebut sebanyak lima kali dan 2 suara Abstain.

Gegap gempita para muktamirin mengmandangkan sholawat badar kemudian membahana ketika palu sidang diketok. Saat ini sedang dilangsungkan pemilihan untuk ketua umum tanfidziyah PBNU. (min)

Batik NU Pekalongan Laris

Makassar, NU Online
Kesempatan untuk memiliki atribut bergambar NU tidak berhenti kepada hal-hal yang kecil seperti gantungan kunci, balpoint dan pin. Akan tetapi juga dalam bentuk pakaian jadi seperti batik yang ada logonya NU.

Di arena muktamar NU yang banyak dihadiri peserta dan penggembira dari berbagai penjuru tanah air bahkan pengamat dan pemerhati NU dari luar negeri, selalu dimanfaatkan untuk menawarkan aneka produk yang berbau NU.

Perubahan Paradigma Pertanian Semakin Pinggirkan Nahdliyin

Makassar,
NU Online
Saat ini di dunia pertanian kita terjadi perubahan paradigma pemikiran dari pertanian yang berbasis keluarga ke pertanian berbasis industri. Perubahan ini berakibat semakin meminggirkan para petani kecil. Dalam kasus Indonesia, ini berarti warga Nahdliyin semakin berada dalam kesulitan perekonomian.

NU Rekomendasikan Pilkada Gubernur Dihapus

Makassar, NU Online
Komisi Bahstul Masail Diniyyah Qonuniyyah (Bidang Kegamaan Perundang-undangan) Muktamar ke 32 NU menghasilkan keputusan agar proses pemilu kepala daerah tingkat gubernur dihapus.

Hal itu ditegaskan Ketua Komisi Bahtsul Masail Diniyyah Qonuniyyah Muktamar ke 32 NU Ridwan Lubis. Menurut dia, Pilkada Gubernur dihapus karena dinilai menyedot biaya yang mahal serta berpotensi menimbulkan konflik.

said agil pimpin lima tahun kedepan nu

Puncak seremoni Muktamar ke-32 NU kini usai sudah. Setelah menyelesaikan berbagai materi persidangan di tiap-tiap komisi. Dan perhelatan pemilihan Rois Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menentukan KH Sahal Mahfudz secara aklamasi

Sunday, March 28, 2010

PENUTUP


 

A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang di paparkan pada Bab-bab sebelumnya, dalam penelitian ini dihasilkan beberapa kesimpulan yang menjadi jawaban atas permasalahan yang sudah dirumuskan, kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Berdirinya Komisi Kepolisian Nasional dilatar belakangi adanya tuntutan dari masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Serta untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari aparatur Negara khususnya POLRI yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya.

2.      Kedudukan Komisi Kepolisian Nasional menurut UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 adalah sebagai Komisi Negara Eksekutif yang mana berfungsi membantu Presiden dalam melakukan pengawasan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni menentukan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberi pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI. Komisi Kepolisian Nasional juga memiliki wewenang untuk mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden  yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara RI, pengembangan sumberdaya manusia Kepolisian Negara RI, dan memberikan saran dan pertimbangan lain dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara RI yang professional dan mandiri, serta menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian Negara RI dan kemudian menyampaikanya kepada Presiden.

3.      Secara posisi kelembagaan Komisi Kepolisian Nasional memiliki kemiripan denganWila>yah al-H{isbah yakni Komisi Kepolisian Nasional merupakan komisi negara dalam kekuasaan pemerintahan (eksekutif), sedangkan Wila>yah al-H{isbah merupakan lembaga peradilan yang juga dalam kekuasaan Khalifah. Kemudian dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional juga sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam fiqh siya>sah. Yakni al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum dan memperkecil terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia, seperti fungsi yang dimiliki Wila>yah al- H}isbah.

 

B.     Saran

Dari temuan-temuan tentang kedudukan Komisi Kepolisian Nasional dan setelah dianalisis, maka ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan, yaitu:

1.      Keberadaan Komisi Kepolisian Nasional menurut UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 hendaknya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia sehingga semakin kuat landasan hukumnya.

2.      Sesegera mungkin membentuk Komisi Kepolisian Nasional daerah merata di seluruh wilayah Indonesia, agar masyarakat dapat mudah dan cepat melakukan pengaduan.

3.      Sebagai pengawas Kepolisian hendaknya Komisi Kepolisian Nasional diberi kewenangan yang lebih, seperti halnya berwenang melakukan investigasi terhadap semua kasus yang berhubungan dengan Kepolisian Negara RI sebagaimana fungsinya membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara RI.

 

TINJAUAN FIQH SIYA>SAH TERHADAP KEDUDUKAN DAN FUNGSI KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL


A.    Analisis Terhadap Kedudukan dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005

1.      Kedudukan Komisi Kepolisian Nasional

Menurut hukum positif di Indonesia minimal ada tiga instrumen hukum yang mengatur kedudukan Komisi Kepolisian Nasional, yakni Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional.

Dalam pasal 8 Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia telah disebutkan bahwa Lembaga Kepolisian Nasional adalah: Pertama; sebagai pembantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan POLRI, kedua; Lembaga Kepolisian Nasional dibentuk oleh presiden yang diatur dengan Undang-undang, dan ketiga;  Lembaga Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.[1]

Pasal 37 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa, Lembaga Kepolisian Nasional yang kemudian  disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Kemudian dalam rangka pelaksanaan pasal 37 ayat (2) dan pasal 39 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka pada tanggal 7 Februari 2005 ditetapkanlah Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional. Dalam hal ini terdapat VI bab yang masing-masing bab substansinya adalah; bab I mengatur tentang pembentukan, kedudukan, tugas, dan wewenangnya, bab II mengatur tentang susunan organisasi, bab III mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian, bab IV mengatur tentang tata kerja, bab V mengatur tentang pembiayaanya, dan bab VI tentang ketentuan penutup.

Sebagaimana dalam pasal 37 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa Komisi Kepolisian Nasional dibentuk oleh Presiden, maka sebagai konsekuensi logis keanggotaanyapun diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan surat Keputusan Presiden , termasuk susunan organisasi dan tata kerja komisi. Sedangkan untuk pembiayaanya dibebankan pada anggaran pendapatan belanja Negara (APBN).

Dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa Komisi Kepolisian Nasional merupakan komisi negara eksekutif yang mana pembentukanya berdasarkan Undang-undang akan tetapi penyelenggaraanya ditujukan untuk kepentingan Presiden dalam menentukan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2.      Fungsi Komisi Kepolisian Nasional

Menurut pasal 38 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Kepolisian Nasional bertugas sebagai pembantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negaa Republik Indonesia dan memberi pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.[2]

Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Kepolisian Nasional berwenang, pertama; mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kedua; memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri, dan ketiga; menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia dan menyampaikanya kepada Presiden.

Mencermati tugas dan kewenanganya sebagaimana tersebut di atas, seolah-olah pembentukan Komisi Kepolisian Nasional hanya ditujukan untuk kepentingan Presiden  dalam menentukan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi pengawasan oleh Komisi Kepolisian Nasional terbatas hanya sebagai bahan laporan kepada Presiden dan tidak berwenang untuk merekomendasi kepada organisasi Kepolisian seperti halnya komisi-komisi nasional lainnya.

Dalam menerima saran dan keluhan dari masyarakat yang berkenaan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang kemudian melaporkan kepada Presiden  juga sangat terbatas karena tidak ada kewenangan untuk merekomendasi. Dengan kewenangan yang terbatas ini Komisi Kepolisian Nasional masih sulit diharapkan dapat melakukan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku Kepolisian Negara Republik Indonesia. Padahal, Komisi Kepolisian Nasional diharapkan dapat mengawasi, mengontrol, merekomendasikan sanksi, dan mengubah citra buruk Kepolisian Negara Republik Indonesia.

 

B.     Analisis fiqh siya>sah Terhadap Kedudukan Dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo. Peraturan Presiden RI No. 17 Tahun 2005

Menurut kajian fiqh siya>sah keberadaan lembaga pengawas sangatlah penting, hal ini merujuk pada al-Qur’an yang secara implisit mengamanatkan adanya lembaga pengawasan, yaitu surat Ali Imron ayat 104 yang berbunyi:[3]

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)

 

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang- orang yang beruntung”.

 

Disini menunjukkan arti pentingnya sebuah lembaga pengawasan, dalam bahasa al- Qur’an “segolonan umat” yang menjalankan fungsi pengawasan yaitu al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar, meskipun al-Qur’an tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bagaimana bentuk dari lembaga tersebut.

Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan umatnya untuk menegakkan   al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan muslim yang artinya “ barang siapa dari kalian melihat kemunkaran maka cegahlah dengan tangan (kekuasan), jika tidak mampu maka cegahlah dengan lisan, jika tidak mampu maka cegahlah dengan hati, dan itu merupakan lemahnya iman”.

Ibnu Taimiyyah juga menyatakan bahwa pengangkatan penguasa adalah untuk  al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar. Karena kemaslahatan hamba tidak mungkin  tercapai kecuali dengan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Juga karena kemaslahatan kehidupan dan hamba itu harus dengan taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Dan itu hanya dapat tercapai dengan menegakkan al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar, oleh karenanya, dalam Islam seorang pemimpin wajib membentuk suatu lembaga yang menangani al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar.

Begitu pula menurut al-Mawardi bahwa imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia (al-ima>mah mawd}uatun li khila>fati an-nubuwwah fi hirasa al-din wa siya>sah al-dunya).

Dengan memperhatikan dalil-dalil dan pendapat-pendapat diatas, serta ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005. Pada dasarnya  Pembentukan Komisi Kepolisian Nasional tidaklah bertentangan dengan fiqh siya>sah karena secara umum memiliki tujuan yang sama, yakni al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar  dan untuk kemaslahatan rakyat.

Dalam kajian fiqh siya>sah lembaga yang melaksanakan tugas al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar dikenal dengan Wila>yat al- H{isbah yang menjalankan fungsi pengawasan jika terjadi penyelewengan-penyelewengan oleh pejabat maupun pelamggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat secara umum. Dan wila>yah al- H}>isbah merupakan bagian dari lembaga peradilan Islam.

Secara umum tugas Wila>yah al- H{isbah menurut al-Mawardi adalah “memerintah berbuat kebaikan jika kebaikan itu ternyata tidak dikerjakan, dan melarang kemunkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemunkaran itu dikerjakan”. Karena itu menurut al-Mawardi, H{isbah merupakan salah satu bentuk pangawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan. Tugas dari wila>yah al- H{isbah adalah “memberi bantuan kepada orang-orang  yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas H{isbah”. Sedangkan muh}tasib bertugas mengawasi berlaku tidaknya Undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun.

Komisi Kepolisian Nasional merupakan Komisi Negara Eksekutif yang mana dibentuk untuk membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberi pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.[4]

Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Komisi Kepolisian Nasional juga berwenang memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang professional dan mandiri serta berwenang menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikanya kepada Presiden.

Yang dimaksud dengan keluhan adalah menyangkut penyalah gunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuian diskriminatif, dan penggunaan diskresi yang keliru, dan masyarakat berhak memperoleh informasi mengenai penanganan keluhanya.

Dengan demikian, menurut penulis apabila melihat kedudukan dan fungsi yang dijalankan oleh Komisi Kepolisian Nasional sarat dengan pengawasan yang dijalankan oleh Wila>yah al- H{isbah. Dengan kata lain Komisi Kepolisian Nasional mengambil prinsip-prinsip dari lembaga pengawasan dalam Islam.

Secara posisi kelembagaan, Komisi Kepolisian Nasional  sebagai Komisi Negara yang berada dalam kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif), memiliki kemiripan dengan Wila>yah al- H{isbah yaitu sebagai lembaga peradilan yang juga dalam kekuasaan Khalifah. Hanya saja Komisi Kepolisian Nasional merupakan Komisi Negara di Indonesia sedangkan Wila>yah al- H{isbah berada dalam lembaga peradilan Islam.

Secara fungsi, Komisi Kepolisian Nasional juga memiliki kemiripan dengan Wila>yah al-H{isbah. Yakni  sama-sama bertugas untuk menyeru kepada kebaikan, kemudian dari segi kewenangan Komisi Kepolisian Nasional berwenang menerima laporan dari masyarakat atas dugaan penyalah gunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan yang diskriminatif, penggunaan diskresi yang keliru, dan kemudian menyampaikanya kepada Presiden untuk ditindak lanjuti. Sedangkan Wila>yah al- H{isbah adalah muh}tasib menerima pengaduan dari masyarakat atas pelanggaran terhadap suatu peraturan kemudian memberikan sanksi ta’zi>r (sanksi disiplin). Keduanya juga memiliki tugas dan wewenang yang sama untuk berinisiatif sendiri melakukan pengawasan atas suatu pelanggaran terhadap peraturan yang berada dalam kompetensinya.

Singkatnya, menurut penulis bahwa dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional adalah sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengawasan dalam fiqh siya>sah. Yakni prinsip al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum dan untuk memperkecil terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti fungsi yang dimiliki oleh Wila>yah al- H{isbah dalam ketatanegaraan Islam.

 



[1] Pasal 8 tap MPR RI No. VII/MPR/2000

[2] Pasal 38 undang-undang No. 2 Tahun 2002, ibid

[3] Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahanya, h. 79

[4] KEPRES No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional

KEDUDUKAN DAN FUNGSI KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL


A.  Sekilas Tentang Komisi Kepolisian Nasional

1.      Latar Belakang Pembentukan Komisi Kepolisian Nasional

Membahas mengenai Komisi Kepolisian Nasional yang dalam fungsinya membantu Presiden dalam mengawasi kinerja Kepolisian, maka terlebih dahulu harus mengetahui definisi dari Polisi ataupun Kepolisian? Dalam hal ini Sadjijono dalam bukunya hukum kepolisian (Polri dan good governance), memaknai bahwa ”polisi” adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara. Sedangkan ”kepolisian” sebagai organ dan fungsi.[1]

Sebagai organ, yaitu suatu lembaga pemerintah yang terorganisasi dan berstruktur dalam ketatanegaran yang oleh Undang-undang diberi tugas dan wewenang serta tanggung jawab. Sebagai fungsi yang menunjuk pada tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang yaitu fungsi preventatif dan fungsi represif. Fungsi preventif melalui pemberian perlindungan, pengayom dan pelayan kepada masyarakat, dan fungsi represif dalam rangka penegakan hukum. Dikaitkan dengan ”tugas” intinya menunjuk pada tugas yang secara universal untuk menjamin ditaatinya norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Semua itu dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban dan ketentraman dalam masyarat, yang pada giliranya dapat menjamin kelangsungan, kelestarian masyarakat itu sendiri.[2]

Eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia selama kurun waktu orde baru mengalami keterpurukan dan terkebiri kekuasanya oleh campur tangan lembaga yang terintergrasi dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tugas, fungsi dan wewenang (kekuasan) POLRI sebagai salah satu lembaga penegak hukum banyak di campuri dan diintervensi serta adanya kerancuan dalam penempatan dan pembagian wewenang yang menjadi kekuasaan dan tanggung jawab POLRI, sehingga dinilai tidak mampu menjalankan tugasnya.

42

 
Pembentukan Lembaga Kepolisian Nasional oleh Pemerintah merupakan salah satu upaya dalam mereformasi institusi Kepolisian. Selama kurun waktu rezim orde baru berkuasa kedudukan POLRI mengalami pembatasan yang ketat dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai Kepolisian Negara dan banyak terkooptasi dengan tugas ABRI serta adanya lembaga diluar criminal justice system ikut campur tangan dalam penegakan hukum. Oleh karena itu Institusi Kepolisian dibawah komando Menhankam/Pangab, maka kinerja (performance) POLRI cenderung mencerminkan jiwa dan sifat militeristik. Dengan demikian menimbulkan kesan POLRI menyimpang dari fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pelayanan masyarakat, bahkan jalur yang digunakan dalam melaksanakan tugas menggunakan komando yang mirip dengan pola-pola militer.[3] 

Gerakan reformasi di Indonesia pada Tahun 1998 telah menimbulkan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk juga dilingkungan Kepoliosian sesuai tuntutan masyarakat agar POLRI kembali  kepada perannya sebagai penegak hukum, pelindung, pengayaom dan pelayan masyarakat.[4]

Reformasi Kepolisian muncul sebagai agenda pokok demokratisasi dan demiliterisasi pada saat hari ABRI tanggal 5 oktober 1998 Menhankam/Pengab Jendral Wiranto mengeluarkan bahwa POLRI akan di keluarkan dari ABRI. Akhirnya pada 1 April 1999 keluar instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 tentang pemisahan POLRI dan TNI yang kemudian ditindaklanjuti pemisahan POLRI secara struktural dari ABRI.[5]

Argument awal pemisahan itu adalah terjadinya penyimpangan dalam penggunaan kekuatan TNI dan POLRI semasa orde baru yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kedua Institusi itu. Untuk itu Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 menegaskan beberapa hal, yakni[6]

a.       TNI adalah alat Negara yang melindungi, memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia

b.      POLRI adalah alat Negara penegak hukum, pengayom dan pelindung masyarakat selaras dengan prinsip otonomi daerah

c.       Pemerintah harus menuntaskan aspek yang terkait dengan pemisahan TNI-POLRI secara berlanjut

d.      Pemerintah harus menentukan arah kebijakan pada peningkatan kualitas professional TNI dan POLRI

Dari perkembangan diawal reformasi itulah kemudian dihasilkan dasar-dasar pengaturan tentang POLRI pada khususnya, sektor keamanan pada umumnya, yaitu ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000. Secara khusus ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 mengharuskan, pembentukan Lembaga Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden di bidang Kepolisian Nasional.

Keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) merupakan salah satu bagian penting dari perkembangan mendasar yang dialami Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), berdasarkan pasal 37 – pasal 40 UU No. 2/2002 yang kemudian di tindak lanjuti dengan PERPRES No. 17/2005. Ketentuan tentang Lembaga Kepolisian tersebut diperjelas dalam pasal 37 ayat (2) dan pasal 39 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU POLRI 2002), dan diwujudkan melalui Peraturan Presiden No. 17/2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional. UU POLRI 2002 menyebut Lembaga tersebut dengan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas), yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kompolnas bertugas membantu Presiden mengenai arah kebijakan POLRI serta mengenai pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.[7] (pasal 37 UU No. 2/2002).

2.      Dasar Hukum Komisi Kepolisian Nasional

Dalam hal ini penulis mengorganisir dalam penelitian ini dengan 3 dasar hukum legal formal Komisi Kepolisian Nasional, sebagai berikut:

a.         Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b.        Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia.

c.         Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional.

3.      Visi dan Misi Komisi Kepolisian Nasional

a.       Visi Kompolnas

Seperti halnya komisi-komisi negara lainya kompolnas juga memiliki visi yaitu: Kompolnas yang mampu memberikan pertimbangan efektif dan terpercaya kepada Presiden dalam rangka mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri.

b.      Misi Kompolnas

1)      Memantapkan organisasi dan manajemen Kompolnas demi terwujudnya kinerja  yang optimal dan dinamis.

2)      Mengumpulkan dan menganalisis data yang berkaitan dengan anggaran, sumber daya manusia, dan sarana prasarana guna menunjang kinerja POLRI yang ideal.

3)      Memberikan saran dan pertimbangan secara tepat dalam rangka menetapkan arah kebijakan POLRI serta pengangkatan dan atau pemberhentian KaPOLRI.

4)      Menyelenggarakan tata cara penerimaan dan penanganan saran dan keluhan masyarakat untuk mewujudkan POLRI yang disegani masyarakat.[8]

4.      Tujuan Dan Sasaran Komisi Kepolisian Nasional

a.       Tersusunnya rumusan arah kebijakan POLRI kedepan yang meliputi antara lain saran dan pertimbangan yang berkaitan dengan anggaran, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan profesionalisme dan kemandirian POLRI.

b.      Terselenggaranya administrasi penerimaan dan penanganan saran dan keluhan masyarakat secara optimal dan dinamis termasuk penyampaian hasilnya kepada pengadu.

c.       Siapnya Kompolnas dalam memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.

d.      Mantapnya organisasi dan manajemen Kompolnas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

e.       Mantapnya sekretariat Kompolnas dalam memberikan dukungan di bidang penyelenggaraan administrasi, anggaran, sumber daya manusia, dan sarana prasarana.[9]

5.      Kegiatan Tahunan

a.       Melakukan konsultasi publik dalam bentuk seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok dengan berbagai kelompok masyarakat, organisasi pemerintah, sistim peradilan pidana dan berbagai pemangku kepentingan.

b.      Menyelenggarakan survey dan penelitian tentang pendapat publik dan anggota POLRI mengenai perpolisian dan kinerja POLRI.

c.       Melakukan pemantauan kinerja para calon KaPOLRI berdasar tolak ukur yang ditetapkan dan informasi dari berbagai sumber.

d.      Melakukan kunjungan kerja ke berbagai satuan POLRI di pusat dan wilayah dalam rangka pelaksanaan tugas Kompolnas.

e.       Menyelenggarakan administrasi saran dan keluhan masyarakat yang diterima, menindak lanjuti, memonitor, meminta penjelasan, dan menginformasikan hasil investigasi kepada pengadu.

f.       Melakukan rapat-rapat internal Kompolnas maupun dengan Polri untuk membahas kinerja POLRI, arah kebijakan POLRI, pertimbangan tentang pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI dan evaluasi terhadap saran dan keluhan yang diterima.

g.      Menyusun Rencana kerja tahunan dan laporan akuntabilitasi kinerja Kompolnas.

h.      Melakukan sosialisasi organisasi Kompolnas melalui diskusi interaktif di TV/Radio.

i.        Melakukan sosialisasi organisasi melalui penyebaran brosur tentang berbagai aspek Kompolnas ke berbagai lapisan masyarakat.

j.        Melakukan kerjasama dengan berbagai komisi sejenis baik di dalam maupun diluar negeri.[10]

 

 

 

 

 

 

 

B.  Kedudukan dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden RI No 17 Tahun 2005

1.      Kedudukan Komisi Kepolisian Nasional

Sebelum membahas mengenai kedudukan lembaga negara terlebih dahulu harus mengetahui istilah kedudukan suatu lembaga negara. Dalam hal ini Philipus M. Hadjon mengartikan bahwa kedudukan lembaga negara, pertama, sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara yang lain. kedua, posisi lembaga negara didasarkan pada fungsi utamanya.[11] Dari pengertian ini, pengertian dapat ditekankan pada posisi dari suatu lembaga negara, baik itu dibandingkan dengan lembaga negara lain maupun didasarkan pada fungsi utamanya, namun dapat ditarik pemahaman bahwa kedudukan adalah suatu posisi dan apabila itu kedudukan suatu lembaga, maka diartikan posisi dari suatu lembaga.

Titik Triwulan Tutik mengutip pendapatnya  philipus M. Hadjon bahwa dalam organisasi negara diatur mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan termasuk pembagian kekuasaan negara atau alat perlengkapan negara.[12] Apa saja yang merupakan alat perlengkapan negara? Beliau mengutip pendapatnya C. F. Strong, bahwa dalam konstitusi diatur mengenai lembaga yang permanen (permanen institutions) yang mempunyai berbagai fungsi, yaitu fungsi legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudisial.

Berkaitan dengan dengan alat perlengkapan negara, menurut beliau apabila dihubungkan dengan UUD1945 hasil amandemen, maka ditetapkan empat kekuasaan dan satu lembaga bantu dengan delapan lembaga negara sebagai berikut: Pertama, kekuasan legislatif, yaitu majelis permusyawaratan rakyat (MPR) yang tersusun atas: dewan perwakilan rakyat (DPR) dan dewan perwakilan daerah ( DPD); kedua, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif), yaitu presiden dan wakil presiden; ketiga, kekuasaan kehakiman (yudisial), meliputi: mahkamah agung (MA) dan mahkamah konstitusi (MK); keempat, kekuasaan eksaminatif (inspektif), yaitu badan pemeriksa keuangan (BPK); kelima, lembaga negara bantu (the state auxiliara body), komisi yudisial (KY).[13]

Beliau juga mengutip pendapatnya Asimof, bahwa komisi negara dibedakan dalam dua kategori. Yaitu Pertama, komisi negara independen, yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan karenanya berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudisial, kedua, komisi negara biasa yaitu komisi negara yang merupakan bagian dari cabang eksekutif.[14]

Dari uraian diatas, jika dilihat dari fungsi Komisi Kepolisian Nasional sebagai mana dalam Bab VI Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ataupun Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005  Tentang Komisi Kepolisian Nasional maka Komisi Kepolisian Nasional merupakan komisi negara biasa yang merupakan cabang kekuasaan eksekutif  yang mana pembentukanya berdasarkan ketentuan Undang-undang akan tetapi penyelenggaraanya ditujukan untuk kepentingan presiden dalam menentukan arah kebijakan Lembaga Kepolisian.

Komisi Kepolisian Nasional merupakan sebutan Lembaga Kepolisian Nasional yang eksistensinya bersamaan dengan keluarnya ketetepan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang, bahwa Komisi Kepolisian Nasional dibentuk melalui Keputusan Presiden.

Pada tanggal 7 Februari 2005 presiden mengeluarkan peraturan presiden Republik Indonesia nomor 17 tahun 2005 tentang komisi kepolisian nasional. Yang mana pada pasal 3 dan 4 mempertegas pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang no. 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 3 mengatur mengenai tugas komisi kepolisian nasional, kemudian pasal 4 mengatur mengenai wewenangnya.[15]

Di dalam pasal 8 ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia merumuskan secara jelas bahwa eksistensi Lembaga Kepolisian Nasional yang substansinya, sebagai berikut:[16]

Ayat (1): Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dibantu oleh Lembaga Kepolisian Nasional;

Ayat (2): Lembaga Kepolisian Nasional di bentuk oleh Presiden yang diatur oleh Undang-undang; dan

Ayat (3): Lembaga Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI.

 

Pasal 37 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dibentuk dengan Keputusan Presiden pula. Oleh karena pembentukan Komisi Kepolisian Nasional atas keputusan Presiden dan bertugas sebagai pembantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI, maka konsekwensinya adalah keanggotan Komisi Kepolisian Nasional di angkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan surat keputusan Presiden.

Jika dicermati dari tugas dan wewenang Komisi Kepolisian Nasional terlihat dengan jelas, bahwa pembentukan Komisi Kepolisian Nasional berdasarkan ketentuan Undang-undang, akan tetapi penyelenggaraannya ditujukan untuk kepentingan Presiden dalam menentukan arah kebijakan Lembaga Kepolisian.

Secara emplisit Komisi Kepolisian Nasional berada diluar Lembaga Kepolisian dan berada diluar struktur organisasi, namun secara eksplisit sebagai pendamping dan memiliki peran pengawasan dalam penyelenggaraan kepolisian terutama kaitannya dengan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian.[17]

Yang dimaksud dengan menentukan arah kebijakan adalah arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan presiden merupakan pedoman penyusunan teknis Kepolisian yang menjadi lingkup kewenangan POLRI. Kemudian mengenai saran dan keluhan adalah menyangkut penyalah gunaan wewenang , dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, pelakuan diskriminatif, dan penggunaan diskresi yang keliru, dan masyarakat berhak memperoleh informasi mengenai penanganan keluhanya.[18]

2.      Fungsi Komisi Kepolisian Nasional

Merujuk pada pendapatnya Philiphus M. Hadjon bahwa fungsi merupakan suatu tugas dan atau wewenang, oleh karenanya dalam hal ini membahas komisi negara maka fungsi diartikan sebagai tugas dan wewenang dari komisi tersebut.[19]

Komisi Kepolisian Nasional dibentuk untuk pertama, membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan POLRI, yaitu membentuk POLRI yang mampu menjadi pelindung Pengayom dan Pelayan Masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera.[20]

Kedua, memberi pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI. Dalam hal ini Komisi Kepolisian Nasional memberikan masukan-masukan dan kriteria-kriteria kepada Presiden untuk menentukan calon KaPOLRI yang akan diajukan ke DPR yang kemudian mengadakan uji kelayakan dan memutuskan siapa calon yang layak memangku jabatan tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 11 Undang-undang No. 2 Tahun 2002. begitu juga Dalam hal pemberhentianpun juga demikian.[21]

Dalam pasal 11 ayat (6) disebutkan bahwa calon KaPOLRI adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karir. Yang dimaksud dengan ”jenjang kepangkatan” ialah prinsip senioritas dalam arti penyandang pangkat tertinggi dibawah KaPOLRI yang dapat dicalonkan sebagai kapolri. Sedangkan yang dimaksud dengan ”jenjang karir” ialah pengalaman penugasan dari pati calon KaPOLRI pada berbagai bidang profesi Kepolisian atau berbagai macam jabatan di Kepolisian

Kemudian mengenai pemberhentian ada dua macam, yaitu:[22]

a.       Pemberhentian Dengan Hormat, yaitu apabila: mencapai batas usia pensiun,pertimbangan khusus untuk kepentingan dinas, tidak memenuhi syarat jasmani dan/atau rohani, dan gugur, tewas, meninggal dunia atau hilang dalam tugas.              

b.      Pemberhentian Dengan Tidak Hormat, yaitu apabila: melakukan tindak pidana, melakukan pelanggaran, meninggalkan tugas atau hal lain.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kompolnas diberikan wewenang untuk:[23]

a.       Mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran, pengembangan sumber daya manusia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b.      Memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan

c.       Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.

 

Kewenangan-kewenangan ini masih terlalu sederhana bagi sebuah Komisi Nasional  yang bertugas membantu Presiden namun sebaliknya justru terlampau lemah bagi sebuah Komisi yang diharapkan menjalankan fungsi pengawasan terhadap POLRI. Kalau hanya menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja Kepolisian untuk disampaikan kepada Presiden, hal ini cukup dilakukan oleh Kepolisian sendiri, tidak harus oleh sebuah Komisi Nasional.[24]

Sebaliknya, efektifitas pengawasan terhadap POLRI juga diragukan jika Kompolnas hanya sebatas menampung keluhan-keluhan masyarakat mengenai penegakan hukum – tahap penyelidikan dan/atau penyidikan – tanpa memiliki kewenangan untuk memberi penilaian atas tindakan Kepolisian atau diskresi Kepolisian. Betapapun pentingnya kepatuhan terhadap norma agama, kesopanan, kesusilaan, maupun berbagai pertimbangan etik lainnya,  salah satu kunci bagi penilaian masyarakat atas kinerja POLRI adalah kemampuan POLRI menjalankan fungsi pelayanan dan penegakkan hukum secara adil konsisten dan konsekwen.

Penilaian tersebut harus diberikan dengan tidak menutup kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan apa yang diketahuinya terkait dengan penyalahgunaan kewenangan atau bahkan korupsi yang dilakukan oleh anggota Kepolisian. Akses ini penting karena seringkali apa yang disampaikan kepada pihak Kepolisian menjadi tidak jelas penyelesaiannya. Hal ini terjadi karena sikap solidaritas yang cukup kental dalam lingkungan polisi yang cenderung melindungi sesama anggota Kepolisian. Sedangkan pada sisi lain, masyarakat sangat berharap bahwa komisi tersebut mempunyai kewajiban untuk tidak hanya menampung tetapi juga memproses dan bahkan pendorong untuk terjadinya penegakan hukum.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah bentuk atau efektivitas dari saran yang diberikan Kompolnas, yaitu hanya sebatas rekomendasi. Hal ini menjadi suatu kelemahan karena sifat dari sebuah rekomendasi tidak lebih dari pertimbangan dan saran tindak lanjut Kompolnas kepada pihak terkait. Sedangkan dalam rangka pengawasan dan pengembangan, saran Kompolnas hendaklah mempunyai suatu dampak tertentu pada kebijakan-kebijakan POLRI. Wewenang-wewenang yang terlalu sederhana ini perlu dijabarkan secara lebih rinci di dalam Perpres sehingga memerlukan pengembangan dalam rencana strategis atau program Kompolnas. Pengembangan fungsi Kompolnas ini sebaiknya menjadi arah bagi pengembangan kelembagaan Kompolnas.[25]

 

FUNGSI DAN KEWENANGAN KOMPOLNAS

Tugas

Arah kebijakan

Cakupan

Membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan kepolisian Negara Republik Indonesia

Tugas ini menjadikan kompolnas bersifat ministrial atau departemental (fungsi anggaran, kebijakan)

 

Apabila alternative ini hendak ditempuh maka mengharuskan adanya penguatan lembaga atau kompolnas.

Isu prioritas kompolnas:

-          SDM (recruitment) contoh: pendidikan

-          Pengendalian deskrepsi dioperasional-secara yuridis, dapat diberlakukan namun hal ini tergantung dari pelaksana. Contoh: apakah koroptur harus ditahan? Masalah tilang?

Semua kebijakan ini berada dalam kewenangan kapolri.

Oleh karena itu dibutuhkan adanya  garis batas yang jelas antara kebijakan umum dan kebijakan tehnis.

Yang saat ini yang berlaku perumusan mengenai arah kebijakan dirumuskan oleh polri.

Hal ini terjadi karena tidak ada pemilahan mengenai cakupan mana yang termasuk kebijakan umum dan kebijakan tehnis. Kedua belah pihak polri dan kompolnas juga tidak mengenai batasan kebijakan tersebut.

Saran:

Kompolnas seharusnya mencakup kebijakan makro sedangkan kapolri pada kebijakan operasional. Seperti dinegara lain, kompolnas seharusnya berfungsi sebagai penetralisir politik polri. Selain itu, kompolnas juga harus mempunyai akses kepejabat polri dalam membari saran 

 

Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Command

 

Menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden

Menitik beratkan pada masalah operasional polisi (profesionalitas)

 

·         Ketiga tugas di atas memiliki kelemahan dalam arti bahwa ada dua tugas tapi dengan tiga kewenangan

·         Cakupan kebijakanpun tidak terdefinisikan secara rinci[26].

 

 

3.      Struktur Komisi Kepolisian Nasional

Susunan organisasi Komisi Kepolisian Nasional menurut PERPRES No.17 Tahun 2005 dibagi atas dua bagian, yakni susunan keanggotaan dan kesekretariatan Komisi Kepolisian Nasional. Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional berjumlah 9 (sembilan) orang yang berasal dari unsur Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang yakni pejabat pemerintah setingkat menteri eks officio, yang terdiri dari Menteri Negara Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Menteri Dalam Negeri; dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Pakar Kepolisian sebanyak 3 orang,dalam artian seseorang yang ahli dibidang ilmu Kepolisian; dan Tokoh masyarakat sebanyak 3 (tiga) orang,yakni pimpinan informal yang telah terbukti menaruh perhatian terhadap kepolisian.[27] Dengan susunan 1 (satu) orang ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota, dan 6 orang anggota.[28]

Dalam melaksanakan tugasnya Komisi Kepolisian Nasional didukung oleh  kesekretariatan yang secara hierarkis berada di lingkungan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia dan ditetapkan oleh KaPOLRI. Sekretariat dipimpin oleh Kepala Sekretariat yang diangkat dan diberhentikan oleh KaPOLRI. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala sekretariat  dijabat oleh Perwira Tinggi POLRI dan secara fungsional ia bertanggung jawab kepada Komisi Kepolisian Nasional dan bekerja guna mendukung kinerja dari Komisi Kepolisian Nasional.

Dilihat dari sisi tata kelola pemerintahan yang baik, kondisi semacam ini masih tidak menggembirakan. Dari sisi komposisi keanggotaan, Komisi Kepolisian Nasional mencerminkan perpaduan antara unsur pemerintah dan masyarakat. Namun tiga orang wakil pemerintah dari sembilan orang anggota, mungkin terlalu banyak. Bila unsur pemerintah memang diperlukan, seharusnya diwakili oleh seorang saja, akan tetapi yang bersangkutan sebaiknya memiliki kewibawaan dalam bidangnya, serta mempunyai waktu dan perhatian terhadap kinerja Komisi Kepolisian Nasional. Sisanya dari unsur masyarakat yang memiliki komitmen kuat dalam hal waktu, dedikasi dan keterwakilan dalam masyarakat. Tidak seperti sekarang, proses seleksinya seolah-olah agak tergesa-gesa, akibatnya keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional tidak banyak dikenal masyarakat, dan bahkan anggota POLRI sekalipun.[29]

Hal ini menyebabkan komposisi yang ada sekarang, tidak atau belum menggambarkan keterwakilan yang mendukung peningkatan kinerja POLRI. Oleh karena itu keanggotaan Kompolnas seyogyanya mengakomodasi kalangan yang benar-benar peduli terhadap peningkatan kinerja POLRI seperti jaksa, hakim yang purna tugas, tokoh- tokoh masyarakat dan LSM. Dengan beragamnya komposisi ini, pada akhirnya diharapkan kinerja Kompolnas dapat berkontribusi pada peningkatan  pelayanan POLRI yang sesuai dengan harapan-harapan dan kebutuhan masyarakat. Selain itu, apabila dikaitkan dengan kebutuhan kinerja dari pemolisian yang demokratis maka aspek kompetensi dari anggota Kompolnas lebih baik dikedepankan dibanding dengan aspek proposionalitas.[30] 

Berdasarkan Perpres No.17/2005, struktur Kompolnas dapat digambarkan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]  Sadijono, Hukum Kepolisian (Polri dan Good Governance), h. 53

[2] Ibid. h. 53

[3] Zulkarnain dkk, Komisi Pengawas Penegak Hukum, h.118-119

[4] Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian  (Profesionalisme dan Reformasi Polri), h. 224

[5] Zulkarnain dkk, Komisi Pengawas..., h. 119

[6] Ketetapan MPR No. IV/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

[7] Pasal 37 UU No. 2 #Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[10] Ibid

[11] Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, h. X

[12] Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesi Pasca Amandemen UUD 1945, h. 205

[13] Ibid. h. 206

[14] Ibid. h. 211

[15] Zulkarnain dkk, Komisi Pengawas, h. 144

[16] Ketetapan MPR, No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

[17] Sadijono, Hukum Kepolisian, h. 343

[18]Penjelasan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[19] Philiphus, Lembaga Tertingg, h. X

[21] http://www.hukumonline.com, 25 Desember 2009

[22] Bab II dan III Kepres No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

[23] Pasal 4 Kepres No. 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional

[24] www.propatna.or.id propat@cbn.net.id, propatria.institute@gmail.com, 12 Oktober 2009

[25] Ibid

 

[26] Ibid

[27]Penjelasan Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[28]Pasal 39 (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[30] Ibid