Wednesday, November 10, 2010

Bhineka Tunggal Ika

Jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, perang besar antara agama buda dan
agama hindu (siwa) nyaris terjadi. Hal itu dapat dicegah, karena ada dialog para
pemuka kedua agama. Dialog itu menghasilkan bhisama atau fatwa yang mengikat
kedua belah pihak. Bhisama tersebut ternyata menjaga tanah Nusantara, selama
ratusan tahun kemudian. Tercantum dalam kitab Sutasoma – Bhineka Tunggal Ika,
Tan Hana Dharma Mangrwa.

   Era kemerdekaan, Bung Karno, Sang Proklamator, menyatakan diri sebagai
”penggali” bukan pencipta Pancasila. Karena Pancasila sudah menjadi pedoman atau
falsafah hidup warga Nusantara, sejak ribuan tahun yang silam. Bhineka Tunggal
Ika, sudah menjadi bhisama yang mengikat bagi kerajaan-kerajaan di Tanah
Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konflik-konflik agama, bukannya baru
terjadi sekarang ini, melainkan telah pernah terjadi berkali-kali dalam kurun
waktu ratusan tahun. Bangsa kita telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan
konflik-konflik yang terkait dengan persatuan dan kesatuan. Sangat disayangkan,
Sang Penjajah, telah mengobrak-abrik kekayaan intelektual bangsa, untuk
melanggengkan kesempatannya menghisap kekayaan Nusantara dengan semena-mena.

   Renungkanlah, kenapa penjajahan terjadi selama berabad-abad, apakah Nusantara
terlalu lemah untuk melawan itu ?

   ---oOo---

   Kutukan – Sirna Hilang Kertaning Bumi

   Orang tua-tua berkata, candrasengkala yang menandakan jatuhnya majapahit
bukanlah dibuat begitu saja. Itu adalah kutukan -  Sirna Hilang Kertaning Bumi –
hilang lenyap kesejahteraan bumi nusantara. Karena apa ? Karena raja baru,
dengan gelar Panatagama, penata atau pengatur agama, melupakan bhisama atau
fatwa - Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Raja berkolaborasi dengan
ulama-ulama besar, membangun negara berlandaskan satu agama. Celakanya, kerajaan
diperluas sambil melakukan penyeragaman kepercayaan yang baru itu.

   Maraknya penyaragaman, karena ulama yang termasuk dalam sub sistem
sosiokultural yang mestinya memiliki tugas independen untuk mengayomi seluruh
masyarakat, berkolusi dengan sub sistem politik pada saat itu. Untuk mempermudah
proses infiltrasi budaya, maka dilakukan perubahan-perubahan pakem-pakem
pewayangan misalnya ramayana dan bharatayudha. Senjata Kalimasada sang
Yudistira, di gothak gathik gathuk menjadi Kalimah Syahadat. Ada ulama yang
jelas-jelas menjiplak cerita dewa ruci, menjadi suluk linglung yang diclaim
sebagai karyanya, dan mengganti bima seolah dirinya. Suatu cara infiltrasi
budaya yang cerdik namun tetap saja licik. Penumpasan dilakukan secara kasat
mata, pergantian agama bukan karena suka rela dan dari hati yang terdalam,
tetapi timbul karena alasan ekonomi, ketakutan politis dan kekejaman aparat
negara yang berkolaborasi dengan ulama bengis tanpa ampun.

   Ada banyak ulama-ulama yang tak sejalan, seperti Siti Jenar, atas nama agama,
disingkirkan bahkan dibunuh secara fisik. Dibuat mitos bahwa, ketika jasad Syekh
Siti Jenar ditanam, berubah menjadi anjing buduk, suatu pembunuhan jasad
dilanjutkan dengan pembunuhan karakter yang membuat miris logika kita. Itulah
ulah para ulama keblinger kekuasaan, tega memalsukan sejarah, plagiator karya
orang lain, meramunya untuk kepentingan pribadi dan golongan.

   Rekayasa budaya, agama dan politik, membuat kemarahan yang amat sangat di
bathin warga nusantara, akan tetapi telah kehilangan kata-kata. Akhirnya muncul
kutukan Sirna Hilang Kertaning Bumi yang berarti hilang musnah kesejahteraan di
bumi Nusantara. Dan sejarah mengatakan, sejak itu, bangsa kita jadi bangsa yang
dinistakan, dijajah, dihisap dari bangsa lain karena para petinggi negara
bekerjasama dengan para ulama melupakan bhisama/fatwa Bhineka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa.

   Eka Prasetya Pancakarsa

   Tahun 1978, 500 tahun setelah terjadinya kutukan Sirna Hilang Kertaning Bumi,
muncul Eka Prasetya Pancakarsa yang diinisiasi dan dicanangkan oleh Presiden
Suharto. Pancasila kembali menjadi landasan dan falsafah berbangsa. Batas-batas
negara ditetapkan, zone ekonomi eksklusif dipatok. Sang Ksatria, pada saat itu,
benar-benar menjalankan tugas negara. Kita sempat menjadi Bangsa yang terhormat
beberapa saat.

   Adanya reformasi menyebabkan Pancasila dipinggirkan kembali, karena salah
kaprah, memandang itu sebagai produk Orde Baru yang harus disingkirkan. Tidak
ada kesinambungan pemikiran, dari para oportunis-oportunis politik yang suka
mengail di air keruh, memanfaatkan segala resources secara membabi buta,
termasuk menunggangi agama. Keinginan-keinginan penyeragaman kembali lagi
timbul, nafsu-nafsu menggunakan agama untuk meraih posisi kekuasaan menjadi kian
subur. Lalu terbukti, kita menjadi hancur lagi.

   Nah ... tidak kah kau lihat ... hei Warga Nusantara ... ketika kita lupakan
Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa ... ketika slogan itu hanya menjadi
penghias dinding, dan tidak ada dalam kalbu sang pemimpin,  maka kerusakan pasti
akan terjadi ! Sudah beberapa kali kita mengadakan pemilihan umum, baik yang
langsung, maupun berdasarkan perwakilan, partai islam tak pernah menang !!!
Karena ada goresan keperihan di bathin warga Nusantara, akibat campur aduk agama
dengan negara.

   Indonesia harus kembali lagi pada penerapan sejati, Bhineka Tunggal Ika, Tan
Hana Dharma Mangrwa, tanah Nusantara akan tetap menderita. Dengan
penipuan-penipuan, cara-cara halus meraih kekuasaan melalui agama, Nusantara
akan tetap menderita.

   Jati Diri Bangsa

   Di era globalisasi ini, ketika serangan budaya luar makin menghebat, ketika
perekonomian carut marut, subsistem politik kita buyar, maka salah satu jalan
agar kita bisa berdiri tegak adalah dengan membangun kembali Jati Diri Bangsa.
Pedoman-pedoman rukun, toleransi dan sikan hormat-menghormati, harus diberikan
tempat seluas-luasnya. Dari pada diberikan pelajaran agama, yang jelas
menyebabkan terpisahnya warga bangsa sejak duduk di bangku SD, kenapa kita tak
berpaling pada pelajaran Budhi Pekerti, yang pasti ada di setiap agama. Dari
pada beragama dimulut saja, tapi korupsi merajela, dan kerusuhan tak henti
melanda, kenapa alternatif itu tak difikirkan dengan seksama. Bagi golongan
tertentu ini merupakan suatu kerugian, tapi sudah saatnya kita memikirkan
bangsa, bukan golongan agama.

   Profesi-profesi utama harus kembali ke swadharma atau kewajibannya
masing-masing. Brahmana atau ulama kembali menjadi pengemong seluruh umat tanpa
harus terkait dengan partai. Ksatria - politikus benar-benar mengkonsentrasikan
dirinya untuk membuat aturan-aturan negara. Wesya - pengelola perekonomian tekun
dengan usaha-usaha inovasi dan seluruh masyarakat mampu tabah menghadapi segala
cobaan yang ada. Jangan sampai dimanfaatkan oleh oknum-oknum pencari keuntungan
sesaat. Jangan sampai buruh digerakkan oleh serikat-serikat yang dipimpin oleh
oknum-oknum yang jelas-jelas mendapatkan dana luar biasa besar dari negara luar.
Keserakahannya digunakan oleh musah-musuh negara untuk mengacaukan bangsa, dan
mengambil untung dari kekacauan yang terjadi pada bangsa kita.

   Cara-cara untuk bangkit kembali sebagai bangsa telah tercantum di Kitab Negara
Kertagama dan kitab-kitab lain Nusantara, kenapa kita tak berpaling ke padanya
...
   Karena kalau kita mengacu pada bangsa lain ... apalagi mengacu pada
bangsa-bangsa timur tengah ... mereka sendiri sedang carut marut .. tak bisa
dijadikan panutan.

   Lamun sira paksa nulad, tuladhaning kangjeng Nabi, O, ngger kadohan
panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira tanah jawi, sathitik bae wus
cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti
karahmat.

   Jika kau memaksakan diri untuk meniru sikap keteladanan Nabi, o, terlampau
jauh anakku. Dari gelagatmu (kau) takkan mampu karena kau lahir sebagai orang
jawa. Karenanya, tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian (dengan) meniru
atau menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugrah
akan tiba.
   [Serat Wedhatama, Sinom]

   Demikian sodara-sodaraku, mudah-mudahan kisah pengantar tidur di atas, menjadi
perenungan walau sepintas. Siapa tahu, bisa dijadikan pedoman kalau tanda Gunung
Merapi Meletus, Laharnya Berbau Amis, benar-benar ada.
 

RADIKALISME AGAMA


Latar Belakang Masalah Ribuan mata, beberapa bulan lalu, tertuju pada lautan laskar berjubah putih yang membanjiri Stadion Utama Senayan Jakarta dalam sebuah perhelatan tabligh akbar. Laskar berjubah putih itu tergabung di dalam kekuatan besar yang bernama Laskar Jihad. Di dalam tabligh akbar tersebut mereka meneriakkan kegetiran atas tragedi yang sedang menimpa umat Islam di Maluku, dan secara tegas mereka menyatakan kesiapan untuk terjun ke medan pertempuran di sana. Mereka juga "menyerang" Presiden Abdurrahman Wahid yang mereka anggap telah gagal mengemban tugas sebagai pemimpin umat Islam dan membiarkan negerinya terjebak dalam permainan konspirasi Barat dengan Zionis Israel. Beberapa kali kelompok semacam, bahkan yang berintikan mahasiswa, dengan memakai berbagai atribut khas mereka, turun ke jalan-jalan berdemonstrasi menentang berbagai kebijakan Gus Dur, seperti usulan pencabutan TAP MPR tentang pelarangan PKI. Belakangan mereka juga memprotes keras rencana kehadiran delegasi Israel di dalam Konferensi Parlemen se-Dunia di Jakarta dan bertekad untuk memblokir mereka di bandara dan tempat-tempat strategis lainnya; hal yang sebagian dipicu oleh penyerangan Israel yang didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat, atas umat Islam Palestina. Di kota yang sama hari-hari ini hampir tiap minggu kelompok Front Pembela Islam melakukan razia. Mereka mendatangi kafe-kafe, diskotik-diskotik, kasino-kasino, dan tempat-tempat lainnya yang mereka tuduh sebagai sarang maksiat dan membubarkan kegiatan di dalamnya tanpa bisa dirintangi secara berarti oleh petugas-petugas keamanan. Razia-razia ini tidak jarang diwarnai oleh aksi-aksi pengrusakan dan penghancuran. Isyarat tentang meningkatnya keberadaan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai laskar di panggung nasional bahkan secara jelas terlihat awal Agustus lalu dalam Kongres Nasional Mujahidin pertama yang mengangkat tema "Penegakan Syariat Islam di Indonesia". Dalam kongres tersebut terdapat kurang lebih dua ribu peserta yang mewakili berbagai kelompok yang saat ini tengah menarik perhatian publik, seperti Laskar Santri, Laskar Mujahidin, Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Pasukan Komando Mujahidin. Beberapa tokoh penting datang ke kongres tersebut, semisal Deliar Noer, Mansyur Suryanegara, Syahirul Alim, dan Alawi Muhammad. Selama tiga hari mereka mendiskusikan satu tema sentral dengan kesimpulan bahwa penegakan syariat Islam adalah hal yang mutlak untuk mengatasi berbagai krisis dan kerusakan yang terjadi saat ini. Fenomena gerakan-gerakan yang membawa muatan agama ini mencuat sejak terjadinya krisis multi-dimensi di negeri ini yang berakibat, di antaranya, lengsernya rezim Soeharto. Sejak saat itu, keberadaan mereka di panggung politik kenegaraan menjadi semakin tampak dan meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Aksi-aksi mereka dibalut oleh rasa kekhawatiran yang mendalam terhadap terjerambabnya Islam ke dalam bayang-bayang Barat sekuler, yang mereka yakini tengah menjalankan agenda untuk menghancurkan umat Islam dengan berbagai cara. Gerakan-gerakan semacam itu, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai radikalisme agama, mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi, dan berjuang mengembalikan supremasi syariat Islam untuk membawa umat Islam keluar dari lilitan krisis. Laskar Jihad, misalnya, dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam yang, menurut mereka, tengah terjepit. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan radikalisme agama paling dirasakan. Ia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. Dari aspek politik, gaung dari aksi-aksi yang dijalankan di Jakarta memang terbukti jauh lebih efektif daripada kota manapun di Indonesia, karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lainnya. Hal ini terutama didukung oleh peliputan mass-media yang terpusat di Jakarta. Di samping itu, Jakarta adalah kota yang paling menikmati dan sekaligus merasakan dampak dari proses modernisasi dan pembangunan. Maka, dengan sendirinya masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang langsung dan paling efektif bersentuhan dengan kedua proses itu. Fenomena radikalisme agama jelas tidak bisa dilepaskan dari arus deras modernisasi dan pembangunan yang dijalankan negara dalam rentang tiga puluh tahun terakhir. Sementara kolonisasi internal dari negara dan penetrasi rasionalitas ekonomi dan administrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks modernisasi dan pembangunan itu, terus berlangsung. Negara tidak memberikan ruang yang cukup bagi seluruh segmen masyarakat untuk mengekspresikan diri dan kepentingan-kepentingan mereka. Ekspresi Islam politik, misalnya, cenderung dimarginalisasi dan dihambat karena dianggap akan dapat mengganggu jalannya proses modernisasi dan model pembangunan yang diterapkan. Sebagai konsekuensinya, muncul kekecewaan dan rasa ketidakberdayaan yang mendalam dari berbagai segmen masyarakat. Hal semacam ini turut dipercepat oleh meningkatnya proses globalisasi, ketika intensifikasi hubungan sosial seluruh dunia telah mengaburkan batas-batas geografis, sosial, dan politik di mana ketergantungan pada tatanan global dan intervensi lintas-budaya menjadi tidak terelakkan. Proses ini mau tidak mau telah menyebabkan banyak orang merasakan kehilangan kontrol atas kehidupan mereka. Ketika rasa kekecewaan dan ketidakberdayaan itu semakin meningkat dalam ketersumbatan ruang partisipasi masyarakat di bawah hegemoni negara, suatu perlawanan untuk merebut kembali ruang partisipasi itu tidak bisa dielakan. Dengan berusaha merebut ruang partisipasi itu, rasionalitas komunikatif bisa dihadirkan kembali ke ruang publik. Sementara itu, dalam konstelasi global, ketika nation-states modern tidak mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan masyarakat melalui kesejahteraan ekonomi dan pemuka-pemuka agama melalui imbalan resmi terhadap kekuatan religius mereka, perlawanan seringkali mengambil bentuk seruan untuk kembali kepada identitas dasar, di mana massa yang tersingkirkan dan bagian-bagian masyarakat lainnya yang tidak puas bisa merekonstruksi makna dan interpretasi baru terhadap kehidupan sosial sebagai alternatif terhadap tatanan yang ada. Namun demikian, sejalan dengan meningkatnya proses modernisasi dan globalisasi, kebijakan marginalisasi Islam politik tampaknya tidaklah bisa dipertahankan terus-menerus oleh negara. Ada saat-saat ketika negara mengalami apa yang disebut krisis legitimasi, yang semakin meluas sejak awal 1990-an. Krisis itu terjadi terutama ketika janji-janji modernisasi dan pembangunan gagal dipenuhi oleh negara. Untuk mencegah meluasnya krisis legitimasi itu, negara harus mencari pilar-pilar dukungan dan strategi baru. Di antaranya, negara menjalankan jurus yang oleh Olivier Roy, seorang ilmuwan politik Perancis, disebut "Islamisasi konservatif" (conservative Islamisation), yang terutama diarahkan pada penonjolan simbol-simbol agama di dalam wacana publik dan kenegaraan serta mengakomodasi kekuatan-kekuatan sosial-politik keagamaan. Bermunculanlah organisasi-organisasi, isntitusi-institusi dan berbagai hal lainnya yang bersimbolkan Islam. ICMI dibiarkan berkibar. Bank syariah didirikan di mana-mana sebagaimana halnya mesjid-mesjid atas sponsor negara. Seketika terjadi pembalikan arah kesejarahan negara, dari sebelumnya berwajah sekuler, di mana pemerintahan dan militer dikuasai oleh elite-elite nasionalis "merah-putih", menjadi berwarna hijau, ketika banyak tokoh Islam naik ke panggung politik nasional. Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan negara saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan diri ke dalamnya, atau paling tidak, merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjanjikan. Umat Islam yang selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari berbagai segmen kekuatan masyarakat. Mereka meyakini bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk mengendalikan panggung negara. Ke dalam barisan ini agaknya juga terdapat kelompok-kelompok yang sebelum pertengahan 1980-an aktif menentang negara dan berjuang menyuarakan pendirian negara Islam. Pada saat tertentu mereka bersikap keras menentang negara, dengan mengobarkan teror, seperti gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat garuda, dan pemboman Borobodur. Tetapi mereka sama sekali tidak berkutik menghadapi tindakan represif dari negara. Puncak ketidakberdayaan itu terjadi ketika pemerintah memaksa seluruh kekuatan sosial politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Untuk beberapa saat setelah itu, perlawanan terhadap negara benar-benar surut. Kalaupun mereka bertahan, mereka harus aktif di bawah tanah atau menyembunyikan wajah mereka yang sesungguhnya. Ketika krisis terjadi, apa yang menjadi tujuan kelompok-kelompok yang berafiliasi ke dalam gelombang besar Islamisasi sebagaimana digambarkan di atas, seketika menjadi buyar. Banyak sub-segmen yang terdapat di dalamnya kehilangan harapan dan mengalami rasa frustasi yang mendalam. Jalan yang sudah dirintis oleh mereka telah berbelok arah secara drastis. Harapan untuk secara perlahan-lahan mengambil alih kendali politik nasional menemukan jalan buntu. Sekalipun pemilu terakhir telah berusaha untuk mengakomodasi seluruh kekuatan sosial-politik masyarakat melalui saluran yang semestinya, tetapi tidak semua pihak merasa puas dan mendapatkan ruang keterwakilan mereka di panggung politik yang ada. Mereka merasa terpinggirkan kembali di dalam arus besar reformasi yang telah membawa Gus Dur ke kursi kepresidenan. Gerakan radikalisme agama yang kini tengah menyeruak bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap hegemoni negara dari segmen masyarakat yang termarginalisasi dan terekslusi di dalam arus besar perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Atau tepatnya, segmen masyarakat yang harapan-harapan mereka pernah dilambungkan tetapi seketika menjadi terhenti dengan terjadinya krisis multi-dimensi yang menimpa negeri ini. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat suara-suara mereka yang marginal bisa terdengar di ruang publik, sehingga jaringan makna yang telah hilang dalam relasi kekuasaan yang hegemonik bisa mereka rebut kembali. Karena hegemoni bekerja melalui wacana, maka gerakan radikalisme agama seringkali juga membuat wacana tandingan, di antaranya dengan mengeritik ungkapan politik nasional sekuler dan menawarkan alternatif terhadapnya. Roy telah menemukan fenomena serupa di banyak negara Islam belakangan ini, yang disebutnya sebagai gejala "neo-fundamentalisme radikal" (radical neo-fundamentalis). Gejala ini didefinisikannya sebagai sebuah gerakan yang berusaha mengislamkan masyarakat dari level grass-root melalui penerapan hukum Islam tanpa harus diformat dalam sebuah negara Islam. Ini terjadi sebagai akibat dari kegagalan "Islamisme", gerakan Islam politik modern yang mengklaim berjuang untuk menciptakan kembali sebuah masyarakat Islam yang sejati, tidak sekedar dengan mendesakkan berlakunya syariat Islam, tetapi dengan menciptakan sebuah tatanan yang Islami melalui aksi-aksi politik yang kadang-kadang revolusioner dan militan. Para pendukungnya melihat Islam tidak sekedar agama, tetapi ideologi politik yang harus diintegrasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sekalipun Islamisme telah menemui kegagalan sejak 1980-an, tetapi penentangan-penentangan dan kritisismenya terhadap negara, menurut Roy, berhasil memaksa yang terakhir untuk mengintrodusir kebijakan Islamisasi konservatif-simbolik. Kebijakan semacam ini ternyata tidaklah berhasil mengubur Islamisme, bahkan telah memperluas konstituen-konstituen dan pendukung-pendukungnya. Ia hanya membungkam gerakan itu untuk sementara, tapi tidak pernah bisa menguburnya. Meskipun satu hal, bahwa target mereka semula untuk mendirikan negara Islam telah berlalu. Bagi mereka yang paling penting syariat Islam harus ditegakkan. Dan inilah yang mesti tetap diperjuangkan. Beberapa ciri yang ditunjukkan Roy mengenai gerakan neo-fundamentalisme radikal ini adalah, yang pertama, mereka mengkombinasikan jihad politik dan militansi terhadap segala hal yang beraroma Barat-sekuler dengan definisi Islam yang sangat konservatif. Mereka sangat menentang musik, seni dan hiburan, serta kehadiran perempuan dalam ruang publik. Yang kedua, gerakan ini bersifat supra-nasional. Terdapat jaringan internasional di mana para aktor gerakan ini dilatih dan dibekali dengan berbagai keterampilan militansi, di samping disediakan dana untuk mendukung aksi-aksi mereka dalam ranah nasional masing-masing. Yang ketiga, gerakan ini berusaha keras menunjukkan kegagalan "nation-state", yang diklaim terjepit di antara solidaritas kebangsaan dan globalisasi. Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini akan berfokus pada fenomena radikalisme agama yang saat ini tengah menyeruak di ibukota negara, Jakarta, sebagaimana diperlihatkan oleh aksi-aksi Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Laskar Mujahidin, dan HAMMAS. Fenomena ini akan dilihat dari perspektif tranformasi sosial-politik-ekonomi yang tengah terjadi di panggung nasional dan fluktuasi hubungan antara negara dan masyarakat. Masalah yang hendak dijawab melalui penelitian ini terutama menyangkut pertanyaan: "Mengapa gerakan-gerakan ini muncul?", "Bagaimanakah sesungguhnya profil gerakan-gerakan ini, dilihat dari perspektif sosiologis, politik maupun teologis-doktrinal?", serta "Apakah ada hubungan antara gerakan-gerakan ini dengan transformasi sosial-politik-ekonomi yang tengah terjadi di negeri ini?" Hipotesis Penelitian Penelitian ini didasarkan pada hipotesis bahwa gerakan radikalisme agama muncul sebagai suatu bentuk respon mayarakat terhadap perubahan sosial-politik-ekonomi yang begitu cepat yang tidak diimbangi oleh usaha yang memadai dari negara untuk mengakomodasi seluruh segmen masyarakat di dalam ruang publik. Ia semacam situs perlawanan terhadap hegemoni negara, yang terus-menerus menancapkan jaring-jaring kolonisasinya atas berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui latar belakang kemunculan Radikalisme Agama; 2. Memperoleh informasi dan data mengenai profil institusional tentang Radikalisme Agama; 3. Memahami respons Radikalisme Agama terhadap proses modernisasi dan perubahan sosial-politik. Kegunaan Penelitian 1. Memberikan pemahaman yang proporsional tentang gerakan radikalisme agama; 2. Memberikan bahan masukan kepada pemerintah, khususnya Pemda DKI, bagi pengambilan kebijakan mengenai kelompok-kelompok keagamaan; 3. Memperkaya khazanah keilmuan, khususnya dalam bidang sosiologi agama, sehingga pada gilirannya bisa dikembangkan menjadi model-model yang berguna bagi pengkajian Islam dan masyarakat. Metode Penelitian 1. Definisi Operasional Agar arah dan fokus penelitian ini jelas, ada beberapa isitilah dalam judul penenlitian yang perlu ditegaskan atau diberikan definisi operasionalnya sebagai berikut: 1.1. Radikalisme Agama "Radikalisme" berasal dari kata radical yang artinya "mendasar" dan "ekstrem". Radikalisme agama berarti tindakan-tindakan ekstrem yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang cenderung menimbulkan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Misalnya saja, sweeping dan razia atas tempat-tempat tertentu, seperti perjudian, diskotik, dan pelacuran; demonstrasi dan pengrusakan kantor-kantor lembaga tertentu, pengerahan massa dengan simbol dan atribut-atribut keagamaan tertentu, pernyataan politik dengan tendensi dan ancaman tertentu, tabligh akbar dengan substansi yang bertendensi mengobarkan kekerasan dan sebagainya. 1.2. Perubahan Sosial-Politik Yang dimaksud dengan "perubahan sosial-politik" dalam penelitian ini adalah transformasi sosial dan politik (termasuk juga ekonomi dan budaya) yang ditandai dengan munculnya urban masses dan new midlle class, yang terjadi sebagai akibat dari arus deras modernisasi dan pembangunan, yang difasilitasi oleh meningkatkan literasi dan kesempatan berpartisipasi dalam pendidikan tinggi, urbanisasi, serta integrasi politik nasional. 2. Sumber Data Informasi dan data tentang "gerakan radikalisme agama dan perubahan sosial politik di DKI Jakarta" ini diperoleh dari dua sumber. Pertama adalah sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan, baik berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel karya ilmiah yang dimuat dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta jurnal ilmiah maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Sumber data pustaka akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis fenomena radikalisme agama. Kerangka berpikir yang digunakan adalah deduktif, dari teori ke fakta atau realitas sosial di lapangan. Data bibliografis diposisikan sebagai data sekunder. Kedua adalah data yang berasal dari field-work; responden, informan, peristiwa, situasi-kondisi dan fakta yang didapat dari obyek penelitian di lapangan. Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen (akan dijelaskan tersendiri), seperti observasi, angket, dan wawancara mendalam (indepth interview). Data jenis ini akan diperlakukan sebagai sumber-sumber primer yang mendasari hasil penelitian ini. Dengan dua macam sumber tersebut, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dan menjelaskan realitas gejala radikalisme agama secara lebih obyektif dan komprehensif. 3. Ruang Lingkup Penelitian Sebagaimana telah disinggung dalam pembatasan masalah di atas, penelitian ini ditujukan pada gerakan-gerakan radikalisme agama di DKI Jakarta yang diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad, Laskar Mujahidin, dan HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antarkampus). Adapun aspek-aspek yang akan dikaji meliputi: No. Obyek/Aspek yang diteliti Rincian Kisi-kisi Penelitian 01 Organisasi a. Sejarah pembentukanb. Struktur oganisasic. Keanggotaand. Program organisasie. Target dan atau tujuan organisasi 02 Doktrin dan Praktek Keagamaan a. Doktrin-doktrin yang ditonjolkanb. Praktek atau amalan-amalan keagamaantertentuc. Relasi doktrin dan praktek keagamaanDengan aksi-aksi radikalisme 03 Basis Sosial a. Latar Belakang Pendidikan b. Latar Belakang Sosial-budayac. Latar Belakang Ekonomi 03 Respons-respons terhadap perubahan sosial-politik-ekonomi a. Respons terhadap keadaan sosial-politik dan ekonomi nasional kontemporer b. Respons terhadap kebijakan politik dan sosial- budaya pemerintah menyangkut Islam politikc. Respons terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yang menguntungkan sekelompok golongan. 04 Jaringan (Networking) a. Pendanaan organisasi b. Hubungan dan kerjasama dengan institusi sosial-keagamaan lain c. Koordinasi pergerakan 05 Aksi Gerakan a. Pernyataan politik/provokasib. Pengrusakan tempat-tempat "maksiat"c. Pengrusakan kantor-kantor pemerintahd. Pengrusakan bangunan-bangunan non- Muslime. Demonstrasi-demonstrasi politisf. Pengerahan massa dengan simbol/atribut agama. g. Keterlibatan dalam konflik antar-agama di beberapa daerah yang sedang bermasalah. 4. Penarikan Sampel Obyek penelitian ini adalah 4 kelompok, yaitu FPI, Laskar Jihad, Laskar Mujahidin Indonesia dan HAMAS. Sampai saat ini belum diperoleh secara pasti jumlah anggota mereka. Dipastikan bahwa masing-masing kelompok memiliki lebih dari 3.000 orang. Diasumsikan pula bahwa jumlah pengurus masing-masing kelompok lebih dari 15 orang. Untuk pengumpulan data tertulis (melalui angket), jumlah responden ditentukan masing-masing kelompok sebanyak 20 orang, sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 80 orang. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling. Agar penyebaran angket sesuai dengan sasaran, Tim Peneliti terlebih dahulu memetakan lokasi yang menjadi "markas" mereka dan menghimpun informasi awal dari pengurus atau eksponen setempat. 5. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis. Data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis atas dasar model-model sosiologis yang ada yang membicarakan nexus antara agama dan modernitas. Dengan pendekatan ini, Tim Peneliti berusaha menelusuri aspek-aspek fenomena radikalisme agama. Dengan pendekatan tersebut, dapat dipetakan profil institusional dari gerakan radikalisme agama, bentuk-bentuk aksi mereka, serta respons terhadap perubahan sosial dan politik. Diharapkan berbagai bentuk aksi sosial politik mereka dapat dijelaskan secara proporsional dan rasional, sehingga diperoleh pemahaman yang memadai tentang fenomena radikalisme agama. 6. Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menetapkan dan merumuskan permasalahan (sesuai dengan ruang lingkup tersebut), kemudian menyusun desain operasional penelitian, termasuk menyusun angket dan pedoman wawancara dan Focused Group Discussion (FGD); b. Bersamaan dengan itu, menelaah bahan-bahan pustaka atau literatur yang relevan dengan masalah penelitian, khususnya mengenai sosiologi yang berkaitan dengan masyarakat Muslim. Seiring dengan kajian pustaka tersebut, Tim Peneliti juga berdiskusi dan berkonsultasi dengan konsultan untuk mendapatkan masukan dan arahan mengenai langkah selanjutnya; c. Menghubungi informan awal untuk mendapat masukan atau informasi awal mengenai obyek yang hendak diteliti; d. Menentukan responden yang diteliti, dibarengi dengan observasi langsung dan penyebaran angket, wawancara mendalam dengan pengurus kelompok dan masyarakat sekitar dan FGD; e. Mengumpulkan dan mengolah data yang diperoleh dari lapangan; f. Menganalisis dan memberikan interpretasi data yang telah diolah dengan analisis statistik; g. Membuat draft laporan sambil mengecek ulang data yang masih belum memadai untuk dilengkapi; h. Mendiskusikan hasil penelitian [sementara] dengan pihak-pihak terkait; sambil menyiapkan laporan akhir i. Pelaporan dan seminar hasil dengan mengundang berbagai pihak terkait dan berkompeten. 7. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 7.1. Observasi Langsung Untuk memperoleh akses langsung terhadap obyek yang diteliti, Tim akan melakukan observasi langsung terhadap "markas" masing-masing kelompok-kelompok dimaksud. Observasi dimaksudkan untuk mendapat informasi awal mengenai profil organisasi, aktor dan pendukung gerakan, doktrin dan praktek keagamaan serta aksi-aksi "politik" mereka, sehingga dimungkinkan adanya kontak dan kerjasama dalam penyebaran angket maupun wawancara dan FGD lebih lanjut. Sedapat mungkin berbagai aktivitas mereka (tabligh, praktek keagamaan, pernyataan politik dan demonstrasi) juga diobservasi. 7.2. Angket Alat ini akan dirancang sedemikian rupa, yakni dalam bentuk isian dan pertanyaan tertutup dan semi terbuka, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang dimuat di dalamnya dapat mengungkap pendekatan pemahaman keagamaan mereka dan korelasinya dengan perilaku sosial politik mereka. Adapun substansi yang hendak diungkap melalui angket itu adalah sebagai berikut: Kisi-kisi Pertanyaan dalam Angket No. Pokok Masalah Kisi-kisi Pertanyaan 1 Identitas Responden Nama, usia, pekerjaan, pendidikan terakhir, status pernikahan, jumlah anggota rumah tangga, status dalam kelompok 2 Doktrin dan praktek keagamaan Makna agama dalam hidup, cara memahami ajaran, orientasi keagamaan, relevansi doktrin dan praktek keagamaan dengan aksi 3 Perubahan sosial-politik Kemiskinan, kesenjangan kaya-miskin, pengangguran, ketidaktersediaan lapangan kerja, ketidakpastian keamanan, politik dan ekonomi, beban sosial, konflik horizontal, dll. 4 Aksi-aksi gerakan Tujuan dan target aksi, visi dan misi aksi, model aksi, jargon aksi (pemberantasan kemaksiatan, misalnya), pernyataan politik, persepsi tentang demokrasi, reformasi dan penegakan hukum, retorika aksi (jihad, misalnya). 7.3. Wawancara Mendalam Alat ini akan digunakan untuk mewawancarai sebagian responden seperti aktor gerakan dan para pendukungnya, agar diperoleh informasi mendalam mengenai pemahaman dan perilaku sosial politik mereka. Wawancara ini akan dilakukan secara terarah dan intensif. Meskipun teknik wawancara digulirkan seperti "bola salju", namun substansi permasalahan tetap mengacu pada pedoman yang telah dirancang. Dalam hal ini, pokok permasalahan yang ditanyakan melalui wawancara adalah berkaitan dengan hal-kisi-kisi pertanyaan dalam angket di atas. 7.4. Focused Group Discussion (FGD) Untuk lebih memperoleh informasi dan data saling melengkapi dan memadai mengenai masalah yang diteliti, tim peneliti akan membentuk grup diskusi terarah yang pesertanya berasal dari keempat kelompok tersebut. Jika memungkinkan, masing-masing kelompok diadakan diskusi secara terarah mengenai orientasi dan substansi gerakan sosial keagamaan dan politik mereka. Posisi tim peneliti di sini adalah sebagai "pemandu" arah diskusi, sedangkan mereka diharapkan menjadi informan, penyampai informasi mengenai kelompok masing-masing. Hasil FGD maupun wawancara dijadikan sebagai data pembanding dan pelengkap data yang diperoleh melalui angket. Selain itu, hasil keduanya juga dijadikan sebagai bahan analisis lanjutan dari hasil analisis statistik korelatif yang didasarkan pada data dari angket. 8. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih setengah tahun, dari bulan Juli hingga Desember 2000 dengan mengambil tempat di wilayah DKI Jakarta. 9. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dan diolah, baik data bibliografis maupun data lapangan, mula-mula akan dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh melalui penyebaran angket akan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, dalam bentuk distribusi-frekuensi, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut: P = F x 100 N Keterangan: P = Persentase F = Frekuensi (jawaban responden) N = Number of case (Jumlah yang memberi jawaban) Melalui penghitungan dengan rumus tersebut akan diketahui persentase dari masing-masing pilihan jawaban yang disediakan dalam angket, sekaligus dapat diketahui kecenderungan umum jawaban responden. Data-data yang diperoleh melalui angket diposisikan sebagai data pendukung dan penguat analisis hasil penelitian ini.

SEJARAH PEMIKIRAN PANCASILA

SEJARAH PEMIKIRAN PANCASILA

Pemikiran Soekarno
      Pemikiran Ir.Soekarno  yang pertama diusulkan dalam sidang BPUKI tanggal 1 Juni 1945  tentang dasar negara Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut:
1.       Nasionalisme (kebangsaan Indonesia)
2.       Internasionalisme (peri Kemanusiaan)
3.       Mufakat (demokrasi)
4.       Kesejahteraan sosial
5.       Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
      Dari kelima rumusan untuk dasar negara Indonesia tersebut kemudian diusulkan agar diberi nama ”Pancasila” atas saran salah seorang ahli bahasa yang merupakan teman beliau. Selanjutnya dari kelima sila tersebut dapat diambil inti sarinya menjadi ”Tri Sila” yaitu: (1). Sosio Nasionalisme yang merupakan sintesa dari Kebangsaan (nasionalisme) dengan Peri kemanusiaan (Internasionalisme), (2). Sosio demokrasi yang merupakan sintesa dari Mufakat (demokrasi), dengan Kesejahteraan sosial,serta (3) Ketuhanan. Selain itu, Soekarno juga mengusulkan bahwa ”Tri Sila” tersebut juga dapat dicari kausa primanya menjadi ”Eka Sila” yang intinya adalah ”Gotong royong”.
      Soekarno mengusulkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau ’Philosophische gronslag’ yang merupakan pandangan dunia setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau ’weltanschauung’ dan di atas dasar itulah kita dirikan negara Indonesia. Pandangan tersebut disampaikan dengan lisan disertai uraian untuk membandingkan dasar filsafat negara ’Pancasila’ dengan ideologi-ideologi besar dunia (liberalisme, komunisme, chauvinisme, kosmopolitisme, San Min Chui dan ideolgi besar dunia lainnya).
Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang dalam lambang Negara kita mempunyai arti yang sangat penting dalam mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia. Namun seiring kemajuan zaman di bidang Informasi, Pengetahuan  dan Tekhnologi ke arah modernisasi zaman globalisasi, kesakralan makna dari semboyan tersebut menjadi luntur.
Semua ide Soekarno tentang persatuan tersebut terkonsentrir di dalam Pancasila, yang menjadi dasar negara RI. Maka uraian mengenai Pancasila akan mendapatkan tempat yang utama. Situasi politik di Indonesia yang sangat rawan akan ancaman disintegrasi bangsa adalah disebabkan karena kekuasaan rezim orde baru yang telah menyelewengkan nilai-nilai Pancasila. Maka mengkaji, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila adalah salah satu usaha penting untuk menghindarkan bahaya disintegrasi bangsa dewasa ini. Fakta historis tanggal 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila harus dijadikan titik tolak dalam mengkaji dan mengamalkan Pancasila, supaya tidak terjadi penafsiran kontroversial tentang hakekat Pancasila yang sebenarnya. Maka sangat penting untuk mengembalikan makna nilai-nilai Pancasila sesuai dengan apa yang digagas oleh Soekarno. Maka dalam mengkaji balik Pancasila, pertama-tama harus kita akui bahwa Pancasila itu digali oleh Soekarno, yang tertuang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI. Sebab dari rumusan tersebut kita akan menemukan inti filsafat Pancasila sebenarnya, yang langsung dari penggalinya yaitu Soekarno.
Mengenai Pancasila, Soekarno selalu menyatakan dirinya hanya sebagai Penggalinya. Tapi sesungguhnya pernyataan itu hanya sebagai pernyataan rendah hati. Yang tepat sesungguhnya Soekarno tidak hanya sebagai penggali, tetapi juga penciptanya. Namun dalam mencipta, Soekarno tidak sendiri dalam mencipta suatu rangkaian dari materi yang beliau temukan menjadi sebuah rumusan yang pada akhirnya dinamakan Pancasila. Ada beberapa tokoh pendiri negeri ini yang ikut dalam merumuskan dasar negara Indonesia.
Sila Kebangsaan (nasionalisme, persatuan Indonesia) adalah hasil godogan soekarno dari rasa kesadaran suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia sebagai kesatuan bangsa Indonesia dengan rasa kesadaran menghargai dan menghormati martabat bangsa lain. Dengan digalinya fakta bahwa di kepulauan Indonesia terdapat suku-suku bangsa yang bermacam-macam, belum bisa menjamin tidak adanya permusuhan antarsuku. Lebih dari itu Nasionalisme dalam filsafat Pancasila adalah Nasionalisme yang berpadu dengan Humanisme, yang oleh Bung Karno disebut sosio-nasionalisme (Ben Anderson menamakannya Nasionalisme Kerakyatan). Jadi jelas bukan nasionalisme sempit yang menuju kepada sovinisme, seperti yang berkembang di Eropa.
Sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat, atau Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan) adalah suatu hasil godogan galian yang berwujud musyawarah dan mufakat yang telah ada berabad-abad di kalangan masyarakat Indonesia dengan falsafah yang mengarah kepada tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat bersama. Maka demokrasi yang demikian itu bukanlah demokrasi yang menjurus ke anarkisme, yang liberal untuk berlomba memupuk kekuasaan dan kekayaan bagi diri sendiri, keluarganya atau kelompoknya, hingga melupakan kepentingan rakyat. Tidak seperti para pejabat saat ini yang menduduki pemerintahan, masih banyak yang memetingkan kepentingan sutu golongan atau pribadinya di atas kepentingan rakyat banyak. Demokrasi berdasarkan filsafat Pancasila oleh Soekarno disebut Sosio-Demokrasi, yaitu Demokrasi yang bersenyawa dengan tuntutan Sila Keadilan Sosial, yang merupakan demokrasi di bidang politik, ekonomi dan budaya. Demikianlah bahan-bahan mentah yang telah digali Bung Karno telah dia masak dengan ‘bumbu-bumbu’: toleransi, persatuan dan cita-cita masyarakat adil makmur sehingga tercipta menjadi Pancasila Dasar Filsafat Negara RI dan pedoman untuk perjuangan persatuan nasional.
Formulasi Pancasila seperti yang diucapkan Bung Karno di BPUPKI diformulasikan di dalam UUD 1945 (dan konstitusi RIS, UUDS NKRI 1950) agak berbeda. Meskipun demikian Pancasila yang tercantum di dalam UUD 1945 (Pembukaan) tidak bisa dikatakan bertentangan dengan Pancasila yang diucapkan Soekarno pada 1 Juni 1945. Hanya dua hal yang menurut pendapat kami harus mendapatkan perhatian bahwa;
1.Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 1945, tetaplah Soekarno sebagai Penggali/Penciptanya.
2.Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 1945 haruslah segala penafsiran dan pengamalannya sesuai dengan yang tersurat dan tersirat di dalam pidato Pancasila Ir. Soekarno.
.
                                      
Pemikiran Hatta
                 Pemikiran mengenai konsep dasar UUD 1945 bagi Negara, Moh.Hatta lebih menitik beratkan pada revolusi Perancis serta Deklerasi Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat. Kedua- duanya adalah sesuatu yang mengutamakan penghargaan terhadap hak-hak Warga Negara dan lebih dekat dengan teori individualistik. Dalam hal bentuk Negara, Moh.Hatta menghendaki bentuk federasi, Moh.Hatta juga lebih suka bentuk pemerintahan republik. Secara tegas Moh.Hatta menentang individualisme tetapi hak-hak manusia yang penting-penting perlu dicantumkan dalam UUD 1945. Menurutnya kalau hak-hak rakyat untuk mengeluarkan suara tidak dijamin maka mungkin akan terjadi disiplin buta, asal ikut pemimpin saja. Moh.Hatta mengusulkan agar hak-hak rakyat dicantumkan dalam UUD 1945, bunyi usulannya yaitu: ”hak rakyat menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul diakui oleh Negara dan ditentukan dengan UU”.Mengenai hubungan antara lembaga tinggi Negara, Moh.Hatta mengusulkan agar para menteri bertanggung jawab pada DPR, agar para menteri betul-betul memegang departemen karena mereka sebagai pemimpin rakyat jangan hanya sebagai pegawai saja. Yang kesemuanya itu sekarang tercantum dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.