Wednesday, April 28, 2010

PERIKATAN PERDATA


Abstrak: Tulisan ini mencoba membedah undang-undang tentang keperdataan yang secara positip berlaku di dua negara yang sama-sama berpenduduk mayoritas muslim, yakni Indonesia dan Maroko. Hanya saja undang-undang keperdataan yang berlaku di Indonesia merupakan warisan dari pemerintah Belanda yang tentu saja merepresentasikan wajah hukum Barat, sedangkan undang-undang keperdataan yang berlaku di Maroko merupakan hasil kodifikasi hukum Islam. Pembedahan dilakukan secara terbatas hanya terhadap ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat sahnya perikatan dalam kerangka melacak eksisnya prinsip-prinsip syar’i> di dalamnya. Hasilnya, KUH Perdata Indonesia dan UU Maroko mencantumkan aspek-aspek yang sama mengenai syarat sahnya perikatan meskipun dengan penempatan urutan yang berbeda, yakni: aspek kesepakatan, aspek kecakapan para pihak untuk membuat perikatan, aspek obyek perikatan yang nyata, dan aspek kausa perikatan yang dibolehkan. Setelah dielaborasi, aspek-aspek yang disebut sebagai syarat-syarat sahnya perikatan tersebut memang dapat ditemukan padanannya dalam syariat Islam, dan dengan demikian tulisan ini menyimpulkan bahwa sepanjang berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, prinsip-prinsip syar’i> ditemukan eksis di dalam kedua undang-undang itu.
Kata Kunci: Prinsip Syar’i>, Perikatan, Perdata.

Pendahuluan
Syariat Islam, seperti yang diyakini kaum Muslimin, adalah syariat paripurna yang mengatur bukan saja hubungan vertikal manusia dengan Allah SWT, melainkan juga hubungan horizontal manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Hanya pada tataran praksis keparipurnaan hukum Islam itu tidak dibarengi dengan upaya-upaya kongkrit agar hukum Islam, khususnya yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (baca: mu’a>malah) lebih aplikatif.
Dalam wacana para fuqaha’ tentang mu’a>malah telah dibahas hal-hal yang berkaitan dengan teori-teori keperdataan, antara lain tentang akad, hak, milik, dan teori-teori lain yang masuk ke dalam bidang perikatan dan perjanjian. Meskipun fiqh mu’a>malah itu selalu berkonotasi ma>liyah, tetapi di berbagai kitab fiqh mu’a>malah teori-teori keperdataan tersebut di atas telah dibahas walaupun masih parsial, sedikit dalam bab muna>kahat dan sedikit pula dalam bab-bab yang lain. Akibat pendekatan para fuqaha’ yang besifat atomistik ini kita sulit menemukan teori hukum Islam tentang perikatan dan perjanjian yang lengkap dimuat dalam satu kitab. Implikasinya, perkembangan hukum Islam menjadi stagnan, meskipun memiliki sumber norma yang kaya sebagaimana terlihat dari kompleksnya persoalan kehidupan yang diatur di dalamnya,.
Dari sudut kodifikasi, perkembangan hukum perdata Islam ―bila dibandingkan dengan hukum perdata Barat― dapat dikatakan ketinggalan. Salah satu alasannya barangkali karena hukum Islam belum menjadi hukum positif di sebagian besar negara Muslim. Padahal banyak prinsip dalam hukum perdata Barat yang telah dikodifikasi secara sistematis itu dapat kita temukan padanannya di dalam kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha’ jauh sebelumnya.
Upaya kodifikasi hukum keperdataan Islam dalam bentuk undang-undang baru dilakukan untuk pertama kalinya oleh pemerintah Turki Usmani pada abad ke-19 setelah mereka mengalami berbagai kendala dalam melakukan transaksi keperdataan dengan negara-negara tetangganya. Melalui program Tanzi>ma>t, yang berlangsung dari tahun 1839-1880, pembaharuan di bidang hukum perdata Islam mulai dilakukan. Hasilnya adalah lahirnya sebuah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang diberi nama Majallat al-Ah}ka>m al-‘Adliyyah.
Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya kodifikasi hukum ini diikuti juga oleh negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Suriah, Irak, Maroko, dan Sudan. Di Indonesia, kodifikasi hukum perdata Islam baru menjangkau bidang-bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Di bidang perikatan dan perjanjian, kodifikasi yang ada adalah KUH Perdata warisan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tulisan ini disandingkan dengan undang-undang perdata Islam Maroko dalam kerangka melacak prinsip-prinsip syar’i> tentang perikatan dan perjanjian di dalamnya.
Prinsip Syar’i> dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko
Kata “perikatan” dan “perjanjian” dalam tulisan ini digunakan dalam makna yang sama dengan kata ‘aqd dalam bahasa Arab. Mengingat luasnya cakupan hukum perikatan dan perjanjian, tulisan ini membatasi diri hanya pada aspek syarat-syarat perikatan dan perjanjian saja.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata Indonesia dinyatakan bahwa untuk sahnya perikatan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Adanya perizinan sebagai kata sepakat secara sukarela dari mereka yang membuat perjanjian (toestemming);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid);
3. Mengenai suatu hal atau obyek tertentu (bepaalde onderwerp);
4. Adanya sebab (kausa) yang dibenarkan (georloofde oorzak).
Di dalam pasal 2 Undang-Undang Perdata Maroko juga dinyatakan 4 syarat yang diperlukan untuk sahnya perikatan, yaitu:
1. Al-Ahliyyah li al-Iltiza>m (Kecakapan untuk membuat perikatan);
2. Ta’bi>r s}ah}i>h ‘an al-ira>dat yaqa’u ‘ala> al-ana>s}ir al-asa>siyya>t li al-iltiza>m (Pernyataan yang jelas/tegas tentang kehendak atas hal-hal pokok dalam perikatan);
3. Syai’ muh}aqqaq yas}luh}u li an yaku>na mah}allan li al-iltiza>m (Adanya sesuatu yang kongkrit yang bisa dijadikan obyek dalam perikatan);
4. Sabab masyru>’ li al-iltiza>m (Sebab/kausa yang disyariatkan untuk perikatan).
Jelas terlihat pada paparan di atas bahwa syarat-syarat sahnya perikatan dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko dapat dikatakan tidak berbeda kecuali dalam susunan atau urutannya saja. Untuk mengetahui prinsip-prinsip syar’i> di dalamnya, syarat-syarat sahnya perikatan dalam kedua undang-undang tersebut akan dianalisis dalam uraian berikut ini.
1. Kesepakatan
Meski berbeda urutannya, KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko sama-sama mencantumkan “kesepakatan” sebagai syarat sahnya perikatan atau akad. Keberadaan syarat ini logis, karena perikatan melibatkan dua pihak yang sama-sama mempunyai kehendak.
Kehendak adalah proses batin yang hanya diketahui oleh masing-masing pihak. Untuk melahirkan kesepakatan, kehendak itu harus dinyatakan. Ketika pernyataan kehendak itu bertemali, dalam arti masing-masing menyatakan kerelaannya untuk menerima kehendak pihak lain, maka lahirlah kesepakatan.
Menurut J. Satrio, pernyataan kehendak dapat dilakukan secara tegas dan dapat pula dilakukan secara diam-diam. Pernyataan kehendak secara tegas bisa dilakukan secara tertulis, lisan, atau dengan tanda.
Jika terjadi perbedaan antara kehendak batin dengan pernyataannya, maka −menurut Teori Kehendak (Wils Theorie)− yang dipegangi adalah kehendak batin, yakni kehendak yang sesungguhnya seperti yang terbetik di dalam hati pihak yang bersangkutan. Tetapi menurut Teori Kepercayaan (Vertrouwens Theorie), yang dipegangi adalah pernyataan eksternal pihak bersangkutan karena kehendak batin hanya bisa diketahui melalui manifestasi eksternal yang dinyatakannya.
Menurut hukum Islam, yang dipegangi adalah kehendak nyata sebagaimana terungkap dalam wujud eksternalnya, bukan kehendak batin yang tersembunyi dalam hati. Kehendak batin tidak dapat berkedudukan sama dengan perbuatan hukum kongkrit, dan perikatan tidak lahir dari sekedar bertemunya niat dari para pihak. Kaidah yang populer di kalangan fuqaha’ menyatakan: “Tiada dinisbatkan suatu pernyataan kepada orang yang berdiam diri saja” (La> yunsabu ila> sa>kitin qawlun). Karena itu, “berjanji akan menjual belum merupakan akad penjualan dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya” (Al-wa’du bi al-bai’ la> yan’aqidu bihi> al-bai’ wala> yalzimu s}a>h}ibahu> qad}a>an). Dalam konteks ini pasal 2 UU Perdata Maroko dengan jelas mepersyaratkan adanya “pernyataan yang tegas tentang kehendak para pihak atas hal-hal pokok dalam pernjanjian.”
Pernyataan yang tegas bisa dilakukan dengan lisan, tulisan, atau isyarat yang dapat dimengerti oleh para pihak. Bila dilakukan dengan lisan, maka menurut hukum Islam ada 2 syarat yang harus dipenuhi. Pertama, “jelas”, dalam arti bahwa kata-kata yang digunakan menunjuk secara jelas pada akad yang dimaksud dan akibat hukum yang dikehendaki. Kedua, “tegas”, dalam arti bahwa pernyataan kehendak itu tidak diembeli dengan hal-hal yang menunjukkan ketidaksanggupan untuk melahirkan akad.
Pernyataan kehendak untuk menyatakan kehendak melahirkan perikatan itu di dalam hukum Islam disebut si>g}}at al-‘aqd atau i>ja>b dan qabu>l. Ib −dalam mazhab Sya>fi’i> dan H{ana>bilah− selalu merupakan pernyataan kehendak dari pihak pertama atau pihak yang memindahkan milik, meskipun munculnya belakangan, dan qabu>l selalu merupakan pernyataan kehendak dari pihak kedua atau pihak yang menerima pemindahan milik, meskipun munculnya lebih dahulu. Sedangkan dalam mazhab H{anafi>, i>ja>b adalah pernyataan kehendak yang muncul lebih dahulu, baik dari pihak pertama maupun pihak kedua.
Pernyataan kehendak melalui tulisan, menurut Sayid Sa>biq, dapat dibenarkan kalau kedua pihak berjauhan tempat atau bisu. Jika kedua pihak berada dalam satu majelis dan tak ada halangan berbicara, maka akad tidak bisa dilakukan dengan tulisan. Seperti ini juga pendapat yang rajih dalam mazhab Sya>fi'i>. Mereka berpedoman pada kaidah: “Yang menjadi pegangan dalam perjanjian adalah maksud dan makna, bukan bunyi dan hurufnya” (al-’ibrah fi> al-‘uqu>d li al-maqa>s}id wa al-ma’a>ni> la> li al-alfa>z} wa al-maba>ni>).
Menurut al-Dardi>ri>, akad dalam jual beli bisa dilakukan dengan ucapan, tulisan, bahkan isyarat. Bahkan akad secara ta’a>t}i> pun sah menurut semua mazhab, kecuali mazhab Sya>fi’i>. Akad ta’a>ti}> adalah akad di mana para pihak menyatakan kehendaknya dengan perbuatan saling memberi (barang dan harga) secara langsung, seperti jual beli di supermarket.
Pernyataan kehendak secara ta’a>t}i> (saling memberi) itu berbeda dengan pernyataan kehendak secara suku>ti (diam). Ta’a>t}i> itu aktif, sedangkan suku>ti pasif. Karena itu pernyataan kehendak secara suku>ti tidak sah untuk i>ja>b, tetapi sah untuk qabu>l karena qabu>l dapat difahami dari sikap diam. Kaidah hukum Islam menyatakan: “Kepada orang diam tak dapat dihubungkan suatu pernyataan, tetapi sikap diam pada saat dibutuhkan adalah keterangan” (La> yunsabu ila> sa>kitin qawlun la>kin al-suku>t fi> ma’rid} al-ha>jat baya>n).
Sikap diam dapat dianggap sebagai pernyataan qabu>l apabila: 1) sebelumnya sudah ada suatu hubungan transaksi ke mana i>ja>b dikaitkan; 2) i>ja>b berisi penawaran yang semata-mata menguntungkan orang kepada siapa i>ja>b diajukan, 3) pembeli diam terhadap klausul yang terdapat dalam daftar harga setelah ia menerima barang dan mengetahui klausul tersebut.
Jadi, menurut hukum Islam, pernyataan kehendak untuk melahirkan perikatan dapat dilakukan dengan cara apa saja yang maksudnya jelas menunjuk pada kehendak membuat perikatan. Dengan demikian, kandungan pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata Indonesia dan pasal 2 ayat (2) UU Perdata Maroko selaras dengan prinsip hukum Islam.
2. Kecakapan
KUH Perdata Indonesia mengatur masalah kecakapan ini dalam pasal-pasal 1329, 1330, dan 1331 sebagai berikut:
Pasal 1329: Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.
Pasal 1330: Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1) Orang-orang yang belum dewasa, 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, 3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Pasal 1331: Orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tidak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan perempuan-perempuan bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu persetujuan.
Sedangkan dalam UU Perdata Maroko, masalah kecakapan ini diatur dalam pasal-pasal 3, 4, 5, 6, dan 10 sebagai berikut:
Pasal 3: Kecakapan perdata seseorang tunduk pada UU Akhwa>l al-Syakhs}iyyah. Dan tiap-tiap orang dianggap cakap membuat perjanjian dan perikatan, selama tidak ditentukan lain oleh undang-undang Akhwa>l al-Syakhs}iyyah.
Pasal 4: Apabila anak di bawah umur dan anak yang kurang sempurna kecakapannya melakukan akad tanpa seizin ayah atau wa>si > nya atau pengampunya, maka keduanya tidak dibebani oleh perjanjian-perjanjian yang dibuatnya, dan keduanya dapat menuntut pembatalan perjanjian dimaksud sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan undang-undang.
Pasal 5: Bagi anak yang belum balig dan anak yang belum sempurna kecakapannya, boleh menarik keuntungan bagi mereka, meskipun tanpa bantuan (izin) dari ayah atau wa>s}i > atau pengampunya. Artinya, keduanya boleh menerima sesuatu pemberian atau kebajikan lainnya yang dapat membuat keduanya kaya, atau membebaskan mereka dari tanggungjawab atau beban apapun.
Pasal 6: Pembatalan perikatan itu boleh dari wa>si >atau dari anak yang belum cukup umur itu setelah ia dewasa, sekalipun anak di bawah umur itu, ketika melakukan akad, menggunakan tipu muslihat untuk meyakinkan pihak lain yang melakukan akad dengannya, bahwa dia sudah dewasa atau dengan cara seolah-olah wa>s}i >nya telah menyetujui atau dia berlagak seperti orang yang telah diizinkan berdagang.
Pasal 10: Pihak-pihak yang telah cakap untuk mengadakan perikatan tidak boleh beralasan atau menuduh pihak lain sebagai kurang cakap untuk mengadakan perikatan.
Yang dimaksud oleh ketentuan dalam pasal 3 UU Maroko tersebut di atas (“kecakapan perdata seseorang tunduk pada UU Akhwa>l al-Syakhs}iyyah”) ialah bahwa kriteria kecakapan untuk melakukan perikatan sama dengan kriteria kecakapan untuk melakukan perkawinan sebagaiman diatur dalam undang-undang Akhwa>l al-Syakhs}iyyah di negara itu.
Jika diasumsikan bahwa usia kecakapan perdata di Maroko itu sama dengan KUH Perdata Indonesia di bidang perkawinan, maka batas usia dimaksud adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.
Dalam hukum Islam, kecakapan itu dibedakan menjadi dua, yaitu kecakapan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah al-wuju>b) dan kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada>’). Dalam konteks pembicaraan ini yang dimaksud dengan kecakapan adalah kecakapan berbuat (ahliyyah al-ada>’). Menurut Abu> Zahrah, ahliyyah al-ada>’ adalah kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Dasar dari kepatutan itu ialah “berakal” dan karenanya kecakapan ini ada yang tidak sempurna dan ada yang sempurna.
Kesempurnaan “akal” adalah acuan kedewasaan. Menurut jumhur fuqaha>’, indikator kedewasaan itu bisa berupa tanda-tanda fisik (ih}tila>m/haid}) dan juga bisa berupa usia, yakni 15 tahun. Dasar penentuan usia 15 tahun adalah riwayat tentang penuturan Ibn ‘Umar bahwa “Rasulullah SAW memeriksanya saat perang ‘Uhud, ketika itu aku berusia 14 tahun, maka beliau tidak mengizinkan aku untuk ikut berperang. Kemudian ketika perang Khandaq, aku diperiksa oleh Rasul SAW. dan aku telah berusia 15 tahun, maka beliau memperkenankan aku.” (Muttafaq ‘alaih)
Fuqaha’ H{anafiyah menetapkan usia 18 tahun bagi pria dan 17 tahun bagi wanita. Dasar penetapan ini adalah tafsiran Ibn ‘Abba>s r.a. terhadap ayat h}atta> yabluga asyuddahu (al-An’a>m ayat 152), yaitu s\ama>niya ‘asyarata sanah. UU Mesir menetapkan 18 tahun sebagai batas kedewasaan atau kecakapan perdata seseorang.
Kendati dimungkinkan ada perbedaan dalam kriteria kongkritnya, tetapi penetapan kecakapan sebagai syarat sahnya perikatan, baik dalam KUH Perdata Indonesia maupun UU Perdata Maroko, adalah sejalan dengan prinsip syar’i>.
3. Kausa Halal
Pasal 1320 KUH Perdata Indonesia menyebut “sesuatu sebab yang halal” sebagai salah satu syarat sahnya perikatan.
Menurut Subekti, kata oorzaak atau causa secara etimologi berarti “sebab”, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan adalah “tujuan”, yakni apa yang dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jadi yang dimaksud dengan “sebab” adalah isi perjanjian, bukan sesuatu yang mendorong atau motif seseorang untuk membuat perjanjian.
Motif, kata Sri Soedewi, adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan kausa adalah tujuan dari suatu perjanjian. Dengan substansi yang sama, Domat dan Pothier mendefinisikan kausa sebagai alasan penggerak yang menjadi dasar kesediaan debitur untuk menerima keterikatannya guna memenuhi isi perikatan. J. Satrio, dengan mengutip Hamaker, mendefinisikan kausa perjanjian sebagai akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan bersama para pihak untuk menutup perjanjian. Al-Sanhu>ri> mendefinisikan kausa sebagai tujuan yang langsung dikehendaki para pihak untuk sampai pada apa yang ada di balik perikatan.
UU Perdata Maroko menyebut sebab atau kausa yang halal dengan sabab masyru>’ li al-iltiza>m, yakni sebab yang disyariatkan bagi perikatan (pasal 2 ayat 4). UU Perdata Maroko mengatur lebih lanjut kausa perikatan ini sebagai berikut:
Perikatan yang tidak memiliki kausa, atau didasarkan pada kausa yang tidak disyariatkan, dianggap tidak pernah ada (tidak sah). Dan kausa yang tidak disyariatkan itu adalah kausa yang bertentangan dengan kesusilaan (al-akhla>q al-h}ami>dah) atau ketertiban umum (al-niz}a>m al-‘a>m) atau undang-undang (al-qa>nu>n) (pasal 62). Setiap perikatan harus memiliki kausa yang realistik (hakiki) dan disyariatkan walaupun tidak disebut atau dinyatakan (pasal 63). Tiap-tiap kausa yang disebut adalah kausa yang hakiki, kecuali ada ketentuan lain (pasal 64). Bila ditetapkan bahwa kausa yang disebut itu tidak hakiki atau tidak disyariatkan, maka bagi pihak yang menuntut bahwa perikatan itu memiliki kausa lain yang disyariatkan, maka ia harus menunjukkan bukti-bukti (pasal 65).
Bertalian dengan pengertian bahwa kausa atau sabab tidak lain adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri, maka ―menurut hukum Islam― tujuan pokok perjanjian itu paling tidak memiliki 3 (tiga) ciri, yaitu:
a. Memiliki karakter obyektif sesuai dengan jenis perjanjiannya dan bersifat tetap (tidak berubah). Kalau tujuan pokok jual beli adalah berpindahnya hak milik atas sesuatu benda dengan kompensasi sejumlah harga, maka ini tidak bisa diubah menjadi ―misalnya― dibayarkannya harga tanpa perpindahan hak milik;
b. Membatasi jenis transaksi. Tujuan pokok jual beli berbeda dengan tujuan pokok sewa-menyewa. Tujuan pokok sewa-menyewa adalah pemindahan milik atas manfaat sesuatu benda yang disewa dengan kompensasi sejumlah harga;
c. Sesuai dengan tujuan syariat, baik dalam perjanjian yang bertujuan ekonomis maupun sosial. Tujuan pokok perjanjian itu tak semata dari kedua belah pihak, melainkan juga dari syariat. Karenanya motivasi para pihak menjadi nomor dua. Perjanjian jual beli ―misalnya― merupakan substansi yang terpisah dari perasaan pihak-pihak dengan aneka motivasinya.
Tujuan pokok perjanjian berkait erat dengan halalnya obyek perjanjian. Jika obyeknya tidak halal, perjanjian itu batal demi hukum dan ―karena itu― tujuan pokoknya tidak dapat direalisasi. Khamr, daging babi atau bangkai adalah barang-barang yang diharamkan oleh syara’ untuk dijadikan obyek perjanjian. Jika barang-barang ini dijadikan obyek perjanjian, maka tujuan pokok perjanjian tidak bisa direalisasi karena perjanjiannya sendiri batal demi hukum. Dalam UU Maroko, prinsip-prinsip syar’i seperti ini dimuat dalam pasal 2 ayat (4), pasal 62, dan pasal 63.
Kausa perjanjian menurut hukum Islam ialah tujuan pokok yang dikehendaki oleh perjanjian untuk dilaksanakan, bukan isi yang dikehendaki oleh para pihak di balik perjanjiannya. Kausa perjanjian jual beli bukan terikatnya penjual untuk menyerahkan barangnya setelah pembeli menyerahkan uangnya, seperti yang selama ini difahami dari hukum Barat, melainkan pemindahan hak milik dengan imbalan berdasarkan hukum syariat.
Tujuan pokok perjanjian itu sendiri merupakan sumber kekuatan mengikatnya perjanjian yang memberi hak kepada penjual untuk menuntut pembeli menyerahkan uangnya, dan memberi hak kepada pembeli untuk menuntut penjual menyerahkan barang yang dijualnya.
Dalam konteks tujuan pokok perjanjian, hak menuntut ini menjadi asas bagi perlindungan syariat dan sumber kekuatan mengikatnya. Jika tujuan pokok tidak ada, maka seorang pembeli, misalnya, tidak bisa menuntut barang walaupun ia telah menyerahkan harganya. Disini kita bisa melihat bagaimana kausa perjanjian dalam hukum Islam diintrodusir dalam UU Maroko melalui Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 63.
Penutup
Dapat disarikan dari uraian di atas bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, KUH Perdata Indonesia dan UU Maroko sama menyebut aspek-aspek yang sama meskipun dengan urutan yang berbeda. Aspek-aspek tersebut adalah: kesepakatan, kecakapan para pihak untuk membuat perikatan, obyek perikatan yang nyata, dan kausa perikatan yang dibolehkan.
Aspek-aspek yang disebut sebagai syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dapat ditemukan padanannya dalam syariat Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkenaan dengan syarat sahnya perikatan, kita mendapatkan prinsip-prinsip syar’i> eksis di dalam KUH Perdata Indonesia dan UU Perdata Maroko. Walla>hu a’lam.

PERIKATAN DALAM HUKUM PERDATA

KAIDAH-KAIDAH PERIKATAN

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah
Filsafat Hukum Keluarga Islam












Dosen Pembimbing:
Imam Mawardi

Disusun oleh:

SYIFAUL

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL AS SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan semaksimal mungkin. Shalawat serta salam tak lupa kita sanjungkan kepada baginda Rasulullah SAW yang menjadi suri tauladan bagi kita dan senantiasa kita harapkan syafaatnya.
Perkembangan ekonomi dalam kehidupan saat ini, menyebabkan banyaknya bentuk yang berpariasi dalam pergulatan ekonomi. Semuanya sudah dipahami bahwasannya ekonomi sangat penting sekali dalam kelancaran kehidupan manusia saat ini. Allah SWT tidak terlalu begitu mengatur bagaimana perkekonomian berjalan, akan tetapi dengan al-qur’an dan hadits yang dirurunkannya memberikan gambaran bagamaimana kaidah-kaidah dasar yang mengharuskan perjalanan ekonomi. Terutama dalam hal ini terkait kaidah-kaidah perikatan dala, islam.
Ucapan terima kasih tak lupa kami sampikan kepada semua pihak yang turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca selalu kami harapkan agar dalam pembuatan makalah kami berikutnya dapat lebih mendekati kesempurnaan.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Amin.
Surabaya, Mei 2009

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengahadapi era globalisasi ini, perkembangan ekonomi islam mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini bisa dilihat baik dalam kajian akademis di perkuliahan seperti pembentukan prodi-prodi ekonomi islam, bahkan suatu institut khusus untuk kajian ekonomi islam. Dalam tataran praktis pun, sekarang bermunculan unit-unit usaha yang berbasis islami, dan dalam perbankan pun bermunculan bank-bank syar’i. Perkembangan ekonomi islam di Indonesia mulai mendapat momentum berarti sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana yang telah direvisi dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan dilengkapi oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Semakin banyaknya ragam pola bisnis berbasis perekonomian syariah maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah menjadi penting diupayakan implementasinya. Bahkan bukan itu saja, tetapi harus mampu juga merespon perkembangan perekonomian dalam dunia maya atau akses internet. Islam, dalam hal ini syariah, memiliki khas sendiri dibanding dengan system perekonomian lainnya, seperti sitem kapitalis atau system sosialis. Perbedaan yang mendasar ini terletak pada dasar-dasar dalam akad atau perikatan terhadap pola ekonomi tersebut.
Dalam kitab-kitab fikih klasik, terbatas sekali pembahasan tentang kaidah-kaidah perikatan ini, dan juga banyak yang bersifat normatif saja, sehingga tidak mampu menanggapi permasalahan ekonomi kontemporer. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan lain supaya hukum islam terkait perikatan ini mampu diimplementasikan dalam kehidupan di era globalisasi ini. Pendekatan itu adalah dengan mengungkap secara filosofis apa yang menjadi dasar atau asas perikatan islam tersebut. Pendekatan ini pun, bukan berarti terlepas dari kaidah-kaidah yang sudah diutarakan para ulama, akan tetapi mencoba ditarik hal yang mendasar dari kaidah yang telah disusun para ulama.

B. Rumusan masalah
Untuk mempermudah membahasan makalah ini, penulis mencoba untuk menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kaidah perikatan dalam islam?
2. Bagaimana hukum perikatan dalam islam?
3. Bagaimana kaidah perikatan dalam islam?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk memahami:
1. Pengertian kaidah perikatan dalam islam
2. Bagaimana hukum perikatan dalam islam
3. Kaidah perikatan dalam islam


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah perikatan (Akad)
Kaidah secara etimologi bermakna “al-asas”, yaitu dasar, asas atau fondasi, yang diatasnya didirikan sebuah bangunan. Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, arti kaidah adalah al-asas, baik sebagai asas yang konkret (inderawi), maupun yang abstrak (ma’nawi).
Sedangkan untuk kata Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan. Dalam kamus munawir, menerjemahkan al-‘aqd sebagai perjanjian/kontra. Secara bahasa akad mempunyai beberapa arti, antara lain :
1. Mengikat (الر بط), yaitu: mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.
2. Sambungan (عقدة) yaitu: sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
3. Janji (العهد) sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an: “ya, siap saja yang menepati janjinya dan takut kepada allah, sesungguhnya allah mengasihi orang-orang yang taqwa (QS. Ali Imran: 76)”
Perkataan ‘aqdu mengacu terjadinya dua perjanjian atau lebih, yaitu bila seseorang mengadakan janjji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah perikatan dua buah janji dari dua orang yang lain mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain, disebut perikatan. Dari uraian ini, dapat dipahami bahwa setiap ‘aqdi mencakup tiga tahap, yaitu: 1) perjanjian, 2) persetujuan dua buah perjanjian atau lebih, 3) perikatan (‘aqdu).
Sedangkan menurut istilah yaitu bertemunya ijab yang diberikan oleh salah satu pihak dengan kabul yang diberikan oleh pihak lainnya secara sah menurut hukum syar’i dan menimbulkan akibat pada subyek dan obyeknya. Hasbi al-Shiddieqiyy dalam bukunya Pengantar Fiqh Mu’amalah, mendefnisikannya sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya kaidah atau asas perikatan (‘aqdu) adalah patokan umum yang dijadikan dasar untuk menetukan hukum bagi persoalan yang belum diketahui tentang suatu perikatan. Sedangkan perikatan sendiri adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya

B. Hukum kontrak/perikatan syari’ah
Menurut Gamela Dewi, dkk dalam bukunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia, mengistilahkan hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dibidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam. Kaidah-kaidah hukum tersebut adalah yang bersumber dari al-qur’an dan al-hadits, maupun hasil penafsiran dari keduanya, serta kaidah-kaidah fikih. Selain itu, dapat juga diambil dari kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun yaitu peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-peraturan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam hukum positif, ada beberapa unsur yang harus ada dalam hukum kontrak, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kaidah hukum
2. Adanya subyek Hukum
3. Adanya prestasi
4. Adanya kata sepakat
5. Adanya akibat hukum
Kemudian berdasarkan dari suatu pengertian akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh akad. Untuk Rukun-rukun akad itu sendiri adalah:
1. ‘aqid, ialah orang yang berakad, baik seorang atau lebih (kolekif)
2. Ma’qud ‘alaih, ialah sesuatu yang diakadkan, baik dalam jual beli, pemberian (hibbah), gadai atau pun hutang.
3. Maudhu’ al-‘aqd, ialah tujuan dari atau maksud pokok mengadalan akad.
4. Shighat al-‘aqd, ialah ijab dan qabul. Pengertian ijab-qabul saat ini adalah bertukarannya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan.

C. Asas-asas perikatan
Dalam Kamus Induk Istilah Ilmiah, kata asas diartikan sebagai dasar, untuk kata asasi diartikan mendasar, prinsipil, fundamental. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Kemudian jika dikaitkan dengan perikatan, berarti kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum perikatan syariah.
Rahmani Timorita Yulianti, dosen UII, memberikan penjelasan terkait dengan asas-asas perikatan terbagi kepada dua klasifikasi. Pertama asas perikatan umum, yang tidak menimbulkan akibat hukum. Kedua asas perikatan khusus, yang menyebabkan akibat hukum.
Adapun asas yang tidak berakibat hukum, dan yang bersifat umum ini adalah sebagai berikut:
1. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Istilah Tauhid (bahasa Arab: توحيد) merupakan konsep monoteisme Islam yang mempercayai bahwa Tuhan itu hanya satu. Tauhid ialah asas Aqidah. Dalam bahasa Arab, "Tauhid" bermaksud "penyatuan", sedangkan dalam Islam, "Tauhid" bermaksud "menegaskan penyatuan dengan Allah".
Tauhid menurut bahasa artinya mengetahui dengan sebenarnya bahwa Allah itu Ada lagi Esa. Menurut istilah, tauhid ialah satu ilmu yang membentangkan tentang wujudullah (adanya Allah) dengan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz (harus), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka yang wajib, mustahil dan jaiz, serta membahas segala hujah terhadap keimanan yang berhubung dengan perkara-perkara sam'iyat, yaitu perkara yang diambil dari Al-Quran dan Hadis dengan yakin.
Dalam kaitanya dengan perikatan, hal ini berarti bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat sehingga setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari pengawasan dan penglihatan Allah SWT dan tidak akan pernah lepas dari ketentuan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya yang disebutkan dalam QS. Al-Hadid (57): 4
                                       
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Kegiatan mu’amalah adalah merupakan perbuatan perjanjian yang tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai Ilahiyah / ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan apa yang telah dilakukan itu. Tanggung jawab yang berupa tanggung jawab kepada masyarakat dan tanggung jawab kepada pihak kedua sebagai refleksi dari habl min al-naas, tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai refleksi dari habl min Allah.
Akibat dari penerapan asas ini dalam kegiatan mu’amalah khususnya perikatan, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah SWT.
2. Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Dalam kamus Hukum, asas kebolehan (mubah) sebagaimana yang dikutip dari Prof. Dr. Abdul Goffur Anshori, SH., M.H., dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia” terbitan Citra Media di Yogyakarta pada tahun 2006 mengatakan bahwa secara prinsip, Islam membolehkan melakukan semua hubungan hukum keperdataan (mu’amalah) sepanjang hubungan itu tidak secara tegas dilarang oleh Al-Quran dan As-Sunah
Hal ini jelas, sebagaimana yang telah kita kenal dalam dunia ushul fiqh adanya sebuah kaidah ushuliyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. Kaidah ushuliyah tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini:
Hadis riwayat Al-Bazar dan At-Thabrani yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.
Hadis riwayat Daruquthni, yang dihasankan oleh An-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan tentang mu’amalah khususnya, adalah boleh atau mubah dilakukan. Namun kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan yang luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah Islam.
3. Asas Keadilan (Al ‘Adalah)
Kata adil merupakan reduksi dari bahasa Arab “ al-adlu”. Dalam Al-Quran kata tersebut disebutkan lebih dari 28 kali baik dalam bentuk perintah atau yang lainnya, namun tiap penyebutanya dalam teks yang berbeda akan memberikan konsekuensi interpretasi yang berbeda pula. Seorang pakar tafsir Indonesia, M.Quraisy Shihab menyebutkan, paling tidak terdapat empat makna untuk makna keadilan. Pertama, adil dalam arti sama. Kedua, adil dalam arti seimbang. Ketiga, adil dalam arti lawan kata dzolim yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang disandarkan kepada Ilahy.
Sebagimana yang disebutkan oleh Allah dalam QS. Al-Hadid (57): 25
         ••  
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf (7): 29
     “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”.
Plato mengatakan bahwa keadilan adalah merupakan kebaikan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional tetapi terdapat dalam tindakan seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan padanya dan sikap menjaga diri dari batas-batas yang ditentukan dan sekuat tenaga berusaha melaksanakan kewajiban sesuai dengan tingkatan dimana dia berada . Sehingga dalam kaitannya dengan perikatan ini, maka dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku adil (benar) dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.
4. Asas Persamaan Atau Kesetaraan
Sesuai dengan naluri manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain dan selalu membutuhkan interaksi social dengan orang lain yang merefleksikan bahwa manusia sebagai individu sosial, sehingga pada hakikatnya hubungan mu’amalah dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun dos sollen yang terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari orang yang lainnya karena masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara para pihak yang satu dengan yang lainnya dalam perikatan, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Tidak diperbolehkan terdapat kezhaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS.al-Hujurat (49): 13
 ••           •      •    
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
5. Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
Sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk berlaku jujur dan selalu menjunjung tinggi kebenaran dalam setiap ucapan maupun perbuatan sehari-hari. Dalam sebuah hadist disebutkan yang intinya menyebutkan bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu : apabila berkata bohong, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya menghianati. Dari hal itu jelas bahwa apabila seorang muslim tidak ingin disebut sebagai seorang munafik maka dia harus berlaku jujur.
Kebenaran dalam perikatan ini lebih mengarah kepada 2 aspek, yang pertama kebenaran substantive dan yang kedua kebenaran esensif yang lebih menitik beratkan pada esensi dari perikatan itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan perikatan, apabila kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak dan kebenaran substantive tidaklah dijunjung tinggi, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. Karena setiap pihak meng-claim kebenaran masing-masing. Allah SWT berfirman dalam QS.al-Ahzab (33): 70
        
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar
Suatu perjanjian perikatan dapat dikatakan benar (esensi) apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
6. Asas Tertulis (Al Kitabah)
Suatu perjanjian apapun itu bentuknya hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan antara kedua belah pihak. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah (2); 282 yang berbunyi :
                
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Bermu’amalah disini ialah seperti jual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Asas tertulis ini dimaksudkan agar bila suatu ketika terjadi persengketaan antara orang yang melakukan perjanjian, maka persengketaan itu bisa diluruskan melalui tulisan yang menerangkan tentang perjanjian yang telah mereka sepakati.
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
Hikmah yang dapat kita ambil dari asas tertulis ini adalah apabila suatu saat terjadi perselisihan antara kedua belah pihak maka dapat dibuktikan dengan bukti tertulis karena perikatan itu merupakan kesepakatan antara dua belah pihak untuk saling memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati bersama. Alat bukti tetulis merupakan alat bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan sampai kapanpun walaupun ada salah satu pihak yang meninggal atau menghilang.
7. Asas Iktikad baik (Asas Kepercayaan)
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik agar saling mendatangkan kemanfaatan bagi kedua belah pihak. Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.
Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma yang objektif.
8. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis secara langsung dan terang. Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti al-Ghazali dan asy-Syatibi merumuskan tujuan hukum Islam berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu melindungi agama, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat diri dan keluarga, serta harta kekayaan.
Perikatan itu memepunyai manfaat untuk untuk memperbaiki hubungan perseorangan atau masyarakat. Perikatan itu harus dengan cara yang halal dan sesuatu yang diperjanjikan memberi manfaat dan bukan merupakan sesuatu yang haram.
Hukum Islam mengadakan aturan-aturan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya agar manusia mendapatkan maksud dan tujuannya tanpa menimbulakn madharat bagi orang lain. Bahkan seharusnya dalam memenuhi kebutuhannya itu hendaknya juga member manfaat kepada sesamanya. Hal ini bisa tercermin dalam juala beli dan tukar menukar. Karena merasa saling membutuhkan maka manusia saling berjual beli ataupun saling menukar mereka tanpa merasa ada yang dirugikan.
9. Asas Tolong Menolong
Dalam perikatan islam asas utamanya adalah tolong menolong. Karena manusia diciptakan dikaruniai nafsu, maka manusia selalu mempunyai keinginan dan kebutuhan berdasarkan nafsunya itu. Dalam memenuhi kebutuhannya itu manusia saling membutuhkan peranan orang lain. Karena tidak mungkin dia berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain maka Allah memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan termasuk juga hal pemenuhan kebutuhan ini.
          
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Asas tolong menolong ini bukan hanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan semata, tetapi juga dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Berbuat baik kepada sesama tentunya akan membuat kita semakin dekat dengan Sang Khaliq. Dengan demikian hubungan horizontal dengan sesama manusia akan terkontrol, begitu juga hubungan vertical dengan Khaliq akan semakin bertambah seiring bertambanhya keimanan kita.
Sedangkan asad yang mengakibatkan hukum dan bersifat khusus, diantaranya:
1. Asas Kerelaan (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Dalam QS. An-Nisa (4): 29 yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan, paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil. Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan al-Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.
Kerelaan ini dinyatakan dalam sebuah kehendak untuk saling memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan bersama. Dengan demikian asas kerelaan ini bisa juga disebut dengan asas konsensualisme. Dalam mu’amalah pernyataan kehendak dan kesepakatan itu dinyatakan dalam sebuah akad.
Terdapat beberapa hadis Nabi yang menyatakan tentang asas kerelaan ini, diantaranya :
عن ابى هريرة رض عن النبى ص م قال لايخترقن اثنان الا عن تراض ( رواه ابو داود والترمذى )
“Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi Saw. bersabda : janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” ( Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi)
قال النبي ص م انما البيع عن تراض ( رواه ابن ماجه )
“Rasulullah bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah)
Sebagai perbandingan asas ini dapat pula di lihat dalam pasal 1320KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belahpihak.

          
    
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
Dalam asas kerelaan ini diartikan dengan kerelaan antara kedua belah pihak untuk melaksanakan perjanjian atau transaksi. Dimana salah satu pihak rela melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya disamping hak yang akan diterimanya kelak setelah kewajibannya dipenuhi. Begitu juga pihak yang satunya rela dengan hak yang akan diterimanya kelak disamping harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu.
2. Asas Perjanjian Itu Mengikat
Asas ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
Perjanjian itu dilakukan oleh dua belah pihak, perjanjian dilakukan dengan menggunakan lafadz atau uacapan yang sharih (jelas), tidak menggunakan kata yang samar sehingga perjanjian ini mengikat kedua belah pihak dan bisa dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai tanpa ada unsur penipuan dalam perjanjian yang telah disepakati.
3. Asas Keseimbangan Prestasi
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Dalam hal ini dapat diberika ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
Asas ini diajukan oleh Herlien sebagai asas penentu keabsahan suatu kontrak. Asas ini diklaim mandiri dan universal.
Undang-undang warisan Belanda memang mengedepankan individualitas. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yang berintikan semangat persatuan. Ciri khas persatuan yang harmonis ini, hanya dapat digali dari nilai-nilai Hukum Adat Indonesia yaitu, agar tercapai peratuan harus ada keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Karena tidak bisa lepas dari masyarakat, perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Keseimbangan tersebut menjadi asasi dari pejanjian, bahkan jauh sebelum orang-orang sadar keberadaannya, asas keseimbangan telah lazim diterapkan.
Keseimbangan menentukan keabsahan perjanjian, janji di antara pihak hanya mengikat sepanjang dilandasi asas keseimbangan hubungan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya. Jadi, penutupan kontrak yang baik adalah jika prestasi yang dijanjikan terpenuhi dan secara umum telah tercipta kepuasan.
4. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang”.
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil (17): 15 yang berbunyi :
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً ﴿١٥﴾
“ ……. Dan tidaklah kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah kami mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu …”.
Selanjutnya dalam surat Al-Maidah (5): 95 yang berbunyi :
عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف
“Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu”.
Dari ayat di atas dapat dipahami Allah dapat mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.
5. Asas Kebebasan Berkontrak
Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk dan isi perikatan tersebut ditentukan ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil bahwa, ”Syari’ah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan syarat sahnya adalah ajaran agama.”
Dalam QS.al-Maidah (5): 1 disebutkan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian”
Dalam asas-asas perjanjian islam dianut apa yang disebut dalam ilmu hukum sebagai “asas kebebasan berkontrak”.
Dalam asas kebebasan berkontrak, dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, sekalipun perjanjian tersebut bertentangan dengan aturan-aturan atau pasal-pasal hukum perjanjian. Misalnya menurut hukum perjanjian, barang yang diperjualbelikan oleh para pihak harus diserahkan di tempat di mana barang tersebut berada pada waktu perjanjian tersebut ditutup. Namun demikian para pihak dapat menentukan lain. Misalnya si penjual harus mengantarkan dan menyerahkan barang tersebut di rumah si pembeli.
Asas kebebasan berkontrak ini dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Menurut Al-Zarqa kebebasan berkontrak itu meliputi empat segi kebebasan yaitu:
1. Kebebasan untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2. Tidak terikat perjanjian kepada formalitas-formalitas, tetapi cukup semata-mata berdasarkan kata sepakat (perizinan).
3. Tidak terikat kepada perjanjian-perjanjian bernama
4. Kebebasan untuk menentukan akibat perjanjian
Asas kebebasan berkontrak sebenarnya jelas diajarkan oleh nash-nash Al-Quran, Al-Hadis dan terdapat pula dalam kaidah-kaidah fiqhiyah. Dengan demikian hadis Amr bin Auf walaupun lemah dari segi sanad, maknanya sesuai dan didukung oleh Al-Quran dan Al-Hadis. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat (1) Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
”Wahai orang-orang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian (Akad)”,
Kata akad dalam ayat ini berbentuk jamak yang diberi alif lam sehingga menjadikannya sebagai lafal umum. Jadi ayat ini mencakup segala macam akad baik yang timbal balik maupun yang sepihak dan semua syarat yang seseorang mengikatkan diri untuk melaksanakannya di masa depan. Sedangkan surat annisa ayat (29) membatasi kebebaan tersebut dalam batas-batas tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil dan hal inilah merupakan ketertiban umum Syara’.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalh yang telah penulis susun, maka dapat disimpulkan bahwasanya:
1. kaidah atau asas perikatan (‘aqdu) adalah patokan umum yang dijadikan dasar untuk menetukan hukum bagi persoalan yang belum diketahui tentang suatu perikatan. Sedangkan perikatan sendiri adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya
2. hukum kontrak syari’ah adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dibidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam maupun perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan hukum islam
3. Asas-asas perikatan dalam islam, terkualilfikasi menjadi dua, yaitu:
a. Asas yang tidak mengakibatkan hukum dan sifatnya umum, diantaranya: asas ilahiyah (asas tauhid), asas kebolehan (mabda al-ibahah), asas keadilan (al-‘adalah), asas persamaan dan kesataraan, asas kejujuran dan kebenaran, asas tertulis (al-kitabah), asas itikad baik (kepercayaan), asas kemanfaatan dan kemaslahatan
b. Asas yang mengakibatkan hukum dan bersifat khusus, diantaranya: asas keralaan, asas perjanjian itu mengikat, asas keseimbangan prestasi, asas kepastian hukum, asas kebebasan berkontrak.


B. Saran
Adapun saran yang bisa penulis sampaikan adalah:
1. Menerapkan semua asas perikatan syari’ah dalam segala bentuk pola ekonomi saat ini.
2. Mengawasi dan merespon perkembangan perekonomian islam, terutama dalam kaitannya dengan perikatan


DAFTAR PUSTAKA
H. A. Jazuli, kaidah-kaidah fikih, cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana, 2007)
Jaih Mubarak, Kaidah Fikih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Jogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah: membahas ekonomi islam, kedudukan harta, hak milik, jual beli, bunga bank, dan riba, musyarakah, ijarah, mudayanah, koperasi, asuransi, etika bisnis dan lain-lain, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
Hasbi al-Shiddieqiyy, Pengantar Fiqh Mu’amalah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
Gemala Dewi dkk , Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
Salim H. S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-4. (Jakarta: Sinar Grafka, 2006)
Dahlan, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah: seri intelektual, (Surabaya: Target Press, 2003)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8. (Jakarta: Raja Grafndo Persada, 2000)
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-asas Perjanjian (akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, (Yogyakarta: LA_RIBA, Jurnal Ekonomi islam, 2008) edisi II No. 1, Juli 2008
http//: www.wikipedia.com diakses pada 24-Mei-2009 pukul 15.00 Wib
Muhammad Syakir Aula, 2004, Asuransi Syari’ah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1. (Jakarta: Gema Insani Press)
A. M. Hasan Ali, 2004, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis dan Praktis, cet. 1. (Jakarta: Prenada Media)
http//: WWW. KAMUSHUKUM.COM diakses pada 24-Mei-2009 pada pukul 15.00 Wib
Imam Musbikin, 2001, Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Ade Farid, dkk,2009, makalah Asas Hukum Manusia dengan Manusia sebagai Makhluk Individu, makalah dalam memenuhi mata kuliyah filsafat hukum islam
Gemala Dewi dkk, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Soedarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
Fathur Rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Ahmad al-Jurjawi, Hikmah At-Tasyri’ Wa falsafatuhu,(Beirut: Dar Fikr, 1994)
M. Hasby ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Isalm, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Fathurrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, 2001, Bandung: Citra Aditya Bakti
WWW.Hukumonline.com


AZAS HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Asas Hukum keluarga Islam berasal dari hukum islam yang bersumber dari kitab dan sunnah yang dikembangkan oleh akar pikiran orang yang memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Asas–asas hukum islam itu banyak, disamping ada yang bersifat umum ada juga yang bersifat khusus terutama dalam hukum keluarga.
Namun demikian yang harus kita ketahui adalah bagaimana kesemua asas itu dapat dijadikan landasan oleh umat islam dalam menjalankan kehidupan keluarga. Para ulama terus mencari hukum-hukum yang tersirat dan tersembunyi serta terus menggali hakikat dibuatnya hukum serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum tersebut. Jika dikaji dengan teliti maka Tujuan Allah menciptakan hukum-hukum itu hanya untuk keselamatan atau kemaslahatan hidup manusia. baik kemaslahatan itu berupa manfaat atau untuk menghindari madharat Bagi kehidupan manusia. hakikat hukum inilah yang terus dijadikan pedoman oleh para ulama dalam mencari tujuan hukum yang bersifat dhanni.
Asas-Asas Hukum keluarga islam merupakan bagian dari hal-hal yang terus digali kaidah dan hikmah di balik wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu kiranya dengan mengetahui lebih dalam tentang asas hukum keluarga islam dapat memberikan pemahaman sekaligus penyadaran tentang hakikat hukum keluarga islam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari landasan diatas maka pemakalah mencoba memaparkan hal hal yang berhubungan dengan Asas-asas hukum islam dan hukum keluarga islam. Dengan rumusan sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Asas-asas?
2. Apakah Asas–asas Hukum Islam?
3. Apa saja asas-asas hukum keluarga Islam?

C. Tujuan Penulisan
Dari tujuan penulisan diatas yang pemakalah harapkan mahasiswa mampu :
1. Memahami pengertian dari Asas–Asas hukum keluarga.
2. Mengetahui Asas-asas Hukum islam
3. Mengamalkan pengetahuan yang telah difahami dalam kehidupan sehari-hari.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas-Asas Hukum Islam
Hukum Islam sebagai mana hukum–hukum yang lain mempunyai asas dan tiang pokok. Kekuatan suatu hukum sukar mudahnya, hidup matinya, dapat diterima atau ditolak masyarakat bergantung kepada asas dan tiang-tiang pokoknya.
Maka asas-asas (dasar-dasar) pembinaan hukum islam yang dikatakan da'aimut tasyri'=tiang-tiang pokok pembinaan hukum, antara lain :

1. Nafyul haraji
Keadaan ini sangat benar diperhatikan oleh pengatur hukum islam atau pembuat hukum islam. Karenanya segala taklif islam berada berada dalam batas-batas kemampuan para mukalllaf. Globalnya bahwa tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia seluruhnya.
Allah berfirman:
        
"dan dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agam suatu kesukaran (Q.S. Al-Haj: 78)"
      
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Albaqarah: 286

Rasulullah SAW bersabda "aku dibangkit membawa agama yang mudah lagi gampang"

"tiadalah disuruh pilih antara dua urusan, melainkan nabi memilih yang lebih mudah diantara keduanya "
Segala hukum islam yang diwahyukan Allah, tidak ada didalamnya sesuatu yang menimbulkan kepicikan yang sukar dipikul manusia.
Allah SWT berfirman:

        
"dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka"(Q.S. Al-A'raf:157.)

hal ini tidak berarti bahwa taklif syar'I tidak mengandung kesukaran sedikitpun, kesukaran yang sedikit itu memanglah suatu ciri khas bagi hukum taklifi para fuqoha' menta'rifkan taklif dengan "mengharuskan sesuatu yang padanya ada yang memberatkan"
maka yang ditiadakan itu, ialah kesukaran yang melebihi batas biasa yaitu yang menghabiskan tenaga sipekerja. Akan tetapi mereka dalam pelaksanaan hukum timbul kesukaran-kesukaran, maka Allah SWT. Mengadakan hukum rukhsoh.
contohnya antara lain ialah: kebolehan kita tidak berpuasa pada waktu sakit, didalam perjalanan, ketika hamil dan menyusui, dan juga kebolehan duduk dalam sholat ketika tidak mampu untuk berdiri.
Sebagaimana sabda nabi "sembahyanglah dengan berdiri jika tidak sanggup maka duduklah"
Diadakan hukum dharurat untuk dipergunakan diwaktu darurat. Meringankan hukum adakalanya dengan mengguggurkan sesuatu hukum, seperti hukum sholat bagi wanita yang menstruasi dan wanita nufasa' (bersalin), adakalanya dengan mengurangi yang diperlukan itu, seperti sholat bagi musafir, atau dengan jalan tarkhis, seperti diperbolehkan minum-minuman mabuk untuk menghilangkan sembatan dikerongkongan, adakalanya dengan menangguhkan pelaksanaan kewaktu yang lain, seperti puasa bagi musafir.
2. Qillatul taklif
Asas kedua dari asas-asas hukum islam, tidak membanyakkan hukum taklif, agar tidak memberatkan mukallaf dan tidak menyukarkan, sebagaimana dikatakan dalam bukunya Ibnur Rochman (hukum islam dalam prespektif filsafat) bahwa hjukum islam adalah hukum yang memberikan perhatian yang penuh kepada manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah dll. sebagaimana firman Allah:

           
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu (Q.S. Al-maidah: 101)

Ayat ini mengharuskan parasahabat menyedikitkan pertanyaan dikala wahyu sedang turun mengenai masalah-masalah yang belum diterangkan hukumnya, agar masalah-masalah itu apabila timbul nanti dapat dihasilkan hukumnya dari Qaidah- Qaidah umum sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Nabi SAW. Bersabda:
ان الله فرض فرائض فلا تضيعوها وحد حدودا فلا تعتدو ها وحرم أشياء فلا تنتهكو ها وسكت عن أشياء رحمةبكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها
" sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu menyia- nyiakannya dan telah membuat bebeapa batasan maka janganlah kamu melanggari batasan-batasan itu dan telah mengharamkan beberapa perkara maka jangnlah kamu melanggarnya allah berdiam dari beberapa perkara, karena rahmatnya terhadap kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari hukum untuk perkara itu"
Dan nabi bersabda pula:
اعظم المسلمين جرما من سأل عن شيء لم يحرم فحرم عليهم من اجل مسئلته (رواه بخاري ة مسلم)
" muslim yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan tentang suatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan perkara itu atas diri umat lantaran pertanyaan dari orang tersebut"
Inilah sebabnya para sahabat dari fuqoha' madinah tidak menyukai pertanyaan tentang masalah-masalah yang belum terjadi.
Dari hadist nabi ini yang diatas memberi pengertian
ّالَاصل في الاشياء الاباحة لا الحظر فلا يحرم الا ما ورد نص بتحريمهَ

"pokok hukum dalam segala perkara ialah boleh, tidak haram karenanya janganlah diharamkan melainkan ada nash yang mengharamkannya"

Diterangkan oleh AL-Qurtubi bahwasannya Umar ra mengutuk orang yang bertanya tentang sesuatu hukum yang belum terjadi.
Segala bentuk perintah dan larangan dalam Al-Quran dapat ditunaikan tanpa menderita kesukaran yang berat. Muamalat-muamalat selain dari yang diharamkan diberrikan kebebasan kepada kita untuk mengerjakan asal sesudah terjadi keridho'an para pihak.
Diwaktu islam lahir ditengah-tengah masyarakat arab yang telah lama bergelimang dalam aneka adat istiadat tentulah adat istiadat itu tidak dapat dihilangkan sekaligus melainkan secara bertahap dan berangsur-angsur seperti pada mulanya orang yang berzina hanya dihukum dengan caci maki kemudian berpindah pada hukum yang agak berat yaitu dengan hukum rajam, begitu juga sholat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatabah, Atha' bahwa pada mulanya sholat difardhukan dua raka'at pagi dan dua raka'at petang, kemudian barulah difardhukan dengan lima raka'at, begitu pula puasa pada mulanya hany difardhukan tiga hari pada tiap bulannya kemudian barulah difardhukan puasa pada bulan ramadhan
3. Seiring dengan kemaslahatan manusia
lantaran inilah ada hukum-hukum yang telah ditetapkan dimansuhkan kembali karena dikehendaki kemaslahatan manusia yang terus berkembang, adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’(tujuan-tujuan syari’) artinya dengan maslahah berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-syari’.
Memperhatikan kemaslahatan kemaslahatan masyarakat dalam urusan muamalat adalah suatu dasar asasi dari pembinaan hukum (syari’) menerangkan illat hukum yang di syariatkan agar-hukum-hukum itu berkisar sekitar ilatnya. dan inti mengingatkan kepada kita keharusan memelihara kemaslahatan tidak membeku pada nash-nash yang terkadang nash-nash itu mengenai orang-orang tertentu atau daerah tertentu.
Ibnu Qoyim berkata: 'Sesungguhnya syariat itu fondasi dan asasnya ialah hikmah dan kemaslahatan hamba dalam kehidupan dunia maupun kehidupan Akhirat.
Hukum islam dihadapkan kepada bermacam-macan jenis manusia dan keseluruh dunia Maka tentulah Pembina hukum memperhatikan kemaslaatan masing-masing mereka sesuai dengan adat dan iklim yang menyelubungi daerah tersebut, jika kemaslahatan-kemaslahatan itu bertentangan satu sama lain, maka pada masa itu didahulukan maslahat umum atau maslahat khusus dan diharuskan kita menolak kemadaratan yang lebih besar dengan mengerjakan kemadharatan yang lebih kecil.
4. Mewujudkan keadilan yang merata
Islam mengajarkan dalam hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ihsan, keadilan yang harus ditegakkan mencakup kedilan terhadap pribadi, keadilan hukum keadilan sosial bermasyarakat dan keadilan dunia.
Manusia didalam hukum islam, sama keadaannya, mereka tidak melebihi karena kebangsaan, karena keturunan karena harta atau karena kemegahan. Tak ada dalam hukum islam penguasa yang bebas dari jeratan undang-undang, apabila mereka berbuat dhalim. Manusia dihadapan Allah adalah sama.
Menurut Mochah Hasan dalam bukunya islam dalam perspektif Sosio cultural, Menyatakan bahwasannya kedudukan manusia adalah sama derajatnya meskipun terdapat stratifikasi sosial, karena hai itu terbentuk karena proses lain dan satu satunya pembedaan dalam agama islam adalah tingkat ketakwaannya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-hujurat ayat 13
 ••           •      •    
Artimya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal QS, Al hujurrat :13
5. Memperbolehkan kita mempergunakan segala sesuatu yang indah.
Didalam kitab Al islam wan Nasriyyah, Muhammad abduh menegaskan bahwasannya islam membolehkan kita mempergunakan segala sesuat yang indah , dibolehkan kita memakai yang indah , dibolehkan kita memakan yang sedap dan lezat asalkan tidak berlebih- lebihan, dengan niat yang baik dan memelihara batas agama. Sebagaiman dalam surat An-Nahl Ayat 14-16 Surat Al a' raf ayat 30,31,32, Yang berbunyi.
                                    •   
Artinya : Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka mendapat petunjuk.(Q.S An-nahal Ayat 14-16)
   •            •                                                 

Artinya :"Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi Telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat" Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui."(Q.S Al A' Raf: 30-32)

6. Menetapkan hukum berdasarkan urf,yang berkembang dalam masyarakat.
Urf adalah Sesuatu yang telah berkembang dan terkenal dalam masyarakat dimana tidak dipandang jijik atau buiruk begitu juga definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Az-Zauhaili bahwa urf adalah sesuatu yuang menjadi kebiasaan masyarakat dan berjalan dalam perbuatan maupun lafadz dan berkembang ditengah-tengah mereka sebagai contoh nafakah seorang istri diukur dengan keadaan dan tempat dimana mereka berada, nafakah istri si A belum tentu sama kadarnya dengan nafakah istri si B.

7. Syara’ yang menjadi sifat dhatiyyah islam.
Syara’ yang menjadi sifat dzatiyah islam kebanyakan hukumnya diturunkan secara mujmal buat memberi lapangan yang luas kepada para failusuf untuk berijtihad dan untuk memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum islam itu menjadi elastis sesuai dengan tabiat perkembangan manusia yang berangsur-angsur, dan sesuai pula dengan jalan yang ditempuh dibidang taklif amali, yaitu Al-Qur’an selalu menghadapkan hukumnya kepada akal dalam artian hukum-hukum itu tidak sekalipun merintangi kekuatan akal atau mengingkari keistimewaan akal . Sebagai mana dalam alqur’an Surat An-Nisa ayat 82
              
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(Q.S. An-Nisa ayat 82)

Dan dalam surat Ali-Imron ayat191

                    • 
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S Ali-Imron Ayat191)

B. Asas –Asas Hukum keluarga Islam

Sebelum membahas lebih dalam tentang asas hukum keluarga islam lebih dahulu akan dijelaskan pengertian asas-Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.
Asas dan dasar hukum perkawinan
1. Sendi-sendi dalam hukum perkawinan
Persoalan keluarga dalam islam biasanya merujuk pada al-Qur’an Surat An-Nissa ayat 1 yang menjelaskan hakikat fitriyyah namun sangat penting dak krusial.
 ••                 •       •     
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanyaAllah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama laindan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.


Ayat tersebut menyeru kepada manusia secara umum karena mereka kembali kepada tuhan yang telah menciptakannya dimna Dialah yang menciptakan mereka dari jiwa yang satu dan darinya allah menciptakan istrinya dan mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.Dari hakikat tersebutlah kita dapat merenungkan beberapa hal
Pertama: Ayat ini memperingatkan manusia akan satu tempat yang merupakan asal dan tempat kembali

Kedua: Menunjukan bahwa seluruh manusia ciptaannya bersatu dalam satu ikatan rahim, bertemu dalam sebuah hubungan kekerabatan dan datang dari sumber dari keturunan yang sama,
Ketiga: Adalah manusia berasal dari satu jiwa dimana akan menjelaskan bahwa adanya jaminan untuk tidak adanya pandangan minor dan merendahkan perempuan, dimana perempuan dengan fitrah dan segala karakteristik dasar yang dimilikinya sama halnya dengan laki-laki
Keempat: Allah menegaskan bahwa basis dan cikal bakal kehidupan manusia adalah keluarga.
Dari sini juga dapat dipahami bahwa pernikahan merupakan kebutuhan naluri yang sangat fitrah dan pada sisi lain merupakan ibadah. Ini dikarenakan manusia sadar akan ketertarikan manusia akan ketrtarikan nya terhadap lawan jenisnya, dari situlah diketahui hikmah penciptaan sesuatu berpasangan adalah ia menciptakan keserasian antara pasangan itu saling memenuhi dan melengkapi kebutuhan fitriah, jiwa dan jasmani.
2. Asas asas dalam hukum perkawinan islam
Manusia memang ditabiatkan ingin kekal hidupnya didunia ini , dan kekekalan itu adalah keturunan ,anak dan cucum oleh karena itu perlu diatur masalah-masalah kekeluargaan Dalam ikatan perkawinan Sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) Antara seorang pria dan seorang wanita menuju kehidupan yang bahagia , terikat dengan adanya Mistaqon Gholidhan., Karenanya islam mengadakan beberapa wasilah yang apbila benar-benar dipeliharakan , maka hidup suami istri itu menjadi kuat dan kekal serta terhindar dari kehancuran , Maka dibutuhkan Asas-asas sebagai pondasi dalam menghindari kehancuran rumah tangga.diantara asas-asasny ialah :
a. Asas kesukarelaan
Asas kesukarelaan Merupakan asas terpenting perkawinan islam. Kesukarelaan itu tidak hanya terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah fihak calon suami istri. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi asasi perkawinan islam.
b. Asas persetujuan kedua belah pihak
Asas ini merupakan konsekuensi logis asas pertama. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus diminta terlebih dahulu oleh wali atau orangtuanya. Menurut sunnah Nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut.
c. Asas kebebasan memilih pasangan
Asas ini juga disebutkan dalam sunnah Nabi. Dicertiakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama jariyah menghadap rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukaianya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya.
Dalam konteks keindonesiaan tidak sedikit umumnya para wanita cenderung diberikan ruang yang sangat sempit untuk menentukan jodohnya, hal ini dikarenakan orang tua yang karena kehendaknya sendiri tidak mau untuk merestui calon suami pilihan anaknya tersebut, banyak factor yang menyebabkan orang tua bersikap demikian diantaranya karena hanya calon suami pilihan anaknya tersebut merupakan seorang yang tidak berada ataupun tukang kuli, lantas dengan alasan yang praktis ini orang tua tidak merestui calon suami pilihan anaknya tersebut, hal ini bertentangan sekali dengan asas kebebasan untuk memilih pasangan.
d. Asas kemitraan suami istri/tolong menolong
Yaitu dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebutkan dalam Al-Quran (Q.S. An-Nisa’: 34)
                                       •     

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.


•         •   •                         •                                 ••   

“ Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tika dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(Q.S Al-Baqarah: 187)

Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal yang lain berbeda: suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung tanggung jawab pengaturan rumah tangga.

e. Asas untuk selama–lamanya
asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta seraya kasih sayang selama hidup. Dalam hal ini disebutkan dalam Al- Quran surah Al-Rum ayat 30,

            ••   •      
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dari asas ini pula maka perkawinan sementara atau yang lebih dikenal sebagai kawin mut’ah yakni kawin untuk bersenang – senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat pada beberapa waktu dahulu pada manyarakat aarab jahiliyah, dilarang oleh Nabi.

f. Asas monogami terbuka
Asas ini dapat dilihat dari al-quran surah an-nisa ayat 129,

           •             
Artinya :Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
                              
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Dalam ayat 3 ini, laki-laki muslim dibolehkan untuk menikahi wanita lebih dari satu orang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, da yang paling pokok adalah untuk dapat berlaku adil kepada wanita–wanita yang dinikahinya, sebagaimana dijelaskan pada ayat 129, bahwa manusia tidak akan mugkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu maka Allah menegaskan bahwa seorang lelaki lebih baik menikah dengan seorang wanita saja. Dengan ini berarti bahwa poligami merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki apabila terdapat hal- hal yang menuntut demikian seperti tujuan pernikahan yang tidak tercapai(tidak memeliki keturunan) atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri.

g. Asas Saling Menghormati

Keluarga merupakan suatu unit terkecil dari suatu Negara yang terdiri dari bapak ibu dan anak, keluarga yang tentram merrupakan idaman semua manusia baik dalam lapisan masyarakat yang taraf hidupnya rendah maupun mereka yang taraf hidupnya tinggi tentunya untuk mendapatkan sebuah keluarga yang tentram tidak serta merta tanpa melalui usaha, sikap pemahaman dan penyadaran akan tanggung jawab masing-masing dari suami istri harus benar-benar disikapi dan disadari oleh mereka.
Dan begitu juga rasa saling menghormati merupakan salah satu tonggak terjaminnya keluarga yang tenteram, sejahtera, mereka harus saling menghormati ketika mereka melakukan peran serta kewajibannya masing-masing salah satu faktor yang menyebabkan runtuhnya sebuah keluarga karena tidak adanya rasa menghormati banyak anak yang berada diluar pengawasan orang tua lantaran ia hanya mementingkan kehendaknya sendiri tidak mau mendengarkan usapan orang tua sehingga ia tidak terurus lantaran tidak mempunya sikap untuk menghormati dan hanya mementingkan kepentingan pribadinya.
Sebagaimana Allah telah memuliakan manusia, menjadi keharusan setiap manusia untuk saling menghormati dan memuliakan, tanpa memandang jenis suku, warna kulit, bahasa dan keturunannya. Bahkan Islam mengajarkan untuk menghormati manusia walaupun telah menjadi mayat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berdiri khusyu’ menghormati jenazah seorang yahudi. Kemudian seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia jenazah yahudi”. Nabi SAW bersabda: “Bukankah dia juga adalah seorang berjiwa ?”. (HR. Imam Muslim). Sebagaimana nabi mauammad
Begitupula Nabi Muhammad selalu bersikap baik hati terhadap keluarganya. Terhadap istri-istrinya, rasulullah tidak pernah kasar sikapnya. Oarng-orang mekkah pada umumnya merasa aneh terhadap prilaku baik seperti itu. Rasulullah mentoleransi perkataan sebagian istrinya yang merasa menyakitkan hati, meskipun perkataan seperti itu tidak disukai oleh istrinya yang lain. Nabi dengan penuh empati mengajak para pengikutnya untuk bersikap baik hati terhadap istri-istri mereka, karena, seperti sering kali diucapkannya, lelaki dan perempuan itu sama-sama memiliki sifat baik dan sifat buruk. Suami tidak boleh Cuma gara-gara kebiasaan istrinya yang tak menyenangkan lalu mencweraikannya. Jika suami tidak menyukai beberapa sifat istrinya, istri tentu memiliki sifat-sifat lain yang menyenangkannya. Dengan demikian urusannya jadi seimbang. Nabi SAW sangat menyayangi anak-anak dan cucu-cucunya. Nabi memperlihatkan rasa cinta dan kelembutan hatinya kepada mereka. Nabi saw. Mencintai mereka, memangku mereka, menundukkan mereka diatas kedua bahunya dan menciumi mereka, semua ini bertentangan dengan adat dan kebiasaan masyarakat arab pada waktu itu.

h. Asas Mu’asyarah bil ma’ruf

Ketika sudah terbentuk keluarga dalam rumah tangga dengan dibuktikan adanya akad perkawinan yang sah maka keduanya harus menegakkan sendi-sendi keluarga dengan mengikat erat dan saling memberi dan menerima. Suami juga harus melaksankan kewajiban dan haknya begitu juga dengan istrinya. Pergaulan yang baik dalam keluarga akan memberikan nilai dan spirit bagi keluarga dalan jangka waktu selanjutnya seperti terbentuknya keluarga sakinah mawaddah dan warahmah yang melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah
Sebagaimana yang diterangkan dalam surat annisa’ ayat 19

                                     
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

disebutkan dalam tafsir Al-Manar mengeanai ayat ini adalah mempergauli istri dengan cara yang ma’ruf yang mereka kenal dan disukai oleh hati mereka serta tidak dianmggap mungkar oleh sayra’ tradisi dan kesopanan. Maka mempersempit nafkaf dan menyakitinya dengan perkataan atau perbuatan atau bermuka masam ketika bertemu mereka maka semua hal itu telah m,enafikan pergaulan secara ma’ruf.
i. Asas Kesetaraan hak dan tanggung jawab

Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami dan istri sama-sama mempunyai hak dan kewajiban, kewajiban istri merupakan hak bagi suami begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat ditemukan dalam surat al-Baqorah ayat 228
                                             

Artinya wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Meskipun demikian, suami mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana di isyaratkan diujung ayat tersebut begitu juga dengan sabda nabi yang artinya “ Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh istrimu dan istrimu mempunyai hak yang harus kamu pikul,” hadis dari amru bin Al -Ahwash

j. Asas regeneratif

Yakni memperbaharui dan melanjutkan keturunan sebagai bagian dari tujuan hukum islam sebagaimana dipertegas dalam surat Annisa’ Ayat 1.
 ••                 •       •     
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu

Dan Dalam Surat An Nahl ayat 72
                      
Artinya: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

3. Tujuan perkawinan dalam islam
Sebagaimana hukum-hukum yamg lain yang dituetapkan dengan tujuan tertentu sesuai dengan tujun terbentuknya demikian pula halnya dengan syariat islam yang mensyariatkan perkawinan denga tujuan trtentu pula. Diantara tujuan itu adalah:
1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan penyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga terbentuk ummat dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 72
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah mengerjakannya
يا معشر الشباب من استطاع منكم البا ءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه ل وجا ء(رواه بخاري ومسلم )

Artinya : Hai sekalian pemuda barang siapa yang telah sanggup diantara kamu untk kawin maka hewndaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghal;angi pandamgan ( Kepada yang dilarang agama ) dan memelihara kehormatan dan barang siaspa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya ( H.R. Bukhori Muslim)

3. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya, adanya rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga Firman Allah SWT Qur-an Surat AR-Rum ayat 21
            ••   •      
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

4. Untuk menghormati sunnah Rasul. Beliau mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari, akan bangun dan beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin. Beliau bersabda : Yang artinya :” Maka barang siapa yang benci kepada sunahku bukanlah ia termasuk umatku “ (H.R bukhari Muslim)
5. Untuk membersihkan keturunan karena keturunan yang bersih dan jelas setatusmya hanya diperoleh dengan perkawinan.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
asas-Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu
asas dalam hukum islam adalah sbagai berikut yaitu: Nafyul haraji, Seiring dengan kemaslahatan manusia, Qillatul taklif, Mewujudkan keadilan yang merata, Memperbolehkan kita mempergunakan segala sesuatu yang indah, Menetapkan hukum berdasarkan urf yang berkembang dalam masyarakat, Syara’ yang menjadi sifat dhatiyyah islam.
Sedangkan asas dalam hukum keluarga islam yaitu: Asas kesukarelaan, Asas persetujuan kedua belah pihak, Asas kebebasan memilih pasangan, Asas kemitraan suami istri/tolong menolong, Asas untuk selama–lamanya, Asas monogami terbuka, Asas Saling Menghormati, Asas Muasyarah bil ma’ruf, Asas Kesetaraan hak dan tanggung jawab, Asas regeneratif.

B. Saran
Dalam makalah ini kami sadari masih banyak kekurangannya Karena tidak ada gading yang tak retak dari itu penulis berharap untuk membaca buku-buku lain yang lebih relevan untuk memahami secara mendalam asas hukum keluarga islam

Daftar Pustaka

Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insane, 1999
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta, Penada Media Th, 2006
Ahmad Eaiz, Dustur Al-Usrah Ei zhilal Al-Qur’an, Bairut Muassasah Ar-Risalah 1983
Drs. M. Ibnu Rochman, M.Ag, hukum islam dalam perspektif filsafat, Yogyakarta: Filosofi pers, 2001
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Filsafat Hukum Islam: Bandung: Pustaka setia, 2008
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam , Jakarta Bulan bintang, 1975
Miftahul huda, Filsafat Hukum Islam Ponorogo, STAIN Ponorogo Press 2006
Murtadha Muthahbari, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: lentera, 2006
Prof. Dr. H. Isma’il Muhammad Syah, S.H., Filsafat hukum islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Prof. Muhammad Abu zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka firdaus, 2005
Prof. H. Muhammad Daud Ali S.H., hukum islam, Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2007
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan , Jakarta , Bulan Bintang :1974
KH. Ahamad Az-zahar Albasyir M.A., pokok-poko persoalan filsafat hukum islam, Yogyakarta, Uii pres yogyakrta, 2006,
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Ushul Al-fiqh Al-Islamiy, Suriyah: Dar Al-fikr. 2006