Sunday, March 28, 2010

polantas

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Penyelanggaraan pemerintahan yang baik merupakan cita­­-cita setiap negara ataupun masyarakat, dalam artian terbebas dari penyimpangan-penyimpangan yang dapat merugikan negara ataupun masyarakat. Dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh sikap dan keinginan para pemegang kekuasaan atau lembaga pemerintahan atau alat perlengkapan negara.

1

 
Dalam tradisi negara demokrasi, telah dikenal tiga pilar pemegang mandat kekuasaan negara, yaitu kekuasaan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan perundangan (legislatif) dan kekuasaan kehakiman (yudikatif). Meski dalam implementasinya di berbagai negara dapat ditemukan berbagai fariasi dan bentuknya, ada yang menggunakan pola pemisahan kekuasaan (separation of power), ada yang menggunakan pembagian kekuasaan (deviation of power), selain itu ada yang menggunakan pola convergence (campuran). Dari berbagai fariasi dan pola tersebut untuk menjalankan kekuasaan negara, ternyata tidak ditemukan pola yang paling unggul. Realitas tersebut menandakan bahwa dalam penyelenggaraan negara tidak semata-mata ditentukan oleh tiga pilar kekuasaan besar itu, tetapi lebih dipengaruhi oleh budaya politik dan budaya demokrasi dari negara yang bersangkutan.[1]

Dalam perkembangan negara demokrasi sekarang, diberbagai belahan dunia dapat ditemukan perkembangan menarik mengingat pilar kekuasaan negara ternyata tidak hanya bertumpu pada konsep “trias politica” saja sebagai “state primery institution” (kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif), tetapi ada keperluan untuk menyelenggarakan kekuasaan lainya yaitu kekuasaan bidang perbantuan (state auxiliary institution) yang bersifat konsultatif, pertimbangan atau kepenasehatan (“konsultative power”) dan pengawasan (“examinative power”).[2]

Dalam teori “catur praja” memunculkan adanya pembagian kekuasaan di dalam menjalankan pemerintahan atau negara, dan menempatkan kekuasaan polisi (kepolisian) dalam suatu kekuasaan tersendiri diluar kekuasaan eksekutif. Munculnya konsep ini, karena tugas dan tujuan pemerintah atau negara tidak lagi membuat dan mempertahankan hukum dan tidak hanya melaksanakan undang-undang atau merealisir kehendak negara, akan tetapi menjadi lebih luas, yaitu untuk menyelenggarakan kepentingan umum, artinya suatu negara dijalankan oleh alat pemerintahan (bestuur orgaan) yang meliputi badan pemerintah yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk bertindak atas nama negara atau pemerintah, dan badan pemerintahan sebagai satu kesatuan hukum yang dilengkapi kewenangan untuk memaksa.[3]

Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali.

Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (cheks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.[4]

Pasca amandemen UUD 1945 menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan jumlah lembaga negara, sistem pemerintahan, sistem peradilan dan sistem perwakilannya. Sejalan dengan itu, muncul lembaga-lembaga dalam bentuk komisi, untuk menjawab tuntutan masyarakat. Pembentukan lembaga-lembaga yang berbentuk komisi ini sangat pesat perkembangannya sepanjang reformasi.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (mains state organs).[5]

 Adapun selain itu, seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, Dewan Pertimbangan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU), dan sebagainya adalah sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies).[6]

Beranjak dari konsep pembagian kekuasaan di atas, lembaga Polisi sebagai fungsi maupun sebagai bagian dari lembaga dalam pemerintahan yang juga memiliki kekuasaan dapat dikaji eksistensinya dalam suatu pemerintahan negara, disamping lembaga-lembaga yang lain, yakni lembaga eksekutif, legislatif maupun yudisiil.

Lembaga Polisi dalam konsepnya lahir dari adanya fungsi kepolisian yang telah ada dalam masyarakat, karena kepentingan dan kebutuhan untuk terpeliharanya dan terjaganya rasa aman, tenteram, keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, membahas Polisi sebagai fungsi maupun organ atau lembaga, tidak dapat dilepaskan dari konsep pemikiran tentang adanya perlindungan hukum bagi rakyat, karena dalam perspektif fungsi maupun lembaga polisi memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman kejahatan dan gangguan yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, tidak tertib dan tidak tenteram.[7] Sebagaimana dalam pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 bahwa fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[8]

Dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi, keberadaan polisi sangat diperlukan. Pada masyarakat demikian sering terjadi pergeseran nilai kehidupan yang mengimbas pada terjadinya penyimpangan perilaku sosial, misalnya kejahatan dengan segala bentuk dan karakternya. Karena itu keberadaan polisi sangat urgen untuk menjaga ketentraman, keamanan dan ketertiban “orde” masyarakat agar tidak rusak perilaku destruktif kaum penjahat.

Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang memandang polisi dengan “sebelah mata”. Polisi dinilai sebuah ancaman bagi keselamatan masyarakat. Hal tersebut tidak terlepas dari perilaku segelintir oknum polisi yang menyakitkan terhadap masyarakat, sehingga pada akhirnya menjadikan pandangan dan penilaian yang sinis oleh masyarakat secara sama rata bahwasanya perilaku Polisi semuanya kurang baik.[9] Masyarakat kerap dikecewakan oleh rendahnya pelayanan/ kinerja, perilaku yang menyimpang, dan penyalah gunaan wewenang oleh aparat kepolisian, dan ironisnya masyarakat kesulitan untuk menyampaikan keluhan dan kekecewaan tersebut kepada pihak yang berwenang dan berkompeten.[10] Contoh sederhana, adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada masyarakat, polisi yang main pukul, dan bahkan tidak jarang melanggar hukum.

Melihat kondisi kepolisian yang seperti ini, maka perlu dibentuk suatu lembaga pengawasan. Hal ini diatur dalam UU RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 37 mengenai adanya  Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas).[11] Pembentukan lembaga baru itu dimaksudkan agar dalam pembuatan kebijakan di bidang kepolisian memperoleh masukan dari unsur masyarakat, serta dapat dapat mengubah wajah kepolisian kita, yakni dapat mengembalikan citra polisi yang masih jelek menjadi polisi yang baik.[12]

Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) merupakan lembaga baru di internal POLRI yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan bertugas memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijaksanaan kepolisian dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian KaPOLRI sesuai amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000. Berkaitan dengan pembentukan lembaga baru tersebut juga diatur fungsi pengawasan fungsional oleh kompolnas terhadap kinerja POLRI sehingga kinerja POLRI dapat dievaluasi dan ditingkatkan.[13]

Sementara dalam kependudukan negara Indonesia adalah mayoritas beragama Islam. Berkaitan dengan hal di atas, hal ini pula menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan Islam, kewenangan peradilan (al-qada) terbagi dalam 3 wilayah, yaitu wilayah al-Mazalim, wilayah al-Qada, dan wilayah al-Hisbah. Wilayah al-Mazalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.[14]

Wilayah al-Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang amar ma’ruf nahi munkar. Tugas ini merupakan tugas fardlu yang harus dilaksanakan penguasa. Oleh karenanya, penguasa harus mengangkat orang-orang yang dipandang cakap untuk tugas ini.[15]

Dasar pendirian lembaga ini adalah firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 104 yang menyatakan:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٠٤)

 Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (Surat Ali Imran: 104).[16]

     

Menurut al-Mawardi hisbah adalah “memerintah berbuat kebaikan jika kebaikan itu ternyata tidak dikerjakan, dan melarang kemunkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemunkaran itu dikerjakan”.[17] Oleh karenanya, menurut teori al-Mawardi, hisbah merupakan salah satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan. Orang yang menjalankan tugas itu disebut Muhtasib atau Wali hisbah atau Nazir fi’l-hisbah.[18]

Dengan keberadaan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) yang semakin kuat landasanya yaitu UU RI No. 2 Tahun 2002, yang kemudian adanya Peraturan Presiden RI Nomor 17 Tahun 2005. Penulis ingin meneliti lebih jauh kedudukan dan fungsinya dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia ditinjau menurut Fiqh siyasah, yaitu dan Wilayat al-Hisbah dalam ketatanegaan Islam, yang mempunyai tugas mengawasi secara langsung pelanggaran hukum. Untuk itu penulis memilih judul Kedudukan Dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional UU No 2/2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden Republik Indonesia No 17 Tahun 2005 Ditinjau Dari Fiqh Siyasah.

 

B.     Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang berdirinya Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam  UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan   Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005?

3. Bagaimanakah Pandangan fiqh siyasah terhadap kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam  UU No. 2 Tahun 2002   tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005?

 

 

C.    Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang hubungan topik yang akan diteliti melalui penelitian kepustakaan (bibliographic research). Dalam kajian pustaka ini, penulis belum menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik membahas mengenai tinjauan UU RI No. 2 Tahun 2002   Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005.

Kajian tentang Komisi Kepolisian Nasional sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Pudi Rahardi dalam bukunya yaitu Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, yang diterbitkan oleh laksbang mediatama, buku ini membahas pentingnya profesional polri serta proses reformasi polri hingga terbentuknya Komisi Kepolisian Nasional.[19]

Kedua adalah buku yang disusun oleh Sadjijono yang berjudul Hukum Kepolisian (Polri dan Good Governance), yang diterbitkan oleh laksbang mediatama, buku ini membahas fungsi kepolisian dalam penyelengaraan pemerintahan yang baik serta kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional.[20]

Ketiga buku yang disusun oleh Zulkarnain dan kawan-kawan yang berjudul Komisi Pengawas Penegak Hukum, yang diterbitkan oleh yappika, buku ini membahas kinerja komisi-komisi penegak hukum di Indonesia dalam mengontrol perilaku pihak-pihak yang diawasi.[21]

Penelitian ini merupakan penelitian yang baru karena penulis belum menemukan pembahasan yang meninjau Kedudukan dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional ditinjau dari fiqh siyasah baik oleh Pudi Rahardi, Sadjijono, maupun Zulkarnain dan kawan-kawan.

 

D.    Tujuan Penelitian

1.      Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia.

2.      Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam  UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan   Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005.

3.      Untuk mengetahui pandangan fiqh siyasah terhadap kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional dalam  UU No. 2 Tahun 2002   tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 17 Tahun 2005.

 

E.  Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik kepentingan teoritis maupun praktis.

Secara Teoritis: Penelitian ini dapat berguna untuk menambah pengetahuan serta memperkaya khazanah keilmuan politik yang berhubungan dengan pemikiran politik Islam. Di samping itu diharapkan juga dapat berguna sebagai acuan kajian ilmiah atau sebagai hipotesis bagi penelitian selanjutnya.

Secara Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan masyarakat, untuk kemudian dijadikan pedoman pertimbangan masyarakat terutama orang muslim di Indonesia tentang fungsi dan kedudukan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) ditinjau dari fiqh siyasah.

 

F.   Definisi Operasional

Untuk memahami judul penelitian ini, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung maka peneliti menguraikan tentang  definisi operasional sebagai berikut:

1.                                                                                                    Fiqih Siyasah      : Merupakan salah satu aspek  hukum  Islam  

yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia  itu sendiri.[22] Yakni lembaga pengawasan dalam ketatanegaraan islam (Wilayah al-Hisbah)

2.                                                                                                          Komisi Kepolisian Nasional :  Merupakan  komisi  negara  yang  berfungsi

membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.[23] Dan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikanya kepada presiden.[24]

3.                                                                                                          Kedudukan  : Posisi suatu lembaga negara yang didasar-

  kan  pada fungsi utamanya.[25]

4.      Fungsi                                                  : Tugas dan wewenang dari lambaga negara[26]

G.   Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara bertahap dengan cara mengakomodasi segala data yang terkait, diantaranya:

             1.           Data yang Dikumpulkan

Dalam penelitian ini data yang dihimpun adalah:

a.       Data tentang latar belakang  terbentuknya Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas).

b.      Data yang berkaitan dengan kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas)

c.       Data yang berkaitan dengan ketentuan Wilayah al- Hisbah tentang kedudukan dan fungsinya sebagai lembaga pengawasan dalam ketatanegaraan Islam.

             2.           Sumber Data

            Data yang diperoleh dalam penulisan skripsi ini dihimpun dari sumbernya yaitu:

a.       Data Primer yaitu:

1.      Al-Quran dan Hadits

2.      UUD Tahun 1945 Pasca Amandemen

3.      UU RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

4.      Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional

b.      Data Sekunder yaitu data yang mendukung dari pada sumber primer yang berupa buku, artikel maupun informasi berkaitan dengan masalah yang dibahas:

1.      Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997

2.      Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah, Terjemahan Rofi’ Munawwar, Surabaya: Risalah Gusti, 1999

3.      Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, terjemahan Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2007

4.      Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007

5.      Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme Reformasi Polri), Surabaya: Laksbang Mediatama, 2007.

6.      Qualita Ahsana Vol. 1 No. 2: Oktober, Nur Mufid, Lembaga-Lembaga Politik Islam Dalam Al-Ahka As-Sultaniyyah Karya Al-Mawardi, Surabaya: Puslit IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1999

7.      Sadjijono, Hukum Kepolisian (Polri Dan Good Governance), Surabaya:  Laksbang Mediatama, 2008.

8.      Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008

9.      Zulkarnain dkk., Komisi Pengawas Penegak Hukum, Jakarta, Yappika, 2007

10.  TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

             3.           Teknik Pengumpulan Data

            Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka yaitu meneliti sumber-sumber pustaka yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode antara lain:

a.       Reading, yaitu dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur yang berkenaan dengan tema penelitian.

b.  Writing, yaitu mencatat data yang berkenaan dengan penelitian.

             4.           Teknik Pengolahan Data

a.       Editing, yaitu pemeriksaan data secara cermat dari kelengkapan referensi, arti dan makna, istilah-istilah atau ungkapan dan semua catatan data yang telah dihimpun .

b.      Pengorganisasian data dengan cara menyusun dengan sistematis sesuai dengan paparan yang sesuai dengan rencana sebelumnya dengan melakukan perumusan deskripsi.

c.       Melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian dengan cara menggunakan kaidah-kaidah dan dalil sehingga diperoleh suatu deskripsi terkait dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

             5.           Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah metode kontent analisis, yaitu suatu metode yang dipergunakan dengan jalan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas dengan menyusun fakta-fakta sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi masalah yang dapat dipahami dengan jelas.

Dalam menganalisis data tersebut pola pikir yang digunakan adalah  pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif  yaitu data yang diperoleh yang bersifat umum yang dianalisis untuk disimpulkan pada keadaan yang lebih khusus dan konkrit. Dalam skripsi ini dimulai dengan mengemukakan Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) secara umum, kemudian memperhatikan permasalahan yang khusus tentang latar belakang, kedudukan dan fungsi Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas) dalam mengawasi kinerja kepolisian kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus menurut fiqh siyasah.

 

H.   Sistematika Pembahasan

         Sistematika pembahasan dibagi menjadi lima Bab. Masing-masing Bab akan diuraikan dalam beberapa Sub Bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam menyusun dan mempelajarinya. Pada akhirnya dapat dicapai sasaran yang sesuai dengan tujuan pembahasan dalam penelitian ini. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I        : Bab ini adalah bagian pendahuluan yang membahas secara garis besar tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II      : Bab ini membahas tentang pengertian, latar belakang, tujuan, kedudukan, tugas  dan wewenang Wilayah al-Hisbah sebagai lembaga pengawasan dalam ketatanegaraan Islam.

Bab III     : Bab ini membahas tentang latar belakang, kedudukan, fungsi dan struktur Komisi Kepolisian Nasional dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2005.

Bab IV   :  Bab ini menjelaskan tentang tinjauan fiqh siyasah terhadap Kedudukan dan Fungsi Komisi Kepolisian Nasional melalui pendekatan analisis Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI Jo Peraturan Presiden  No. 17 Tahun 2005.

Bab V     :  Bab ini Memuat kesimpulan yang merupakan rumusan singkat sebagai jawaban atas permasalahan yang ada dalam penelitian. serta saran-saran yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi ini.

 



[1] Z ulkarnain dkk, Komisi Pengawas Penegak Hukum, h. 1-2 

[2] Sadjijono, Hukum Kepolisian (Polri dan Good Governance), h. 89

[3] Ibid

[4] Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h.1

[5] Ibid. h. 209

[6] Ibid. h. 211

[7] Sadjijono, Hukum Kepolisian, h.90-91

[8] Pasal 2 UU RI  No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[9] Zulkarnain dkk, Komisi Pengawas, h.108

[10] www.endradharmalaksana.com. 14 Nopember 2009

[11] UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[12] Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme Polri dan Reformasi Polri), h. 118.

[13] Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian, h. 38

[14] Hasbi Asshiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 92

[15] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 57

[16] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, h. 79

[17] Imam Al Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, terjemahan Fadli Bahri, h. 398

[18] Nur Mufid, Lembaga-Lembaga Politik Islam Dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah Karya Al-Mawardi, h. 63

 

[19] Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri)

[20] Sadjijono, Hukum Kepolisian (Polri dan Good Governance)

[21] Z ulkarnain dkk, Komisi Pengawas Penegak Hukum

 

[22] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 4

[23] Pasal 38 ayat 1 UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

[24] Ibit ayat 2

[25] Philiphus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, h. x

[26] Ibid , h. x

No comments:

Post a Comment