Monday, March 22, 2010

PROF.DR.KH.ALI MASHAN MUSA.M,Si AGAMA DAN POLITIK TIDAK BISA DIPISAHKA


Substansi memelihara agama adalah dengan memakai pendekatan intrinsik, bukan pada yang ekstrinsik, atau sekedar something to use. Islam artinya kedamaian, yang intinya bagaimana kita berdamai dengan orang lain, bagaimana agar tiap detik kita bisa menyelamatkan orang lain.

Substansi memelihara agama adalah
dengan memakai pendekatan intrinsik, bukan pada yang ekstrinsik, atau sekedar something
to use
. Islam artinya kedamaian, yang intinya bagaimana kita berdamai
dengan orang lain, bagaimana agar tiap detik kita bisa menyelamatkan orang
lain. Semua teladan Nabi Muhammad bertujuan untuk menyelamatkan dan berdamai
dengan orang lain. Demikian sekelumit isi wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan
K.H. Ali Maschan Musa, ketua DPW NU Jawa Timur pada hari Kamis, 22 Agustus
2003.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Pak kyai, tanggal 8 Agustus
lalu, Kapolda Jateng, Irjen Didi Wijayadi MBA menyiarkan pihak kepolisian telah
menemukan beberapa dokumen penting dari 4 anggota Jemaah Islamiyah (JI) yang
tertangkap di Semarang. Dokumen itu mengungkap, sekitar 141 pesantren dan 388 ulama
dan dai di Jawa Tengah menjadi sasaran ajaran dan gerakan JI. Pertanyaan saya, bagaimana
persepsi di bawah, khususnya di kalangan Nahdatul Ulama (NU) sendiri tentang JI?

KH. ALI MASCHAN MUSA: Sejarah membuktikan bahwa di tubuh
NU hampir tidak pernah ada soal keterlibatan dengan urusan yang bersifat
kekerasan, termasuk kalangan pesantren. Dulu, bom Bali yang melibatkan Amrozi,
memang menyebabkan pesantren terkena getahnya, karena Amrozi terhitung dari
pesantren. Hanya saja, kebetulan pesantren yang mengeluarkan Amrozi bukan
pesantren yang berafiliasi dengan NU.

ULIL: Jadi, apakah berita itu
sebetulnya tidak berdampak apa-apa terhadap pesantren?

Menurut saya, sebetulnya temuan
tersebut tidak harus dipublikasikan seperti itu. Yang diperlukan adalah proses dialog
terus menerus antara pihak kepolisian dengan pihak pesantren. Itu yang harus
dijelaskan, agar tidak muncul persepsi bahwa kepolisian ingin memojokkan
pesantren. Persepsi semacam itu berbahaya. Kita memerlukan dialog untuk
persoalan ini.

ULIL: Menurut pengamatan Anda, apakah
ada model pesantren di luar yang kita kenal?

Itu yang sampai sekarang belum
ada rinciannya. Tapi menurut saya, kalau mengikut klasifikasi model lama, hanya
ada model pesantren tradisional dan pesantren modern. Yang tradisional umumnya berada
di bawah naungan NU. Sementara yang modern, seperti Pondok Modern Gontor di
Jawa Timur, tidak berafiliasi ke NU ataupun Muhamadiyah.

ULIL: Apakah ada
perkembangan baru belakangan ini?

Kalau mau
diklasifikasi lebih detail lagi akan ada. Sekarang, nampaknya banyak bermunculan
pesantren model baru yang dikelola oleh para alumni Timur Tengah. Itu
klasifikasi yang saya lakukan secara longgar.

ULIL: Apa perbedaan mereka dengan
pesantren yang ada selama ini?

Kalau peantren yang bernaung di
bawah NU, konsentrasinya tetap seperti dulu juga. Yang diajarkan di sana adalah
ilmu gramatikal Arab seperti nahwu, shorf, fiqih dan tasawuf. Tafsir-hadis
otomatis diajarkan. Sementara pesantren modern, umumnya tidak mengajarkan
kitab-kitab kuning ataupun kitab klasik. Mereka lebih banyak menekankan sisi
pengajaran bahasa, baik Arab maupun Inggris. Pesantren yang dikelola alumni
Timur Tengah itu agak lain lagi. Nampaknya, mereka juga mengikuti perkembangan
kitab-kitab yang diajarkan di Timur Tengah. Memang, sebetulnya belum ada
perincian dan kalkulasi yang baku tentang pesantren yang disebutkan belakangan
ini.

ULIL: Bagaimana dengan perspektif
keislaman yang mereka anut; apakah lebih keras atau bagaimana?

Yang tradisional jelas tidak. Yang
berafiliasi ke NU, biasanya nasionalisme mereka relatif kuat, dan mereka sangat
mengerti konteks sosiologis di masyarakat. Sebab, fikih biasanya sangat akomodatif
dengan konteks lokalitas, khususnya terhadap keputusan publik dari pemerintah. Yang
modern biasanya kuat menekankan pada penguasaan bahasa, khususnya Arab dan
Inggris, seperti Gontor dan pesantren yang menyebut diri sebagai pesantren
modern. Sementara pesantren alumni Timur Tengah ini belum saya ketahui; apakah
mereka lebih keras atau bagaimana. Memang, diperlukan penelitian yang lebih
mendalam tentang itu. Yang jelas, pesantren para alumni Timur Tengah itu punya sisi
pengajaran atau pendapat yang tidak sama dengan pendapat ulama di pesantren umumnya
--untuk tidak mengatakan punya pendapat yang keras.

ULIL: Secara spesifik menyangkut apa
perbedaan itu?

Pertama, soal orientasi
politik, jelas. Kedua, menyangkut sikap dan respon mereka terhadap apa
yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, mereka juga tidak terlalu akomodatif
dengan budaya lokal.

ULIL: Pak kyai, kita tahu, umumnya
pesantren sangat terbuka. Apakah keterbukaan itu tidak memudahkan jalan untuk
disusupi pihak-pihak yang punya “agenda tertentu”?

Ya, memang ada. Tapi sekali lagi,
pertama-tama harus jelas dulu, pesantren dalam klasifikasi yang mana? Di Jawa
Timur, Kapolda tidak sampai menyatakan hal seperti yang dinyatakan Kapolda Jawa
Tengah. Beliau hanya menyarankan agar para pengurus pesantren mendata para
santrinya secara detail. Dan itu sudah kita lakukan. Di lingkungan pesantren NU,
santri yang datang mesti didata secara detail. Jati diri semuanya menjadi
jelas.

ULIL: Apakah para kyai di Jawa Timur
pernah melakukan pertemuan untuk membahas hal-hal seperti ini?

Biasanya, ketika ada isu-isu
seperti itu, kami langsung melakukan koordinasi dengan Kapolda, tidak melakukan
rapat. Kapolda menegaskan bahwa mereka tidak akan mengatakan begitu, dan juga
tidak dalam rangka mewaspadai pesantren. Tapi mereka hanya mengimbau agar
administrasi pesantren ditata lebih jelas. Sebab, peluang-peluang untuk
disusupi itu memang ada. Kalau soal itu, kami kira tidak ada persoalan. Itu
sudah dilakukan oleh pesantren. Artinya, kalau ada santri yang datang, mereka
semua akan didata secara detil dan jelas.

ULIL: Lantas, bagaimana pendapat Anda
sendiri tentang Jemaah Islamiyah?

Menurut saya, sampai sekarang
istilah Jemaah Islamiyah itu masih dalam tanda petik. Jadi, kalaupun mereka ada,
sampai sekarang belum ada penjelasan tentang hakikat Jemaah Islamiyah secara
transparan. Kaitannya selalu saja dengan bom. Memang, menurut saya, kata Jemaah
Islamiyah itu terkadang agak mengaburkan. Orang di bawah mengartikannya sebagai
jemaah Islam, orang Islam itu sendiri. Menurut saya, istilah-istilah seperti
itu perlu dirumuskan ulang. Hanya saja, kita mendukung upaya pemerintah untuk
memberantas terorisme. Kita jelas di belakang mereka.

ULIL: Kalau kita melihat sejarah
gerakan Islam, bukankah tidak bisa diabaikan bahwa sebagian gerakan Islam
memang menganut ideologi yang radikal. Bagaimana tanggapan Anda?

Sejak dulu itu sebenarnya sudah
terjadi. Sejak Indonesia berdiri, sikap mereka terhadap pemerintah, terhadap Presiden
Soekarno memang keras. Jadi sejak dulu memang ada kelompok yang keras dan
kritis kepada pemerintah. Tetapi sekali lagi, gerakan seperti itu
tidak berada pada posisi mainstream.

Tapi untuk
memudahkan, perlu juga dikatakan bahwa hampir di semua agama ada saja kelompok yang
memilih haluan di garis keras. Di agama Islam ada, Kristen ada, Hindu ada, dan
Budha juga ada. Terhadap golongan seperti ini, kami meminta aparat kepolisian
untuk tidak bertindak represif. Mestinya, terhadap kelompok dengan pemahaman
keislaman yang eksklusif dan sektarian ini, kita justru perlu melakukan proses dialog
lebih giat lagi. Polisi semestinya segera mengajak mereka untuk berdialog.
Kalau pihak kepolisian tidak punya pengetahuan keislaman, mereka bisa mengajak
tokoh-tokoh agama yang bersangkutan. Polisi dalam konteks seperti ini, hanya
menyediakan forum saja. Menurut saya, dialog itu penting dari pada melakukan
represi bila sudah terjadi kasus-kasus tertentu.

ULIL: Apakah selama
ini dialog sudah dilakukan?

Hampir tidak ada.
Saya sudah sering menginformasikan kepada kepolisian bahwa mereka yang sangat
sektarian, eksklusif dan kaku itu mesti dirangkul. Di kampus-kampus umum juga
banyak kelompok kajian keagamaan semacam itu. Saya sering mendatangi dan
berdialog dengan mereka.

ULIL: Apakah NU Jawa Timur sudah
mengadakan semacam dialog tersebut?

Secara institusional tidak, tapi
saya pribadi sering berkenan datang bila diundang mereka. Jadi,
kelompok-kelompok yang kecil dan kelihatan eksklusif itu, oleh saya justru
didatangi.

ULIL: Jadi Anda tidak memustahilkan
adanya satu-dua kelompok radikal?

Ya, dan itu sangat kecil menurut
saya. Dan jalan penyelesaian berbagai perkara dengan mereka justru dengan
mengajak dialog. Sebenarnya yang harus diperhatikan oleh pihak kepolisian tidak
hanya kalangan pesantren, tapi juga kalangan yang ada kaitannya dengan
tindak-tindak kekerasan seperti itu.

ULIL: Dilihat dari gejala yang ada,
penyebaran gerakan keras seperti ini, kebanyakan terkonsentrasi di kota-kota,
sementara basis NU ada di pedesaan. Apakah ada perkembangan terbaru menurut
Anda?

Secara umum memang begitu. Tapi kasus pondok Amrozi itu bukan fenomena kota lagi. Itu di kampung.
Jadi sekarang, menurut saya tidak bisa lagi dipisahkan fenomena kota dan desa.
Artinya, orang yang punya paham keras, tidak lagi bisa disebut sebagai fenomena
khas kota ataupun desa.

ULIL: Anda tadi menyebut pesantren
Amrozi yang terletak di Tenggulun. Nah, kalau Anda ingin mengklasifikasi
pesantren seperti ini, di mana letaknya yang tepat kira-kira?

Selama ini, menurut informasi
yang ada, di Jawa Timur memang ada pesantren cabang Ngruki yang didirikan oleh
alumni Nguki dulunya. Termasuk yang di Gresik, ada satu pesantren yang pengelolanya
alumni Ngruki semua. Tapi saya belum bisa mengatakan klasifikasi
itu terletak di mana. Itu klasifikasi yang tidak tiga tadi. Jadi perlu ada
klasifikasi baru lagi.

ULIL: Sekarang banyak pondok pesantren
yang meniru Ngruki, bagaimana sikap Anda?

Kita tidak perlu khawatir bila tiap
ulama, ustadz atau kyai berkeinginan mendirikan pesantren. Di sinilah perlunya
dialog tadi menurut saya. Kita tidak mungkin melarang alumni Ngruki di
mana-mana untuk mendirikan pondok pesantren. Mestinya, dialog dan dialog ini
tetap harus digalakkan menurut saya.

ULIL: Sebagian tokoh Islam, terutama
di Jakarta, nampaknya terlalu defensif dalam menyikapi gerakan radikal semacam
JI. Akibatnya, muncul kesan seolah-olah JI mewakili aspirasi umat Islam,
sehingga jika JI dikritik, seakan-akan seluruh umat Islam terkena getahnya.
Tanggapan Anda?

Memang, sikap orang tak pernah sama.
Menurut saya, kalau faktanya memang ada beberapa pesantren ataupun tokoh Islam yang
berada di posisi garis keras, kita tidak perlu menafikannya. Kita tidak perlu
marah dan kita mestinya melakukan intropeksi. Sebetulnya, kalau dicermati dari
sejarah, kelompok Islam garis keras itu memang sudah ada sejak zaman Rosul.

Orang yang membunuh khalifah
ketiga, Ustman bin Affan, adalah kelompok Islam garis keras, entah yang disebut
Khawarij atau yang lainnya. Dan sejarah membuktikan bahwa kekerasan yang berkedok
agama sering kali karena persentuhan dengan politik.

Menurut kesimpulan saya, jika
agama dan politik bersinggungan, maka selalu saja akan bermuara pada dua hal. Pertama, agama akan dijadikan alat politik. Kedua,
akan terjadi radikalisasi politik atas nama agama. Orang dengan begitu,
bisa membunuh lawam politik demi kepentingan politik, sehingga menghalalkan
segala cara.

Dulu, ketika Khalifah Usman ibn
Affan mengangkat Walid ibn Uqbah dan Saad ibn Abi Waqqas yang nota bene dari
kalangan keluarganya, banyak orang yang marah. Lantas, muncullah sekitar 2000-an
orang yang ingin membunuhnya. Sayyidina Ali dan sahabat lainnya, sebetulnya
juga tidak setuju dengan kebijakan Usman, tapi tidak dengan unjuk kekerasan. Tapi
hasilnya malah seperti itu, Usman benar-benar dibunuh. Sebabnya apa?

Pertama, memang karena
pemahaman keagamaan mereka sangat parsial dan sektarian. Kedua, karena
kepentingan politik memang menghendaki begitu. Manuver mereka dengan menuntut
agar Walid dan Abi Waqas diturunkan, pada intinya punya sasaran lain: ambisi
menggulingkan Usman. Itu adalah kepentingan politik murni.

ULIL: Kalau mengambil sampel zaman modern,
kira-kira kecenderungannya seperti apa?

Saya kira sama. Kalau kita menyatukan
agama dan politik, hasilnya akan tetap seperti itu. Sebab, agama itu pada
intinya spritualitas, sementara politik bertujuan lain dan bersifat profan saja.
Keduanya tak bisa disatukan.

ULIL: Di Mesir kita sudah lama
mendengar tentang Jemaah Islamiyah yang pro kekerasan sebagai pecahan Ikhwanul Muslim.
Tanggapan Anda?

Saya khawatir, gerakan seperti
itu hanya untuk kepentingan-kepentingan politik saja. Jadi, tidak mustahil apa yang
terjadi di zaman khalifah yang tiga itu, sebenarnya juga ada pada kondisi modern
sekarang.

ULIL: Nampaknya, ideologi yang
mendukung radikalisme belakangan semakin laku. Apa penyebabnya menurut Anda?

Di negara kita, saya melihatnya
karena tiga faktor. Satu, karena political uncertainity atau
ketidakpastian politik. Karena tidak adanya ketidakpastian politik, antar
pemimpin juga sering terjadi konflik. Peluang-pelung menguatnya tren seperti
itu, akhirnya semakin terbuka, karena para pemimpin juga tidak bersatu.

Dua, persoalan
ketidakpastian hukum. Kita menyaksiakan belum adanya law emforcement
(penguatan supremasi hukum, Red). Orang menjadi tidak terlalu takut pada hukum,
sebab hukum bisa diatur dan dibeli. Pengadilan juga seperti mesin cuci saja. Tiga,
persoalan recovery ekonomi yang tersendat dan belum jelas. Maka, orang yang
diberi uang 500 ribu rupiah saja, bisa rela hati untuk membunuh.

Jadi, untuk misi pengeboman
misalnya, kita bisa saja memberi seseorang uang 500 ribu rupiah. Kenapa? Karena
mereka butuh uang itu. Kasus-kasus seperti itulah yang dalam konteks yang lebih
lokal, memberi peluang untuk leluasanya gerakan-gerakan radikal dan membuat
mereka lebih laku di pasaran.

ULIL: Tapi, Amrozi dan Imam Samudra
nampaknya yakin betul bahwa apa yang mereka perbuat adalah benar menurut
ideologi yang dia anut. Komentar Anda?

Maka dari itulah, saya menjadi
sangat kuatir. Saya kuatir fenomena ini sama dengan 2000-an orang yang membunuh
khalifah ketiga tadi. Analisis atas penyebab mereka berbuat demikian itu
berkisar antara dua hal. Pertama, karena pemahaman keagamaan mereka yang
parsial. Kedua, karena kepentingan politik saja.

Jadi dalam sejarah, selalu saja ada
kelompok kecil yang memilih haluan hidup di garis keras. Mereka memahami ayat-ayat
dan hadis-hadis secara parsial dan sangat skripturalis. Kalimat “asyiddâ’
‘alal kuffâr”
(yang bermakna tegas terhadap orang-orang kafir, Red)
mereka pahami sebagai anjuran untuk membunuh orang yang kafir. Mereka-mereka
ini tidak melihat konteks sosiologis bagaimana Nabi Muhammad mengaplikasikan
kandungan ayat tersebut di Madinah. Di sana, Nabi juga mengadakan perjanjian dengan
orang Yahudi dan Nasrani yang kemudian melahirkan 47 pasal perjanjian Madinah
(mîtsaqul madînah)
itu. Jadi tidak semua orang kafir harus dikerasi dan dibunuh.
Tidak begitu, kan?

ULIL: Anda sering bertemu kelompok
seperti itu di kampus-kampus. Bagaimana Anda mengahadapi mereka?

Saya selalu memulai dengan
mengatakan bahwa substansi memelihara agama itu, selalu saja dengan pendekatan yang
instrinstik, yang substasial; bukan pada yang ekstrinsik, atau sekedar something
to use
, agama sebagai topeng, untuk kepentingan jabatan ataupun demi prestise
belaka. Islam itu sendiri artinya kedamaian. Jadi, intinya bagaimana kita berdamai
dengan orang lain. Itulah inti Islam. Bagaimana agar tiap detik kita bisa menyelamatkan
orang lain, itulah inti Islam. Kalau berteladan pada Nabi, beliau sendiri tidak
pernah mengatakan bahwa politik saya Islam, misalnya, atau ekonomi saya Islam,
ataupun partai saya Islam. Yang ada, semua ucapan Nabi bertujuan sejauh mungkin
untuk bisa menyelamatkan dan berdamai dengan orang lain.

ULIL: Dilihat dari kasus-kasus yang
ada, mungkin sekarang adalah periode yang sangat sulit bagi umat Islam. Apa
yang ingin Anda pesankan sebagai penutup?

Mari kita mengajarkan Islam
seperti yang pernah dipraktekkan ulama dulu. Yaitu Islam yang substansif. Dimulai
dari garis besarnya, dengan menjelaskan makna iman, Islam, dan ihsan secara
benar. Kemudian barulah kita memerinci kedalam pembahasannya satu per satu.
Jadi yang diajarkan bukan tentang doktrin jihadnya saja, tanpa tahu kaitannya
dengan pokok masalah-pokok masalah yang lain. Saya melihat mereka yang disebut
kelompok garis keras itu memahami agama parsial saja. Jadi sebagai muslim,
bagaimana kita setiap hari menyelamatkan orang lain. Anjurannya adalah
kerahmatan untuk alam semesta, lil ‘âlamîn, bukan hanya untuk orang
Islam saja. Bukan lil muslimîn saja [.]

25/08/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamu’alaikum

Nampaknya perlu klarifikasi antara judul wawancara “Agama dan Politik tak Bisa Dipisahkan” dengan isi wawancara Pak Kyai. Sebab, agama pada intinya adalah spiritualitas, sementara politik bertujuan lain dan bersifat profan saja. Keduanya tak bisa disatukan. Saya mempertanyakan kontradiksi kedua hal di atas, dan mempertanyakan antara ucapan Pak Kyai dan isi wawancara: mana yang benar. Untuk tanggapan, kalau agama intinya cuma spiritualitas dan Islam tidak bisa disatukan dengan hal yang duniawi/profan seperti politik, kenapa Pak Kyai tidak mengiyaskannya juga ke ekonomi yang merupakan urusan dunia dan bersifat profan? Maksudnya, apakah Pak Kyai juga akan mengatakan bahwa Islam tidak bisa disatukan dengan ekonomi? Apakah Pak Kyai juga menafikan sistem ekonomi dalam Islam? Ekonomi kan profan juga?! Bagaimana dengan bab-bab buyu’, tijarah, dll., yang ada dalam kitab-kitab kuning itu? Bagaimana juga dengan bab-bab (kitab) al-hudud dalam kitab-kitab kuning, apakah masih dibaca lagi di pesantren-pesantren NU?
-----

Posted by irfan on 09/19 at 01:09 AM

Assalammu’alaikum

Saya setuju dg pendapat KH.ali maschan musa, kita perlu mengajak dialog dg saudara kita yang berbeda prinsip. Saya kuatir kalau kita biarkan mrk akan akan menjadi alat politik bagi pihak2 yang ingin merusak islam atau pemerintah, yang kedua bisa memperpecah persatuan sesama kaum muslim.

Saya juga ingin memberikan saran kepada PB NU yang notabenya adalah organisasi islam terbesar di indonesia, seharusnya tidak lagi memiliki ponpes tradisional, karena image bahwa ponpes NU adalah ponpes tradisional akan membuat bahwa alumni ponpes NU kurang mengerti tentang perkembangan jaman, dan saran kedua agar para Kyai NU tidak ikut mendukung atau menjadi pelaku politik. Karena saya khawatir kalau para Kyai ikut dalam politik trus siapa yang akan mengawasi pemerintahan. Terima kasih.

Wassalammualaikum

Posted by nur hidayat on 09/18 at 04:09 AM

Mampukah kamu sendiri memberikan tanggapan yang sejuk?!

Kalau belum… jangan harap muslim gemblengan pesantren mampu ‘memperbaiki’ muslim luar pesantren.

Perbaiki diri sendiri, dan serulah orang lain [kalau sudah baik]

ibda’ binafsika, saudaraku!

Posted by Wahyudin on 08/30 at 04:08 AM

Bismillahirohmanirohim

Assalamualaikum wr wb

Dan salam sejahtera untuk semua pengunjung JIL

Baru baru ini di negara saya, Singapura terjadi sedikit kegawatan. Isunya ialah apabila pemerintah ingin melonggarkan berapa Undang-undang mengenai orang orang yang mengamalkan homoseksual.

Cadangan ini telah ditentang dengan keras oleh Majlis Geraja Geraja Kebangsaan Singapura (National Church Council = NCC). Kata mereka ialah dengan melonggarkan berapa Undang-undang keatas pelaku homoseksual, kerajaan telah dengan sendirinya mengikhtiraf homoseksual sebagai satu kebiasaan yang halal dan tidak bertentangan dengan hukum alam.

NCC juga mengatakan, mengikut kitab Bible homoseksual dilarang dan dalam jangka panjang ia merosakan peradabaan manusia dan aturan berumah tangga.

Petisan yang dibuat oleh NCC sebaliknya ditentang bukan oleh agensi kerajaan tapi ditentang hebat oleh gologan sekular. Kata mereka pihak gereja tidak seharus nya mencampuri urusan politik.

Golongan sekular mengatakan pihak gereja harus menghormati kebebasan individu. Soal seks adalah soal individu.

Nah di sini kita harus bertanya kalau urusan politik kita biarkan seratus peratus di urus tanpa ada campur tangan dari hukum agama. Boleh ke manusia itu dapat membezakan yang mana halal dan yang mana haram ? Saya rasa belum tentu boleh. Sebab fitrah manusia itu cenderung pada hawa nafsunya.

Bebalik kepada agama Islam, memang belum terjadi dalam sejarah ada ulama yang mempolori agar Islam itu dipisahkan dari politik. Cuma yang kita lihat apabila orang Islam itu menjadi politikus ia tidak memasukkan Islam dalam pemerintahannya.

Ia mengunakan Islam untuk kepentingan tujuan politiknya. Apabila telah berkuasa ia akan menekan Islam itu sendiri. Sebab itu kita lihat negara negara mayoriti nya orang Islam masih belum mencapai kemajuan.

Dalam Islam tidak ada teori “ give Ceaser what belong to Ceaser dan give God what belong to God”

Dalam Islam, agama dan politik tidak boleh dipisahkan. Kalau dipisahkan akan hancurlah negara dan rosaklah Akidah. Kerana dalam Islam agama itu berarti kehidupan.

Sekian terima kasih

Wassalam Sa’at b Mohamed Singapore.

Posted by Sa'at bin Mohamed on 08/29 at 06:09 PM

Maaf… hanya mau titip tulisan ini… Insya Allah pas dengan topik di atas.

Spiritualitas Politik Oleh:Webmaster pada 27 Agustus 2003>04:33 am CT Sumber: http://www.keadilan.net/spiritualisme.htm

Jika politik di anggap wilayah yang kotor, maka berkecimpung di dalamnya akan berkonsekuensi mengotori spiritualitas (ruhiyah). Tapi, jika politik adalah medan perjuangan dakwah, maka pada saat yang sama ia akan menjadi sarana tarbiyah, termasuk tarbiyah ruhiyah. Sebagaimana pengalaman politik saya bersama PK Sejahtera selama ini.

Keteladanan Aleg Di tengah “keluguan politik “ anggota legislatif (Aleg) PK (sekarang PK Sejahtera) yang seratus persen pendatang baru di dewan, mayoritas mereka - alhamdulillah --telah tampil menjadi simbol kejujuran. Bahkan, sebagian mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk menentang penyimpangan (kasus suap pencalonan Bupati; pengungkapan sogokan DPR Propinsi; dan lain-lain). Sebagian lagi terus memelihara kepekaan terhadap derita kemiskinan rakyat dan kesederhanaan para kader PK Sejahtera. Sehingga setiap kali akan menikmati gajinya dan berbagai fasilitas dewan, yang terbayang adalah kemiskinan masyarakat dan para kader partai. Padahal di depan matanya “uang haram” bernilai puluhan, ratusan juta, bahkan miliaran berseliweran. Dalam sebuah kesempatan mereka berkata pada saya dengan raut kesedihan: “kalau tidak sungguh-sungguh mempertahankan diri, moral antum akan terkotori oleh aleg-aleg korup itu. Ana ingin lihat bagaimana nanti antum jika sudah masuk Dewan, bisa nggak tetap idealis!”. Masya Allah! Laa haula wa laa quwwata illa billah. Nurani saya terhentak atas tausiyah aleg PKS yang Pantang Korupsi Sogokan.

Keteladanan Fungsionaris Saya telah menjadikan beberapa fungsionaris partai di berbagai level sebagai “teladan”. Ada fungsionaris yang sangat produktif, sehingga saya berkeyakinan, partai benar-benar akan kehilangan jika orang-orang seperti ini absen. Ada fungsionaris yang baru masuk menjadi anggota dewasa, tapi komitmen kerjanya melebihi kader ahli. Saya merasakan ikhwah itu seperti menggantikan 2-3 orang fungsionaris yang kerjanya tak optimal. Saya menemukan fungsionaris yang hari-harinya berpikir bagaimana menggerakkan kader lainnya untuk “menjual” partai dari rumah ke rumah. Ia bertekad untuk menularkan semangatnya ke seluruh kader di berbagai DPD. Ada ketua DPD yang ketika masih tak sadarkan diri akibat dibius dalam operasi bedah, mengigau: “Hidup PK Sejahtera!”. Dokter dan bidan yang mengoprasi sang Ketua bertanya keheranan, “Bagaimana cara membentuk kader seperti ini?”. Nurani saya tertegun, malu dan kagum kepada mereka. Mereka sesuai dengan nama PKS, yakni Partai Kader Sejati.

Keteladanan Kader Tim Lajnah Pemilu Pusat (LPP), ketika keliling ke daerah, telah menyaksikan fungsionaris dan para kader menghidupkan jihad maali (tabungan pemilu) di tengah berbagai kendala keuangan mereka. “Cara mereka menabung seperti memeras cucian yang sudah berkali-kali mereka peras, sehingga yang tidak ada lagi air yang menetes. Walau hanya recehan, mereka tetap menyumbang. Bahkan juga sudah pakai menyisihkan beras yang mereka konsumsi, sebagai tambahan tabungan pemilu”, begitu kata pak Razikun, Ketua LPP, menggambarkan kejadian di satu DPW. Cerita-cerita seperti di atas ini yang membuat saya gemetar dan grogi ketika berhadapan dengan ribuan massa ketika peresmian DPW dan DPD di daerah-daerah. Bukan karena tidak punya bahan untuk pidato, saya gemetar dan grogi karena saya yakin sedang berhadapan dengan orang-orang yang sudah berkorban besar untuk jalannya partai dakwah ini. Pada saat yang sama, saya pun merasa terharu ketika melihat mereka “mojok”, memakan bekal perjalanan bersama anak dan istrinya, di bawah pohon dan terik matahari; atau naik motor “butut” bertiga, berempat, bahkan berlima dengan anak-anaknya. Nurani saya bergetar menyaksikan jihad dan romantisme kader PKS. Mereka benar-benar sesuai dengan nama PKS, yakni Partai Kantong Sendiri dan Partai Keluarga Sakinah.

Keteladanan Tokoh Umum & Simpatisan Seorang tokoh nasional menolak ajakan sebuah partai besar untuk bergabung dan menduduki posisi strategis. Ia lebih memilih menjadi kader PK Sejahtera. Sekalipun dengan ini, ia tidak mendapatkan posisi apapun di PK Sejahtera. Itu semua karena panggilan idealismenya. Padahal, tokoh-tokoh yang lain sibuk melakukan intrik untuk duduk di salah satu partai besar itu. Saya mengetahuinya karena sang tokoh itu kebetulan duduk persisi di sebelah saya saat menolak ajakan itu lewat handphonenya. Ketika itu kami sedang diskusi dengan kader PK Sejahtera.

Di sebuah daerah, seorang Aleg DPRD II dari salah satu partai Islam-yang di sana tidak ada Aleg PK Sejahtera - telah rela melepaskan “kursi empuknya”. Semata-mata karena alasan idealismenya. Katanya : “Dewan telah dipenuhi ‘ular’, bukan manusia”. Lalu ia memilih masuk PK Sejahtera.Walaupun dengan ini, belum tentu ia bisa duduk di kursi “empuk” Dewan pada masa berikutnya.

Seorang ulama besar di NTB, yang tidak ada kaitannya dengan PK Sejahtera, bermunajat di depan Ka’bah ketika berhaji. Ia sangat prihatin akan masa depan ummat dan bangsa Indonesia. Ia meminta petunjuk Allah untuk pemilu masa depan. Hingga ia dapatkan keyakinan bahwa ia harus mendukung PK Sejahtera. Ia mendukung partai ini, walaupun tidak ada barter duniawi.

Saya terkagum-kagum, betapa mereka telah mendukung PK Sejahtera tanpa pretensi jabatan duniawi. Mereka ini memahami PKS sebagai Partai Keikhlasan Sanubari.

***

Pengalaman-pengalaman di atas membuat saya merenung. Ternyata kegiatan politik pun dapat memberikan tarbiyah spiritual (ruhiyah) yang luar biasa. Pada saat yang sama, kekuatan spiritual seseorang pun, baru terukur di medan “perang” yang sesungguhnya. Untuk menjadi pedang yang tajam, besi baja harus di panggang dalam bara api dan ditempa palu godam. Apatah lagi untuk masuk surga Ilahi. Allahumma ya muqollibal

Penulis:Al-Muzzammil Yusuf, Wakil Ketua Umum PK Sejahtera

No comments:

Post a Comment