Tuesday, April 27, 2010

TALAK DALAM PERKAWINAN


A. Pengertian dan Dasar Hukum Talak
Ikatan perkawinan yang dibangun oleh pihak-pihak dengan dasar sukarela dalam arti bebas dari paksaan pihak luar, termasuk pihak seperti wali, orang tua ataupun penguasa. Oleh karena itu dalam kondisi tertentu bila ikatan itu tidak bisa dipertahankan, Islam memperbolehkan untuk memutus ikatannya atas dasar kemauan pihak-pihak yang disertai alasan-alasan sesuai dengan ketentuan syara’. Disini suami diberi hak untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan talak.
Kata talak berasal dari bahasa Arab, yaitu “it}la>q” yang artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 117 talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Jadi, talak dapat diartikan dengan menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah ikatan perkawinan tersebut hilang, maka isteri tidak lagi halal bagi suaminya. Talak juga bermaksud mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yaitu dengan berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurang pula jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak tersebut.
Dengan demikian Agama Islam membatasi hak suami untuk menjatuhkan talak kepada isterinya hanya sampai tiga kali. Pada talak satu dan talak dua, suami masih boleh merujuk bekas isterinya tanpa perlu melakukan pernikahan maupun akad nikah baru, asal saja rujuk itu dilakukan dalam ‘iddah wanita tersebut. Apabila perceraian itu terjadi dalam talak tiga, maka suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh mengawini bekas isterinya kembali, kecuali apabila bekas isterinya itu sudah kawin dengan orang lain dan bercerai pula dengan suami yang kedua tersebut. Disamping itu harus pula menunggu habis ‘iddahnya, baru boleh dinikahi kembali.
Dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga ada kemungkinan terjadi salah paham antara suami isteri, misalnya salah seorang atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, atau bahkan tidak saling percaya, dan lain sebagainya.
Namun kita juga diingatkan oleh al-Qur’an untuk bertindak bijaksana dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan dalam kehidupan rumah tangga, bersabar sambil berharap suatu kebaikan akan timbul sesudahnya.
.....فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Apabila kamu tidak senang terhadap isterimu, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak didalamnya” (QS. An-Nisa’: 19)
Adakalanya keadaan tersebut dapat diatasi dan diselesaikan, sehingga hubungan suami isteri baik kembali dan adakalanya tidak dapat diselesaikan atau didamaikan bahkan terkadang menimbulkan kebencian, kebengisan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan isteri. Sehingga melanjutkan perkawinan dalam keadaan demikian akan dapat menimbulkan siksaan bagi salah satu atau kedua belah pihak, bahkan dapat meluas diantara anggota-anggota keluarga yang terbentuk itu.
Untuk menjaga hubungan keluarga agar tidak terlalu rusak dan berpecah belah, maka agama Islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar bagi suami isteri yang telah gagal membina rumah tangganya. Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya, antara famili dengan famili dan dengan masyarakat sekeliling tetap berjalan dengan baik.
Namun bukan berarti bahwa agama Islam menyukainya, tetapi agama Islam memandangnya sebagai suatu yang tidak diinginkan terjadinya karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ الطَّلاَقُ .

“Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. telah bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.”
Oleh sebab itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai “pintu darurat” yang boleh ditempuh, apabila kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya talak atau perceraian, maka diharuskan melakukan usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, dan sebagainya.
Dalam beberapa hal laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan, yang karena beberapa kelebihan itu ia dijadikan pemimpin dalam rumah tangga. Firman Allah:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ...
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas yang lain (perempuan)...” (QS. An-Nisa : 34)
Tugas memimpin keluarga itu memberi wewenang kepada suami untuk menjatuhkan talak kepada isterinya, apabila keadaan menghendakinya. Hal-hal lain yang memberikan hak/wewenang suami menjatuhkan talak kepada isteri ialah:
1. Akad nikah dipegang oleh suami, karena suami yang menerima ijab dari pihak isteri diwaktu dilaksanakan akad nikah.
2. Suami membayar mahar kepada isterinya diwaktu akad dan dianjurkan membayar mut’ah kepada bekas isterinya yang telah ditalaknya.
3. Suami wajib membayar nafkah isterinya dalam masa perkawinannya dan dalam masa isteri menjalankan masa ‘iddah apabila ia mentalaknya.
4. Perintah-perintah mentalak dalam al-Quran dan hadits banyak yang ditujukan kepada suami.
5. Laki-laki lebih menggunakan pikiran dibanding perasaannya dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaan dibanding dengan pikirannya.
Dalam Al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 49, Allah SWT. Menjelaskan orang yang mempunyai hak talak.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ...
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita dan kemudian kamu menceraikannya...” (QS. Al-Ahzab: 49)
Walaupun suami mempunyai hak talak tersebut, namun isteri tidak perlu khawatir apabila suami bertindak sewenang-wenang, karena hukum Islam memberi kesempatan kepada isteri untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau menyerahkan sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi, sehingga atas dasar itu suami menjatuhkan talak.
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 38 dinyatakan bahwa hal-hal yang menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang isteri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan, ada 3 sebab yaitu karena kematian, karena perceraian, dan atas putusan pengadilan. Ketiga macam sebab ini, apabila diperhatikan dari sisi pihak-pihak yang berakad, ternyata bahwa sebab itu ada yang merupakan hak pada pihak suami, ada yang merupakan hak pada isteri, dan ada pula yang diluar hak mereka yakni yang karena kematian dan sebagai sebab atau keputusan pengadilan.

B. Alasan-alasan atau Sebab-sebab Melakukan Perceraian (Talak)
Talak adalah suatu bentuk perceraian yang umum banyak terjadi di Indonesia. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang merupakan Hukum Perkawinan Nasional, tentang putusnya perkawinan ini dijelaskan di dalam pasal 38 yang menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas keputusan pengadilan. Pasal 39 ayat 1 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat 2 bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 39 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara “5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung”.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan, pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya.

Untuk memperkecil atau mempersukar perceraian undang-undang memberi batasan-batasan untuk melakukan, bahwa suami isteri itu tidak akan dapat lagi sebagai suami isteri. Dengan alasan-alasan untuk melakukan perceraian itu, harus pula dikukuhkan oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang beragama lain (PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 1 huruf b).
Dengan ditetapkannya secara limitatif alasan-alasan perceraian, maka tidak dimungkinkan lagi adanya alasan lain yang dijadikan dasar untuk melakukan perceraian. Karena selama ini lebih banyak perceraian dilakukan dengan alasan suami isteri sering cekcok dan tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga seperti alasan huruf f di atas daripada alasan-alasan lainnya. Walaupun ada yang termasuk alasan huruf a atau d, masyarakat lebih sering menggunakan alasan huruf f karena merasa pembuktiannya akan lebih mudah.

C. Macam-Macam Talak ditinjau dari Implikasi (Akibat) Hukumnya
1. Boleh tidaknya rujuk kembali
Secara garis besar ditinjau dari segi boleh tidaknya rujuk kembali, talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. T{alaq Raj’iy
T{alaq raj’iy ialah talak pertama dan talak kedua yang dijatuhkan suami terhadap isteri yang sudah pernah dicampuri dan bukan atas permintaan isteri yang disertai uang tebusan (iwa>d}). Talak tersebut masih memungkinkan suami untuk rujuk kembali kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddah. Berdasarkan firman Allah SWT.:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا.
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu dan bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diijinkan) keluar kecuali kalau mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. At-Thalaq : 1)

Dari ketentuan ayat diatas bahwa isteri-isteri itu hendaklah ditalak ketika suci sebelum dicampuri. Namun apabila suami berkeinginan untuk merujuk kembali, yaitu ketika talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali selama bekas isterinya itu masih dalam masa ‘iddah. Dalam ayat lain Allah berfirman:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ .
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah : 229)

Ayat diatas memberi makna bahwa talak yang disyariatkan oleh Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu per satu, sehingga tidak sekaligus, dan suami boleh memelihara kembali bekas isterinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Sedangkan maksud dari memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya ke dalam ikatan perkawinan dan berhak mencampuri dengan cara yang baik. Sehingga hak merujuk hanya terdapat dalam t}alaq raj’iy saja.
Perempuan yang di-t}alaq raj’iy hukumnya seperti suami isteri, dimana keduanya masih mempunyai hak-hak suami isteri, seperti hak waris mewarisi antara keduanya apabila salah satu diantara keduanya ada yang meninggal sebelum selesainya masa ‘iddah. Sedangkan sementara itu, mahar yang dijanjikan harus dibayar, kecuali sesudah habisnya masa ‘iddah dan si suami tidak berkeinginan mengambil kembali isterinya. Pendek kata, t}alaq raj’iy tidak menimbulkan ketentuan-ketentuan apapun kecuali sekadar ‘iddah dalam talak tiga. Dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 228 diterangkan sebagai berikut:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ ...
“Dan perempuan yang tertalak hendaklah ia menahan diri tiga kali quru’ ...” (QS. al-Baqarah : 228)

Bagi isteri yang ditalak suaminya, dan sudah pernah dicampuri, maka ada beberapa kemungkinan tentang masa ‘iddahnya:
1) Bagi isteri yang ditalak dalam keadaan hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya, yaitu yang dilahirkan benar-benar telah berbentuk janin, meskipun lahir sebelum masanya (prematur), bukan sekedar keguguran yang masih berupa gumpalan-gumpalan darah. Berdasarkan QS. At-T{alaq ayat 4.
وَأُولاَتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. at-T{alaq: 4)
2) Bagi isteri yang masih dapat mengalami haid, ‘iddahnya adalah tiga kali haid, menurut firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ
“Dan perempuan yang tertalak hendaklah ia menahan diri tiga kali quru’ ...” (QS. al-Baqarah : 228)
3) Bagi isteri yang telah berhenti (putus) haid atau perempuan yang belum pernah haid karena masih anak-anak maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. Berdasarkan firman Allah QS. At-thalaq ayat 4.
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاَثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Perempuan-perempuan yang putus haid diantara perempuan-perempuan jika kamu ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Demikian pula perempuan yang tidak berdarah haid.” (QS. At-T{alaq : 4)

Apabila seorang suami telah mengambil keputusan untuk menceraikan isterinya, hendaknya ia menyampaikan hal itu kepadanya dengan cara-cara yang sopan dan bijaksana serta alasan yang tidak menyinggung perasaannya, dan tanpa memarahi atau merendahkannya. Disamping itu, hendaklah suami berusaha menghibur bekas isterinya itu dengan menyediakan “pemberian” (mut’ah) yang kiranya dapat menghiburnya serta dapat mengurangi kegundahan hatinya akibat perceraian tersebut.
Para fuqaha sepakat bahwa perempuan yang sedang dalam ‘iddah t}alaq raj’iy berhak atas nafkah dari bekas suami. Nafkah yang dimaksud disini ialah nafkah seperti yang diberikan sebelum terjadi perceraian. Sedangkan perempuan yang menjalani ‘iddah namun tidak berhak mendapat nafkah, yaitu:
1) perempuan yang menjalani ‘iddah kematian.
2) Perempuan yang menjalani ‘iddah karena suatu perceraian yang wajib dilaksanakan menurut ketentuan syara’, seperti terjadi fasakh karena akad nikah tidak memenuhi syarat-syarat sahnya.
3) Perempuan yang menjalani ‘iddah karena perceraian yang disebabkan oleh isteri dengan jalan yang dilarang syara’, misalnya isteri murtad.
Di dalam KHI terdapat ketentuan pada pasal 152 yang menyatakan bahwa bekas isteri berhak mendapatkan nafkah ‘iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyu>z.
Perempuan yang masih dalam masa ‘iddah t}alaq raj’iy mempunyai beban kewajiban, diantaranya tidak boleh menerima pinangan orang lain, tidak boleh mengadakan akad nikah dengan orang lain, diutamakan berhias di depan bekas suaminya dengan tujuan agar ia dapat menarik perhatian bekas suami untuk merujuknya kembali, juga tidak boleh meninggalkan atau keluar dari tempat tinggalnya kecuali dengan alasan keperluan sesuai ketentuan ayat 1 surat at-T{alaq:
لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“... Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diijinkan keluar kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang terang ...”(QS. at-T{alaq: 1)

Dari ketentuan ayat diatas telah menjelaskan bahwa perempuan dalam masa ‘iddah harus tetap tinggal di rumah yang disediakan bekas suami. Suami tidak boleh menyuruhnya pergi dari rumah, dan perempuan pun tidak boleh keluar atas kehendak sendiri.
Allah juga berfirman dalam surat at-Talaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”(QS. At-T{alaq: 6)


Kewajiban bekas suami untuk memberikan keperluan hidup kepada bekas isterinya ialah bersifat fakultatif. Artinya bahwa pengadilan “boleh” atau “dapat” membebankan kewajiban pada bekas suami untuk memberikan keperluan hidup pada bekas isterinya. Dengan demikian tidak merupakan keharusan, tetapi pengadilan boleh atau dapat menetapkan kewajiban tersebut.
Selain itu, kewajiban suami terhadap hutang baik mahar maupun nafkah yang belum dibayarkan kepada bekas isteri juga harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an yang terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu:
1) Isteri yang dicerai setelah melakukan hubungan suami isteri dan telah ditetapkan mahar baginya. Ini wajib bagi isteri yang telah ditetapkan mahar yang sempurna, dan tidak halal bagi suami sedikitpun dari mahar itu, kecuali atas kebaikan isterinya, atau perceraian terjadi karena sebab yang datang dari isteri, sehingga isteri mengajukan khulu>‘. Berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 229:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ...
“T{alaq (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah ayat 229)
وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (QS. An-Nisa’:19)

2) Isteri yang dicerai sebelum melakukan hubungan suami isteri dan belum ditetapkan (disebutkan) mahar baginya, maka tidak diwajibkan baginya mahar, tetapi yang diwajibkan baginya adalah memberi mut’ah (kompensasi), berdasarkan nash Qur’an yang tertera dalam firman Allah:
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
3) Isteri yang dicerai yang telah ditetapkan baginya mahar tanpa pernah melakukan hubungan suami isteri. Dalam hal ini wajib baginya mendapat setengahnya dari mahar selama perceraian tersebut terjadi bukan karena alasan yang bersumber darinya. Allah SWT telah menjelaskan ketentuan hukumnya dalam firmannya:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu” (QS. Al-Baqarah: 237)
4) Isteri yang dicerai setelah melakukan hubungan suami isteri dan belum ditetapkan mahar atasnya. Dalam hal ini, maka wajib bagi isteri mendapatkan mahar yang sesuai dengannya. Allah SWT telah menjelaskan dalam firmannya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً.
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campur) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” (QS. An-Nisa’: 24)

Rujuk dilakukan sewaktu dalam masa ‘iddah, sehingga apabila ‘iddah sudah lewat, maka hilanglah kesempatan untuk rujuk.
Namun apabila telah habis masa ‘iddah dan bekas suami tidak merujuki bekas isterinya, maka jatuhlah talak yang sebenarnya, bekas suami dan bekas isteri tidak terikat lagi dengan tali perkawinan. Dan hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum t}alaq ba>’in sughra.

b. T{alaq Ba>’in
T}alaq ba>’in ialah talak yang tidak memberi hak rujuk bagi bekas suami terhadap bekas isterinya, (walaupun dalam masa ‘iddah kecuali dengan perkawinan baru), misalnya talak yang belum dukhu>l (menikah tetapi isteri belum pernah disenggamai kemudian ditalak).
Fuqoha sependapat bahwa talak bain terjadi karena belum terdapatnya pergaulan suami isteri karena adanya bilangan talak tertentu, dan karena adanya penerimaan ganti pada khulu>‘.
T}alaq ba>’in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) T}alaq ba>’in Sugra>
T}alaq ba>‘in sugra> ialah talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada isteri yang belum pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan isteri (khulu>’) dengan membayar tebusan (iwa>d}) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada isteri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaannya dan tanpa pembayaran iwa>d}, setelah habis masa ‘iddahnya. Dalam KHI pasal 119 (2) menambahkan bahwa Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama, misalnya fasakh juga termasuk talak bain sughra.
T}alaq ba>‘in sugra> begitu diucapkan dapat memutuskan hubungan suami isteri. Karena ikatan perkawinannya telah putus, maka isterinya kembali menjadi orang asing bagi suaminya. Oleh karena itu ia tidak boleh bersenang-senang dengan bekas isteri itu apalagi sampai menggaulinya. Dan jika salah satunya meninggal sebelum atau sesudah masa ‘iddah, maka yang lain tidak dapat memperoleh warisannya. Akan tetapi pihak perempuan masih berhak atas sisa pembayaran mahar yang tidak diberikan secara kontan, sebelum ditalak atau sebelum suami meninggal sesuai yang telah dijanjikan.
Pemulihan hubungan suami isteri dapat terjadi dengan melakukan perkawinan baru dan dengan akad nikah yang baru pula. Sehingga tidak menghilangkan kehalalan bagi bekas suami untuk menikah kembali dengan bekas isteri.
Melihat dari apa yang termasuk dalam t}alaq ba>‘in sugra> di atas, maka bagi perempuan yang ditalak oleh suaminya sedang ia qabla dukhu>l (belum pernah berhubungan suami isteri) maka ia tidak wajib menjalankan ‘iddah namun ia berhak atas mut’ah (pemberian). Berdasarkan firman Allah dalam surat al ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakan. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Ahzab:49)

Selain mempunyai hak, perempuan yang masih dalam masa ‘iddah talak bain juga mempunyai kewajiban yang sama seperti kewajiban perempuan dalam masa ‘iddah t}alaq raj’iy. Begitu juga dengan hutang baik mahar maupun nafkah yang lampau tetap harus dibayar oleh bekas suami sesuai dengan ketentuan yang ada pada t}alaq raj’iy.
2) T}alaq Ba>’in Kubra>
T{alaq ba>’in kubra> ialah talak yang ketiga kalinya dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali bekas isterinya, baik di dalam maupun sesudah masa ‘iddahnya habis. Kecuali apabila pernikahan dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan laki-laki lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhu>l dan habis masa ‘iddahnya (KHI pasal 120).
Allah SWT berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah : 230)

Para ulama madzab sepakat bahwa, perempuan yang dirujuk itu hendaknya berada dalam masa ‘iddah dari t}alaq raj’iy. Dengan demikian, perempuan yang ditalak bain, sekalipun belum dicampuri maka tidak boleh dirujuk, sebab perempuan tersebut tidak mempunyai ‘iddah. Juga tidak diperbolehkan merujuk perempuan yang ditalak tiga (t}alaq ba>’in kubra>). Demikian pula halnya dengan perempuan yang ditalak melalui khulu>‘, karena sudah terputusnya tali perkawinan antara mereka berdua.
Mengenai kewajiban bagi perempuan yang menjalani ‘iddah talak bain kubra adalah dengan tidak mengenakan perhiasan dan wangi-wangian, hal ini dimaksudkan agar jangan seperti orang yang menanti pinangan laki-laki lain.
Sedangkan mengenai kewajiban bagi bekas suami dalam KHI Pasal 81 (1) dan (2) dinyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat tinggal yang layak bagi isteri dan anak-anaknya, atau mantan isteri yang masih dalam masa ‘iddah. Dan pasal 152 menyatakan bahwa bekas isteri berhak mendapat nafkah ‘iddah bagi bekas suaminya, kecuali bila istri nusyuz.
Perempuan yang dalam ‘iddah bain, apabila ia hamil, maka ia berhak atas tempat tinggal dan nafkah. Firman Allah SWT. :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَآرُّوْهُنَّ لِتُضَيَّقُوْا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ .
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-T{alaq:6)

Sedangkan perempuan dalam ‘iddah ba>’in yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, menurut Malik dan syafi’i hanya berhak mendapatkan tempat tinggal, tetapi tidak berhak menerima nafkah.

Hutang baik berupa mahar maupun nafkah lampau merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami karena sesuai dengan ketentuan dalam KHI pasal 33 (2) yang menyatakan bahwa apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Selanjutnya mengenai ‘iddah, nafkah ‘iddah, mut’ah dan hutang telah dibahas sama seperti ketentuan pada t}alaq raj’iy, yang disesuaikan dengan pasal 41 undang-undang No. 1 tahun 1974.

2. Waktu Dijatuhkannya Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. T{alaq Sunniy, ialah talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah atau yang diajarkan Rasulullah s.a.w., yang termasuk kriteria talak sunni ialah isteri yang ditalak sudah pernah digauli, talak yang dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci (baik dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, walaupun beberapa saat lagi akan datang haid), dan suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan.
Para fuqaha telah sependapat bahwa orang yang menjatuhkan talak sunni terhadap isterinya ialah apabila ia menjatuhkan satu talak ketika isterinya dalam keadaan suci dan belum digauli. Hal ini sesuai dengan pasal 121 KHI.
b. T{alaq Bid’iy, merupakan talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah. Yang termasuk talaq bid’iy adalah bahwa orang yang menjatuhkan talak ketika isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi sudah digauli. Sesuai dengan ketentuan dalam KHI pasal 122.
c. T{alaq la> sunni wa la> bid’iy, merupakan talak yang tidak tarmasuk kategori talaq sunniy dan talaq bid’iy, yaitu termasuk talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah digauli, talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid atau isteri yang telah lepas haid, dan talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang hamil.

3. Pernah Tidaknya Berhubungan Suami Isteri Selama Perkawinan
Dilihat dari segi pernah tidaknya suami isteri melakukan dukhu>l selama perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu talak qabla al dukhu>l dan talak ba’da al dukhu>l.
a) T{alaq Qabla al Dukhu>l
Secara bahasa qabla berarti sebelum, sedangkan dukhu>l berarti hubungan suami isteri. Jadi secara istilah, pengertian dari talak qabla al dukhu>l ialah talaq baik raj’iy maupun ba>’in yang dijatuhkan kepada isteri, dimana suami isteri tersebut selama dalam masa perkawinannya belum pernah melakukan hubungan suami isteri sama sekali.
Dengan demikian bagi perempuan yang ditalak namun belum pernah dicampuri oleh suaminya tidak perlu menjalankan ‘iddah, hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 49:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakan. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Ahzab:49)

Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa apabila seorang suami menjatuhkan talak pada isteri sedang isteri tersebut belum pernah digauli, maka isteri tersebut tidak wajib ber’iddah, namun suami wajib memberinya mut’ah sebagai tanda penghibur.
Lain halnya yang terdapat dalam KHI pasal 35 (1) dan (3) menyatakan bahwa suami yang mentalak isterinya qabla al dukhu>l wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, namun apabila besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mis\il.
Para ulama madzab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai ‘iddah.
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan bahwa apabila suami telah berkhalwat dengannya, tetapi dia tidak sampai mencampurinya, lalu isterinya tersebut ditalak, maka si isteri harus menjalani ‘iddah, persis seperti isteri yang telah dicampuri. Sedangkan Imamiyah dan Syafi’i mengatakan bahwa khalwat tidak membawa akibat apapun.
Dengan demikian, melihat dari pendapat Imamiyah dan Syafi’i, bahwa perceraian yang sebelumnya dalam ikatan perkawinan suami isteri telah berkhalwat dan tidak sampai melakukan hubungan persetubuhan, maka tidak berakibat apapun, sehingga tidak perlu menjalankan ‘iddah, dan akibat hukum lainnya.
Dalam kitab fiqh, Syafi’i menambahkan bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan persetubuhan diluar nikah, dan selama perkawinannya belum terjadi persetubuhan, maka ‘iddah tidak diwajibkan baginya.
Sehingga telah jelas mengenai pendapat Syafi’i bahwa apabila selama perkawinan suami isteri tidak pernah melakukan hubungan suami isteri, walaupun sebelum pernikahan, laki-laki dan perempuan tersebut pernah melakukan persetubuhan, maka tidak ada ‘iddah bagi perempuan tersebut.
b) Talak Ba’da al Dukhu>l
Secara bahasa ba’da berarti sesudah, dan dukhu>l berarti hubungan suami isteri. Sehingga menurut istilah, talak yang dijatuhkan ba’da al dukhu>l adalah t}alaq baik raj’iy maupun ba>’in yang dijatuhkan kepada isteri, dimana suami isteri tersebut selama dalam masa perkawinannya sudah pernah melakukan hubungan suami isteri.
Imam Hanafi mengatakan bahwa khalwat dengan isteri tanpa melakukan percampuran, menyebabkan adanya kewajiban ‘iddah. Akan tetapi laki-laki yang menceraikannya tidak boleh rujuk kepadanya pada saat wanita tersebut berada dalam masa ‘iddah, sebab talaknya adalah t}alaq ba>’in. Sedangkan menurut Imam Hambali mengatakan bahwa khalwat itu sama seperti mencampuri dalam kaitannya dengan kewajiban ‘iddah bagi si isteri dan kebolehan rujuk bagi suami. Lain halnya dengan Imamiyah dan Syafi’i bahwa khalwat tidak melahirkan akibat hukum apapun.
Sedangkan implikasi lainnya sama seperti yang dibahas dalam t}alaq raj’iy dan t}alaq ba>’in.
Dengan demikian, melihat dari pendapat Hanafi, Maliki, dan Hambali bahwa apabila terdapat perceraian yang sebelumnya dalam ikatan perkawinannya suami isteri telah berkhalwat, tetapi tidak sampai melakukan hubungan persetubuhan, maka ada kewajiban bagi isteri yaitu menjalankan iddah, sehingga perceraiannya dapat dikatakan sebagai talak ba’da al dukhu>l.

No comments:

Post a Comment