A. Birokrasi Sebagai Instrumen Kekuasaan.
Birokrasi merupakan instrumen politik yang sangat efektif untuk membesarkan dan mempertahankan kekuasaan yang sudah ada. Pada masa pemerintahan kolonial, kalangan "Pangreh Raja" merupakan instrumen kekuasaan pemerintahan, baik kerajaan atau kolonial. Dlam hal ini, Pangreh Raja dimanfaatkan sebagai sarana untuk membina hubungan dengan masyarakat lokal, sementara administrasi pemerintahan dijalankan melalui semacam Departemen Dalam Negeri yang disebut Inlandsch Bestuur (BB).
Kemudian ketika memasuki politik pasca kemerdekaan (awal 1950-an), istilah Pangreh Raja diganti menjadi Pamong Praja, yang diharakan menjadi aparat pemerintah baru yang memberikan pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakatnya. Konteks politik yang demokratik pada masa ini diwarnai oleh sistem pemerintahan parlementer yamg membawa pengaruh sangat besar terhadap birokrasi Indonesia. Pada masa ini, Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang bertugas merekruit para menteri dari partai politik tertentu sesuai dengan bentuk koalisi pemerintahan yang terjadi.
Birokrasi pada masa pasca-kemerdekaan mengalami proses politisasi, sekaligus fragmentasi. Aparat pemerintah bukanlah sebuah organisasi yang menyatu karena sudak terpecah dalam partai politik yang bersaing dengan sangat intensif untuk memperoleh dukungan. Hal ini berjalan sampai masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang kekuasaannya bertumpu kepada Presiden Soekarno. Partai politik sedikit demi sedikit terbatasi ruang geraknya dan hanya tiga kekuatan yang mendominasi kehidupan politik nasional, yaitu Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat.
Peristiwa G-30-S/PKI 1965 merupakan peritiwa yang mengubah peta politik nasional saat itu. Soekarno menjalankan kekuasaan dengan semangat otoritarianisme dan totalitarianisme tersingkir dari panggung politik nasional, begitu juga dengan PKI yang mengalami proses nihilisasi. Partai ini dibubarkan oleh Soeharto pada Maret 1966.
Soeharto menerima kekuasaan pada 1966, dan terpilih secara resmi menjadi Presiden pada tahun 1968. Soeharto mendapatkan kedaulatan secara mutlak dan melaksanakan pemerintahan sesuai kehendaknya. Beberapa langkah yang ditempuhnya dalam menjalankan format politik, yaitu:
1. Membentuk sejumlah aparat yang bersifat represif untuk menjaga dan memelihara kekuasaannya. Misalnya, Kopkamtib, Opsus, dan Bakin.
2. Melakukan depolitisasi massa dalam rangka melemahkan partai-partai politik. Hal ini dimulai dengan dicanangkannya kebijaksanaan monoloyalitas bagi semua PNS dan pegawai perusahaan negara. Selain itu juga terjadi depolitisasi argumen dan depolitisasi massa untuk menciptakan stabilitas politik nasional.
3. Menunda Pemilu 1968 menjadi tahun 1971. Hal ini dilakukan untuk penguatan proses konsolidasi Sekber Golkar.
Dengan langkah-langkah strategis tersebut, kekuasaan Soeharto menjadi kekuasaan mutlak yang mendominasi dan tidak terbagi (penguasa yang otoriter dan benevolence). Tidak ada sharing of power, karena tidak ada lembaga tertinggi lain yang mengemuka. Sistem pemerintahan ini disebut sebagai Demokrasi Pancasila.
B. Gambaran Pegawai Negeri Sipil di Indonesia.
Pegawai negeri sipil di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat menarik walaupun pemerintah telah mengeluarkan seleksi pegawai yang cukup selektif dengan menentukan "Zero-Growth", yaitu penerimaan pegawai negeri sipil hanya dilakukan untuk menggantikan mereka yang pensiun sehingga jumlah PNS tidak mengalami perubahan yang fundamental. Ada beberapa perubahan yang menarik, diantaranya menyangkut komposisi golongan kepangkatan. Pada 1970-an jumlah PNS paling banyak adalah Golongan I, pada 1990-an berubah dengan sangat mencolok yaitu Golongan II menempati proporsi yang paling dominan. Hal ini berpengaruh pula terhadap munculnya lembaga pemerintahan baru, seperti Menteri Negara Koordinator, Menteri Muda, ataupun kementrian yang bersifat non-departemen.
C. Pegawai Negeri Sipil Terlepas dari Partai Politik.
Kedudukan PNS harus ditinjau kembali dengan adanya reformasi politik dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang baik, berwibawa, dan bersih sehingga dibentuk RUU tentang Pemilihan Umum dan Partai Politik. Dalam RUU tentang Partai Politik dinyatakan bahwa PNS tidak diperkenankan untuk menjadi anggota dan pengurus salah satu partai politik. Pengaturan ini dilakukan untuk mengembalikan PNS kepada fungsi dan kedudukan sebenarnya, yaitu sebagai institusi yang memberikan pelayanan dan pengayoman terhadap msyarakat. Jika PNS menjadi alat kekuatan politik dari partai politik tertentu, maka PNS akan bersifat parsial (tidak netral) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Walaupun begitu, PNS masih tetap memiliki hak-hak politik yang utuh yaitu dapat menjadi anggota organisasi sosial kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU, Korpri, dan organisasi kemasyarakatan lain. Selain itu, seorang PNS dapat menyalurkan aspirasi politiknya dengan memilih partai politik apa saja yang dikehendakinya dalam setiap Pemilu.
PNS merupakan kelompok yang lebih rasional dibangdingkan dengan petani, sehingga jika partai politik ingin mendapatkan dukungan dari PNS maka partai politik itu harus mewujudkan arah perjuangan yang rasional untuk memperoleh dukungan dari PNS.
No comments:
Post a Comment