Konflik Pilkada Maluku Utara yang pekan ini menjadi sorotan publik menambah daftar sengketa yang terjadi pada Pilkada. Ada yang istimewa dalam konflik pilkada Maluku Utara, yakni konflik KPUD Maluku Utara dengan KPU Pusat sudah sangat terbuka. Dan baru kali inilah pilkada yang secara terang memasukkan KPU pusat sebagai salah satu aktor konflik dalam pilkada. Tulisan ini tidak bermaksud membedah konflik antara KPU dan KPUD Malut. Namun lebih luas perlu dikaji bersama bahwa fenomena konflik pilkada sesungguhnya memperlemah apresiasi publik terhadap pilkada. Sejujurnya, sebagian masyarakat semakin apatis melihat fenomena pilkada yang biasanya berujung pada sengketa dan konflik pilkada pasca pilkada. Sepanjang 2005-2007, Pilkada telah melahirkan sengketa besar dan berujung pada kekerasan dan kerusuhan seperti Pilkada Depok (2005), Pilkada Tuban dan Pilkada Sulawesi Barat (2006) dan paling terakhir Pilkada Buleleng dan pilkada gubenur di Maluku Utara dan Sulawesi Selatan (2007) . Pembacaan terhadap konflik pilkada memberi jalan kita untuk memberi rekomendasi terhadap perbaikan pelaksanaan pilkada selanjutnya.
Anatomi konflik Pilkada
Dari hasil pemantauan JPPR di sepanjang Pilkada 2005-2007, umumnya sengketa dan konflik yang terjadi di Pilkada dipicu oleh tiga factor;
Pertama, Tahapan pendaftaran calon yang umumnya memiliki peluang adanya calon yang gugur atau tidak lolos verifikasi yang dilakukan oleh KPUD. Berbagai masalah yang biasanya memicu gagalnya bakal calon menjadi calon resmi adalah misalnya sang bakal calon terkait ijazah palsu, tidak terpenuhinya dukungan 15 % parpol pendukung atau adanya dualisme kepemimpinan parpol pengusung. Untuk konteks saat ini, tahapan pendaftaran dan penetapan calon semakin krusial seiring keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan calon independent maju dalam Pilkada.
Terlepas belum jelasnya aturan pelaksana putusan MK, namun konflik dan sengketa mulai muncul akibat adanya calon independen di beberapa daerah yang ikut pendaftaran calon Bupati/wakil Bupati namun secara tegas ditolak oleh KPUD, seperti kasus di pilkada Cilacap tahun 2007 yang lalu. Bahkan tahun 2008, dukungan dan keinginan terhadap lolosnya calon independen semakin kuat, khususnya dalam pelaksanaan Pilgub. Ada kecenderungan beberapa kandidat yang akan maju dalam pilgub 2008 akan memanfaatkan peluang dibolehkannya calon independen maju dalam pilkada. Terkecuali pilgub Sumatera Utara dan Jawa Barat yang sudah melewati tahapan penetapan calon, beberapa pilgub seperti Jatim dan Jateng tetap panas dengan isu calon independen
Kedua, tahapan pendaftaran pemilih yang amburadul mengakibatkan konflik pada pemungutan dan penghitungan suara. Diakui bahwa sengketa pilkada memang banyak diawali oleh tidak maksimalnya proses pendaftaran pemilih. Pengalaman pilkada selama ini menunjukkan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyaknya warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik ketika hari ”H”. Pada saat seperti ini , biasanya banyak warga yang protes ke kantor KPUD. Kasus pilkada Kalimantan Barat akhir tahun lalu yang diwarnai protes ke KPUD oleh hampir lebih 1000 pemilih yang merasa tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap ( DPT).
Tahapan yang juga biasanya mengalamai kekisruhan akibat pendataan pemilih yang kurang valid adalah tahapan penetapan pemenang pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah, pihak yang kalah, apalagi mengalami kekalahan dengan angka tipis, selalu mengangkat isu penggelembungan suara, banyak warga yang tidak terdaftar dan persoalan pendataan pemilih lainnya sebagai sumber utama kekalahan. Massa yang merasa tidak mendapat hak pilih biasanya memprotes dan dimanfaatkan oleh pasangan yang kalah. Kasus yang paling nyata adalah pilkada Sulawesi Barat yang sempat berlarut-larut karena massa pendukung yang kalah tidak puas atas hasil penghitungan karena diduga banyak terjadi kecurangan dan banyak pemilih tidak terdaftar.
Pemicu ketiga yang biasanya memunculkan konflik dalam pilkada adalah tidak bersedianya DPRD menetapkan hasil Pilkada. Meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada. Seperti yang terjadi pada Pilkada Banyuwangi 2005 di mana DPRD bersikukuh menolak penetapan bupati Banyuwangi terpilih. Kasus penolakan penetapan oleh DPRD biasanya diawali oleh kekalahan pasangan calon yang didukukung oleh banyak partai yang secara politik memiliki kekuatan signifikan di DPRD. Dan umumnya penolakan tersebut biasanya berujung pada tidak harmonisnya hubungan kekuatan eksekutif dan legislative pasca pilkada, seperti kasus Pilkada Depok.
Ketiga konflik tersebut, ada yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan juga secara politis. Sengketa Pilkada yang diawali oleh factor pertama dan kedua seperti disebut diatas sangat memungkinkan diselesaikan oleh jalur hukum. Mengingat secara normative yuridis, sengketa yang terjadi dalam Pilkada telah cukup akomodatif diatur dalam UU No 32 tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah No 06 tahun 2005. Misalnya, apabila calon merasa dirugikan dan keberatan dengan hasil pengitungan suara oleh KPUD, maka pasangan calon memiliki kesempatan menyampaikan keberatan kepada Mahkamah Agung dengan catatan keberatan yang dimaksud memang secara nyata mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pasal 106 UU 32 Tahun 2005: 1): Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2); Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Solusi yuridis ini memberi pesan bahwa seperti apapun konflik dan perselisihan yang ada dalam pilkada, sebaiknya dikelola bahkan diakhiri dengan melawati ketentuan hukum yang ada. Memang sangat menyedihkan ketika konflik dalam pilkada terus berlarut dengan diiringi oleh tindakan kekerasan dan anarkisme. Di sisi lain memang disadari bahwa kondisi lembaga dan penegak hukum di negeri ini yang masih carut marut kemudian memposisikan sengketa terus berlarut tanpa penyelesaian yang elegan melalui jalur hukum. Namun konflik pilkada yang cukup krusial sesungguhnya adalah sengketa yang memiliki muatan politis akibat dari kekalahan pada pilkada. Seperti yang tersebut pada factor ketiga pemicu konflik di atas, maka memang tidak mudah mengakhiri konflik “politik” ini memalui jalur hukum, karena sengketa ini murni persoalan politik. Kasus seperti sengketa Pilkada Depok dan Banyuwangi yang begitu panjang akhirnya melahirkan instabilitas politik di daerah tersebut.
Oleh karena itu, konflik pilkada yang semakin ramai mendominasi pelaksanaan pilkada akhir-akhir ini mesti segera disikapi dengan langkah antisipatif. Pertama, KPDU dan Panwaslu (sebentar lagi ada Bawaslu) hendaknya secar sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pihak yang independen dan mampu memberikan pelayanan yang objektif kepada semua kandidat. Ketidaknetralan KPU/KPUD akhir-akhir ini menjadi salah satu pemicu munculnya konflik pada pilkada. Kedua, perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki sistem kerja di setiap tahapan pilkada yang selama ini ini rawan memicu konflik. Misalnya soal pendaftaran pemilih. Sudah saatnya persoalan sistem pendaftaran pemilih dikoreksi total dengan memfungsikan kembali kerja Dinas Kependudukan secara maksimal. Ketiga, merevitalisasi fungsi Bawaslu dan Panwaslu dalam merespon laporan pelanggaran. Umumnya, konflik pilkada dimulai dari minimnya lambatnya Panwaslu dalam merespon pelanggaran yang terjadi. Karena pihak panwaslu tidak merespon secara cepat, maka masyarakat kemudian mai hakim sendiri yang berbuntut pada konflik. Keempat, para kandidat yang sudah ditetapkan sebagai calon resmi,hendaknya secara sungguh-sungguh melaksanakan komitmen Siap Menang dan Siap Kalah. Selama ini, jargon tersebut sekedar ucapan simbolik untuk meraih simpati. Namun pada prakteknya, sebagian besar kandidat justru siap Menang dan tak siap Kalah. Selain itu, segenap stakeholders pilkada mesti memiliki komitmen bersama untuk memposisikan pilkada sebagai kekuatan awal konsolidasi demokrasi di daerah.
Selanjutnya, untuk menjamin legitimasi politis bagi pemimpin yang terpilih, maka sengketa politik yang diawali oleh kekecewaan akibat kekalahan mestinya diakhiri dengan duduk bersama antar semua kandidat, baik yang kalah maupun yang menang. Hendaknya para kandidat yang bertarung dalam pilkada mampu memberi contoh kepada masyarakat bahwa menang dan kalah adalah sebuah dinamika dalam demokrasi.
Kita berharap dengan berakhirnya konflik dan perselisihan, mampu memposisikan pilkada sebagai media untuk memperkuat konsolidasi demokrasi. Sebab ketika sengketa dan perselisihan pilkada dibiarkan tanpa akhir, maka hal itu justru membuka ruang ketegangan pasca pilkada dan akhirnya memperlemah konsolidasi demokrasi! Pilkada – pilkada yang berlangsung selama ini diharapkan mempu melahirkan suasana yang lebih demokratis, meskipun sempat mengalami proses politik yang cukup tinggi. Kita berharap sengketa atau konflik yang sempat memanas seperti persoalan pendataan pemilih, adanya penurunan spanduk antar pendukung calon, kampanye negatif dan sebagainya segera diakhiri sering dengan berakhirnya pilkada. Mungkin itu.
No comments:
Post a Comment