MANUSIA telah dirumuskan oleh Sigmund Freud sebagai sebuah konstruksi yang ditentukan oleh faktor biologis dengan memberi tekanan pada alam bawah sadar, dorongan-dorongan biologis, represi. Sementara Karl Marx melihat manusia dideterminasi oleh masyarakat, terutama sekali oleh sistem ekonominya. Namun, Erich Fromm, kendati mendapatkan pengaruh besar dari dua pemikiran itu, justru menempuh jalan lain untuk memahami dan menjelaskan karakteristik utama dari sifat dasar umat manusia.
Dalam artian, Fromm menempuh jalan tengah dari dua buah teori besar itu dengan menggabungkan penemuan Freud -- atas daya psikis dinamis sadar dan tidak sadar -- dengan menggunakan konsep karakter sosial yang diajukannya dengan gagasan-gagasan Marx; bagaimana manusia ditentukan oleh persyaratan-persyaratan ekonomi dan sosial.
Fromm kemudian menambahkan suatu sistem determinisme lain dari perpaduan dua hal ini: gagasan tentang kebebasan. Dia membolehkan masyarakat untuk "melampaui" determinisme yang disodorkan oleh Freud dan Marx. Bahkan, Fromm menjadikan kebebasan sebagai karakeristik utama dari sifat dasar umat manusia.
Bagi Fromm, pertanyaan pentingnya di sini adalah, apakah individu mampu mengembangkan orientasi karakter yang produktif -- atau dengan kata lain -- menjadi makhluk sosial dan secara otomatis mampu berhubungan dengan manusia lain dan dengan diri sendiri dalam suatu cara yang terorientasi menuju perkembangan cinta, nalar, dan kerja produktif: tujuan-tujuan humanistik.
Kalau Erich Fromm masih hidup dan memandang era reformasi yang saat ini mengangkangi atmosfer yang memayungi kehidupan politik di negara Republik Indonesia, ia mungkin akan terkenang pada romantisme revolusi besar kemanusiaan yang bermula dari kehidupan di Abad Pertengahan -- yang menjadi simbol dari kehidupan yang dideterminasi biologis dan sosial yang kendati kurang metampakkan kebebasan, tapi memiliki struktur, arti, tanpa keraguan, tanpa penyebab munculnya pencarian jiwa, kenyamanan, dan tak pernah menderita krisis identitas.
Sebuah perjalanan sejarah yang terentang lebih dari lima ratus tahun hanya untuk memunculkan gagasan individualisme, termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran individual, perasaan-perasaan, moral, hati nurani, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, yang kemudian disadari bersama dengan individualitas itu muncul isolasi, alienasi, kebingungan, kegelisahan: sebuah kondisi psikologis humanisme yang sungguh paradoksal.
Gejala paradoksal itu pun, pada gilirannya dilahirkan pula oleh reformasi bangsa ini: sebuah perubahan yang semula menghampirkan nilai-nilai kebebasan dalam bentuk pengembalian kedaulatan sebuah rezim kepada rakyat. Sungguh, sebuah fakta yang tidak boleh mengagetkan karena sangat boleh jadi substansi reformasi ini adalah penataulangan kembali manusia dan kemanusiaan Indonesia dalam kaidah demokrasi.
Akan tetapi, kenapa reformasi yang terjadi malah seperti telah mencampakkan harapan-harapan yang pernah disandangnya, dengan berjalan jauh dari rel yang disediakan oleh idealitas reformasi seperti yang diajukan oleh para mahasiswa? Kenapa reformasi menjadi teka-teki tersendiri bagi rakyat dan bangsa Indonesia? Kenapa semuanya seolah terlantar dan akhirnya banyak yang "mendeklarasikan" kematian reformasi atau malah demokrasi?
Lari dari kebebasan
Tak bisa dipungkiri, bahwa reformasi "dibeli" bangsa ini dengan harga yang teramat mahal: keterpurukan ekonomi yang parah, krisis kebangsaan, dan sederet krisis lainnya sampai pada tumbal nyawa. Semua itu hanya diperuntukan untuk melepaskan diri dari cengkeraman sebuah rezim yang otoriter dan korup. Namun, kenapa lantas tersia-sia? Menurut Fromm: Kebebasan adalah hal sulit untuk dimiliki dan jika kita mampu, kita cenderung lari darinya.
Fromm menjelaskan tiga cara untuk "lari dari kebebasan". Pertama, otoritarianisme. Kita berusaha menghindari kebebasan melalui penggabungan diri kita dengan orang lain, dengan menjadi bagian dari suatu sistem otoritarian, seperti masyarakat di Abad Pertengahan. Ada dua cara untuk menjalankan hal ini. Satu, dengan menyerah pada kekuatan lain, menjadi pasif dan pasrah. Dua, dengan menjadi kekuasaan itu sendiri, seseorang yang menerapkan struktur pada orang lain. Mana pun yang dipilih, anda telah lari dari kebergandaan identitas Anda. Fromm menunjuk pada bentuk ekstrim dari otoritarianisme seperti masokisme dan sadisme. Kedua, destruktivitas. Penganut otoritarian memberi reaksi pada eksistensi yang menyiksa -- sedikit banyak -- dengan mencoba melenyapkan diri mereka sendiri: Jika tidak ada Aku, bagaimana sesuatu hal bisa melukai Aku? Namun, yang lain merespons rasa sakit dengan menyerang dunia: Jika aku menghancurkan dunia, bagaimana ia bisa melukai aku? Lari dari kebebasan semacam inilah yang bertanggung jawab atas banyak kejahatan dalam kehidupan ini -- kekejaman, pengrusakan, penghinaan, kriminalitas, dan terorisme. Fromm menambahkan, jika hasrat merusak seseorang terhalang oleh keadaan, ia akan mengubah arahnya justru ke dalam dirinya sendiri. Bentuk paling nyata dari penghancuran diri sendiri, tentu saja, adalah bunuh diri. Namun, bisa juga dimasukkan ke dalamnya bentuk-bentuk penyakit, kecanduan obat, alkoholik, bahkan kesenangan terhadap hiburan pasif. Ketiga, persesuaian otomaton -- orang/hewan yang bergerak secara otomatis. Kaum otoritarian lari dengan bersembunyi dalam hierarki otoritarian. Namun, masyarakat kita menekankan persamaan. Ketika ingin bersembunyi, kita bersembunyi di dalam budaya masyarakat kita. Orang yang memanfaatkan persesuaian otomaton akan seperti bunglon sosial. Ia mengubah warna sesuai warna sekelilingnya.
Oleh karena itu, ia tampak seperti jutaan lainnya, dia tidak lagi merasa sendirian. Mungkin ia memang tidak sendirian, tapi ia juga bukan dirinya sendiri. Orang-orang ini mengalami pemisahan antara perasaan aslinya dan warna yang ia tunjukan pada dunia. Pada ujungnya dan pada kenyataannya pula, karena "sifat dasar" umat manusia adalah kebebasan, setiap cara lari dari kebebasan di atas akan semakin menjauhkan kita dari diri kita sendiri.
Perspektif Fromm tentang lari dari "kebebasan ini", paling tidak, menjadi deskripsi yang mecuatkan akar dari enigma, bahkan stigma yang selama ini menempel pada tema besar perubahan politik yang bernama Reformasi. Dan menjadi salah satu jawaban alternatif, ketika reformasi tak bisa meluputkan dirinya sendiri dari definisi kestatusquoannya sendiri: reformasi adalah sebuah perubahan ke arah entah ke mana.
Sangat boleh jadi, reformasi adalah masa jeda bagi bangsa ini untuk beringsut dari kehidupan politik di bawah otoritarianisme ke kehidupan politik di bawah otoritarianisme lainnya. Betapa tidak, segenap langkah untuk menunaikan amanat reformasi telah terantuk-antuk pada batu-batu kerikil kekuatan lama yang penyebarannya sekarang sudah meliputi seluruh ruang yang dulu sempat ditebarkan oleh elan reformasi untuk dilalui bangsa ini menuju ke arah masa depan Indonesia baru yang jauh lebih baik.
Apa yang terjadi sekarang? Pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya, terjerembab pada wacana sempit seputar kesehatan pemimpin Orde Baru itu. Terus saja berputar-putar seperti itu, tanpa sedikit pun melompat pada substansi permasalahan yang sebenarnya. Tema pengadilan Soeharto sudah sejak lama telah tercerabut dari akar kontekstualnya.
Sementara itu, semangat antireformasi telah lama berada di posisi mereka yang menentang amandemen UUD 1945. Kekuatan ini tertebar rata di badan legislatif, eksekutif, partai politik, bahkan organisasi massa partisan dan nonpartisan. Tampaknya, kekuatan mereka cukup besar, untuk sekadar mendorong bangsa ini tercebur ke dalam krisis konstitusi yang seperti dimaklumi akan berujung pada disintegrasi nasional bila gagal dielaborasi secara baik.
Mau tahu nasib amanat reformasi yang bertema penegakan supremasi hukum di Indonesia? Utusan Khusus PBB Dato Param Cumaraswamy mengatakan, sistem hukum kita adalah salah satu yang terburuk di dunia! Cumaraswamy juga heran, kenapa semua bisa terjadi, apalagi ada kesan kuat semuanya dibiarkan saja. Beliau juga meragukan adanya political will dari pemerintahan Presiden Megawati untuk memperbaiki semuanya, termasuk pemberantasan KKN dan melakukan pembaruan hukum.
Rupanya, Utusan Khusus PBB yang satu ini tidak tahu, bahwa absennya political will yang dimaksudkannya itu pula yang bertanggung jawab terhadap klaim kematian reformasi, seperti yang disimbolkan oleh gagalnya pembentukan Pansus Buloggate II di DPR. Dengan demikian, tak mengherankan apabila tindak KKN di era reformasi ini justru semakin menggila saja dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Semua itu tentu saja bermuarakan kekecewaan rakyat yang semakin lama semakin terakumulasikan dan sayangnya tak terelaborasikan dengan baik. "Bom waktu" kekecewaan ini tak terelakan lagi kemudian tercecer dalam bentuk musim semi budaya kekerasan, kriminalitas, dan maraknya kasus-kasus pengonsumsian narkoba, minuman keras, dan banyak perilaku menyimpang lainnya.
Inilah sisi buram dari reformasi yang pernah secara bersama-sama kita tempatkan di puncak kesepakatan kita sebagai bangsa, yang lantas secara kolektif kita sangkal dalam berbagai ekspresi. Seakan membenarkan teori Fromm "lari dari kebebasan" (escape from freedom. Sebuah keputusan yang seakan merefleksikan kebodohan kita sebagai bangsa atau justru yang merefleksikan resistensi kita yang "membadak" untuk survive menjalankan kehidupan di bawah kangkangan rezim otoriter. Anehnya, simpulan ini seperti menyiratkan dengan kuat sebuah tesis menyedihkan bahwa bangsa ini merasa "kehilangan" kehidupan penuh represi yang berasal dari sebuah rezim yang sentralistik. Sebuah kehilangan yang sangat besar! Inikah psikologi paradoksal bangsa Indonesia?
Entahlah! Yang jelas, reformasi telah menjadi sistem nilai yang diliputi kabut misteri yang tebal, hanya karena bangsa ini tak sanggup bersikukuh pada integritas tafsir reformasi itu sendiri. Dengan begitu, yang paling disayangkan adalah bahwa reformasi telah "diperkosa" berkali-kali oleh banyak kepentingan yang tak satu pun di antaranya bersinggungan dengan kepentingan rakyat dan demokratisasi.
Pada akhirnya, kita harus membenarkan keyakinan Fromm dalam salah satu diktumnya, "Mungkin kita gigih memperjuangkan -- sesuatu yang bersifat politik -- demi kebebasan, namun ketika kita sudah mendapatkannya, kita cenderung menjadi kompromis dan seringkali tak bertanggung jawab."
Tentu saja, Fromm sangat mendukung kebebasan politik, tapi terutama sekali ia ingin agar kita mampu memanfaatkan kebebasan tersebut dan mau memikul segala tanggung jawab yang datang bersamanya. Selain itu, manusia harus berjuang tidak saja melawan bahaya kematian, kelaparan, atau dilukai, namun juga melawan suatu bentuk kegusaran lain yang hanya dimiliki manusia: yaitu kegilaan. Dengan kata lain, manusia harus melindungi diri bukan saja dari bahaya kehilangan hidup, namun juga dari bahaya kehilangan akal pikirannya.
Padahal kita tahu bahwa jauh sebelumnya bangsa ini pernah dipenjarakan oleh berbagai impitan kolonialisme dan imperialisme, namun mampu membebaskan dirinya karena akal pikiran kaum intelektualnya senantiasa tetap merdeka dan berdaulat juga bermartabat! Tak ingin menjajah dan tak sudi dijajah!
No comments:
Post a Comment