Tuesday, April 27, 2010

Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika

Penulis: Yasraf Amir Piliang
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta 2004
Tebal: 548 halaman ***

A. Sekapur sirih
Gundukan tanah merah makam itu tampak masih segar. Di atasnya bertaburan bunga kamboja yang semerbak. Sebuah batu nisan berdiri sebagai simbol sakralitas dengan tulisan: "Beristirahat dengan tenang, Sang Realitas." Betul, Sang Realitas telah mati. Dan batu nisan itu dipahat oleh Yasraf Amir Piliang dalam karya mutakhirnya bertajuk Posrealitas: Realitas Kebudayaan dan Era Posmetafisika.
Bagi peminat teori posmodernisme, Yasraf Amir Piliang (YAP) adalah nama yang akrab didengar. Ia adalah salah satu dari sedikit penulis Indonesia yang karya-karyanya mengacu pada wacana posmodernisme, sebuah epistemologi yang terus-menerus mencari bentuk "konkret"-nya sebagai antitesa modernisme.
B. Posrealitas sebagai hiperealitas
Mengapa YAP begitu berani mengklaim kematian realitas dan memproklamasikan lahirnya posrealitas? Bagaimana realitas itu dimatikan dan agen apa saja yang terlibat dalam "kejahatan" tersebut? Apakah implikasi dari posrealitas bagi masyarakat kontemporer?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ada baiknya melihat akar epistemologis dari konsep posrealitas. Bagi pembaca setia YAP, tidaklah sulit untuk melihat bahwa karya- karya YAP banyak dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Perancis, Jean Baudrillard. Semangat Baudrillardian begitu kental dalam gagasan dan pemikiran "menyimpang" YAP sehingga sepertinya karya YAP sulit dilepaskan dari bayang-bayang epistemologis Baudrillardian. Di dalam konsep posrealitas, kembali YAP merujuk Baudrillard dengan meminjam konsep hiperealitas untuk menjelaskan suatu kondisi yang melampaui realitas. Apakah yang dimaksud dengan posrealitas? Menurut YAP, posrealitas adalah kondisi terbunuhnya "realitas" oleh apa yang sebelumnya dianggap sebagai "nonrealitas" yang bersifat artifisial (buatan).
Karakteristik kuat dari posrealitas adalah leburnya dikotomi antara dunia material dan immaterial di mana realitas alamiah dan realitas artifisial berbaur dan tumpang-tindih. Pada kondisi ini, fiksi ditampilkan seolah-olah sebagai fakta sementara fakta terjebak sebagai fiksi. Ini terjadi ketika pagar-pagar ontologis antara keduanya diruntuhkan oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan media-media teknologis seperti televisi, jaringan komputer, telepon seluler, dan sinematografi.
Leburnya batas antara realitas artifisial dengan realitas alamiah berkonsekuensi pada proliferasi peran dan fungsi citra. Dalam posrealitas, citra telah menjadi sebuah nilai yang mengonstruksi realitas dan mendefinisikan eksistensi. Yang menarik, citra bukanlah sebuah entitas yang statis dan sederhana. Kompleksitas citra meningkat dengan pesat akibat pembiakan tanpa batas melalui media-media teknologis yang semakin mudah diakses oleh siapa saja.
C. Matinya sosial dan konspirasi mesin
Berangkat dari posrealitas sebagai gagasan sentral, YAP mengeksplorasi empat fenomena posrealitas, yaitu pososial, poshororisme, posdemokrasi, dan posmoralitas. Dari sini, YAP mencoba mengungkap apa yang sedang terjadi pada masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi global. Tidak cukup ruang untuk membahas setiap fenomena yang diamati YAP di sini. Tetapi mari kita membedah bagian yang saya anggap paling penting, yakni matinya sosial (pososial) yang sekali lagi diinspirasi oleh pemikiran Baudrillard.
Inti dari tesis pososial adalah transformasi relasi sosial akibat perubahan dimensi ruang waktu dari yang nyata (fisikal) ke yang maya (virtual). Perubahan dimensi ini menjadikan batas geografis tidak lagi penting. Seperti yang diilustrasikan oleh YAP, seorang akan meratapi seorang tokoh telenovela yang jauh di Meksiko lebih hebat ketimbang tetangganya sendiri (hal 96). Di dalam ruang maya inilah pososial bersemayam.
Kondisi pososial bagaimanapun tidak netral. Menurut YAP, pososial terjadi melalui simulasi realitas yang bertujuan untuk menyembunyikan realitas sosial yang sesungguhnya. Simulasi sosial demikian berpusat pada logika yang memelintir makna demi kepentingan tertentu. Dalam situasi demikian, mesin melakukan konspirasi untuk tujuan-tujuan destruktif melalui simulasi sosial yang bersifat distortif, reduksionis, dan manipulatif.
D. Determinisme teknologi
Bagaimanakah konspirasi mesin itu terjadi? Pertanyaan ini sukar ditemui jawabannya walaupun teknologi adalah elemen sentral dalam pengamatan YAP. Tidak terjawabnya pertanyaan ini karena YAP melihat teknologi secara taken for granted. Ini salah satu titik kelemahan pemikiran YAP yang terlalu kental dengan muatan determinisme teknologi. Sikap deterministik ini dapat dilihat dari kalimat pembuka yang berbunyi: "terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari perkembangan sains dan teknologi mutakhir" (hal 53). Kata-kata ini menunjukkan bagaimana mudahnya YAP menerima teknologi sebagai faktor determinan dalam perubahan sosial tanpa melihat bahwa teknologi itu sendiri adalah produk sosial. Teknologi dilihat sebagai kotak hitam yang misterius dan lepas dari campur tangan sosial.
Akibat tidak terjelaskannya relasi dua arah antara manusia dan teknologi, sikap determinisme teknologi YAP menghasilkan paranoid terhadap teknologi itu sendiri. Pada titik ini, YAP melihat teknologi seakan- akan sebagai sebuah sistem yang otonom dan memiliki logikanya sendiri. Lebih lanjut, YAP menuduh teknologi simulasi komputer sebagai pembunuh realitas sosial yang sebenarnya (natural reality) dan menjebak manusia ke dalam "lorong gelap kegalauan" (hal 99).
Paranoid tidak cukup. YAP pun bersikap sinis terhadap peran positif teknologi (internet), khususnya dalam praktik demokrasi. Dalam pengamatan YAP, ketika demokrasi masuk ke dalam dunia sosial yang virtual dia berkembang ke arah titik ekstrem. Hal ini disebabkan ketiadaan kontrol dan etika. Dalam dunia virtual setiap orang bebas melakukan aktivitas politik, ekonomi, budaya, hingga seksual secara bebas tanpa kendali.
Kebebasan yang "kebablasan" ini membuat YAP merasa diperlukannya sebuah institusi kontrol. Tanpa itu, YAP khawatir manusia akan terjerumus ke dalam kematian budaya (hal 114). Namun patut diingat, kontrol hanya bisa dilakukan jika ada fixed point of reference tentang kebenaran. Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam kadar tertentu YAP adalah seorang "modernis" karena masih percaya perlunya sebuah otoritas (kontrol) yang berlandaskan pada sebuah kebenaran tunggal.
E. Paradoks heterorealitas
Sebagai penutup, YAP melakukan sintesa tiga cara pandang realitas, yaitu fisika (metarialisme), metafisika (idealisme), dan patafisika (citra). Menurut YAP, era posrealitas diwarnai masalah pertentangan ketiga cara pandang tersebut yang saling menegasikan satu sama lain. Pertentangan ini merugikan karena bagaimanapun juga setiap cara pandang memiliki kekuatan masing-masing dalam memahami realitas dari berbagai dimensi. Karena itu, YAP menawarkan konsep heterorealitas yang dibangun berdasarkan prinsip ekletik dengan mengombinasikan fondasi-fondasi fisika, metafisika, dan patafisika. Ini akan menghasilkan suatu cara pandang realitas yang bersifat holistik.
Konsep heterorealitas menarik tetapi problematis. Pada praktiknya, heterorealitas sebenarnya telah terjadi di masyarakat. Ini kita bisa lihat dari tayangan-tayangan mistik (realitas metafisik) yang ditampilkan di televisi (realitas fisik) melalui penciptaan citra (realitas patafisik). Penentangan terhadap tayangan-tayangan mistik justru menunjukkan bahwa heterorealitas bersifat paradoks. Karenanya, kecuali kita mau menerima paradoks itu sebagai sebuah "realitas" baru, heterorealitas adalah sebuah utopia.
Secara keseluruhan buku ini bagaimanapun sangat bermanfaat untuk memahami berbagai fenomena pencitraan sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat kontemporer yang dikepung oleh teknologi informasi. Melalui aliran tulisan yang menggigit, YAP menawarkan perspektif dalam yang tidak kita temui dalam penjelasan ilmuwan positivis.

No comments:

Post a Comment