Sengsara di Negeri Kaya
Syahdan, di bumi yang di huni oleh makhluk bernama manusia ada sebuah negeri yang tingkat kompleksitas segala kebutuhannya yang menyangkut perkara dunaiwinya mencapai derajat coumlaude, mumtaz. Sebuah negeri yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah ruah.
Negeri yang penduduknya bisa mandi minyak, berpakaian besi, tidur beralaskan tumpukan padi, karena sungguh negeri tersebut kata budayawan Emha Ainun Nadjib adalah merupakan penggalan surga, surga seakan menjelma dan meneteskan sedikit tetesan kenikmatannya untuk sebuah negeri yang dijamin penduduk dari Negara mana dan dari bangsa apapun betah untuk tinggal di dalamnya. Sebuah negeri yang fiha ainun jariyah, fiha sururun marfuah waakwabun maudhuah.
Sungguh betapa munafiknya jika makhluk-makhluk bernama manusia yang diberi kesempatan untuk hidup di dalamnya tidak pernah mensyukurinya. Tuhan sudah menyediakan perabot kehidupan dengan begitu lengkap padanya, jikalau memang manusia-manusia itu tidak mampu untuk menjaga atau marawatnya maka jangan salahkan Tuhan jika Dia suatu saat mendebet saldo kepercayaan-Nya pada kita manusia-manusia yang hidup di dalamnya.
Saya mungkin bukan ahli sejarah yang bisa dengan seksama menyimak, membaca serta untuk kemudian mengeja dan menceritakannya kembali pada siapa saja. Tapi yang terpenting saya akan mencoba menceritakan pada anda semua tentang apa saja yang saya ketahui dari bangsa kita yang bernama Indonesia karena saya adalah bagian terkecil dari pelaku sejarah yang mau tidak mau, langsung tidak langsung sedikit banyak pernah merasakan bagaimana hidup di sebuah negeri serambi surga yang bernama Indonesia.
Dus, saya tidak begitu berharap anda begitu percaya dengan saya, karena kacamata saya adalah kacamata yang terlalu kecil uantuk meneropong luasnya cakrawala Indonesia, karena pikiran saya terlalu kerdil untuk memikirkan kebesaran Indonesia yang nan bernuansa surga, dan karena juga langkah saya terlalu pendek untuk menjagkau setiap serpihan keajaiban yang ada di kepulauan nusantara.
Sudah setengah abad lamanya negara kita tercinta merdeka dari kungkungan penjajah, tapi sudahkah kita dengan setengah abad tersebut merasakan, menikmati, atau paling tidak mencicipi hasil kemerdekaan yang tidak mungkin bisa kita rebut hanya dengan mimpi? Adakah rasa adil, nyaman dan tentram kita nikmati setiap detik denyut kehidupan yang kita lalui di negeri ini? Pernakah anda merasa puas, legowo dengan apa yang terjadi di negeri ini setelah setengah abad melepaskan diri dari penjajah-penjajah yang tak bernurani?
Ihwal kompleksitas "tetek bengek" yang di sematkan Tuhan di bumi kita ini tidak usah dan tidak perlu kita perdebatkan lagi, karena ditinjau dari sudut nomenklatur ilmu apa saja kekayaan alam Indonesia tiada duanya, dikaji dari segi pandang mana saja Indonesia tetaplah Indonesia. Serambi surga yang tak tertangdingi kekayaan serta keindahannya oleh negeri manapun.
Akan tetapi mari kita bergegas dari mimpi-mimpi panjang kita, mari kita beranjak dari khayalan-khayalan kita serta mari kita tengok kedalam mengkaji, membaca dan kemudian mengarifinya. ihwal keindahan, kekayaan yang Tuhan berikan sudahkah kita mensyukurinya? Sungguh kita termasuk makhluk paling durjana jika dengan "bangga" mengingkarinya.
Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan senegara mari kita meraba diri kita sendiri, nggrayangi awae dewe-dewe sudahkah kita melaksanakan titah Tuhan yang diberikan-Nya khusus pada kita?, kita adalah mandatarisnya, kita adalah makhluk yang diberi branding khusus yaitu khalifah, dan tentu Tuhan tidak asal-asalan saja menamai manusia dengan sebutan khalifah. Tuhan ingin kita mengolah sumberdaya yang sudah melimpah dan indah berupa Indonesia.
Wahai manusia-manusia Indonesia mari kita semua hijrah dari kungkungan kebodohan dan kemunafikan yang selama ini mendaging darah di negeri kita tercinta Indonesia, sistem ekonomi yang timpang, korupsi yang meladang dan keadilan sosial yang semakin meradang adalah penyakit bangsa kita selama ini, belum lagi kebodohan dan kemiskinan yang menjadi momok kehidupan. Sistem hukum yang tebang pilih dan jaring laba-laba. ah wajah negeriku sejak dulu memang begitu, tidak jelas mana ekor mana kepala, tidak jelas mana hulu mana muara dan juga tidak bisa membedakan mana primer mana sekunder.
Sampai-sampai suatu hari saya pernah berfikir, jika saja panglima Sudirman, bung Tomo dan sederet pejuang perebut kemerdekaan tahu kalau jadinya negeri ini seperti keadaan saat ini mungkin mereka tidak akan mau susah payah untuk mengasah bambu runcing demi mengusir setiap penjajah yang menginjakkan kakinya di negeri kita tercinta Indonesia…..
Wahai Indonesia mau jadi apa jikalau kau tak kunjung berubah?
No comments:
Post a Comment