BAB II
LANDASAN DASAR HUKUM KEWARISAN
LANDASAN DASAR HUKUM KEWARISAN
A. Pengertian Waris dan Dasar Hukum Waris
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari fi’il madhi; waris|a-yaris|u-wars|an yang mempunyai arti: اِنْتِـقَالُ مَالِ فُـلاَنٍ بَعْـدَ وَفَـاتِـهِ yaitu: berpindahnya harta seseorang (fulan) setelah wafatnya (meninggal dunia), atau irs\an/turas\, yang berarti mempusakai. Waris juga dapat diartikan “mewaris”.
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama.
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti: fara>id}, Miras\\, Fiqh Mawa>ris\ dan Hukm al-Waris\.
Kata yang lazim dipakai adalah fara>id}. Lafazh fara>id} merupakan jama’ (plural) dari lafazh farid}ah yang mengandung arti mafrud}ah, yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamakan fara>id}. Dengan demikian penyebutan fara>id} didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh as-Sunnah menjelaskan bahwa sinonim kata waris adalah fara>id}. Pengertiannya adalah :
وَ الْفَـرْضُ فِي الشَّـرْعِ هُوَ النَّصِيْبُ الْمُقَـدِّرُ لِلْـوَارِثِ وَيُسَمَّى الْعِـلْمُ بِـهَا عِلْمُ الْمِـيْرَاثِ وَعِلْمُ الْفَـرَائِضِ
Artinya : ”Fardh menurut syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris, ilmu yang membahas masalah itu disebut ilmu waris atau ilmu fara>id}.”
Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu fara>id sebagai berikut :
اَلْفِقْـهُ الْمُتَـعَلِّقُ بِالْاِرْثِ وَمَعْرِفَـةُ الْحِسَـابِ الْمَوْصِلِ اِلَى مَعْرِفـَةِ ذلِكَ وَمَعْرِفَـةُ قَـدْرِ الْواَجِبِ مِنَ التِّرْكَـةِ لِكُلِّ ذِى حَقٍّ
Artinya ; “ilmu fiqh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara penghitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris).”
Arti miras\\ menurut bahasa adalah pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu itu lebih umum daripada harta, meliputi: ilmu, kemulyaan dan sebagainya. Sedangkan pengertian menurut istilah adalah pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara’.
Adapun penggunaan kata mawa>ris\ lebih melihat kepada yang menjadi obyek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawa>ris\ merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata miwras\ yang berarti maurus\; harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata waris\ yang dipergunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata waris\ artinya adalah orang pewaris (orang yang menerima harta waris).
Dalam literatur hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan.
Menurut pendapat M. Idris Ramulyo, terpapar dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Hukum Kewarisan Islam, pengertian hukum kewarisan adalah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.
Sedangkan definisi hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf a sebagai berikut :
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari definisi-definisi di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa waris adalah pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, baik yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak atau tidak bergerak maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan.
Hukum kewarisan Islam berdasarkan pada al-Qur’an, al-h}adis\, dan ijma’ atau ijtihad. Dari semua dasar hukum yang ada, al-Qur’an adalah sumber hukum yang paling utama karena diturunkan langsung oleh Allah untuk manusia, serta masalah waris yang terdapat dalam al-Qur’an telah diuraikan secara khusus, jelas, tegas, dan terperinci. Misalnya yang terdapat dalam surat an-Nisa>’: 7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (النساء: ۷)
Artinya : “bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat, dan bagi perempuan ada hak bagian(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Al-Qur’an surat al-Ah}za>b: 6
.... وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا (الحزاب:٦)
Artinya : “....dan orang-orang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama) adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Allah).”
Serta h}adis\ Nabi Muhammad saw. Dari Ibnu Abbas yang secara langsung mengatur kewarisan adalah sebagai berikut:
عَنْ إِبْنِ عَبـَّاسِ رَضِيَ اللّـهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (أَلْحِـقُوْا الْفَرَائِـضَ بِأَهْلِهَا فَمَـا بَقَى فَهُوَ لأُوْلَى رَجُلٌ ذَكَـرٌ ) متفق عليه
Artinya : “dari Abdullah bin Abbas ra. Diriwayatkan dari nabi Muhammad saw. Bersabda : berikanlah Fara>id (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki yang terdekat.”
Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang besar terhadap pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-h}adis\, seperti pembagian muqa>samah (bagi sama) dalam masalah al-jaddu wal-ikhwah (kakek yang bersamaan dengan saudara-saudara), pembagian kepada cucu yang ayahnya lebih dulu meninggal dunia dalam masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian para ahli waris dalam masalah ’aul dan rad, pembagian s\ulus\ul (seperti sisa) bagi ibu jika hanya bersama bapak dan suami atau isteri dalam masalah gharrawain, dan lain sebagainya.
B. Ketentuan Rukun dan Syarat Waris
Pembagian harta waris terjadi dikarenakan tiga rukun (unsur).
1. Al-waris\ atau ahli waris yaitu orang yang dihubungkan atau mempunyai hubungan dengan si mati dengan salah satu sebab pewarisan.
2. Al-muwarris\ (orang yang mewariskan harta), yaitu orang yang telah meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki (tanpa melalui pembuktian dan dinyatakan telah meninggal dunia), secara taqdiry (dianggap telah meninggal dunia, misalnya karena ia ikut perang) maupun secara h}ukmy (seseorang yang secara yuridis melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia).
3. Al-maurus\ atau disebut juga dengan warisan yaitu harta peninggalan atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris, setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.
Ketiga rukun tersebut harus ada dalam setiap pewarisan, dengan kata lain pewarisan tidak mungkin terjadi jika salah satu di antara ketiga rukun tidak ada.
Sebagaimana rukun di atas, syarat terjadinya pembagian harta waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti keputusan hakim atas kematian seseorang yang hilang (mafqud),
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan, dengan adanya syarat yang kedua ini maka kelayakan seseorang sebagai ahli waris dapat terjamin, sebab ahli warislah yang akan menerima perpindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia, dan hal itu tidak akan mungkin terjadi manakala ahli waris tersebut telah meninggal terlebih dahulu dan atau meninggal bersama-sama dengan pewarisnya.
3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan, maka diharapkan para ahli waris berupaya untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk menerima harta peninggalan si pewaris.
C. Ketentuan Sebab Mendapat Harta Waris
Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya akan beralih atau berpindah kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia. Dalam ketentuan hukum waris Islam, hubungan tersebut yang menjadi penyebab seseorang mendapatkan harta waris atau biasa disebut ahli waris, hubungan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Karena hubungan perkawinan atau al-musah}arah : seseorang dapat memperoleh harta warisan disebabkan adanya hubungan perkawinan yang dilakukan secara sah (menurut hukum masing-masing agamanya) dengan yang meninggal dunia, maka bagi perkawinan yang bathil dan fasid (rusak karena tidak memenuhi ketentuan hukum Islam) tidak ada ketentuan untuk mendapatkan warisan, dan dalam perkawinan tersebut belum terjadi perceraian sampai ada salah satunya yang meninggal, atau kalaupun ada perceraian maka masih dalam keadaan talak ruju’ dan pada saat si wanita masih dalam masa tunggu atau iddah.
Misalnya : suami atau istri.
An-Nisa>’ ayat 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
Artinya; “dan bagimu seperdua dari harta yang ditinggalkan dari harta oleh isteri-isterimu”
2. Karena hubungan kekerabatan atau al-qarabah: seseorang dapat memperoleh harta warisan disebabkan adanya hubungan silaturrahmi atau hubungan kerabat dengan yang meninggal dunia. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan dengan adanya kelahiran.
Surat al-Anfal ayat 75
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “ orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamamu daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah.”
Pada ketentuan jahiliyah, kekerabatan yang menjadi sebab mewarisi terbatas pada laki-laki yang dewasa, setelah Islam datang maka ketentuan tersebut diperbaharui dan direvisi sehingga laki-laki, perempuan, termasuk anak-anak atau bahkan bayi dalam kandungan diberi hak untuk mewarisi, berdasarkan h}adis\ nabi Muhammad saw :
عَنْ جَابِـرِ ابْنِ عَبْدِ اللّـهِ رَ ضِىَ اللّـهُ عَنْهُ :عَنْ رَسُوْلِ اللّـهِ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :إِذَا اِسْتَهَلَ الْمَوْلُـوْدُ وَرِثَ{ رواه ابو داوو د صحه ابن ماجـه}
Artinya : “Dari Jabir bin Abdullah r.a. dari Rasulullah saw bersabda : apabila bayi baru lahir itu menangis maka ia memperoleh harta pusaka “ (H.R. Abu Daud Shoheh Ibnu Ma>jah).
Laki-laki, perempuan, anak-anak serta bayi dalam kandungan diberi hak untuk mewarisi selama hubungan kekerabatan memperbolehkan dan tidak ada kerabat atau sesuatu yang menghalangi. Misalnya : anak, ibu, bapak, saudara, kakek, nenek, cucu, dan lain-lain.
3. Karena sebab-sebab al-wala>>’ atau kerabat h}ukmiyah (ditetapkan kerabat oleh hukum Islam): hubungan kewarisan akibat seseorang pernah memerdekakan hamba sahaya atau melalui perjanjian tolong menolong. Al-wala>>’ yang pertama disebut wala>>’ al-‘ataqah atau ‘usubah sababiyah, orang yang memerdekakan hamba sahaya jika laki-laki disebut mu’tiq dan jika perempuan disebut mu’tiqah. Yang kedua disebut wala>>’ al-muwala>h, yaitu wala>>’ yang timbul akibat kesediaan seseorang untuk saling tolong menolong dengan orang lain melalui perjanjian perwalian, wali penolong disebut maula dan orang yang ditolong disebut dengan mawa>li. Dalam hal ini diperbolehkan laki-laki maupun perempuan.
Rasulullah saw bersabda :
إِنَّمَا الْوَلاَء لِمَنِ اعْتَقَ . متفق عليه
Artinya: “hak wala>’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budak(nya)” (H.R. Bukh}a>ri-Muslim)
4. Karena sesama Islam : seorang muslim yang meninggal dunia dan tidak mempunyai keturunan atau ahli waris sama sekali, maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Ma>l, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
D. Penghalang Kewarisan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan secara terperinci mengenai ketentuan rukun dan syarat waris, serta sebab-sebab mendapatkan harta waris, akan tetapi hal itu belum menjamin bahwa seseorang berhak mendapatkan harta waris, dikarenakan sebab-sebab tertentu yang membuat seseorang tidak mendapat warisan atau terhalang hak kewarisannya.
Adapun sebab-sebab yang menghalangi hak orang menerima waris dan mewariskan atau kewarisan adalah sebagai berikut:
1. Status Budak atau Hamba Sahaya
Seorang budak atau hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kepada ahli warisnya, karena mereka dianggap tidak memiliki sesuatu, dan begitu pula sebaliknya budak tidak mendapatkan harta warisan karena jika ia memiliki sesuatu maka majikannya yang akan mengambilnya. Budak atau hamba sahaya tidak dapat mewarisi karena dipandang tidak cakap dan tidak mampu untuk mengurusi harta-harta milik, dan status kekeluargaannya terputus dengan ahli warisnya. budak atau hamba sahaya dianggap tidak dapat mengurusi dan tidak mempunyai apa-apa, bahkan dirinya sendiri pun menjadi milik majikannya.
2. Pembunuhan
Bagi seseorang yang membunuh tidak berhak menerima waris dari yang meninggal dunia, baik dilakukan secara langsung (melakukan pembunuhan dengan tangannya sendiri) atau pun secara tidak langsung (merencanakan pembunuhan dan memerintah orang lain untuk mematuhi dan melaksanakan rencana pembunuhannya), karena pembunuhan itu memutus hubungan silaturrahmi, yang menjadi sebab adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya. Dan jika ditinjau dari aspek lain pembunuhan adalah suatu tindak pidana delik makar (yang bersifat merusak) yang secara akal dan syara’ tidak diperbolehkan melakukan kejahatan demi mencapai keuntungan yang belum waktunya, dan sebagai perantara untuk memiliki harta orang yang dianiaya serta membagi manfaat dari penganiayaan yang dilakukan tersebut. Ini didasarkan pada firman Allah SWT surat an-Nisa>’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Artinya: “… dan Allah sekali-sekali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang-orang mukmin”
Dan dipertegas pada h}adis\ Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh an-Nasa>’i berbunyi :
لَيْسَ لِلْـقَاتِلِ مِنَ اْلمِيْرَاثِ شَيْءٌ ( رَوَاهُ النسائ)
Artinya: “Orang yang membunuh itu tidak akan mendapatkan warisan sedikitpun”
3. Berlainan Agama
Orang yang meninggal dunia dengan ahli waris yang menerima harta peninggalan berlainan agama atau memiliki agama yang berbeda/tidak sama agamanya, artinya seseorang muslim tidaklah memperoleh waris dari yang bukan muslim (kafir), dan begitu pula sebaliknya seorang yang bukan muslim (kafir) tidak memperoleh waris dari seorang muslim,
عَنْ أُسَـامَهَ بْنِ زَيْدٍ رَضِىَ اللّـهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللّـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَيَرِثُ الْمُسْـلِمُ الْكاَفِـرَ وَلاَ يَرِثُ الْكَافِـرُ الْمُسْـلِمَ {رواه البخارى مسلم}
Artinya :“ h}adis\ ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ashom dari Ibnu Juraij dari ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Umar bin Usman dari Usamah bin Zaid r.a menerangkan bahwa Rasulullah saw bersabda : Orang Islam tidak menerima pusaka (warisan) dari orang kafir dan orang kafir pun tidak akan menerima pusaka (warisan) dari orang Islam.” (H.R. Bukha>ri-Muslim)
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan berlainan negara menurut Ibnu ‘Abidin adalah mempunyai angkatan perang yang berbeda, kepala negara yang berbeda, serta tidak ada ikatan kekuasaan (ishmah) satu sama lain. Jika salah satu dari dua negara yang masing-masing mempunyai kepala negara dan angkatan perang sendiri mengadakan peperangan dengan negara lain, maka kedua negara tersebut merupakan negara yang berbeda. Sebagaimana ditandaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabdanya:
إِذَا الْمُسْلِمَانِ جَعَلَ اَحَدُ هُمَا عَلَى اَخِيْهِ السِّلاَحَ فَهُمَا عَلَى حَرْقِ جَهَنَّمَ, فَإِذَا قَتَلَ اَحَدُ هُمَا صَاحِبَهُ دَخَلاَهاَ جَمِيْعاً.فَقُلْنَا؛ يَارَسُوْلُ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ, فَمَاباَلُ الْمَقْتُوْلِ؟ قاَلَ؛ اِنَّهُ قَدْ اَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِه{رواه البخارى مسلم}
Artinya: “bila dua orang muslim yang seorang dari padanya membawa pedang untuk menyerang saudaranya, maka keduanya telah beradu di tepi neraka. Apabila salah seorang membunuh kawannya, keduanya sama-sama masuk neraka.” Kami bertanya: “wahai Rasulullah! Itu tepat bagi pembunuh, lantas bagaimana nasib si korban? (ya sama saja), sebab ia juga bermaksud untuk membunuh kawannya,” jawab Rasulullah” (H.R. Bukh}a>ri-Muslim)
Sebaliknya jika kedua negara mengadakan ikatan kekuasaan dengan mengadakan perjanjian dalam segala bidang, terutama dalam bidang pertahanan, maka kedua negara dianggap satu negara meskipun mempunyai wilayah, kekuasaan, kebangsaan, bahasa dan agama yang berbeda. Demikian pula apabila ada negara-negara yang saling mengadakan perdamaian, dengan saling mengadakan perjanjian tukar menukar manfaat, saling berjanji tidak mengadakan berperang antara satu dengan yang lain, dan mengadakan bantuan-bantuan ekonomi, kebudayaan, kesehatan, dan lain sebagainya, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan berbeda dalam arti terhalang untuk menerima dan memberi waris antara warga di salah satu pihak dengan warga negara di pihak yang lain.
Perbedaan kebangsaan ini tidak menjadi penghalang pewarisan di antara kaum muslimin, karena kaum muslimin saling mewarisi satu sama lain meskipun jauh Negara dan berbeda wilayahnya.
Menurut pendapat Amir Syarifuddin yang tertuang dalam bukunya “Hukum kewarisan Islam” dan diperkuat oleh pendapat Suhrawardi K Lubis dalam salah satu karya beliau yang berjudul “Hukum Waris Islam” sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan adalah karena adanya halangan kewarisan, antara lain pembunuhan dan berlainan atau perbedaan agama, serta karena adanya kelompok keutamaan dan hijab, artinya kelompok keutamaan adalah kelompok yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih dekat atau lebih utama terhadap yang meninggal dunia sehingga ada kerabat yang terhijab atau terhalang karena ada kerabat yang lebih utama, misalnya anak lebih utama daripada cucu, ayah lebih utama daripada saudara atau kakek, dan lain sebagainya.
Penghalang kewarisan menurut Suparman Usman adalah hal-hal keadaan, atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan tidak mendapatkannya. Dan hal-hal yang dapat menghilangkan hak seseorang untuk mendapat warisan adalah: perbudakan, pembunuhan, berlainan agama dan berlainan Negara.
Dari berbagai pendapat yang telah diutarakan oleh para ahli hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penghalang kewarisan adalah sebagai berikut :
1. Perbudakan,
2. Pembunuhan,
3. Terhijab atau terhalang oleh kerabat yang lebih dekat,
4. Berlainan agama,
5. Serta berlainan negara, jika terjadi peperangan antara negara yang satu dengan negara yang lain apalagi mempunyai agama yang berbeda.
E. Hikmah Pembagian Waris dalam Islam
Dalam masalah kesejahteraan yang berhubungan dengan pertanggung jawaban dalam sebuah keluarga antara laki-laki dengan perempuan, Islam memandang bahwa kewajiban pemberian nafkah terhadap keluarga dan terhadap isteri serta anak-anak adalah kewajiban suami atau ayah yaitu laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarganya selama suaminya masih hidup, karena kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, bagian laki-laki lebih besar dari bagian perempuan, yakni dua berbanding satu, adalah hal yang dipandang seimbang dan berbanding lurus dengan antara perolehan hak waris dengan kewajiban laki-laki terhadap kewajiban perempuan.
Dalam kehidupan keluarga, Islam memandang bahwa pembagian harta peninggalan kepada yang berhak mewarisi mewujudkan hubungan kasih sayang serta mencapai kerukunan antara saudara yang satu dengan saudara yang lain untuk menanggung dan saling tolong menolong dalam kehidupan sesama keluarga.
Karena itu pembagian harta waris dalam Islam tidak hanya ditunjukkan dan diserahkan kepada seseorang tertentu dari keluarga, tanpa memberi apapun kepada anggota keluarga yang lain, dan tidak pula langsung diserahkan kepada Negara, padahal ada anggota keluarga yang masih berhak untuk menerima dan
mendapatkan harta waris. Jika dilihat dari penjelasan-penjelasan tersebut diatas maka dapat kita ketahui bahwa hikmah pembagian harta waris dalam Islam itu untuk mewujudkan ke-maslahat-an anggota keluarga di dalam hidup bermasyarakat.
No comments:
Post a Comment