Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri.
Ibnu Sina
Ibnu Sina
Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat.
Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .
Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekarang kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu :
1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik.
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.
2. Metode Filsafat Iluminatif
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.
3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf)
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.
Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.
4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.
Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu’tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu’tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya.
Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia.
Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.
Kemungkinan Epistemologi
Setelah kita tahu bahwa Ideologi itu muncul dari pandangan alam dan pandangan alam muncul dari pengetahuan sebagaimana yang telah kita bicarakan sebelumnya pada topik epistemologi maka sekarang kita sudah bisa semakin jelas menyaksikan bahwa pengetahuan seseoranglah yang membuat semua persoalan bisa menjadi berbeda.
Pengetahuan hakiki?
Pengetahuan hakiki?
Ada yang berpendapat bahwa alam semesta ini adalah begini, manusia adalah begini, masyarakat begini, sejarah begini dan yang lainnya mengatakan bahwa alam semesta ini adalah begitu, manusia adalah begitu, masyarakat adalah begitu dan sejarah adalah begitu.
Kesimpulan Begini dan begitu itu semuanya berangkat dari pandangan alam yang didapat atas pengetahuan/epistemologi. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mungkin kesimpulan tentang pengetahuan tersebut yang betul adalah begini dan sekaligus begitu? Kedua-duanya betul?
Hemat saya tidak mungkin, tidak mungkin jika kita tanya kepada orang disamping kiri kita “Apakah bumi ini berputar” dan kemudian dia jawab IYA dan ketika kita tanya kepada orang disamping kanan kita “Apakah bumi ini berputar” dan dia jawab TIDAK lalu kemudian kita menganggap semua jawaban sama saja, kedua jawaban sama-sama BETUL.
Karena tidak mungkin kedua jawaban tersebut adalah BETUL, maka Pastilah salah satu jawaban tersebut adalah SALAH.
Kalau demikian, pertanyaannya berikutnya adalah pengetahuan/epistemologi seperti apakah yang betul dan epistemologi seperti apakah yang salah?
Dan untuk mendapat jawaban tentang epistemologi yang mana yang betul dan salah tentu kita harus urut dulu dari NOL, yaitu kemungkinan untuk mengetahui/epistemologi. Apakah mungkin manusia mampu untuk mengetahui hakikat alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah?
Ada beberapa pendapat mengenai persoalan ini, ada yang menolak 100%, ada yang mengatakan BISA 100% dan ada juga yang diantara keduanya. Bagi mereka yang menolak 100% mengatakan bahwa sudah nasib manusia bahwa “SAYA TIDAK TAHU” adalah jawaban satu-satunya terhadap epistemologi.
Mereka mengatakan “Saya tidak tahu apakah ada surga dan neraka, Saya tidak tahu apakah ada bidadari, tujuh lapis langit dan sebagainya”. Semua yang diomongkan oleh sifulan dan sifulan itu hanyalah tahayul dan bersifat spekulatif serta dongeng belaka. Oleh karena itu pengetahuan yang tertinggi adalah “SAYA TIDAK TAHU!”.
Dijaman sekarang, penganut faham seperti ini disebut dengan kelompok skeptism atau “kelompok peragu” . Kelompok seperti ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman kuda gigit besi pada jaman batu dulu.
Pada jaman setelah Socrates telah pernah muncul kelompok-kelompok serupa ini dengan tokohnya yang paling terkenal seperti Pyrho. Bagaimana argumen penolakan pyrho tentang ketidakmungkinan mendapatkan pengetahuan/epistemologi? Dan apakah Descartes dan Imam Ghozali juga termasuk sebagai kelompok skeptisme/peragu?
Filsafat Iluminasi dan peripatetik
Kajian tentang filsafat pada dasarnya selalu ‘berputar’ disekitar kesejatian eksistensi (keberadaan) dan atau kesejatian esensi (keapaan) . Dari kedua ‘kesejatian’ ini yang manakah yang lebih utama?
iluminasi dan peripatetik
peripatetik
Didalam literatur kuno, kita bisa menemui setidaknya ada dua kelompok besar sebagai peletak dasar kajian-kajian filafat tinggi, dan masing-masing kelompok dikenal dengan kelompok metode iluminasi dan peripatetik.
Metode iluminasi mempercayai bahwa dalam mengkaji filsafat tinggi (Ilahiah) atau ketuhanan, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan argumentasi (istidlal) dan penalaran (ta’aqqul) saja, tetapi lebih dari itu yaitu diperlukannya penyucian jiwa serta perjuangan melawan hawa nafsu untuk menyingkap berbagai hakikat.
Epistemologi
Jika kita tanya kepada orang disamping kiri kita, “kenapa anda meyakini bahwa manusia itu adalah begini dan bukan begitu”, maka dia akan memaparkan jawaban tentang ‘kebeginian’ sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah ‘begini’.
Pengetahuan
Pengetahuan
Pun demikian jika kita menoleh kepada orang yang disamping kanan kita, dan menanyakan, ” Dan kenapa anda meyakini bahwa manusia itu adalah begitu dan bukan begini”, maka orang yang disamping kanan kita akan mengungkapkan jawaban yang berbeda dengan orang disamping kiri kita dengan memaparkan teori tentang ‘kebegituan’ sehingga dia tiba kepada keyakinan bahwa manusia itu adalah ‘begitu’.
Pertanyaannya sekarang adalah, kenapa masing-masing orang mempunyai jawaban yang berbeda atas satu permasalahan yang sama?
Disini menarik untuk kita teliti, apa sih yang menyetir pikiran orang sehingga kemudian masing-masing individu dan golongan cenderung untuk mempertahankan dan membela apa yang diyakininya.
Mari kita lihat dulu proses bagaimananya…, Bagaimana seseorang tiba kepada sebuah keyakinan.
Seseorang tiba kepada sebuah keyakinan tentang sesuatu sesuai dengan porsi pengetahuannya (epistemologi), dari pengetahuan yang didapat tersebut kemudian terbentuklah sebuah ‘pandangan alam’ dan dari pandangan alam ini muncullah sebuah ideologi yang pada akhirnya akan menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus ditolak, mana yang halal dan mana yang haram.
Dari proses kebagaimanaan tersebut, nanti kita akan memfokuskan pembicaraan kita kepada teori pengetahuan. Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan, alat untuk mendapatkan pengetahuan, sumber pengetahuan, tahapan pengetahuan dan jika memungkinkan akan kita kaji juga bentuk dan bagian pengetahuan.
Namun sebelum sampai kesana, sekarang kita perlu tahu sedikit, bagaimana hubungan pengetahuan dengan ideologi seseorang. Bagaimana pengetahuan itu melahirkan “Pandangan Alam”.
Pandangan Alam adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran dan hasil kajian seseorang terhadap alam semesta, manusia, masyarakat dan sejarah.
Sebagaimana yang saya kemukakan pada pembuka tulisan ini bahwa antara orang yang disebelah kiri dan kanan kita juga telah dan atau bisa terjadi perbedaan pandangan alam, yang satu mengatakan bahwa manusia itu adalah begini dan yang lainnya mengatakan begitu. Perbedaan pandangan alam secara otomatis akan membawa kepada perbedaan ideologi karena sandaran atau dasar sebuah ideologi itu adalah pandangan alam.
Ideologi akan menentukan sederet perintah dan larangan, anda tidak boleh begini, anda harus begitu, yang ini yang harus dipertahankan, yang itu yang harus ditolak, yang ini yang baik, yang itu yang jelek dan seterusnya. Dan semua perintah dan larangan yang ditentukan oleh ideologi tersebut mengandung sebuah pertanyaan “Kenapa?”
Kenapa tidak boleh begini, kenapa boleh begitu, kenapa harus mempertahankan yang ini dan kenapa harus menolak yang itu, kenapa yang ini baik dan kenapa yang itu jelek dan seterusnya.
Dan semua jawaban atas pertanyaan “kenapa” itu akan dijawab oleh pandangan alam seseorang. Bentuk pandangan alam seperti apapun yang kita miliki terhadap alam semesta ini maka ideologi kitapun akan selalu mengikuti pandangan alam itu.
Misalnya, tidak mungkin orang yang mempunyai pandangan alam bahwa alam semesta ini adalah hanya materi semata, manusia itu adalah materi semata lalu ia akan meyakini bahwa akan adanya kehidupan yang kekal dan abadi yang non materi. Disinilah dikatakan bahwa ideologi merupakan buah hasil dari “pandangan alam”
Pandangan alam, tidak ubahnya seperti pondasi atau dasar dari sebuah bangunan, sedangkan ideologi adalah “bangunan atas” dari sebuah bentuk pemikiran. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa pandangan alam adalah “teori” dan ideologi adalah “praktek” dari sebuah pemikiran.
Metafisika dan Filsafat
Aristoteles adalah orang yang pertama sekali memahami sederet persoalan yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan yang sudah dikenal pada masa itu seperti matematika, etika, sosial, pengetahuan alam ataupun logika.
Metafisika dan filsafat
Metafisika dan filsafat
Persoalan persoalan yang ditemukan ini disadarinya sebagai inti dari semua yang daripadanya kemudian diketahui hubungan dan keterpisahan persoalan suatu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Persoalan ilmu ini dikemudian hari semakin luas seiring dengan pengamatan yang semakin intensif terhadapnya. Sehingga Aristoteles merasa perlu untuk memisahkan ilmu ini dari ilmu-ilmu yang sudah dikenal saat itu karena ilmu ini memiliki sisi khusus disisi berbagai ilmu lainnya. Tetapi perlu diingat, bahwa saat itu Aristoteles tidak memberikan nama untuk jenis ilmu ini sampai dia meninggal.
Setelah Aristoteles meninggal barulah orang-orang mengumpulkan hasil karyanya ini dan disusun dalam sebuah ensiklopedia. Dari sisi urutannya, bahasan yang belum diberi nama tadi terletak setelah bagian ilmu fisika (ilmu alam) . Dari urutan tadi dan dikarenakan memang belum diberi nama, maka mereka saat itu memberikannya nama sesuai dengan urutannya, yaitu ’setelah fisika’ atau ‘metafisika’ , yang terambil dari kata ‘meta’= setelah dan ‘fisika’ = fisika.
Namun apa yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita saksikan sekarang, lambat laun orang-orang mulai lupa akan ‘cerita penamaan’ terhadap ilmu (metafisika) ini. Mereka lupa bahwa nama metafisika adalah penamaan terhadap ilmu yang di urutkan berdasarkan ensiklopedia yang berarti ’setelah fisika’. Setelah pembahasan filsafat rendah (filsafat fisika ) dan BUKAN karena ilmu ini semata-mata membahas Akal Murni, Tuhan dan segala sesuatunya yang diluar jangkauan ilmu alam (fisika). Karena kalau alasannya adalah karena ilmu ini membahas tentang ketuhanan saja, maka seyogyanya ilmu ini dinamakan PROFISIKA atau ’sebelum fisika’ , karena Tuhan sesungguhnya jauh sebelum adanya alam dan fisika, dan bukan sesudahnya.
Karena kekeliruan dalam pendefinisian verbal itu, maka sampai sekarang masih banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa ilmu metafisika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan atau sesuatu yang tidak bisa dilihat dan diraba secara fisik / terpisah dari alam material.
Padahal jelas Aristoteles sendiri tidak menamakan demikian terhadap fenomena keterhubungan dan keterpisahan antara satu ilmu dengan yang lainnya itu yang diketahui sebagai pusat faktor keterkaitan dan keterpisahan antara alam materi dan non materi.
Penyederhanaan kalaupun tidak mau dikatakan sebagai penyimpangan makna seperti ini terjadi juga pada kata ‘filsafat’ , bahkan lebih ngacau lagi …
Coba kita perhatikan apa yang terjadi disekitar kita sekarang ini, filsafat yang tadinya berarti semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio (selain wahyu Tuhan) kini menyempit artinya menjadi nama dari satu disiplin ilmu khusus yang membahas tentang metafisika, etika, logika, estetika atau yang lainnya.
Darimanakah ‘kekeliruan’ ini bermula? Mari kita simak apa yang terjadi di abad 16 ketika Rene Descartes dari Perancis dan Francis Bacon dari Inggris mengumandangkan sanggahan mereka terhadap metode deduktif (silogistik) , dimana mereka berpendapat bahwa apa-apa yang tidak bisa dibuktikan dengan eksperimen maka semua ke apaan itu adalah tidak masuk akal, tidak termasuk kedalam ilmu yang dikatagorikan sebagai ilmu yang mempunyai kebenaran. Dan dengan sendirinya ilmu semacam itu diangap tidak berlaku karena tidak mempunyai kaidah dasar yang jelas. Dan bukan itu saja, kelompok ini bahkan kemudian mencoret ‘kepala kodi’ ( kepala ilmu) yang paling agung itu. Menurut mereka tidak ada itu yang namanya filsafat utama, filsafat tinggi, metafisika atau apapun namanya.
Setelah kelompok yang menentang keras filsafat tinggi ini ada juga kemudian kelompok lainnya yang sedikit lebih bersahabat dengan metode silogisme. Mereka mengatakan bahwa apa apa yang BISA dibuktikan dengan eksperimen mereka sebut dengan ilmu ’science’ dan apa apa yang harus menggunakan metode silogisme seperti metafisika, etika, estetika, logika dan akhlak mereka namakan filsafat.
Disini dan dari sinilah penyempitan definisi verbal itu mulai terjadi, dimana filsafat yang tadinya didefinisikan oleh cendikiawan kuno sebagai nama umum untuk semua ilmu pengetahuan yang bisa dicerna oleh rasio, yaitu filsafat tinggi (teologi), filsafat menengah (matematika) dan filsafat rendah (fisika), kini menyempit menjadi nama khusus untuk ilmu yang membahas etika, estetika, dan logika. Alhasil terjadilah pemisahan antara filsafat dan Ilmu pengetahuan akibat kekeliruan definisi verbal ini.
Ini sangat menggangu khasanah ke ilmu-an, karena yang dipotong bukan saja arti verbalnya tapi sudah menjadi salah kaprah. Perpisahan ini bukan hanya pada istilah tapi juga ‘isi’.
Berbeda dengan ilmu-ilmu kuno lainnya semisal Ilmu kedokteran, ilmu kedokteran kuno demikian dan ilmu kedokteran modern begini, ilmu botani kuno begini dan modern begitu. perbedaannya hanya kepada jenis alat yang dipakai dan metode aplikasinya. Tetapi tetap sama-sama ilmu kedokteran dan ilmu botani. Sedangkan filsafat BEDA JAUH, terjadi perbedaan antara filsafat kuno dan filsafat modern dalam arti yang terpisah, filsafat kuno membahas semua hal dan filsafat modern membahas hal khusus.
Mutazilah-Allah Memberikan Balasan
Setelah sebelumnya kita lihat kaidah pokok ajaran mutazilah mengenai keadilan Illahi, sekarang kita lihat apa yang diajarkan dalam kaidah ketiganya, yaitu tentang Allah memberikan balasan.
Memberikan
Memberikan
Semua orang sepakat tentang ini, tapi kenapa ketika kaum Mu’tazilah menetapkan ini sebagai akidah pokoknya kemudian lantas memancing persoalan baru bagi sebagian ulama lainnya?
Mari kita lihat…
Menurut kaum Mu’tazilah, Allah itu tidak mungkin untuk ingkar janji, dan janji Allah menurut tafsir Mu’tazilah adalah pasti dan tidak bisa di utak atik lagi dengan apapun.
Begitu juga dengan ancama-Nya, Allah tidak mungkin menarik ancaman-Nya atau Allah tidak mungkin gagal atau tidak jadi untuk melakukan eksekusi atas ancaman-Nya terhadap si pendosa.
Karena itu, semua ancaman yang ditujukan kepada pendosa seperti : pencuri, pendusta, mesum, membunuh, penipu, penindas dan lain-lain pasti akan dieksekusi tanpa pandang bulu dan tidak mungkin batal dan gagal. Satu-satunya yang mampu membatalkan eksekusi adalah permohonan tobat dari sipelaku dosa. Dan permohonan itupun harus dilakukan sebelum sipelaku itu mati. Kalau tidak, maka tidak mungkin terjadi pengampuan dari Allah dan eksekusi pasti dilakukan.
Bagi Mu’tazilah melakukan pengampunan sebelum permohonan tobat itu berarti pertanda kegagalan dalam melakukan ancaman (wa’id), dan jika itu terjadi maka sama halnya Allah tidak menepati janji (khulf al wa’id) , dan itu adalah mustahil bagi Allah.
Yang ke empat, Sebuah posisi diantara dua posisi
Ini adalah satu istilah khusus yang digunakan oleh kaum Mu’tazilah untuk merespon fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat pada masa pemerintahan Amirul Mukmini Ali bin Abi Thalib. Yakni ketika terjadi selisih paham antara kaum khawarij dan Murjiah menyangkut perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana saja, bahwa urusan hati siapa pula yang tahu? Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu’tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Kelima, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran
Sebagaimana empat akidah sebelumnya, maka akidah Menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran ( Amar ma’ruf nahi munkar) ini juga sebenarnya secara umum tidak ada masalah dengan akidah islam lainnya.
Cuma menjadi menarik karena Mu’tazilah memahaminya dengan cara yang sedemikian rupa yang kemudian menjadi ciri khas dari kaum mu’tazilah itu sendiri.
Bagi kaum Mu’tazilah, bahwa yang namanya Amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu semangat yang harus disikapi dengan cara situasional. Tidak bisa kita melakukan Amar ma’ruf nahi munkar tanpa melihat persyaratannya terlebih dahulu. Harus jelas persoalannya.
Misalnya, kalau sebuah negara melakukan penganiayaan, memprakarsai perbuatan-perbuatan haram, semena-mena dan menindas masyarakat maka yang namanya Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib dan umat harus tampil untuk melakukan perlawanan bersenjata. Dalam hal konsep angkat senjata ini, nampaknya kaum Mu’tazilah mempunyai kemiripan dengan kaum khawarij.
Bedanya adalah jika kaum khawarij mengangkat senjata tanpa peduli situasi dan persyaratan (main pukul rata) , maka kaum Mu’tazilah agaknya sedikit lebih menggunakan saringan dan persyarataan
Mutazilah-Keadilan Illahi
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa tidak ada diantara umat islam yang menentang dan mempersoalkan keadilan Ilahi dalam tataran substansi. Kalaupun terjadi perbedaan dan perselisihan, ini biasanya terjadi hanya karena masalah tafsiran saja.
mutazilah-keadilan-Illahi
mutazilah-keadilan-Illahi
Salah satu perbedaan tafsir yang terjadi tentang keadilan Ilahi adalah tafsir antara kaum Mu’tazilah dengan Asy’ariah. Kedua kelompok ini melihat perosalan ini sedemikian rupa, sehingga menimbulkan perselisihan yang sebenarnya tidak perlu dan patut untuk kita sesali bersama.
Bagi Mu’tazilah, mereka percaya bahwa pada hakikatnya ada tindakan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya adalah ‘adil’ dan sebaliknya, ada juga tindakan dan perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya ‘tidak adil’.
Sebagai contoh, kalau Allah memberikan pahala pada orang yang taat dan yang berbuat baik serta memberikan hukuman kepada para pendosa, maka tindakan Allah ini disebut adil, dan Allah memang Maha Adil.
Dia (Allah) memberikan penghargaan terhadap yang taat dan menghukum terhadap yang bersalah, dan mustahil Allah akan melakukan hal yang sebaliknya. Memberikan pahala kepada yang berdosa (bersalah) dan menghukum yang taat, karena perbuatan sedemikian sungguh adalah suatu perbuatan yang tidak adil, dan Allah mustahil berbuat seperti itu.
Demikian juga dengan contoh yang lain, misalnya kehendak bebas. Tidak mungkin Allah menciptakan makluk yang tidak mempunyai kehendak bebas, lalu kemudian menciptakan perbuatan dosa dengan tangan makhluk itu dan setelah itu menghukumnya. Itu adalah perbuatan tidak adil, Allah tidak mungkin dan tidak pantas untuk melakukan tindakan yang seperti itu.
Demikian juga penentangan mereka tentang tauhid af’ali (keesaan perbuatan) yang didengung-dengungkan oleh kelompok asy’ariah. Bagi Mu’tazilah yang jika kaum asy’ariah tetap bersikeras dengan pendapat mereka tentang tauhid af’ali maka kontra argumennya adalah : Jika memang betul keesaan perbuatan, maka berarti semua perbuatan-perbuatan manusia itu pada dasarnya dilakukan oleh Allah, dan kalau memang betul semuanya dilakukan oleh Allah termasuk segerobak perbuatan dosa itu adalah menjadi tanggung jawab Allah semata. Kenapa pula Allah kemudian menghukum manusia atas perbuatan-Nya sendiri, bukankah itu suatu tindakan yang tidak adil? , Dia yang berbuat dosa, kok manusia yang dihukum. Mana mungkin Allah melakukan hal serupa itu, itu adalah suatu tindakan yang tidak adil dan tidak pantas untuk dilakukan oleh Allah, karena Allah itu adalah Maha Adil. Dan secara otomasi yang namanya tauhid af’ali itu sungguh sangat bertentangan dengan akidah keadilan Ilahi.
Kemudian dari itu, atas nama akidah keadilan Ilahi, kaum mu’tazilah dengan gigihnya mempromosikan contoh-contoh yang lain dan yang lebih umum seperti sifat ‘keindahan’ dan ‘keburukan’, ‘baik’ dan ‘buruk’.
Menurut pandangan Mu’tazilah, bahwa pada dasarnya sifat-sifat itu ada pada perbuatan. Sifat jujur, ramah, murah senyum dan lagi tidak sombong misalnya, pada dasarnya adalah suatu sifat yang memang sudah dari sononya memiliki kualitas yang baik. Sedangkan sifat-sifat mudah cemberut, ngambekan, pembohong, munafik, tidak senonoh dan juga porno pada dasarnya memang sudah merupakan suatu sifat yang ndak baik dan buruk pula. Karena itu maka bisa disimpulkan bahwa pada hakikatnya suatu perbuatan itu sebelum ada hukum atau penilaian Allah terhadapnya sekalipun, perbuatan-perbuatan semacam itu memang sudah dari ’sono’nya memang telah menjadi sifatnya.
Konsekuensi logis dari ‘pemikiran’ tersebut adalah bahwa sesungguhnya akal manusia, setidak-tidaknya sebagian akan mampu untuk membedakan sebelah mana yang baik dan sebelah mana pula yang buruk tanpa perlu harus selalu mengacu kepada syariat (hukum) .
Rentetan dari pemikiran ini berlanjut kepada pertentangan yang sengit ke ranah teologi lainnya, misalnya : apakah Allah menciptakan suatu eksistensi itu mempunyai maksud dan tujuan atau tidak. Kaum Mu’tazilah mengklaim kalau Allah menciptakannya tanpa maksud dan tujuan, maka sungguh itu adalah suatu perbuatan yang meng-ada-ada (qabih) dan karena itu mustahil menurut akal yang sehat.
Juga perkara yang lain, mungkinkah Allah akan memberikan tugas kepada manusia yang mana tugas tersebut sesungguhnya berada diluar batas kemampuan manusia untuk memenuhinya? Menurut Mu’tazilah , ini juga termasuk hal yang qabih, meng-ada-ada dan mustahil. Persoalan yang aneh seperti itu tidak masuk akal. Tidak mungkin Allah memberikan suatu tugas semacam itu kepada manusia.
Selanjutnya, apakah dalam persoalan keimanan seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang kafir menjadi muslim? Atau sebaliknya apakah seseorang bisa atau mampu merubah pemikiranannya sendiri dari tadinya seorang preman kemudian berubah menjadi ustadz? Jawaban-nya jelas dan pasti, BISA!
Karena jika seseorang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut, maka tidak adil kalau Allah menghukum orang atas perbuatan jahatnya sementara orang itu sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk merubah situasinya.
Logika
Sekarang kita akan me-refresh kembali ingatan kita tentang logika. Kita mulai dengan ulasan singkat sejarah logika yang diurutkan berdasarkan perkembangan serta tokoh-tokoh pelakunya pada setiap masanya, artikel ini ditujukan khusus kepada penguasaan sejarahnya saja.
Logika
Logika
Ada tiga tahapan yang dilalui oleh kata ‘logika’ sampai kemudian dikemas menjadi ilmu. Tahap pertama adalah tentang ‘kata’ logika itu sendiri, kapankah kata itu pertama sekali di pakai sebagai istilah? Dari bukunya Bertrand Russell “History of Western Philosophy” diceritakan bahwa kata ‘logika’ itu pertama sekali digunakan oleh Zeno dari Citium.
Setelah itu kemudian diketahui juga bahwa ternyata Plato dan Socrates juga sudah banyak melibatkan logika dalam banyak pembahasannya, tapi mereka (Plato dan Socrates,red) belum atau tidak sampai kepada tahap memformalkan logika sebagai ilmu.
Logika pertama sekali diperkenalkan sebagai ilmu oleh Aristoteles dan kemudian di sebarkan kepada pengikutnya sampai kemudian masuk ke dunia islam.
Menurut bukunya Richard B.Angel “Reasoning and Logic” , Aristoteles sendiri meninggalkan enam buah buku khusus yang membicarakan ilmu logika ini yang oleh murid-muridnya diberi nama “Organon”.
Keenam buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (Mengenai keputusan-keputusan) Analitica Priora (mengenai silogisme) Analitica Posteriora ( Mengenai pembuktian) Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir).
Adalah Theoprostus yang kemudian mengembangkan ilmu logika Aristoteles itu dan sekaligus menyebarkannya sampai dikemudian hari masuk kedalam dunia islam.
Didunia islam, ilmu logika ini tidak diterima begitu saja dengan mulus, tapi direspon dengan berbagai macam pendapat oleh tokoh-tokoh islam terkemuka. Ibnu Salih dan Imam Nawawi misalnya, mereka sangat menentang penggunaan ilmu logika. Penentangan mereka itu bukan hanya sebatas menentang tidak setuju atau tidak sepakat tapi jauh lebih keras dari itu. Penentangan mereka sampai kepada mengharamkan ilmu logika untuk digunakan didalam dunia islam.
Namu demikian, sebagian besar dari mereka (Jumhur Ulama) membolehkan mempelajari ilmu logika dengan syarat orang-orang yang akan mempelajarinya sudah kokoh iman dan cukup akalnya.
Selain penolakan yang tegas serupa diatas, diantara mereka ada juga yang malah menganjurkannya, seperti Al-Gazali, Al-Farabi , Al-Kindi dan lain-lain. Al-Kindi bukan hanya menganjurkan tapi malah mempelajari dan sekaligus menyelidiki logika yunani secara khusus, bahkan Al-Farabi melakukannya lebih mendalam lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh Al-Kindi.
Logika pada perkembanganya kemudian sempat mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika bahkan dianggap sudah tidak bernilai dan dangkal sekali, barulah pada abad ke XIII sampai dengan Abad XV tampil beberapa tokoh lain seperti Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus dan Wilhelm Ocham yang coba mengangkat kembali ilmu logika sebagai salah satu ilmu yang penting untuk disejajarkan dengan ilmu-ilmu penting lainnya.
Pada abad ke XVII dan XVIII muncul lagi tokoh-tokoh berikutnya seperti Francis Bacon membuat buku “Novum Organum Scientiarum” yang bahas-annya antara lain tentang metode induksi yang terkenal itu. Imanuel Kant dengan Logika Transendental- nya dan W. Leibnitz dengan Logika Aljabar.
Kemudian berikutnya muncullah tokoh-tokoh pencetus dan sekaligus orang yang paling dianggap berjasa dalam pengembangan ilmu logika modern, seperti Bertrand Russell, George Boole dan G.Frege. Dari tangan-tangan mereka inilah kemudian ilmu logika sampai kepada kita.
Ilmu
Kita sering mendengar disekitar kita kalimat-kalimat seperti ini : ” ILMU gue ga nyampe” , ” Gue TAHU dong ” , ” Gue ga PAHAM” dan lain-lain…
Sekilas…
pengetahuan
pengetahuan
Ya.. sekilas kita jarang memperhatikan apa perbedaan dari kalimat-kalimat tersebut, karena bagi kebanyakan kita, Mengabaikan kalimat “sepele” seperti itu tidak akan pernah merubah gaji yang kita terima dari kantor ? Jadi tidak ada urgensinya bagi kebanyakan orang untuk meneliti isi kalimat yang sering berseliweran di sekitar kita. Tapi sekarang, mungkin iseng-iseng untuk melepas “boring” dikantor atau dirumah, yuk kita teliti, apakah yang dimaksud dengan kata “ilmu” ?
Mari kita lihat…
Sebelum meneliti kata “ilmu” perlu kita bicarakan dulu teman dekatnya yang sering menjadi “pemicu kesalah pahaman” tentang satu perkara per perdefinisi, yaitu “Tahu” atau Pengetahuan.
‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah 2 hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”
Sehingga JELASLAH bagi kita sekarang untuk membedakannya J , Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
Lha? Maksudnya apa niy?
Maksudnya, mari kita lihat contoh :)
Misalnya, Ahong pergi memancing….
Disitu Ahong TAHU persis pelampung kailnya selalu terapung. Ahong akan membantah kalau ada yang mengatakan pelampung kailnya tenggelam. Yang demikian namanya ‘pengetahuan’ bagi Ahong. Bagi Ahong sudah tidak ada keraguan lagi tentang mengapungnya palampung kail, walaupun dia dipengaruhi oleh gurunya yang mengatakan pelampung kail tenggelam, Ahong tetap akan bersikukuh untuk mengatakan terapung.
Jika setelah mendengar perkataan gurunya, Ahong kemudian terpengaruh atau ragu tentang pelampung kailnya, maka sesungguhnya Ahong tidak lah tahu sama sekali tentang pelampung, Ahong tidak memeiliki ‘Pengetahuan’ tentang pelampung.
Apakah yang dimaksud dengan ilmu?
Kalau kita ambil contoh diatas, misalnya sekarang Ahong mengetahui pelampungnya bisa mengapung karena berat jenis (BJ) pelampung lebih kecil dari berat jenis (BJ) air, sehingga menyebabkan pelampung menjadi mengapung, maka ini lah yang disebut ‘ilmu’ bagi Ahong.
Jadi perdefinisi bisa kita lihat, ‘Pengetahuan CUKUP puas dengan hanya menepis keraguan terhadap satu perkara’
Sedangkan ilmu tidak berhenti hanya pada pengetahuan saja, tetapi mampu menangkap asal-usul pengetahuan itu sendiri. Rangkaian cerita, mulai dari pelampung yang mengapung, sampai dengan bagaimana terjadinya pelampung mengapung, dan bagaimana cara kerja berat jenis (BJ) inilah yang disebut dengan ‘ilmu’
Dalam pengetahuan modern, ilmu dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok a posteriori (pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen/pengalaman indrawi) dan kelompok a priori (pengetahuan yang TIDAK diperoleh dari percobaan/eksperimen) TAPI bersumber dari akal itu sendiri.
Irfan
Irfan atau tasawuf merupakan sebuah fenomena tersendiri didalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
tasawuf
tasawuf
Tidak seperti disiplin ilmu lainnya seperti ilmu fiqih, ilmu hadist, ilmu tafsir alquran, ilmu teologi, ilmu filsafat dan lainnya, ilmu irfan dianggap unik karena bisa dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang akademis dan sudut pandang sosial.
Para ahli irfan, jika dilihat dari sudut pandang akademis, mereka disebut urafa, dan jika dilihat dari sudut pandang sosial, mereka disebut sufi (mutasawwifah).
Urafa dan sufi tidak dipandang sebagai sekte yang terpisah didalam islam dan mereka sendiri mengakui perihal itu.
Mereka bisa ditemui hampir disetiap sekte dan mazhab islam, tetapi pada saat tertentu mereka juga bisa bersatu membentuk kelompok sosial yang berbeda satu sama lain.
Kelompok-kelompok sosial yang mereka bentuk sering menyita perhatian banyak orang-orang disekitarnya. Mereka sering mengasingkan diri dan atau diasingkan dari kelompok masyarakat islam lainnya.
Faktor-faktor yang mengasingkan mereka dari kelompok masyarakat islam lainnya diantaranya karena serangkaian gagasan dan pendapat mereka yang sering dianggap aneh dan berbeda, seperti aturan khusus yang menentukan pergaulan sosial mereka, pakaian dan kadang-kadang cara mereka menata rambut dan jenggotnya serta tempat tinggal bersama mereka seperti pasantren-pasantren khusus dan lain sebagainya.
Saya sebutkan demikian, bukan berarti secara serta merta semua penganut faham atau aliran irfan menunjukkan tanda-tanda lahiriah seperti itu untuk membedakan mereka dengan masyarakat umum lainnya, banyak juga diantara mereka yang tidak ikut-ikutan mengikuti pola berpakaian dan tampilan lahiriah dengan aturan-aturan khusus yang sedemikian itu.
Namun demikian, walaupun diantara mereka ada yang berpakaian dan berpenampilan sebagaimana layaknya masyarakat umum lainnya, tapi pada saat-saat tertentu mereka semua bisa saja secara bersama-sama dalam metodelogi irfan/tasawuf (sayr wa suluk). Saya lebih condong untuk mengatakan bahwa golongan yang terakhir inilah yang disebut dengan sufi, bukan kelompok yang mengada-ada dengan pakaian dan jenggotnya supaya kelihatan sufi :)
Sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa irfan/tasawuf bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut pandang sosial dan sudut pandang akademis. Kita akan kesulitan membicarakan irfan dari sudut sosial karena kita harus meneliti terlalu banyak mazhab/sekte-sekte dengan corak dan kebiasaan mereka yang satu sama lain sering sangat berbeda.
Saat ini yang mungkin dan yang mudah untuk kita telaah adalah melihat irfan sebagai disiplin ilmu secara akademis. Dilihat dari sudut pandang akademis, sebagai mana ilmu pengetahuan dan ilmu akademis lainnya, maka ilmu irfan-pun bisa dibagi menjadi dua cabang/aspek, yaitu aspek teori dan aspek praktik.
Dari aspek praktik irfan menjelaskan dan menguraikan hubungan dan tanggung jawab yang diemban manusia kepada dirinya sendiri, kepada alam semesta dan kepada Allah.
Kalau seperti itu terlihat pengertian irfan sama saja dengan pengertian akhlak (etika) , dan keduanya memang merupakan ilmu praktik. Namun demikian, walaupun dari sudut pengertian antara irfan dan akhlak lebih kurang sama saja, tapi dalam ‘aturan main’ dan fokusnya terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Bagaimana aturan main dan apa saja yang khas dari irfan ini nanti akan kita bahas pada artikel berikutnya yang kita beri judul ‘Mengenal Irfan“.
Kaidah Mutazilah
Kalau kita perhatikan sekilas tentang apa saja yang dijadikan kaum Mu’tazilah sebagai akidah pokoknya, nampaknya tidak ada yang aneh dan istimewa disana, bahkan poin nomor satu dan dua disepakati secara umum oleh banyak ulama sebagai dasar akidah islam itu sendiri.
Kaidah pokok mutazilah
Kaidah pokok mutazilah
Tetapi kenapa pemikiran mereka ini bagi sebagian tokoh islam lainnya malahan dianggap sebagai sebuah pemikiran yang ‘berbahaya’ ?
Mari kita lihat 5 kaidah pokok yang dijadikan pedoman oleh kaum mutazilah
1. Akidah Tauhid
Sebelum ke pokok persoalan, kita tidak boleh lupa bahwa yang namanya tauhid itu memiliki beberapa jenis dan tingkatan, yaitu : tauhid zati (keesaan zat), tauhid sifati (keesaan sifat), tauhid af’ali (keesaan perbuatan) dan tauhid ibadi (keesaan ibadah).
Tauhid zati : Artinya adalah bahwa zat Allah adalah satu dan tidak terpisah. Tak ada tandingannya. Semua eksistensi yang lainnya adalah merupakan ciptaan-Nya dan eksistensinya jauh dibawah-Nya. Tidak ada satu eksistensipun yang pantas untuk diperbandingkan dengan-Nya.
Tauhid Sifati : Artinya adalah bahwa sifat-sifat Allah seperti Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil dan seterusnya itu bukanlah merupakan eksistensi-eksistensi yang terpisah dari zat Allah. Sifat-sifat tersebut identik dengan-Nya, dalam pengertian yang lain bahwa sifat-sifat Tuhan itu adalah sedemikian rupa sehingga sifat-sifat-Nya merupakan realitas zat Allah sendiri, atau dengan kata lain bahwa manifestasi Tuhan itu adalah sifat-sifat ini.
Tauhid af’ali : Artinya bahwa semua perbuatan-perbuatan (termasuk perbuatan mansusia,red) ada karena kehendak Alllah, dan sedikit banyak dikehendaki oleh zat suci-Nya.
Tauhid ibadi : Artinya adalah bahwa selain Allah tak ada yang patut untuk disembah dan tak ada yang patut untuk diberi dedikasi. Menyembah atau beribadah kepada siapa atau kepada apa saja selain kepada Allah adalah syirik , dan orang yang melakukan hal seperti itu dianggap telah keluar dari tauhid islam.
Kalau kita perhatikan sekilas, dari ke empat jenis tauhid tersebut, tiga yang pertama adalah berhubungan dengan Allah sedangkan yang terakhir (tauhid ibadi) adalah berhubungan dengan makhluk.
Tapi secara prinsip tidaklah demikian adanya, pernyataan ‘La ilaaha ilallah’ adalah sebuah pernyataan yang meliputi semua aspek tauhid, termasuk didalamnya adalah aspek tauhid ibadi.
Kemudian, dari keempat tauhid tersebut, tauhid zati dan tauhid ibadi merupakan bagian utama dari akidah-akidah utama Islam. Siapapun yang mempersoalkan dan menentang kedua tauhid tersebut maka dia dianggap sudah keluar dari area Islam.
Sekarang kembali ke Mu’tazilah, bagi Mu’tazilah, yang disebut tauhid itu adalah tauhid sifati, bukan tauhid zati dan tauhid ibadi seperti yang sudah disepakati kebanyakan orang. Bahkan juga bukan tauhid af’ali sebagaimana tauhid yang dipahami oleh kaum asy’ariah.
Mutazilah
Persoalan dokrin atau akidah (tentang keyakinan hati) menjadi bahasan penting ketika ada diantara sekelompok orang yang mempersoalkan, apakah orang-orang fasik itu masih dianggap muslim (beriman) atau sudah jadi kafir karena kekufurannya?
mu`tazilah
mu`tazilah
Dan mengenai manusia, apakah manusia sesungguhnya mempunyai kehendak bebas atau apakah semua perbuatan manusia itu sudah “disetir” oleh Tuhan. Manusia itu bisa memilih nasibnya sendiri atau semuanya sudah ‘diatur’ oleh Tuhan? Kenapa di al-quran ada ayat yang bilang bahwa manusia itu bebas untuk memilih dan berkehendak dan diayat lain-nya lagi mengatakan tidak bebas?
Apakah isi al-quran itu memang bertentangan satu sama lain?
Aneka pendapat dan persoalan mulai muncul kepermukaan untuk menjawab pertanyaan dan persolan tersebut. Berbagai pendapat dan perselisihan-pun mulai terjadi sejak jaman pemerintahan Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib.
Mu’tazilah
Salah satu kelompok yang paling menonjol dalam jawab-menjawab persoalan kehendak bebas tersebut adalah kelompok Mu’tazilah. Kelompok ini pernah sangat disegani pendapat-pendapatnya, terutama ketika masa pemerintahan ada ditangan Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842) dan Al-Watsiq (842-847M).
Dokrin Mu’tazilah
Sebenarnya banyak sekali pendapat dan pandangan Mu’tazilah yang berkembang diluar pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan dimasa itu, mereka bahkan mulai merambah ke banyak persoalan penting lainnya seperti : persoalan sosial, antropologi, fisika dan bahkan filsafat.
Menurut mereka, semua persoalan ajaran agama yang diajukan tersebut tidak akan mudah bisa dipahami jika tidak meneliti atau mengkaji persoalan-persoalan lainnya yang masih terkait satu sama lain.
Dan dari sekian banyak persoalan yang menjadi perhatian mereka itu, nampaknya ada lima dokrin utama ( sebagaimana yang mereka akui sendiri ) yang menjadi ajaran atau prinsip utama mereka, yaitu :
1. Tauhid
* Tidak adanya pluralitas dan sifat.
2. Keadilan Ilahi
* Allah itu maha adil, maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluknya.
3. Allah memberi balasan (Al wa’d wal wa’id)
* Allah memberikan pahala bagi yang taat dan memberikan hukuman bagi yang durhaka, dan tak ada yang samar dalam persoalan ini. Karena itu Allah akan memberikan ampunan-Nya jika sipendosa bertobat, tak mungkin ada ampunan tanpa bertobat.
4. Sebuah posisi diantara dua posisi (Manzilah wal manzilatain).
* Orang fasik itu bukanlah orang beriman (mukmin), juga bukan orang kafir. Fasik merukan posisi antara orang beriman dan kafir.
5. Menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran ( Amar ma’ruf nahi munkar)
Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban islam ini, pertama adalah bahwa syariat bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu baik atau buruk, yang mana yang amar dan yang mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian dapat mengidentifikasi sendiri yang manakah yang baik dan mana yang buruk, serta yang sebelah mana yang ma’ruf dan sebelah mananya yang munkar.
Kedua kewajiban ini dapat dikerjakan atau ditunaikan oleh siapa saja tanpa memerlukan imam. Tugas imam, atau imam hanya diperlukan dalam mengelola persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kenegaraan dan pemerintahan, seperti mengimplementasikan hukum yang sudah ditentukan, mengatur batas-batasan suatu negara dan lain-lain yang terkait dengan pemerintahan islam.
Menghilangkan aku
In parapemikir@ yahoogroups. com, Ahmad Samantho
wrote:
Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.
Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?
Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.
Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?
Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).
Apa kaitannya dengan individualisme?
Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.
Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.
Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?
Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.
Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?
Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.
Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?
Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.
Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?
Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.
Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.
Cermin itu didalam manusia?
Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.
Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).
Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”
Maksudnya?
Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.
Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?
Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.
Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.
Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.
Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.
Pengetahuan
pengetahuan
pengetahuan
‘Ilmu’ dan ‘Pengetahuan’ adalah 2 hal yang mempunyai arti dan maksud yang berbeda. Ilmu dalam bahasa inggrisnya adalah “science” dan Pengetahuan adalah “knowledge”
Sehingga JELASLAH bagi kita sekarang untuk membedakannya :) , Pengetahuan adalah hasil kerja fikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara.
Lha? Maksudnya apa niy?
Maksudnya, mari kita lihat contoh :)
Misalnya, Ahong pergi memancing….
Disitu Ahong TAHU persis pelampung kailnya selalu terapung. Ahong akan membantah kalau ada yang mengatakan pelampung kailnya tenggelam. Yang demikian namanya ‘pengetahuan’ bagi Ahong. Bagi Ahong sudah tidak ada keraguan lagi tentang mengapungnya palampung kail, walaupun dia dipengaruhi oleh gurunya yang mengatakan pelampung kail tenggelam, Ahong tetap akan bersikukuh untuk mengatakan terapung.
Jika setelah mendengar perkataan gurunya, Ahong kemudian terpengaruh atau ragu tentang pelampung kailnya, maka sesungguhnya Ahong tidak lah tahu sama sekali tentang pelampung, Ahong tidak memeiliki ‘Pengetahuan’ tentang pelampung.
Apakah yang dimaksud dengan ilmu?
Kalau kita ambil contoh diatas, misalnya sekarang Ahong mengetahui pelampungnya bisa mengapung karena berat jenis (BJ) pelampung lebih kecil dari berat jenis (BJ) air, sehingga menyebabkan pelampung menjadi mengapung, maka ini lah yang disebut ‘ilmu’ bagi Ahong.
Jadi perdefinisi bisa kita lihat, ‘Pengetahuan CUKUP puas dengan hanya menepis keraguan terhadap satu perkara’
Sedangkan ilmu tidak berhenti hanya pada pengetahuan saja, tetapi mampu menangkap asal-usul pengetahuan itu sendiri. Rangkaian cerita, mulai dari pelampung yang mengapung, sampai dengan bagaimana terjadinya pelampung mengapung, dan bagaimana cara kerja berat jenis (BJ) inilah yang disebut dengan ‘ilmu’
Dalam pengetahuan modern, ilmu dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok a posteriori (pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen/pengalaman indrawi) dan kelompok a priori (pengetahuan yang TIDAK diperoleh dari percobaan/eksperimen) TAPI bersumber dari akal itu sendiri.
Arti Filsafat
Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’ . Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia.
Arti Kata Filsafat
Arti Kata Filsafat
Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Atau dengan kata lain bisa juga diartikan sebagai orang yang senang mencari ilmu dan kebenaran .Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cintai pengetahuan.
Sebelum Socrates, ada juga sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai kelompok sophist yaitu kelompok para cendikiawan. Kelompok ini menjadikan pandangan dan persepsi manusia sebagai suatu hakikat kebenaran, tapi karena kelompok ini sering keliru dalam memberikan argumen-argumennya maka lambat laun istilah sophist keluar dari arti aslinya dan berubah menjadi seseorang yang menggunakan argumen-argumen yang keliru (paralogisme) .
Sebagaimana kata sophist yang mengalami perubahan arti, lambat laun kata philosophos (filsuf) pun akhirnya berubah arti yakni menjadi lawan kata sophist. Dengan perubahan ini maka terjadi juga pergeseran arti kata philosophos dari ‘pencinta pengetahuan/ilmu’ menjadi seseoarang yang berpengetahuan tinggi. Sedangkan philosophia (filsafat) berubah menjadi sinonim dengan ilmu.
Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia) ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literatur-literaturnya.
Setelah masa kejayaan romawi dan persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian besar dari kaum muslimin di arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa arab, yang memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional.
Ketika kaum muslimin arab saat itu ingin menjabarkan pembagian ilmu menurut pandangan Aritoteles, mereka (muslimin arab) kemudian mengatakan bahwa yang disebut dengan pengetahuan yang rasional adalah pengetahuan yang memiliki dua bagian utama, yaitu Filsafat teoritis dan Filsafat praktek.
Filsafat teoritis adalah filsafat yang membahas berbagai hal sesuai dengan apa adanya, sedangkan filsafat praktek adalah pembahasan mengenai bagaimanakah selayaknya prilaku dan perbuatan manuasia.
Filsafat teoritis kemudian dibagi menjadi 3 bagian yaitu : filsafat tinggi (teologi) , Filsafat Menengah (matematika) , dan filsafat rendah (fisika). Filsafat tinggi (ilahiah) ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 bagian, yang pertama adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang umum dan yang kedua adalah filsafat yang berhubungan dengan perkara-perkara khusus.
Sedangkan filsafat menengah (matematika) dibagi menjadi 4 bagian, yakni ; Aritmetika, geometri, astronomi dan musik.
Dari sekian pembagian ilmu dan pembahasan yang membicarakan filsafat, agaknya ada 1 hal yang mendapat porsi lebih utama dari yang lainnya, dan yang 1 hal ini dinamai dengan berbagai macam nama yang maksudnya tetap sama yaitu , filsafat tinggi (’uyla), filsafat utama (aula), ilmu tertinggi ( a’la), ilmu universal (kulli), teologi (Ilahiyah), dan filsafat metafisika.
Ketika ‘perhatian’ para filsuf kuno tentang filsafat ini lebih tercurah pada masalah filsafat tinggi, maka akhirnya kita bisa melihat arti filsafat menurut para filsuf kuno yang terbagi menjadi dua, pertama adalah arti yang umum ; yaitu berbagai ilmu pengetahuan yang rasional dan yang kedua adalah arti khusus, yaitu : ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan (Ilahiyah) atau filsafat tinggi yang nota bene adalah pecahan dari filsafat teoritis.
Sekarang kita menemukan istilah umum dan khusus. Filsafat menurut istilah umum adalah ilmu pengetahuan yang rasional, sedangkan menurut pendapat yang tidak umum filsafat adalah ilmu yang oleh orang-orang kuno disebut sebagai filsafat tinggi, filsafat utama, ilmu tertinggi, ilmu istimewa, atau ilmu Ilahiyah.
Sedangkan menurut terminologi muslimin filsafat adalah adalah nama bagi seluruh ilmu rasioanal dan BUKAN nama dari satu ilmu tertentu. Filsafat adalah sebuah ilmu yang memandang dan mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek yang satu.
Filsafat
Dewasa ini filsafat tidak mendapatkan perhatian dan pembahasan yang cukup dari kita semua, untuk itu mudah-mudahan tulisan ini bisa menambah pengetahuan kita tentang filsafat sebagaimana adanya filsafat.
pengantar filsafat
pengantar filsafat
Sebelum membicarakan filsafat ada baiknya kita membicarakan sedikit pengantar tentang cara mendefinisikan suatu perkara. Ini penting karena masih banyak diantara kita salah kaprah dalam menerima arus informasi global. Cara pendefinisian dibagi menjadi dua. Pertama adalah pendefinisian Verbal (lafzhi) dan yang kedua adalah pendefinisian Arti Nyata (Maknawi).
Pendefinisan verbal (lafzhi) adalah cara mendefinisikan dengan maksud menjelaskan pengertian dari kosa kata yang digunakan atau menjelaskan pengertian dari istilah yang digunakan (linguistik).
Sedangkan pendefinisian Arti Nyata (maknawi) adalah cara mendefinisikan dengan mengungkapkan makna sebenarnya (hakekat) dari ke ‘apa’ an sesuatu.
Ketika seseorang bertanya, apakah yang dimaksud dengan ‘merpati’ . Sering kita temui bahwa maksud dari sipenanya dapat berbeda-beda. Adakalanya maksud sipenanya adalah tentang pengertian dari kata (kosa kata) tersebut, yakni merpati itu ‘apa’ dari arti bahasa atau istilah (terminologis). Dan jawaban tentang ke ‘apa’ an merpati ini dapat dijawab dengan bermacam-macam istilah dan definisi per-bidang orang yang ditanyakan, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan ‘arti’ yang banyak tentang ke ‘apa’ an merpati dari sisi terminologi. Menurut istilah ahli hewan, merpati adalah sejenis burung yang masuk kedalam katagori unggas, dan akan berbeda lagi definisi ke ‘apa’an merpati ini jika masuk kedalam kamus departemen perhubungan, maka yang disebut dengan merpati adalah sebuah pesawat terbang yang dikelola oleh sebuah maskapai penerbangan yang masuk kedalam katagori pesawat yang berplat merah (Perusahaan pemerintah).
Dalam menjawab pertanyaan semacam itu (tentang kosakata) ada kemungkinan semua jawaban yang di kemukakan adalah benar. Dan disini dibutuhkan kejeli-an dan ketelitian kita untuk mengetahui secara jelas tentang arti dan penggunaan dari kosa kata yang dipakai.
Jika kita akan mengdefinisikan suatu hal atau akan menjelaskan ke ‘apa’ an suatu istilah yang memiliki definisi lebih dari satu, maka kita harus mengatakan bahwa ‘ke apaan’ ini menurut istilah ahli fulan ini artinya ‘ini’ dan menurut istilah ahli fulan itu artinya adalah ‘itu’ . Menjelaskan ke’apa’an sesuatu dengan cara memaparkan pendapat-pendapat dari beberapa ahli-ahli yang berbeda bidang inilah yang disebut dengan pendefinisian verbal.
Tetapi sering juga kita menanyakan ‘ke apa-an’ sesuatu BUKAN bermaksud untuk mempertanyakan arti dari kosa kata yang digunakan melainkan tentang Hakekat (Arti Nyata) dan makna sebenarnya dari susuatu itu. Misalnya ketika kita bertanya, apakah yang disebut dengan ‘Nabi’ , tentu yang kita tanyakan bukanlah tentang arti dari kata nabi diletakkan untuk apa? Karena kita semua sudah tahu bahwa kata nabi diletakkan dan diperuntukkan untuk manusia dengan syarat dan ketentuan yang khusus, bukan kepada yang lainnya semisal kepada tumbuh-tumbuhan atau hewan.
Pertanyaan tentang ‘ hakikat dan substansi’ dari nabi tadi misalnya, jawaban subtansi terhadap ini hanya satu, tidak boleh lebih dan tidak mungkin semua jawaban tentang pertanyaan ini adalah benar. Jawaban untuk menjawab pertanyaan semacam inilah yang disebut dengan pendefinisian Arti Nyata (Maknawi/Hakiki)
Untuk menelaah suatu perkara, maka kedua cara pendefinisian ini haruslah digunakan secara berurutan dan hirarkis. Jika tidak demikian maka akan terjadi bias makna (paralogisme) antara maksud dan tujuan sipenanya dengan hakekat yang sebenarnya. Dalam hal ini mencari arti dari kosa kata yang akan digunakan (pendefinisian Verbal) haruslah lebih didahulukan, setelah jelas dan teliti dalam penggunaan kosa kata tersebut barulah kita bisa mencari tahu makna hakikinya ( Arti Nyatanya) .
Urutan tentang tata cara pendefinisian ini sungguh penting dan strategis dalam mencari dan menggali substansi dari suatu perkara, cara berurutan seperti ini bisa menghindari perselisihan yang tidak perlu. Karena jika tidak demikian maka bisa dibayangkan betapa rumitnya dan repotnya kita mencari tahu tentang arti sebuah ‘kata’ . Jika saja masing-masing pihak mendefinisikan arti ‘kata’ dengan bermacam-macam istilah dan bahasa yang sesuai dengan bidangnya, maka besar kemungkinan orang yang terakhir menemui ‘kata’ tersebut akan lebih banyak berselisih ketimbang mengerti.
Misal, suatu hari orang yang menciptakan istilah ‘keseluruhan’ yang berarti adalah semua dan bukan sebagian ataupun terbagi-bagi. Makna yang sebenarnya tentang ‘keseluruhan’ ini bisa menjadi bias kalau setiap orang mendefinisikannya sesuai dengan bidang dan keahliannya dimasa berikutnya, apalagi jika sudah di terjemahkan kedalam bahasa asing yang beraneka ragam, bisa jadi arti ‘keseluruhan’ akan menjadi sebagian ( yang pertama hilang kata ‘bukan’ -nya) . Jika peneliti berikutnya mengabaikan pentingnya urutan cara pendefinisian, bisa jadi dia tidak akan memperhatikan lagi istilah ‘ keseluruhan’ sebagai acuan dari persoalan yang dihadapi dan langsung menggunakan istilah ’sebagian’ sebagai kata ganti ‘keseluruhan’ . Sehingga orang terakhir yang bukan peneliti dan ahli ketika menemui istilah ‘keseluruhan’ langsung saja beranggapan bahwa ‘keseluruhan’ sama dengan ’sebagian’.
Begitu pula dengan kata ‘filsafat’ , banyak terjadi kekeliruan umum tentangnya diantara para filsuf barat dan para pengikutnya di Timur. Kita bisa mulai bahasan ini dengan kekeliruan awal dan ‘keluwesan’ yang tidak perlu yang di ajukan oleh para filsuf belakangan ini. Keluwesan yang tidak perlu ini berawal dari cara pendefinisian kata ‘filsafat’ itu sendiri.
Metode Iluminasi ini mendapat dukungan dari banyak pihak terutama kalangan filsuf Islam, penganut paham ini dinamakan dengan kelompok paham iluminasionis dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Syekh Syihabuddin Syuhrawardi.
Berbeda dengan kelompok iluminasionis, kelompok metode peripatetik yang diilhami oleh Aristoteles mempercayai bahwa argumentasi adalah tempat bertumpunya segala persoalan. Kelompok ini terkenal dengan tokohnya yang bernama Syekh Ar Ra’is Ibnu Sina.
Plato terkadang juga dikaitkan dengan kelompok iluminasionis, namun demikian bagaimana kebenarannya masih perlu dikaji lebih dalam lagi berhubung penulis sejarah filsafat yang terkenal seperti Syahristani sekalipun tidak pernah menyebut Plato sebagai penganut paham ini. Kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Syekh Syuhrawardi dalam bukunya ‘Hikmah al Isyraq’ bahwa Phytagoras dan Plato adalah termasuk dari beberapa cendikiawan kuno yang menganut aliran iluminatif.
Terlepas dari apakah Plato termasuk orang yang menganut paham iluminasionis ataupun bukan, namun kita perlu mengingat kembali landasan filsafat plato yang terkenal tentang hakikat (filsafat tinggi). Plato meletakkan pandangannya kepada tiga pilar utama yaitu :
1. Teori Ide.
Menurut teori ini apa-apa yang disaksikan manusia didunia ini, baik substansi ataupun aksiden, pada hakikatnya semua itu sudah ada didunia lain. Yang kita saksikan didunia ini semunya hanya semacam cermin atau bayangan dari dunia lain.
2. Teori tentang roh manusia.
Plato meyakini bahwa sebelum jasad manusia tercipta (manusia terlahir) , maka rohnya telah berada didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna, yaitu dunia ide. Setelah jasad tercipta maka roh menempatinya dan sekaligus terikat dengannya.
3. Plato menyimpulkan bahwa ilmu itu adalah mengingat kembali (remind) dan BUKAN mempelajari, yakni apa saja yang kita pelajari didunia ini pada hakikatnya adalah pengingatan kembali terhadap apa-apa yang sudah pernah kita ketahui sebelumnya. Logikanya adalah karena sebelum roh bergabung dengan jasad, roh tersebut SUDAH ADA didunia lain yang lebih tinggi dan sempurna dan telah menyaksikan dunia tersebut, dan dikarenakan hakikat dari segala sesuatu itu adalah di ‘ide’ nya maka seyogyanya ide ini telah mengetahui berbagai hakikat. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada setelah roh terikat dengan jasad tidak lain adalah sesuatu yang tadinya kita sudah tahu dan sekarang sudah terlupakan.
Plato menjelaskan kemudian bahwa karena roh sudah terikat didalam jasad, maka roh tidak bisa lagi mendapatkan cahaya sebagaimana yang tadinya dia dapatkan. Hal ini persis seperti tirai yang menghalangi cermin sehingga cermin tidak bisa menerima pancaran cahaya karena terhalang oleh tirai tersebut.
Dan ini hanya bisa disingkap dengan proses dialektika, atau metode iluminasi (penyucian jiwa , penahanan hawa nafsu dll) sehingga pancaran cahaya dapat masuk lagi kedalam cermin dan dan sekaligus bisa lagi merefleksikan gambaran dari dunia lain tadi.
Pandangan ini di tolak keras oleh Aristoteles, menurut Aristoteles perkara ‘ide’ itu adalah urusan mental (zhihn) , jadi tidak ada itu yang namanya universalia ‘ide’ .
Kedua, masalah roh…, Aristoteles percaya bahwa roh itu diciptakan seiring atau hampir bersamaan dengan penciptaan jasad. Dan jasad bukan merupakan tirai penghalang sama sekali bagi roh, bahkan dengan ‘bantuan’ jasadlah roh baru bisa mendapatkan semua informasi dan ilmu baru. Pengetahuan dan informasi yang didapatkan roh adalah melalui perantara jasad berupa panca indra dan instrumen jasad lainnya. Dan lanjut Aristoteles lagi, bahwa roh itu tidak pernah berada didunia lain sehingga roh itu sudah built up dengan berbagai ilmu pengetahuan.
No comments:
Post a Comment