Politik yang adil bagi setiap umat dimaksudkan sebagai pengaturan urusan negara dalam menerapkan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan bagi individu dan golongan serta untuk merealisasikan kemaslahatan Islam menjamin politik semacam itu. Dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem keadilan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia disetiap zaman dan tempat. Hal itu terdapat dua bukti yaitu Al-Quran dan Al-Hadis, yang menjadi dasar dan sumber utama Islam adalah Al-Quran, meskipun Al-Quran tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci, tetapi menetapkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulliyah tentang sistem pengaturan urusan umat dalam tatanegara Islam atau pemerintahan
Dalam hal ini, sistem ketatanegaraan Islam atau politik Islam yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh Khulafa Al-Rasyidin serta pemikir Islam sesudahnya.
A. Pengertian Musyawarah dan dasar-dasarnya
Kata musyawarah berasal dariakar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.
Ibnu Taimiyah mengakhiri bukunya dengan uraian tentang pentingnya peranan musyawarah dan tentang perlunya adanya pemerintahan. Menurutnya sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al Quran ayat 159 surat Ali imran, yang berbunyi:
•
Artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Al Quran dan sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum dan lain-lain yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
Seorang kepala Negara tidak boleh meninggalkan musyawarah. Juga Nabi SAW sendiri terkenal amat gemar bermusyawarah. Kalau Nabi SAW saja diperintahkan oleh Allah untuk musyawarah apalagi orang-orang lain.
Dilihat dari sumber kekuasan negara. Allah SWT menegaskan bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan-Nya, dalam hal ini terdapat dalam Al-Quran (Ali Imron, 4:26), yang berbunyi:
•
Artinya:
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Namun ditinjau dari cara Nabi Muhammad memperoleh kekuasaan dari masyarakat Madinah, adalah berdasarkan perjanjian dengan penduduk Madinah. Perjanjian yang dikenal dengan bay’ah al-aqabah. Dalam kacamata teori politik modern dapat disejajarkan dengan teori kontrak sosial, tentunya dalam batasan-batasan yang relatif longgar. Menurut teori ini, masyarakat atau rakyat sepakat untuk memberikan sebagian haknya kepada pihak lain (pemimpin) untuk diperintah dan diatur kehidupannya agar terjamin kebebasan sebagai kompensasi.
Sesuai dengan petunjuk Al-Quran, Nabi SAW mengembangkan budaya musyawarah dikalangan para sahabatnya. Beliau sendiri, meski seorang Rasul, amat gemar berkonsultasi dengan para pengikutnya dalam soal-soal kemasyarakatan. Tetapi dalam bekonsultasi Nabi tidak hanya mengikuti satu pola saja. Kerap kali beliau bermusyawarah dengan beberapa sahabat senior. Tidak jarang pula beliau hanya meminta pertimbangan dari orang-orang yang ahli dalam hal yang dipersoalkan atau professional. Terkadang beliau melemparkan masalah-masalah kepada pertemuan yang lebih besar, khususnya masalah-masalah yang mempunyai dampak yang luas bagi masyarakat.
Banyak peristiwa sejarah yang membuktikan bahwa beliau sering bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta saran dan pendapat mereka dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan. Bukti sejarah akan layak dijadikan acuan bagi seorang pemimpin.
Pada bentuk pertama dapat dicatat dalam musyawarah Nabi dengan sahabat senior tentang tawanan perang badar. Abu Bakar meminta agar tawanan tersebut agar dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka. Sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja. Semula Nabi menerima saran Abu Bakar dan banyak diantara tawanan perang yang dibebaskan.
Dalam musyawarah tersebut Nabi Muhammad SAW, seperti apa yang dikatakan Umar, lebih condong kepada pendapat Abu bakar. Namun, beliau masih memberi hak kebebasan kepada para sahabat untuk memilih, membunuh, atau melepaskan para tawanan dengan tebusan. Setelah mendengar petunjuk Nabi, para sahabat melepaskan para tawanan dengan meminta tebusan tunai yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, mereka yang tidak mampu membayar tebusan, tetapi mempunyai kepandaian membaca dan menulis, diwajibkan mengajar penduduk Madinah yang tidak pandai membaca dan menulis.
Namun keesokan harinya Allah menurunkan ayat al-Quran surat (Al-Anfal, 8:67):
Artinya:
Tidak patut, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam hal ini, mengoreksi keputusan Nabi dan Abu Bakar serta membenarkan membenarkan pendapat Umar, Nabi dan Abu Bakar menangis menyesali keputusan mereka sebelumnya.
Dalam bentuk kedua, Nabi menerima usulan Salman Al-Farisi untuk membuang benteng pertahanan dalam perang ahzáb menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit disekitar Madinah. Strategi ini ternyata berhasil menghadang tentara sekutu memasuki madinah. Akhirnya mereka pulang tanpa membawa hasil apapun.
Sedangkan ketiga dapat dilihat pada musyawarah Nabi dengan sahabat dalam rangka menghadapi kaum Quraisy Mekkah diperang Uhud. Nabi membicarakan strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Nabi sendiri menawarkan supaya kaum muslimin bertahan saja didalam kota menanti kedatangan musuh. Namun sebagian besar sahabat mengusulkan supaya pasukan Islam menyongsong mereka keluar Madinah. Pertimbangnnya adalah supaya anak-anak dan kaum wanita dapat terlindungi dari perang. Akhirnya Nabi SAW menerima usulan mayoritas sahabat dan menghadang tentara musuh di bukit Uhud.
Sementara keempat adalah keputusan Nabi SAW dalam menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi perjanjian Ubudiyah. Dalam masalah ini, Nabi mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, terutama Umar baik dalam penyusunan naskah perjanjian, maupun isi perjanjianitu sendiri yang terkesan merugikan pihak Islam. Ketika penyusunan naskah, Nabi selalu mengalah dan memperturutkan kemauan Suhail Ibn Amr, delegasi Quraisy Mekah. Suhail tidak setuju ketika Nabi SAW akan memulai penulisan naskah dengan lafa “bismillāhirrahmānirrahīm”. Suhail minta supaya kalimat tersebut diganti dengan “bismikallāhumma”. Suhail tidak kenal dengan Al-rahman dan Al-rahim. Nabi SAW memenuhi keberatan Suhail dan menyuruh Ali Ibn Abi Thalib untuk menuliskannya. Ketika hendak mendektekan lafaz perjanjian “ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dan Suhail Ibn Amr kepada Ali, lagi-lagi Suhail keberatan dan meminta supaya kata-kata Muhammad Rasulullah diganti dengan Muhammad Ibn Abdullah. Menurut Suhail, kalau ia mengakui Muhammad sebagai Rasul Allah, tentu tidak memerangi Muhammad. Nabi juga tidak keberatan dengan interupsi Suhail dan kembali memerintahkan Ali untuk menuliskannya sesuai dengan keinginan Suhail.
Dalam hal ini Rasulullah SAW diperintahkan Allah SWT untuk bermusyawarah dalam suatu urusan. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran (3: 159), yang berbunyi:
Artinya:
….karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti dijelaskan lebih jauh bahwa ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Allah SWT berfirman dalam surat (Annisa', 5:83), yang berbunyi::
•
Artinya:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Di dalam beberapa hadiś, banyak disinyalir tentang seruan terhadap musyawarah, karena Rasulullah SAW dan para Khulafa' Al-Rasyidin sering bermusyawarah, dan tidak menemukan perkara dengan pendapat individu.
B. Ashabiyah
Satu sumbangan yang asli dari Ibnu Khaldun kepada ilmu politik adalah teori tentang ashabiyah dan peranannya dalam pembentukan Negara. Istilah Ashabiyah oleh Franz Rosenthal diterjemahkan ke dalam bahasa inggris group feeling. Secara harfiyah kiranya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yakni rasa satu kelompok. Tetapi meskipun barangkali tidak sepenuhnya tepat, kata tersebut diterjemahkan menjadi solidaritas kelompok. Menurut Ibn Khaldun semua orang mempunyai kebanggaan akan keturunannya. Rasa saling sayang dan saling haru antara mereka yang mempunyai darah dan keluarga yang merupakan watak alami yang ditempatkan oleh Allah SWT pada tiap hati manusia. Itulah yang melahirkan semangat saling mendukung dan saling membantu, serta rasa ikut malu dan tidak rela kalau diantara mereka yang mempunyai ikatan darah, satu keturunan atau keluarga, mendapat perlakuan yang tidak adil atau hendak dihancurkan, dan adanya hasrat berbuat sesuatu untuk melindungi pihak yang terancam itu, dalam hal ini adalah teori ashabiyah.
Adapun uraian tentang teori ashabiyah atau solidaritas kelompok dapat kita ambil nilai dari pengaruh terhadap kehidupan bernegara, sebagai berikut:
1. Solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak manusia. Dasarnya dapat bermacam-macam: ikatan darah atau persamaan keturunan, bertempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Pembangkit ashabiyah itu adanya rasa malu pada tiap manusia kalau terjadi perlakuan tidak adil atau penganiayaan atas mereka yang mempunyai hubungan berdasarkan satu atau lebih dari ikatan-ikatan tersebut
2. Adanya solidaritas kelompok yang kuat merupakan suatu keharusan bagi bangunnya suatu dinasti atau Negara besar. Oleh karena itu jarang terjadi suatu dinasti dapat berdiri sendiri disuatu kawasan dimana terdapat beraneka ragam suku. Sebab dalam keadaan yang demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh konsep teori ashabiyah suku atau dengan perkataan lain dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat homogenetik, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok yang kuat.
3. Seorang kepala Negara atau raja, agar mampu secara efektif mengendalikan ketertiban Negara dan melindunginya, baik terhadap gangguan dari dalam maupun terdapat ancaman dari luar, harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan fisik yang memadai. Untuk itu dia memerlukan solidaritas kelompok yang besar dan kuat berupa loyalitas dari kelompoknya dalam menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar terhadap otoritas dan kekuasaannya. Oleh karenanya, dari beberapa ashabiyah atau solidaritas kelompok yang terdapat di Negara itu, kepala Negara atau raja harus berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan.
4. Banyak dinasti atau Negara besar yang bangun dari atau karena agama, oleh karena kekuasaan yang dimiliki penguasa atau raja itu berkat adanya superioritas atau keunggulan. Keunggulan tercapai karena adanya solidaritas kelompok yang kuat dan dengan pertolongan Allah AWT dalam menegakkan Agama maka manusia sepakat untuk mendesakkan kemauan dan ambisinya masing-masing, dan sebaliknya bersatu hati untuk mengusahakan tujuan-tujuan yang lebih mulia. Khusus bagi bangsa Arab, menurut Ibnu Khaldun, mereka hanya akan berasil mendirikan dinasti atau Negara kalau dibantu oleh agama. Hal tersebut disebabkan oleh bangsa Arab merupakan bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius, dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. Aspirasi pribadi masing-masing jarang searah. Tetapi dengan adanya agama (yang mereka terima), baik yang dibawa oleh seorang Nabi atau wali, wali (berkat pengaruh agama) mereka dapat mengendalikan diri masing-masing.
Dalam hal ini ada babarapa contok kasuistik dalam pemilihan kepala Negara yang cenderung menggunakan teori ashabiyah, adapaun sebagai berikut:
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dan sebelum jenazah Nabi dimakamkan.
Mereka bermusyawarah dengan mengambil tempat di perkampungan Bani Sai’dah, karena masjid Nabawi digunakan umat Islam berkumpul untuk memakamkan jenazah Rasulullah. Musyawarah diantara para sahabat Nabi SAW itu benar-benar bebas dan terbuka dalam menemukan calon kepala Negara (khalifah). Bahkan pendapat-pendapat itu begitu meruncing sehingga dikhawatirkan terjadi perpecahan dikalangan umat Islam. Tetapi berkat ukhuwah Islamiyah, perpecahan itu tidak terjadi dan kesepakatan bulat pun terwujud sebagai gambaran kehidupan dalam mengemukakan pendapat didalam musyawarah itu, sementara itu jalannya musyawarah di perkampungan Bani Sai’dah tersebut.
Menurut Mawardi pada hakikatnya pemilihan Abu Bakar dibalai pertemuan Bani Saidah itu oleh kelompok kecil yang terdiri dari lima orang selain Abu Bakar sendiri. Mereka itu adalah Umar ibn Khattab, Abu Ubaidillah Bin Jarrah, Basyir ibn Sa’ad, Asin ibn Khudair, dan Salim, seorang budak yang telah dimerdekakan yaitu Abu Khuzaifah. Dua diantara mereka dari kelompok muhajirin atau Quraisy dan dua dari kelompok anshar, masing-masing dari unsur khazraj dan unsur aus. Adapun banyak sahabat senior yang tidak ikut hadir pada pertemuan itu, seperti Ali ibn Abi Thalib, Usman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam, Saad ibn Abi Waqash, dan Thalhah ibn Ubaidillah. Tetapi ditinggalkannya mereka bukan suatu kesengajaan dalam artian pertemuan itu tidak direncanakan. Keadaan waktu itu sangat genting, sehingga memerlukan tindakan cepat dan tegas. Para sahabat senior tersebut kemudian seorang demi seorang, kecuali Zubair, dengan sukarela membaiat kepada Abu Bakar. Zubair memerlukan tekanan dari umar agar bersedia membaiat. Adapun Ali ibn Abi Thalib, menurut banyak ahli sejarah, baru berbai'ah kepada Abu Bakar setelah Fatimah, isteri Ali dan putrid tunggal Nabi SAW, wafat 6 bulan kemudian.
Pada tahun ketiga pemerintahannya, Abu Bakar mendadak jatuh sakit. Selama lima belas hari ia tidak bisa memimpin Şalat berjamah dimasjid. Sebagai wakil, Abu Bakar meminta Umar menjadi imam Şalat. Karena merasa sakitnya semakin berat dan kemungkinan ajalnya sudah dekat, Abu Bakar merasa perlu memberi wasiat tentang penggantinya kelak. Maka Abu Bakar menetapkan Umar bin Khattab. Tetapi khalifah Abu Bakar dengan penuh kesadaran menunjuk penggantinya sebelum ia meninggal dunia. Walaupun khalifah Abu Bakar menunjuk orang yang akan menjadi penggantinya, Ia tidak akan melakukan penunjukkan secara pribadi. Calon penggantinya di bicarakan dalam majelis syura, yang anggota-anggotanya antara lain adalah Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Usaid bin Khudair, dan lain-lain. Dengan diajukan nama Umar bin Khattab oleh khalifah sebagai calon pengganti Abu Bakar, sebagai besar majelis syura menerima. Hanya sebagian kecil yang keberatan.
Setelah majelis syura mengukuhkan Umar Bin Khattab sebagai pengganti khalifah Abu Bakar jika Abu Bakar meninggal dunia, khalifah Abu Bakar membuat surat keputusan tentang pengangkatan Umar Bin Khattab sebagai khalifah surat keputusan itu antara lain berbunyi:
Umar Bin Khattab telah kuangkat Umar Bin Khattab menjadi khalifah penggantiku. Hendaknya kamu taat dan patuh kepadanya aku tidak pernah melalaikan sesuatu kebaikan, baik, untuk Allah, Rasul dan agamanya., diriku, maupun untuk kaum semua. Jika ia berlaku adil, memang begitulah keyakinanku dan pengetahuanku atas dirinya. Tetapi jika ia menukar-menukar tiap-tiap orang memikul sendiri segala dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Hanya kebaikan yang aku kehendaki. Aku tidak mengetahui barang yang gaib. Orang-orang yang dalim itu kelak akan tahu juga kemana mereka akan dikuburkan. Semuga Allah mencurahkan rahmat kesejahteraan atas kamu semuanya.
Abu Bakar kemudian menemui umat Islam yang berkumpul di Masjid dan menyampaikan keputusannya memilih Umar. Abu Bakar bertanya, apakah semua kalian rela menerima orang yang kelak akan memimpin kamu? Demi Allah, sesungguhnya aku tidak melupakan pemikiranku dan tidak memilih karabatkmu sebagai penggantiku untuk memimpin kamu. Aku mengangkat Umar karena itu, dengar dan patuilah dia, para hadirin pun menyatakan sikap setuju dan mematuhi apa yang disampaikan Abu Bakar.
Sudah menjadi keawajiban dari pemimpin pemerintahan (waliyul amr) untuk mengangkat orang yang paling kompeten dan layak yang dia dapati untuk menyandang tugas itu. seperti halnya Utsman ibn Affan menjadi khalifah yang ketiga mengalami proses lain lagi, tidak sama dengan Abu Bakar tidak serupa pula dengan Umar Ibn Khattab. Ia dipilih oleh sekelompok orang yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar sebelum ia wafat. Pada pertengahan tahun kesebelas sejak Umar menjabat sebagai khalifah dia menderita luka-luka berat akibat enam kali tikaman seorang Persia bernama Fairus yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Luluah. Waktu itu datanglah sejumlah tokoh masyarakat memohon kepada Umar supaya segera menunjuk pengganti, karena mereka khawatir bahwa akibat luka-luka itu umar tidak akan hidup lebih lama lagi, dan kalau sampai wafat tanpa terlebih dahulu menunjuk penggantinya, dikhawatirkan akan terjadi pertentangan dan perpecahan dikalangan umat, tetapi Umar menolak memenuhii permintaan mereka dengan alasan bahwa orang-orang yang menurut pendapatnya pantas ditunjuk sebagai pengganti sudah lebik dahulu meninggal. Bahkan umar marah besar ketika tokoh-tokoh tersebut mengusulkan agar dia menunjuk salah seorang putranya sendiri, Abdullah ibn Umar. Dia menolak usul itu seraya menyatakan bahwa cukuplah sudah dari keluarga besar umar mendapatkan kehormatan menjadi khalifah. Mereka dengan kecewa meninggalkan rumah kediaman umar. Tetapi karena bahaya perpecahan makin tampak, hari esoknya mereka kembali lagi mengunjungi Umar dan mendesaknya agar segera menunjuk penggantinya.
Akhirnya Umar menyerah, tetapi tidak secara langsung menunjuk penggantinya. Dia hanya menyebutkan enam sahabat senior, dan merekalah nanti sepeninggalnya yang harus memilih seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah: Ali Ibn Abi Thalib, Utsman Ibn Affan, Saad ibn Abu Waqash, Abdurrahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah serta Abdullah ibn Umar.
Setelah Umar ibnu Khattab meninggal dunia, majelis syura bersidang untuk memilih salah seorang dari keenam calon yang telah diajukan oleh khalifah Umar Ibn Khattab. Majelis akhirnya memutuskan formatur tunggal yaitu Abdurrahman ibn Auf untuk memilih salah seorang diantara calon khalifah yang telah ditunjuk oleh Umar ibn Khattab dalam melaksanakan tugasnya sebagai formatur tunggal, Abdurrahman ibn Auf tidak hanya membatasi diri untuk berkonsultasi dengan anggota majelis syura, tetapi juga kepada tokoh-tokoh wanita, terutama para ummul mukminin (para istri nabi SAW). Untuk melaksanakan pemilihan dan sekaligus baiat bagi calon khalifah, Abdurrahman ibn Auf selaku formatur memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah shalat berjamaah, mulailah formatur tunggal mengumumkan hasil usaha formatur, kemudian mengambil calon-calon tersebut. Dimulailah dari Ali Ibn Abi Thalib, kemudian Abdurrahman ibn Auf menjabat tangan Ali Ibn Abi Thalib sambil bertanya “apakah anda bersedia berjanji menegakkan kitab Allah, sunnah Rasul-Nya dan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Abu Bakar dan Umar?”. Ali ibn Abi Thalib menjawab: “demi Allah, aku bersedia menegakkan kitab Allah dan sunah Rasul-Nya dan aku akan berusaha sekuat tenaga menurut kemampuanku. Mendengar jawaban seperti itu Abdurrahman ibn Auf melepaskan tangan Ali Ibn Abi Thalib dan mempersilakan duduk.
Selanjutnya, formatur memanggil Utsman ibn Affan, lalu menjabat tangan Utsman ibn Affan, sambil berkata: “apakah anda bersedia berjanji menegakkan kitab Allah, sunah Rasul-Nya dan kebijaksanaan yang pernah ditempuh oleh Abu Bakar dan Umar?”. Utsman ibn Affan menjawab dengan singkat: “demi Allah, ya”!. Mendengar jawaban seperti itu, Abdurrahman ibn Auf, selakku formatur tunggal, berucap: “ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!.” Semua yang hadir berdiri dan menyatakan baiat kepada Utsman ibn Affan selaku khalifah yang baru.
Setelah pembunuhan Utsman, para pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah, Zubair dan Saad ibn Abi Waqash untuk dibaiat untuk menjadi khalifah. Namun diantara mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia, karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk madinah dan veteran perang badar (sahabat senior). Menurutnya, orang didukung oleh komunitas inilah lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-Nakha’i melakukan baiat dan didikuti keesokan harinya oleh sahabat besar seperti Thalhah dan Zubair. Menurut sebuah riwayat Thalhah dan Zubair membaiat Ali dibawah ancaman pedang oleh Malik Al-Asytar.
Pasca pembunuhan Usman, suasana memang begitu kacau. Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Tidak semua umat Islam melakukan baiat kepada Ali di Syam, Muawwiyah yang masih keluarga Usman menuntut balas kepada Ali atas kematian Usman. Ia menuduh Ali berada dibelakang kaum pemberontak. Perlawanan Muawiyah ini bahkan dinyatakan secara terbuka dengan mengangkat dirinya sebagai Khalifah tandingan di Syam. Ia bahkan mengerahkan tentaranya untuk memerangi Ali, sedangkan di Mekkah, Ai’syah menggalang kekuatan pula bersama Talhah dan Zubair untuk melawan Ali. Namun demikian, Ali dianggap sah menduduki jabatan khalifah, karena dukungan oleh sebagian besar rakyat.
No comments:
Post a Comment