I. MUHKAM MUTASYABIH
Orang bisa saja mengatakan, bahwa semua ayat Al-Qur'an adalah muhkamat apabila yang dimaksudnya adalah keindahan. Karena semua ayat Al-Qur'an itu indah dan tesusun rapi. Lihat firman Allah sebagai berikut :
….كتب ا حكمته ايه
(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi …"(Q.S Hud, ayat1)
…ﷲ ﻧﺰﻝ ﺍﺣﺴﻦ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻛﺘﺒﺎ ﻣﺘﺸﺎﺑﻬﺎ
Allah telah menurunkan ungkapan yang paling baik, yaitu kitab (Al-Qur'an) yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang…" (Q.S Az-Zumar, ayat 23)
Pembahasan muhkam mutasyabih yag menjadi tugas Ulumul Qur'an adalah yang dimaksud oleh Surah Ali Imran, ayat 7, sebagai berikut kutipan tulisanya.
هوالذ ي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخرمتشبهت .فاماالذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاءالفتنة وابتغاءتاءويله. ومايعلم تاءويله الاالله واراسخون في العلم يقولون امنابه كل من عندربنا. ومايذكرون الااولوالالباب
Dialah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepadamu. Diantara (is)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kecondongan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya karena untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilanya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilanya, kecuali Alllah: dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata: "kami beriman padanya. Semuanya dating dari tuhan kami: dan tiddak dapat mengambi pelajaran (darinya) kecuali orang-orang yang berakal.
Menurut ayat ini, jelas bahwa ayat-ayat Al-Qur'an ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat. Atas dasar itulah maka para ulama memberi definisi kedua jenis ayat itu. Dr. Amir Aziz dalam diarasat fi 'Ulum Al-Qur'an mengiventarisasi enam definisi dalam masalah ini.
Pertama, definisi yang oleh Dr. Amir dinyatakan sebagipendapat ahlu SUnnah. Muhkam adalah yang bias dilihat pesanya dengan gambling atau dengan melalui ta'wil, karena ayat yang perlu dita'wil itu mengandung penertian lebih dari satu kemungkinan. Adapun mutasyabihat adalah ayat-ayat yang pengertian pastinya hanya diketahui oleh Allah. Missalnya saat dating hari kiamat dan makna huruf tahajji; yakni huruf-huruf yang terdapat pada awal surah seperti Qaf, Alif Lam Mim dan yang lainya.
Kedua, definisi dari bnu Abbas, muhkam adalah ayat yang penakwilanya hanya mengandung satu makna. Sedangkan mutasyabih, adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.
Ketiga, muhkam adalah ayat yang maknanya rasional. Artinya, dengan akal manusi saja pengertian ayat itu sudah dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya, bilangan raka'at dii dalam shalat lima waktu. Demikian juga penetapan kewajiban puasa yang dijatuhkan pada bulan Ramadhan, bukan bulan Sya'ban atau Muharram.
Keempat, ayat-ayat Al-Qur'an yang muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram hudud, faraidh, dan semuanya yang wajib diimani dan diamalkan. Adapun mutasaybih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam (sumpah) serta yang wajib diimani tetapi tak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud. Definisi ini, menurut Dr. Amir Abdul Aziz, juga dinisbatkan kepada ibn Abbas.
Kelima, ayat-ayat muhkamat yaitu ayat yang mengandung halal dan haram, di luar ayat-ayat tersebut, adalah ayat-ayat mutasyabihat. Keenam, ayat muhkam adalah ayat yang tidak ter-nasakh (tidak mansukh). Sementara ayat mutasaybihat adalah ayat yang di-nasakh.
Dari enam definisi yang dipaparkan Dr. Amir Abdul Aziz yang bias diambil adfalah definisi yang pertama . persoalanya yang sekarang, bisakah manusia mengetahui makna yat-ayat mutasyabihat dengan jelas?
Dalm menjawab pertanyaan ini, sedikit ada dua mazhab ulama. Perbedaan merea bersumber dari satu huruf. Yaitu huruf wau yang terdapat pada ayat 7 surat Ali Imran. Sementara ulama mengatakan huruf wawu sebelum kata Al-Rasikhun adalah huruf 'athaf kepada Allah. Dengan demikian Al-Rasikhun (orang-oarang yang mendalam ilmunya) pun dapat mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat. Salah seorang ulama yang memegang pendapat ini – menurut Dr. Shuby Shalih – adalah Abu Hasan Al-Asy'ariy. Maka menurutnya, ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat Allah termasuk yang di-ta'wil. Misalnay ayat mengenai yadullah atau yad Allah. Bagi Abu Al Hasan al-Asy'eriy, ayat: …ﻳﺪ ﺍﷲ ﻓﻮﻕﺍﻳﺪﻳﻬﻢ …ia artikan tidak secara harfiah. Teapi di-ta'wil-kan menjadi "kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka" dan bukan "tangan Allah diatas tangan mereka". Jadi kata yad bukan berarti tangan. Karena mustakhil Allah memiliki tangan. Tetapi berarti kekuasaan. Demikian juga ayat …ﺍﻟﺮﺣﻤﻦﻋﻠﻰﺍﻟﻌﺮﺵﺍﺳﺘﻮﻯ…
Bagi Abu Hasan dan ulama-ulama yang mentakwilkan ayat istiwa Allah tidak duduk atau bersinggasanah di atas 'Arsy. Tetapi dia memerintah dari suatu kedudukan yang tak terbandingkan oleh kekuasaan manapun. Pendapat ini mendapatkan dukungan dari Abu Iskhak al-Syairaziy. Menurut ulama yang bernama lengkap Ibrahim bin Ali Bin Yusuf ini, "sekiranya mereka (ulama – termasuk Al-Rasikhun fi al-'ilm) tidak mengetahui maknanya, tentu mereka tak ubahnya dengan orang-orang awam". Bagi tokoh ini, dimaktubkanya kata Al-Rasikhun dalam ayat 7 surat Ali Imran, justeru sebagai pujian terhadap mereka yang tidak sama dengan kebanyakan orang, termasuk di dalam memakai kitabullah
Pendapat- atau kastakan saja mazhab Abu Hasan – ini berbedadengan mazhab yang menamakan dirinya kaum salafiy. Bagi kalanganyang disebut terakhir ini wawu yang termaktub sebelum kata al-rasikhun adalah wawu isti'naf atau wawu permulaan. Dengan demikian mereka membaca ayat ini menjadi …ومايعلم تاءويله الاالله (dan tidak ada yang mengtahui takwilanya kecuali Allah). Selain itu, kalimat di mulai lagi dengan: واراسخون في العلم يقولون…(dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata…). Bila ditangkap secara utuh, pengertianya, bahwa hanya Allahlah yang mengetahui takwilanya, hanya mereka yang ilmunya mendalam sekalipun tidak mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat seperti bagaiman wujud yadullah itu.
II I'JAZIL QUR'AN
Menurut bahasa, kata i'jaz adalah masdar dar kata kerja a'jaza, yang berarti melemahkan, lawan dari kata qadara yang berarti kuat. Setelah di-idhafah-kan terhadap kata Al-Qur'an menjadi I'jazil Qur'an yang berarti melamahkanya Al-Qur'an kepada manusia untuk mendatangkan apa yang ditentangkan kepada mereka, yaitu membuat kitab tandingan. Menurut Qurai Syihab I'jazil Qur'an berarti menjadikan tidak mampu terhadap musuh-musuhnya dan bila kemampuan untuk melemahkan pihak lain itu amat menonjol maka dinamakan mukjizat. Dr. al-Ahthar dalam bukunya menyatakan I'jazil Qur'an berarti menjadikanya tidak mampu bagi manusia baik sendiri maupun bersama-sama untuk mendatangkan hal yang seperti Al-Qur'an.
II. 2 Macam-macam I'jazil Qur'an
Para ulamaberlai keterangan dalam menjelaskan macam-macam I'jazil Qur'an ini. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing. Menurut Abdul Razzaq Naufal dalam kitab Al-I'jazu al-Adadi lil Qur'anil Karim menerangkan bahwa I'jazilQur'an ada 4 macam yaitu.
1. Al-I'jazul Balaghi : kemu'jizatan segi sastra balaghanya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra arab
2. Al-I'jazul Tasyri'I : Kemu'jizatan segi pensyari'atan hukum-hukum ajaran, yang muncul pada masapenetapan hokum-hukum sysri'at islam.
3. Al-I'jazil Ilmi : kemu'jizatan segi ilmupengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmudan social di kalangan umat islam.
4. Al-I'jazil Adadi : kemu'jizatan segi kuantitiy atau matematis/statistic, yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih sekarang.
Menurut Al-Khottoby (wafat 388 H) dan buku Bayan I'jazil Qur'an mengatakan bahwa kemu'jizatan Al-Qur'an terfokus pada bidang kebalaghoan saja. Dalam arti beliau menganggap bahwa I'jazil Qur'an itu hanya satu, yakni al-I'jaziul Balaghi. Menurut Al- Jahidh (wafat 255 H) di dalam kitab Nuzdumul Qur'an dan Hujajun Nabawiyan serta Bayan wa at-Tibyan bahwa kemukjizatan al-Qur'an terfokus pada bidang susunan lafadz-lafadznya saja. Dalam arti I'jazil Qur'an hanya satu saja. Yaitu kemukjizatan susunan dengan semboyan. ﺇﻥﺇﻹﻋﺠﺎﺯﺇﻧﻤﺎﻫﻮﻓﻲﺍﻟﻨﻇﻢ
II. 3 Tujuan I'jazil Qur'an
Mukjizat berfungsi sebagi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka didbaratkan sebagi ucapan Tuhan: "apa yang dinyatakaan sang Nabi adalah benar. Di adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah aku melalui mukjizat itu". Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melamahkan atau membuktikan ketidak mampuan yang ditentang Mukjizat ditampilkan oleh Allah melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajarann Ilahi yang dibawa oleh masing-masing Nabi.
1. membuktikan bahwa Nabi Muhammad yang membawa mukjizat kitan Al-Qur'an itu adalah benar-banar seorang Nabi/Rasul Allah.
2. membuktikan bahwa kitab Al-Qur'an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad SAW.
3. menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balagha bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperi Al-Qur'an.
4. menunjukkan kelemahan dan upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombonganya.
III. ISRAILIYAT
Kata ini berasal dari jamaknya israiliyat yang dinisbatkan pada kata-kata"Irail" yang mempunyai makna sebagai "hamba Tuhan". Sebenarnya "israil" ini berasal dari bahasa "ibrani", dimana Ibran imerupakan salah satu bangsa Yahudi kuno yang banyak melahirkan ahli kitab. Kemudian pada masa Nabi Muhammad kitab-kitab Yahudi kuno dan ahli-ahli ktab yang mempelajarinya masih cukup banyak, ssalah satunya ahli kitab tersebut adalah Warokohbin Naufal yang menebak ketika nabi Muhammad SAW, yang akan menjadi Nabi ketika Nabi bermimpi bertemu dengan malaikat jibril selama 3 kali berturut-turut. Warokoh sendiri adalah seorang pemeluk Kristen pada masa Jahiliyah.
Ada sejarah lain yang menyebutkan bahwa kata israiliyat ini dinisbatkan kepada Nabi Ya'kub as putra Nabi Iskhak bin Ibrahim as. Suatu ketika Ya'kub mengadakan perjalanan bersama seluruh keluarganya. Di tengah perjalana pada malan hari, di bertemu tuhan yang mengajak bergumul melawanya sampai subuh. Karena Ya'kub bisa memenangkan pergumulan itu disebut dengan Israil. Sebagaimana yang termaktub dalam kitab kejadian 32;28 sebagai berikut : "Namamu bukan Ya'kib lagi, tetapi Israil, karena engkau bergumul melawan Alla".
Deskripsi Israiliyat dalam etimologinya dapat mengutip pendapat al-Zahabi , dimana Israiliyat bisa dsebut kisah atau dongeng kuno yang menyusup dalam tafsir dan hadis yang sumber periwayatanya kembali pada sumber Yahudi, Nasrani, dan lain sebagainya. Sedangkan ahli tafsir danhadis memperluas pengertian Israiliyat ini, dimana israiliyat bisa bermakna cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh islam ke dalam tafsir Al-Qur'an dan Hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasar dalam sumber-sumber lama (Al-Qur'an dan Hadis). Dapat disimpulkan bahwa israiliyat itu merupakan beberapa unsur-unsur cerita Yahudi, Nasrani dan lain sebagainya masuk ke dalam tafsir Al-Qur'an, baik yang sanadnya lengkap ataupun hanya bentuk dongeng al-kisah.
III. 1 Pandangan Ulama terhadap Israiliyat
Dengan adanya beberapa cerita Israiliyat dalam Al-Qur'an maka terdapat beberapa ulama juga mengeluarkan makhluk dalam menyikapi cerita-cerita israiliyat tersebut. Berikut ini uraian hukun-hukun yang dikeluarkan oleh para ulama :
1. Ibn Taymiyah : dalam kitab ilmu tafsirnya Ushul al-Tafsir, Ibn Tayniyah bahwa cerita-cerita Israiliyat boleh saja dipakai akan tetapi hanya sebagai saksi dan bukan untuk diyakini dari beberapa kriteria aspek kehidupan manusia.
2. Baqa'i : menurutnya di dalam al-Anwar al-Qawimah fi hukm al-Naql-Nya dijelaskan bahwa israiliyat ini diperbolehkan walaupun tidak dibenarkan atau idak didustakan dengan tujuan hanya inginmengetahui, bukan dijadikan pegangan.
3. Ibn Arabi : memaklumatkan tentang israiliyat ini hanya boleh diriwayatkan dan boleh dimuat dalam tafsir-tafsir hanya sebatas cerita-cerita yang menyangkut atau bersinggung dengan keadaan nabi sendiri, sedangkan kalau cerita orang lain perlu dipertanyakan dan membuutuhkan serta memerlukan penelitian yang lebih cermat.
4. Ibn Kasir: mempunyai 3 kriteria dalam menghukumi cerita-cerita israiliyat diantaranya:
a. cerita yeng sesuai dengan Al-Qur'an, hal inibenar atau boleh digunakan dengan catatan hanya sebagai bukti, bukan dijadikan hujjah (pegangan)
b. cerita yang terang-terangan dusta karena menyalahi ajaran islam, maka hukumnya harus ditinggalkan atau dibuang kaena merusak aqidah dan syarat islam.
c. Cerita yang didiamkan dimana cerita yang tidak ada dalam kebenaran Al-Qur'an, akan tetapi, tidak bertentangan dalam Al-Qur'an. Cerita ini boleh dipercaya tapi tidak boleh dijadikan pegangan (hujjah).
d. Ibn Mas'ud dan Ibn Abbas : Kedua ulama ini bisa meriwayatkan cerita-cerita israiliyat dari tokoh-tokohnya sendiri seperti Ka'ab al-Anbari, Wahab bin Mu'awiyah, Abdullah bin Salam dan Tamim al-Dari. Maka kedua ulama ini mempunyai hukum boleh mengambil cerita israiliyat baik meriwayatkan dan memuatnya dalam tafsir.
e. Abdullah bin Amr bin al-Ash : Abdullah bin Amr ini menghukumi mubah dari cerita-cerita Israiliyat ini tetapi bukan untuk I'tiqad dan dasar hukum, tapi hanya sebagai ishtishad.
III. 2. Para Tokoh periwayat Israiliyat
Pembahasan mengenai tokoh-tokoh israiliyat, maka tidak akan terlewatkan membahas sejarah islam, dimana tokoh-tokoh ini mempuunyai tahaban-tahaban tersendiri yang sesuaai dengan masa atau maa selama ia mendalami atau menganalisis cerita-cerita israiliyat. Selain itu pembicaraan tokoh-tokoh israiliyat ini akan dibagi menjadi tiga periode yaitu :
1. periode Saahabat : (Abu Hurairah, Ibn Abbas, Abdullah bin Umar bin 'Ash)
2. Periode Tabi'in : (Ka'ab al-Akhbari, Wahab bin Munabbah)
3. Periode pengikut tabiin ( Abdullah bin Salam[w 143 H], Ibnu Jurait [w 150 H], Muhammad bin Jarir at-Thabari)
III. 3 Klasifikasi Israiliyat dalam penafsiran Al-Qur'an
1. Ditinjau dari keshahihanya ada 2, diantaranya : (Israiliyat yang shahih dan yang Dhaif)
2. Ditinjau dari kesesuaian dengan syariat islam :
a. Sesuai dengan Syariat Islam.
b. Bertentangan dengan Syari'at Islam
c. Didiamkan (tidak ada yang menolak dan tidak ada yang memperkuat untuk Syariat Islam)
4. Ditinjau dari aspek materi ada 3 yaitu : (Akidah, Hukum, dan Nasihat atau Kejadian)
IV. ILMU QIRAAT
IV. 1. Definisi
Qiraat menurut bahasa berupa isim masdar dari lafal qara'a (fi'il madhi), yang berarti membaca. Maka qira'ah berarti bacaan atau cara membaca. Menurut istilah, definisi qira'ah yaitu : "Salah satu cara membaca Al-Qur'an yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushhaf Utsman". Karena itu, bacaan yang tidak selaras dengan kaidah bahasa Arab, atau sanadnya tidak mutawatir atau tidak cocok dengan tulisan dalam salah satu mushhaf Usman, tidaklah bisa dinamakan Qira'atil Qur'an
Iman az-Zarqani dalam buku Manahilul Irfan mendefinisikan qira'ah, sebagai berikut : "Suatu cara membaca Al-Qur'an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qira'ah, yang berbeda dengan cara orang lain dalam mengucapkan Al-Qur'anil Karim, sekalipun riwayat 9sanad) dan jalanya sama". Imam Ibnul Jauzy dalam kitab Munjidul Muqri'in mendefinisakn qira'ah, sebagai berikut : "Qira'ah ialah ilmu mengenai cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur'an dan perbedaan-perbedaanya". Imam Az-Zarkasyi dalam buku Al-Burhan Fil Ulumil Qur'an mengingatkan, bahwa qira'ah (bacaan) itu berbeda dengan Al-Qur'an (yang dibaca). Keduanya merupakan dua fakta yang berlainan. Sebab, Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi keterangan dan mukjizat. Sedangkan qira'ah ialah perbedaan cara membaca lafaz-lafaz wahyu tersebut di dalam tulisan huruf-hurufnya yang menurut Jumhur cara itu adfalah mutawatir.
Jadi qira'ah itu ialah cara membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang berupa wahyu Allah SWT, dipilih oleh salah seorang Imam ahli Qira'ah, berbeda dengan cara ulama lain, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir sanadnya dan selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab seerta cocok dengan bacaan terhadap tulisan Al-Qur'an yang terdapat dalam salah satu mushhaf usman.
IV. 2. Syarat-Syarat diterimanya qira'ah
Dari beberapa definisi qira'ah dapat diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya qira'atil Qur'an itu ada 3 macam sebagai berikut :
a. Harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
b. Sanad dari riwayatnya yang menceritakan qira'ah-qira'ah tersebut harus sahih.
c. Bacaan dari qira'ah tersebut harus cocok diterapkan kepada salah satu Mushhaf Utsman.
IV. 3. Macam-macam Qira'atil Qur'an
Qira'atil qur'an itu bermacam-macam. Jika ditinjau dari banyaknya para qura' yang mengajarkanya, ada tiga macam yaitu : Qira'ah sab'ah, asyarah, dan asyarata. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadis ada enam macam yaitu : Mutawattir, Masyur, Shahih, Syadz, Maudhu', dan mudraj. Sedangkanjika ditinjau dari segi nama jenisnya, ada empat macam, yaitu : Qira'ah, riwayat, Thariq, dan Wajah.
IV. 4. Pendapat Para Ulama tantang Qira'ah.
Prf. Manna'ul Qathan di dalam di dalam buku mabahits fi Ulumil Qur'an mengatakan, jumhur ulama berpendapat bahwa qira'ah sab'ah adalah mutawatirah. Bahkan, qira'ah tersebut dapat digunakan untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an, baik di dalam salat maupun di luar salat. Sebaliknya, qira'ah yang tidak mutawatirah, tidak boleh digunakan untuk membawa Al-Qur'an, baik di dalam shalat ataupun di luar shalat.
Imam Nawawi di dalam buku Syarah Muhadzdzab mengatakan, bahwa yang tidak boleh untuk membaca Al-Qur'an di dalam salat atau di luarnya adalah qira'ah syadzdzah. Qira'ah syadzdzah tersebut tidak termasuk Al-Qur'an, karena snadnya tidak shahih. Sebab, Al-Qur'an tidak dapat ditetapkan kecuali harus didasarkan sanad yang mutawatir. Sedangkan qira'ah syadzdzahadalah tidak mutawatir. Karena itu, jika ada orang lain yang berpendapat selain pendapat di atas adalah pendapat yang salah.
Bahkan, para fuqaha' Bagdad sepakat bahwa orang-orang yang membaca Al-Quran dengan qira'ah-qira'ah syadzdzah itu harus disuruh bertobat, karena mereka termasuk orang yang berdosa. Ibnu Abdil Barr juga menukilkan adanya ijmak kaum muslimin, bahwa tidak diperbolehkan membaca Al-Qur'an dengan qira'ah-qira'ah syadzdzah, dan tidak sah pula makmum kepada imam yang membaca Al-Qur'an dengan qira'ah syadzdzah itu.
IV. 5. Faedah qira'ah Shahih
1. menunjukkan bahwa kitab Al-Qur'an selalu terpelihara dari usaha-usaha tahrif, perubahan-penggantian, penguranagn maupun penambahan, meski kitab itu bisa dibaca dengan berbagai cara (qira'ah). Hal ini relevan dengan jaminan ayat 9 Surah Al-Hijr. Yang artinya sebagai berikut: "Kami yang menurunkan Al-Qur'an itu dan kami pula yang memeliharanya".
2. memberi keringanan umat agar mereka mudah membaca sesuai dengan cara-cara yang mudah dibacanya. Mereka tidak harus berpindah dengan cara-cara yang mereka sendiri tidak bisa, karena perbedaan kesanggupan, kemampuan, dan pembawaan masing-masing. Sebab, Nabi Muhammad SAW diutus untuk semua suku, kabilah dan bangsa. Karena itu, cara pelajaran-pelajaranya juga perlu bisa diterima dan dilakukan oleh masing-masing mereka itu.
3. menunjukkan kemukjizatan Rasul Al-Qur'an walaupun singkat tetapi padat, sehinggamasing-masing qira'at dapat menunjukkan ketentuan hukum syariat yang berlainan, meski dengan lafal yang satu tanpa diulang ataupun diubahnya, Contohnya seperti perbedaan lafal (waarjulakum) dari ayat 6 surat Al-Maidah : (wa amsahuu biru usikum wa arjulakum) lafal (arjulakum) itu dapat di baca nashab (fatha) ataupun di baca jer (kasrah). Jika dibaca nashab , dengan diathafkan kepada kalimat (biru uusikum) yang menunjukkan bahwa waktu berwudhu itu harus di basuh seperti halnya tangan sedangkan kalau di baca jer (kasrah), diathafkan (disambungkan) kepada kalimat yang menunjukkan kaki dalam hal berwudhu itu cukup di usap/disapu saja, seperti halnya kepala yang tidak perlu di basuh.
4. menunjukkan adanya kemungkinan bacaan yang berlainan dalam suatu lafal/kata, sehingga dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda. Contohnya seperti dalam ayat 222 surat Al-Baqarah : (walaa taqrabuu hunna hatta yathharuun) dibaca dengan tasydid huruf tha'nya ataapun dengan tidak di tasydid, berbunyi (hattaa yattohharn). Menurut jumhur, kata tersebut menunjukkan bahwa wanita yang haid itu tidak boleh dikumpuli suaminya. Kecuali setelah bersuci dengan mandi besar terlebih dahulu. Tetapi jika kata tersebut dibaca takhfif (tidak di tasydid) menunjukkan, bahwa wanita haid itu sudah boleh dikumpuli suaminya asal sudah suci/ sudah berhenti haidnya, meskipun belum mandi besar.
No comments:
Post a Comment