Friday, April 23, 2010

Islam dan politik,


A. Latarbelakang Masalah
Dalam diskursus keagamaan kontemporer, dijelaskan bahwa "agama" ternyata mempunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi seperti pemahaman orang-orang terdahulu, yakni semata-mata hanya terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, dan seterusnya. Selain ciri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama juga terkait erat dengan persoalan-persoalan historis kultural yang merupakan keniscayaan manusia.
Campur aduk masalah keagamaan dengan kepentingan-kepentingan yang lain, merupakan suatu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk dipecahkan. Apalagi terkait masalah agama dengan politik kenegaraan. Karena memang hal itu mempunyai multi tafsir, dan analisis serta sudut pandang yang berbeda dari para pemikir.
Wacana tentang hubungan antara Islam dan politik, atau Islam dan negara senantiasa menarik untuk dikaji. karena wacana tersebut juga melibatkan berbagai kalangan, baik itu dari kiai, politisi, akademisi, partai maupun negara, dan juga melintasi rentang waktu yang panjang dalam sejarah politik di negeri ini. Wacana tersebut telah melahirkan berbagai bentuk konflik dan kompromi yang mencerminkan kekuatan sekaligus kelemahan kelompok Islam itu sendiri. Dengan kekuatan dan kelemahan itu, Islam diharapkan bisa lebih kongkrit berperan dalam kehidupan bernegara.
Ada beberapa hal yang menarik perhatian para pemikir, aktifis dan ahli hukum muslim Indonesia selama kurang lebih enam puluh tahun, sejak kemerdekaan Indonesia. Mereka ingin membaharui muslim Indonesia dengan wajah yang baru dan dengan pemikiran yang baru pula. Seperti kaum muslimin di belahan dunia lainnya, kaum muslim Indonesia merespon beberapa persepsi tersebut secara berbeda.
Dari respon yang yang ada, kelompok muslim dapat dikatagorisasikan menjadi beberapa kelompok. Salah satu kelompok utama yang sering disebut dengan “santri”, yakni kelompok muslim yang mengidentifikasi diri dengan kuat pada keyakinan, ritual, dan fikih tradisional Islam Timur Tengah dan berupaya menyesuaikan budaya lokal, pemikiran intelektual, dan istitusi-institusi politik dengan sistem keagamaan tersebut. Istilah santri ini menjadi istilah yang multi makna tergantung pada konteks apa kata ini digunakan. Dalam bahasa antropologi seperti dikenalkan oleh Clifford Geertz, santri adalah varian yang dilawankatakan dengan kata abangan, yang tidak memiliki gairah keIslaman lebih dari sekedar identitas kependudukan. Sementara dalam terma keagamaan di Indonesia, santri bermakna orang-orang yang pernah belajar di pesantren.
Kelompok kedua yang sering disebut “muslim puritan” masih terikat dengan adat-istiadat dan nilai-nilai pribumi Asia Tenggara, yang kadang-kadang memperbaharui keyakinan dan ritual Islam agar terhubung dengan beberapa ciri penting dari nilai-nilai pribumi dan menyukai teknologi serta mendukung solusi-solusi politik yang tampak sesuai dengan sistem nilai ini.
Kelompok ketiga yang sering disebut dengan “nasionalis” merespon pemikiran sekuler barat tentang negara bangsa, tentang pentingnya nilai-nilai kewargaan yang muncul secara nasional, dan tentang pengunaan teknologi untuk menciptakan ekonomi nasional yang makmur.
Perbedaan ketiga kelompok tersebut di atas terletak pada aspek interpretasi ideologis yang melatarbelakangi aplikasi pikiran-pikiran kebangsaan mereka. Tujuannya sama mulia, yaitu merealisasikan kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi bagaimana menggapainya adalah hal yang berbeda. Inilah yang melahirkan perbedaan simbol dan wacana di antara mereka.
Interaksi dari ketiga kelompok ini merupakan faktor penting dalam perkembangan kehidupan sosial dan politik di Indonesia pada abad yang lalu. Ada problem-problem nyata dalam masalah ini, tapi beberapa kategori semacam ini penting untuk mengindentifikasi kelompok-kelompok dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Organisasi-organisasi Islam utama, yang muncul di Indonesia pada abad ke-20, antara lain Syarekat Islam, Muhammadiyyah, Nahdlatul Ulama’ dan Masyumi. Semuanya mewakili kelompok yang menekankan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek Islam Timur Tengah Tradisional. Semua mementingkan keunggulan hukum Islam, walaupun konsep-konsep mereka tantang apa sebenarnya hukum Islam itu kabur antara satu dengan yang lainnya.
Alasan-alasan yang menyebabkan tidak terjadinya kesepakatan dan kekaburan itu terletak pada perbedaan-perbedaan tentang apa yang sebenarnya membentuk sumber-sumber agama Islam, walaupun ada perbedaan interpretasi tertentu mengenai sumber-sumber ini. Kaum tradisionalis (kaum tua), yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama’, meyakini bahwa kebenaran agama termuat di dalam tulisan-tulisan ulama’ salaf, khususnya kitab yang ditulis oleh fuqaha’ dan para teolog.
Kaum modernis (kaum muda), yang diwakili oleh Muhammadiyyah, berpendapat bahwa penelitian dan interpretasi baru (ijtihad) terhadap dasar-dasar agama harus dilakukan, bukan bertumpu pada tradisi para penafsir masa silam. Pendekatan ketiga mungkin lebih tepat sebagai sesuatu variasi dari pendekatan kaum modernis, yang diwakili oleh Persatuan Islam yang menjadi salah satu materi pokok dalam penulisan skripsi ini, yaitu memberikan penekanan khusus pada makna penting al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber penelitian keagamaan.
Dari berbagai pandangan tentang kebenaran agama yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah serta hubunganya dengan teori suatu negara Islam memang menjadi suatu masalah tersendiri. Di dunia pesantren, sulit diperoleh suatu karya yang berarti tentang masalah ini. Banyak kalangan yang berbicara tentang sebuah negara dengan agama, namun sayangnya belum ada yang mampu mengartikulasikan hakekat dan corak suatu negara yang ingin mereka ciptakan. Federspiel mengolongkan kelompok masyarakat yang memandang hakekat dan corak suatu negara menjadi tiga.
Pertama, adalah golongan sekuler, yakni golongan yang memisahkan antara agama dan negara, mereka memandang bahwa antara agama dan negara tidak ada kaitannya, keduanya berjalan sendiri-sendiri. Agama dipandang hanya mengatur urusan individu dengan Tuhannya dan negara terlepas dari aturan-aturan agama itu. Negara mempunyai cara sendiri untuk mengatur pemerintahannya, dan tanpa agamapun suatu negara bisa berdiri sendiri.
Kedua, ada yang menganggap bahwa dalam ajaran Islam sendiri tidak dijelaskan secara rinci tentang bagaimana cara mengatur negara itu sendiri, karena konsep kenegaraan dalam Islam tidak pernah baku tentang teori ini (baca: sistem politik), mulai dari zaman Nabi S.A.W, para sahabat, tabi’in, sampai pada para intelektual dan politisi Islam sekarang ini. Dengan situasi yang seperti itulah, tidak jarang dan bahkan sering sekali akan menimbulkan konflik dan peperangan yang ahirnya bermuara pada perpecahan dan hilangnya persatuan Islam dan rasa kebersamaan diantara umat Islam itu sendiri. Dari sisi lain ada anggapan pemikiran yang menghendaki bahwa Islam tidak harus secara simbolik masuk dalam kehidupan negara, tetapi yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai dan prinsip Islam itu masuk dalam sejarah kehidupan politik dan bernegara, baik melalui pendekatan spritual atau kultural dengan akhlakul karimah seperti yang dilakukan Nabi S.A.W yang bisa menciptakan hubungan yang harmonis dan mesra antar sesama rakyat.
Ketiga, dianggap sebagai pemikiran simbiosis mutualisme. yang menganggap bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, Islam dan politik terkait secara organik, atau tidak dapat dipisahkan . Islam memuat cara hidup yang lengkap, yakni totalitas lengkap yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Mengatur sendi-sendi kehidupan sampai masalah politik. Bahwa Islam adalah agama sekaligus negara. Antara Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang saling menyatu, saling berinteraksi dimana negara berdasarkan syari’at Islam dengan ulama’ sebagai penasehat resmi sebagai eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Islam menjadi keniscayaan untuk dipakai sebagai dasar untuk mengatur kehidupan suatu negara
Dan salah satu pemikir politik Islam di Indonesia yang senada dengan pemikiran politik Islam tradisional atau pemikiran fundamental dan yang agak lebih extrim dalam pemikiran politik itu adalah Ahmad Hassan. Ahmad Hassan adalah figur sebagai seorang ulama’ dan juga tokoh sentral dalam Persatuan Islam, yaitu sebuah partai Islam di awal menuju kemerdekaan Indonesia.
Dan dari beberapa kajian tentang Persatuan Islam inilah, penulis mengungkapkan pemikiran-pemikiran Ahmad Hassan, karena beliaulah salah satu pemikir utama dalam Persatuan Islam. Yaitu sebuah partai yang secara formal berdiri pada 11 September 1923 di Bandung . Sebuah partai yang salah satu tujuan pendirianya adalah untuk memperluas diskusi-diskusi tentang keagamaan.
Pembahasan tokoh yang di bahas dalam skripsi ini adalah Hassan bin Ahmad. Tapi orang sering menulisnya dengan Ahmad Hassan atau A. Hassan. Dan bahkan ada yang menyebut dengan Hassan Bandung karena perjuangannya dimulai dari Bandung. Ahmad Hassan adalah pahlawan sekaligus tokoh pemikir Islam Indonesia yang menghendaki keharusan adanya pemerintahan Islam. Ahmad Hassan menginginkan Islam memasuki seluruh aspek kehidupan manusia, sesuai dengan keyakinannya, bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak.
Bukti nyata dari apresiasi ini adalah terus berkarya dan berkreativitas dalam mengisi pembangunaan bangsa, meneruskan perjuangannya yang belum tercapai serta tetap memiliki rasa nasionalisme yang tinggi disertai dengan nilai-nilai religiusitas yang cukup militan. Apabila kedua unsur tersebut berintegrasi pada seorang warga bangsa, maka hampir bisa dipastikan negara tesebut memiliki harkat dan martabat yang cukup tinggi di mata dunia internasional.
Pergulatan politik pada masa kemerdekaan Indonesia adalah siasat politik yang masih murni sebagai gerakan nasional yang melakukan resistensi (perlawanan) terhadap penjajah dalam hal ini adalah Belanda dan Jepang. Gerakan politik pada masa ini ditandai dengan sikap yang masih menjunjung tinggi kebersamaan dan meminimalisasi aspek-aspek yang justru akan menimbulkan perpecahan dan pada ujungnya menyebabkan sulitnya mewujudkan kemerdekan Indonesia.
Dalam dinamikanya di Indonesia, pemikiran tentang Islam politik juga menampakkan wajah yang kompleks. Hal itu bisa dilihat pada masa lalu, yakni abad ke-13 dan abad ke-14, ketika Islam dikenalkan dan disebarluaskan di Indonesia. Bangkitnya gerakan nasionalisme pada dekade awal abad ke-20 menandai permulaan diskursus Islam politik secara lebih jelas. Pada masa itu, gerakan masyarakat pribumi mulai bermunculan dengan visi politik yang jelas, yakni menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Tidak diragukan lagi, dalam gerakan nasionalistik itu Islam memainkan peran penting, bahwa Islam bukan saja mata rantai yang mengikat nasionalisme Indonesia, melainkan juga menjadi simbol kesamaan nasib dalam menentang penjajahan Belanda.
Tapi Menurut Ahmad Hassan yang juga tokoh Persatuan Islam (Persis) ini, ia mengatakan bahwa nasionalisme sama dengan ‘ashabiyyah. Berpegang teguh pada ‘ashabiyyah dan berjuang dengan ‘ashabiyyah maupun menggunakan dasar atau landasan ‘ashabiyyah adalah tidak termasuk golongan Nabi Muhammad saw. Maka, atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa nasionalime atau paham kebangsaan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hal itulah yang dikatakan oleh Ahmad Hassan dengan pergerakan faham kebangsaan saat itu, sehingga ia menilai "bahwa masuk dan membantu pergerakan-pergerakan yang berdasar kebangsaan itu dosa, karena sekurang-kurangnya pergerakan kebangsaan itu menuju kepada membuang undang-undang Allah dan Rasul-Nya dan mengantikan dengan hukum-hukum buatan manusia" .
Kerangka berfikir Ahmad Hassan banyak dipengaruhi oleh orang tuanya yang berfaham Wahabi . Konsep pemikiran Ahmad Hassan berangkat dari pengakuannya bahwa hanya al-Qur’an dan Sunnah sajalah yang menjadi pokok sumber hukum Islam. Selanjutnya ia menyatakan bahwa umat Islam harus melaksanakan hukum-hukum Allah dan untuk itu harus ada pemerintahan Islam. Hal ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang mengaharuskan adanya hukum-hukum Allah tersebut, jika tidak ada maka kita akan berbuat kezaliman.
Dari berbagai gambaran latarbelakang tersebut, penulis tertarik melakukan kajian terhadap pemikiran Ahmad Hassan. Meskipun ada yang memandang bahwa tokoh ini kecil, tidak begitu populer, tapi tidak bagi penulis. Ada sisi-sisi menarik yang penulis tangkap dari hasil pemikiran beliau, yaitu dibidang politik atau kebangsaan. Tentang pandangan beliau terhadap politik Islam itu sendiri serta implikasi pemikiran beliau terhadap perkembangan politik Islam di Indonesia.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas, maka pokok permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana pandangan Ahmad Hassan tentang politik Islam di Indonesia?
2. Bagaimana implementasi (penerapan) konsep pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam?
3. Bagaimana posisi pemikiran politik Ahmad Hassan dalam peta perkembangan politik Islam di Indonesia

C. Kajian Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, kajian terhadap sosok Ahmad Hassan memang pernah ada yang membahas atau melakukan penelitian. Penelitian-penelitian tersebut, pada temanya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Pertama, buku yang membahas pemikiran Ahmad Hassan dalam berbagai aspek, Entah itu dalam bentuk buku ataupun yang lainnya, salah satunya adalah buku "Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal" karya Syafiq A. Mughni yang mengambarkan riwayat hidup Ahmad Hassan, latarbelakang keagamaan Ahmad Hassan, karir Ahmad Hassan secara lengkap dan gamblang. Serta memaparkan ide-ide yang berkenaan dengan agama maupun politik. Buku tersebut juga memperkenalkan kontribusi Ahmad Hassan dan murid-muridnya yang menjadi tokoh Persatuan Islam. Dijelaskan juga bagaimana hubungan Ahmad Hassan dengan Soekarno.
Kedua, tulisan karya Howard M. Federspiel dalam buku "Persatuan Islam" dan "Labirin Ideologi Muslim" yang membahas tentang keyakinan dasar Ahmad Hassan dan kepercayaan-kepercayaan dasar Persatuan Islam. Selain itu membahas juga konrtribusi Ahmad Hassan yang menjadi tokoh Persatuan Islam, yaitu sebuah organisasi pergerakan yang mirip dengan gerakan-gerakan Islam Indonesia lainnya karena memiliki kesamaan perhatian yaitu beliau berusaha mendefinisikan kepada masyarakt Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan Islam. tentang apa prinsip-prinsip dasar agama Islam. Dan apa prilaku religius yang tepat untuk agama Islam.
Ketiga, sebuah buku yang berjudul "Gerakan Islam di Perlis" karangan Abdullah Abdul Rahman membahas tentang riwayat hidup Ahmad Hassan dan juga perdebatan dengan beberapa tokoh semasa hidup Ahmad Hassan. Buku ini membahas juga kawan-kawan Ahmad Hassan, serta pandangan beberapa tokoh terhadap Ahmad Hassan, baik itu berupa komentar tentang kepribadian Ahmad Hassan, tentang keahlian Ahmad Hassan maupun tentang peranan Ahmad Hassan dalam Persatuan Islam.
Harry Muhammad, dalam bukunya "Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad-20". Dalam buku tersebut menggambarkan pandangan Ahmad Hassan tentang demokrasi dan pandangan Ahmad Hassan tentang sekularisme serta bahayanya bertaklid.


D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam di Indonesia.
2) Untuk mengetahui implementasi konsep pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam.
3) Untuk mengetahui pemikiran Ahmad Hassan dalam peta perkembangan politik Islam di Indonesia.

E. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil dari studi ini diharapkan dapat berguna:
1) Secara teoritis:
a) Untuk memperkaya khasanah keilmuan dalam fikih siyasah terutama dalam kaitanya dengan politik Islam di Indonesia.
b) Untuk memperkenalkan sosok Ahmad Hassan sebagai salah satu tokoh pemikir politik Islam di Indonesia.
c) Menelaah kembali pemikiran Ahmad Hassan tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik dalam Islam maupun pemikiran Ahmad Hassan dengan hukum-hukum Islam sendiri.
2) Secara praktis: untuk dijadikan bacaan, referensi, dan rangsangan bagi penelitian berikutnya, terutama yang berkaitan dengan pemikiran Ahmad Hassan maupun gagasan-gagasan lainnya.

F. Definisi Operasional
1) Politik Islam: yang dimaksud adalah segenap konsepsi politik dan hubungan manusia dengan kekuasaan (politik) yang dilandasi atau diilhami oleh petunjuk Islam. Dalam terma Arab, politik Islam yang dimaksud adalah disebut dengan al-fiqh al-siya>si>.
2) Perspektif pemikiran politik Ahmad Hassan: yaitu pandangan, penilaian serta pemikiran beliau tentang politik Islam itu sendiri. Pemikiran politik Islam Ahmad Hassan yang dimaksud adalah pandangan dan pendapatnya yang tertuang dalam karya-karya yang ditulisnya.
3) Relevansi pemikiran politik Ahmad Hassan tentang pemikiran politik Islam di Indonesia: keterkaitan dan kesesuaian pandangan politik Ahmad Hassan dengan perkembangan peta politik Islam di Indonesia.

G. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Skripsi ini termasuk dalam penelitian kepustakaan atau literatur. Penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian. Adapun penelitian ini adalah bersifat historis, karena meneliti tentang tokoh dan pemikiranya, serta deskriptif- analisis , yaitu dengan memberi gambaran utuh dan sistematis dalam mengungkap pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam.
2) Data yang Dikumpulkan
1. Pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam yang terdapat dalam beberapa karya beliau, maupun hasil kajian seseorang terhadap pemikiranya
2. Biografi tentang beliau, latarbelakang politik serta tentang keilmuan beliau yang dibahas dalam karya lain.
3) Sumber Data
Sumber rujukan penelitian ini di antaranya:
a. Sumber data primer. Dalam penulisan ini adalah buku-buku karangan Ahmad Hassan yang berkaitan langsung dengan pemikiran politiknya. Dalam konteks ini adalah pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam buku Islam dan Kebangsaan (Bangil, Persatuan, Cet III, 1972).
b. Sumber data sekunder
1. Abdullah Abdul Rahman, Gerakan Islam di Perlis, Sejarah dan Pemikiran, Malaysia, Pena SDN.BHD, 1989.
2. AH. Zakki Fuad, Negara Islam atau Negara Nasional, Kediri, Jenggala Pustaka Utama, 2007.
3. Abdul Aziz, Politik Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2006.
4. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta, Raja Garafindo Persada, 2003.
5. Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Jakarta, Amzah, 2005.
6. Howard M. Federspiel, Labirin Idiologi Muslim, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2004.
7. Howard M. Federspiel, Persatuan Islam, Yogyakarta, Gajah Mada Universiti Press, 1996.
8. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1993.
9. Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung, Pemikir Islam Radikal, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1994.
4) Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini, penulis akan merujuk pada sumber-sumber yang telah ada, baik yang di tulis secara lansung oleh Ahmad Hassan maupun sumber-sumber sekunder yang lain. Penulis berusaha membaca, menganalisis dan mengkritisi pemikiran tokoh ini.
Setelah data terkumpul, maka teknik yang digunakan adalah membaca teks dan pembuatan catatan penelitian. Dalam pembacaan teks yang ditulis oleh Ahmad Hassan maupun hasil pembacaan orang lain terhadapnya, penulis menelaah terlebih dahulu dan berusaha mengkritisi agar memperoleh hasil yang maksimal.
5) Analisis Data
Data akan dianalisis mengunakan instrumen analisis deduktif dan hemeneutika. Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum lalu ditarik kewilayah khusus sehingga hasil analisis nantinya akan fokus pada pemikiran Ahmad Hassan mengenai pemikiran politik Islam dalam pandangan beliau.
Sedangkan penggunaan hermeneutik sebagai analisis penelitian ini lebih didasari pemikiran bahwa: untuk memahami makna yang terkandung dalam data beberapa tulisan tentang Ahmad Hassan perlu sebuah upaya penafsiran dan alat yang dapat digunakan untuk maksud tersebut adalah metode hermeneutika. Dengan kata lain, melalui hermeneutika peneliti berupaya mengubah ketidaktahuan peneliti akan pesan tekstual dan fenomena sosiologis, kultural maupun historis pada saat Ahmad Hassan hidup.



H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini bertujuan agar penyusunan skripsi terarah sesuai dengan bidang kajian. Adapun sistematika pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Merupakan pendahuluan yang dipaparkan secara umum tentang latarbelakang masalah yang dikaji. Hal ini juga merupakan langkah awal untuk melangkah pada bab-bab berikutnya. Dalam hal ini meliputi: latarbelakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan studi, kegunaan studi, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pemabahasan.
BAB II : Pembahasan tentang peta perkembangan politik, yang mengkaji tentang politik dalam Islam dan ketatanegaraan dari berbagai sudut pandang. Baik itu dalam Islam, maupun politik di Indonesia sendiri.
BAB III : Biografi, Pemikiran Ahmad Hassan tentang politik Islam serta latarbelakang pemikiranya.
BAB IV : Analisis terhadap pemikiran Ahmad Hassan serta relevansinya dengan kondisi Indonesia saat ini.
BAB V : Penutup dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, yang meliputi kesimpulan dan saran.

No comments:

Post a Comment