KIAI DAN POLITIK
Politik itu kotor, itulah kalimat yang selalu terdengar nyaring ketika mengomentari perilaku politik yang tidak terpuji. Kalimat tersebut begitu akrab, sehingga siapapun pasti sudah mendengarnya (baca: politik itu menggelikan (mengkritisi perilaku penyelenggara Negara lewat joke), oleh Sidharta GM).
Seperti halnya kiai yang terjun dalam dunia politik. Kita semua sudah memahami bahwa kiai demikian sentral. Kiprahnya demikian kompleks, dari menjadi rujukan persoalan agama sampai permasalahan rumah tangga. Dengan pemahaman dan suri tauladan yang dimilikinya, wajar bila banyak lapisan masyarakat mempercayakan barbagai persoalan yang dihadapi kepada kiai. Bagaimana baiknya kiai berperilaku.
Pada dasarnya kiai adalah guru yang lebih menitik beratkan (focus of interest) pada aspek pendidikan dari pada pengajaran kepada santrinya. Dalam konteks ini pendidikan yang mengarah kepada pengalaman dan keteladanan serta lebih penting daripada sekedar transfer of knowledge. Kiai biasanya lebih mengontrol shalat jamaah santrinya daripada mengontrol sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi pengajaran yang diajarkannya (baca: islam tradisional (realitas social dan realitas politik, oleh Prof. dr. KH. Ali Maschan Moesaa, M. Si).
Dalam prespektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan social dan politik masyarakat. Hal ini karena kiai adalah pemegang legitimasi keagamaan. Legitimasi keagamaan ini oleh pemerintah atau para elit politik dapat digunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan duniawi mereka.
Otoritas kiai tidak selamanya langgeng. Tidak sedikit kiai yang otoritasnya hancur akibat berselingkuh dengan penguasa atau memang mabuk kekuasaan. Pada saat umat sudah tidak percaya lagi terhadap otoritas kiai, saat itu juga umat secara perlahan akan meninggalkannya. Kasus ini banyak terjadi ketika pada zaman orde baru dalam pemerintahan presiden soeharto. Ketika kiai berbondong-bondong masuk GOLKAR. Umat tidak seecara otomatis ikut. Mereka bahkan malah mereka menjauhi sang kiai (baca: membaca peta politik Nahdlatul ulama (sketsa politik kiai dan perlawanan kaum muda NU), oleh: Tiik triwulan tutik dan jonaidy)
Tidak dapat dispastikan secara jelas, apakah yang melatarbelakangi munculnya persepsi yang beragam atas keterlibatan kiai dalam politik. Banyak tudingan miring juga di limpahkan pada kiai yang terlibat dalam politik. Utamanya politik praktis. Tidak dapat dipastikan juga apakah tudingan itu merupakan bentuk kekhawatiran atas keterlibatan kiai dalam konstelasi politik atau cenderung meremehkan kapasitas politik kiai. Akibatnya, tidak jarang banyak sebagian besar dari masyarakat kita menyayangkan keterlibatan kiai dalam ranah politik, bahkan beberapa wakti lalu menteri Agama maftuh basuni (2004-2009) juga menyampaikan pesannya agar para kiai kembali mengurusi pesantrennya (baca: kiai dan politik kekuasaan, oleh: Sholehuddin)
Dari analisis di atas,keterlibatan kiai dalam politik kemudian bermunculan, ada yang berargumant bahwa arah perkembangan dan system politik yang tidak lagi mengedepankan nilai-nilai dan akhlaqul karimah memberikan alas an bagi keterlibatan kiai. Seharusnya kiai bersama masyarakat (bersih) ‘NDANDANI’ politik yang sudah terlanjur buruk citranya serta kiai dapat memperbaiki system dan kultur politik kita yang terjadi kemudian bias jadi malah politik mengotori citra kiai. Oleh karena itu banyak yang menaruh kekhawatiran dengan keterlibatan kiai dalam politik. Karena dalam pandangan masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi negative terhadap politik.
Itulah sebabnya, asumsi utama yang harus dibangun adalah bahwa kiai sebagai manusia dan sebagai panutan umat sebagian ruang memberikan kecerdasan dalam berdemokrasi. Haruslah menjadi satu kesatuan, meskipun bukan menjadi suatu keharusan bagi kiai untuk berpolitik lewat partai politik atau perebutan kekuasaan. Keterlibatan politik kiai harus dimainkan dalam sebuah koridor moralitas sesuai engan integritas dan posisisnya.
Satu realitas yang terjadi ketika pemilihan presiden periode 2004-2009, KH Hazim Muzadi yang terkenal kiai kharismatik dan kiai khos mengumumkan bahwa dirinya menerima lamaran megawati soekarno putri sebagai calon wakil presiden waktu itu (baca: Aula (majalah NU(capres: All nahdliyins final). Ketika gagal dalam pemilihan tersebut, eksistensi kiai tersohor tersebut tercoreng citarnya serta adanya degradasi atau penurunan moralitasnya.
Tetapi yang terpenting bagi kita, bagaimana kita bisa mengambil sikap dalam pemilihan apapun, baik pemilihan presiden, legislative, walikota, ala daerah maupun kepala desa.tentunya kita akan menentukan pilihan kepada calon yang lebih anfa’ (bermanfaat) aslah (baik) dan aslam (selamat)’tandas anggota DPR dari fraksi PKB’(wawancara Aula terhadap Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M. Si)
OLEH:
KRITIKUSmania
Politik itu kotor, itulah kalimat yang selalu terdengar nyaring ketika mengomentari perilaku politik yang tidak terpuji. Kalimat tersebut begitu akrab, sehingga siapapun pasti sudah mendengarnya (baca: politik itu menggelikan (mengkritisi perilaku penyelenggara Negara lewat joke), oleh Sidharta GM).
Seperti halnya kiai yang terjun dalam dunia politik. Kita semua sudah memahami bahwa kiai demikian sentral. Kiprahnya demikian kompleks, dari menjadi rujukan persoalan agama sampai permasalahan rumah tangga. Dengan pemahaman dan suri tauladan yang dimilikinya, wajar bila banyak lapisan masyarakat mempercayakan barbagai persoalan yang dihadapi kepada kiai. Bagaimana baiknya kiai berperilaku.
Pada dasarnya kiai adalah guru yang lebih menitik beratkan (focus of interest) pada aspek pendidikan dari pada pengajaran kepada santrinya. Dalam konteks ini pendidikan yang mengarah kepada pengalaman dan keteladanan serta lebih penting daripada sekedar transfer of knowledge. Kiai biasanya lebih mengontrol shalat jamaah santrinya daripada mengontrol sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi pengajaran yang diajarkannya (baca: islam tradisional (realitas social dan realitas politik, oleh Prof. dr. KH. Ali Maschan Moesaa, M. Si).
Dalam prespektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi tindakan social dan politik masyarakat. Hal ini karena kiai adalah pemegang legitimasi keagamaan. Legitimasi keagamaan ini oleh pemerintah atau para elit politik dapat digunakan untuk melegalkan tindakan-tindakan duniawi mereka.
Otoritas kiai tidak selamanya langgeng. Tidak sedikit kiai yang otoritasnya hancur akibat berselingkuh dengan penguasa atau memang mabuk kekuasaan. Pada saat umat sudah tidak percaya lagi terhadap otoritas kiai, saat itu juga umat secara perlahan akan meninggalkannya. Kasus ini banyak terjadi ketika pada zaman orde baru dalam pemerintahan presiden soeharto. Ketika kiai berbondong-bondong masuk GOLKAR. Umat tidak seecara otomatis ikut. Mereka bahkan malah mereka menjauhi sang kiai (baca: membaca peta politik Nahdlatul ulama (sketsa politik kiai dan perlawanan kaum muda NU), oleh: Tiik triwulan tutik dan jonaidy)
Tidak dapat dispastikan secara jelas, apakah yang melatarbelakangi munculnya persepsi yang beragam atas keterlibatan kiai dalam politik. Banyak tudingan miring juga di limpahkan pada kiai yang terlibat dalam politik. Utamanya politik praktis. Tidak dapat dipastikan juga apakah tudingan itu merupakan bentuk kekhawatiran atas keterlibatan kiai dalam konstelasi politik atau cenderung meremehkan kapasitas politik kiai. Akibatnya, tidak jarang banyak sebagian besar dari masyarakat kita menyayangkan keterlibatan kiai dalam ranah politik, bahkan beberapa wakti lalu menteri Agama maftuh basuni (2004-2009) juga menyampaikan pesannya agar para kiai kembali mengurusi pesantrennya (baca: kiai dan politik kekuasaan, oleh: Sholehuddin)
Dari analisis di atas,keterlibatan kiai dalam politik kemudian bermunculan, ada yang berargumant bahwa arah perkembangan dan system politik yang tidak lagi mengedepankan nilai-nilai dan akhlaqul karimah memberikan alas an bagi keterlibatan kiai. Seharusnya kiai bersama masyarakat (bersih) ‘NDANDANI’ politik yang sudah terlanjur buruk citranya serta kiai dapat memperbaiki system dan kultur politik kita yang terjadi kemudian bias jadi malah politik mengotori citra kiai. Oleh karena itu banyak yang menaruh kekhawatiran dengan keterlibatan kiai dalam politik. Karena dalam pandangan masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi negative terhadap politik.
Itulah sebabnya, asumsi utama yang harus dibangun adalah bahwa kiai sebagai manusia dan sebagai panutan umat sebagian ruang memberikan kecerdasan dalam berdemokrasi. Haruslah menjadi satu kesatuan, meskipun bukan menjadi suatu keharusan bagi kiai untuk berpolitik lewat partai politik atau perebutan kekuasaan. Keterlibatan politik kiai harus dimainkan dalam sebuah koridor moralitas sesuai engan integritas dan posisisnya.
Satu realitas yang terjadi ketika pemilihan presiden periode 2004-2009, KH Hazim Muzadi yang terkenal kiai kharismatik dan kiai khos mengumumkan bahwa dirinya menerima lamaran megawati soekarno putri sebagai calon wakil presiden waktu itu (baca: Aula (majalah NU(capres: All nahdliyins final). Ketika gagal dalam pemilihan tersebut, eksistensi kiai tersohor tersebut tercoreng citarnya serta adanya degradasi atau penurunan moralitasnya.
Tetapi yang terpenting bagi kita, bagaimana kita bisa mengambil sikap dalam pemilihan apapun, baik pemilihan presiden, legislative, walikota, ala daerah maupun kepala desa.tentunya kita akan menentukan pilihan kepada calon yang lebih anfa’ (bermanfaat) aslah (baik) dan aslam (selamat)’tandas anggota DPR dari fraksi PKB’(wawancara Aula terhadap Prof. Dr. KH. Ali Maschan Moesa, M. Si)
OLEH:
KRITIKUSmania
No comments:
Post a Comment