HUKUM adat, sebenarnya dikembangkan masyarakat dalam kurun generasi tertentu yang disusun dengan tujuan untuk menghindari atau menyelesaikan sengketa, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, seharusnya hukum positif dan hukum adat dapat dikembangkan bersama untuk dapat saling memperkuat. Sehingga berbagai sengketa yang terjadi di tengah masyarakat bisa teratasi tanpa menimbulkan konflik berkelanjutan.Apa fungsi sesungguhnya hukum adat dan bagaimana upaya menjaga eksistensi hukum ini agar sejalan dengan hukum positif? Berikut petikan wawancara Wartawan Fajar Sultan Rakib dengan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, Selasa 1 Mei di Hotel Sahid Jaya Makassar usai membuka seminar tentang Pluralisme Hukum dan Tantangannya bagi Pembentukan Hukum Nasional, yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Apa sebenarnya hukum adat itu. Dan bagaimana sejarah terbentuknya di Indonesia?
Hukum adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah tertentu. Misalnya, di Sulsel ini ada masyarakat Kajang di Bulukumba, Komunitas Toraja di Tator dan sebagainya. Komunitas ini tentu memiliki rule of the game yang berbeda.
Sejarah terbentuknya hukum adat, sebenarnya dilatarbelakangi oleh kondisi geografis, tipologi dan lain sebagainya oleh masyarakat di Indonesia. Ingat, kita (Indonesia) ini terdiri dari berbagai suku dan memiliki adat yang berbeda pula. Dalam suatu komunitas, itu memiliki rule of the game yang berbeda pula. Tapi intinya, aturan adat ini mampu mendamaikan berbagai bentuk sengketa di dalam masyarakatnya.
* Hukum adat saat ini sering tak dilirik lagi. Masyarakat lebih memilih hukum positif. Tanggapan Anda?
Hukum adat memang sering dinilai sudah lewat atau kuno. Banyak yang menilai hukum adat adalah the things is pass. Padahal, aturan ini masih sangat efektif di tengah masyarakat dan masih diyakini mampu menjadi solusi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Khususnya bagi komunitas yang memiliki persamaan budaya.
Jadi jika ada masyarakat memiliki sengketa, maka harus diselesaikan dulu secara hukum adat. Jangan semua persoalan itu dibawa untuk dipengadilankan. Masyarakat sendiri memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalahnya sendiri. Pertanyaannya, kenapa mesti dipengadilankan, jika masyarakat mampu menyelesaikan secara adat. Kenapa harus ada saling tuntut menuntut di pengadilan.
Perlu diketahui, jika masalah sudah sampai di pengadilan, ujung-ujungnya ada yang menang dan ada yang kalah. Buntutnya, atas hasil ini tentu akan menimbulkan persoalan baru lagi di tengah masyarakat, khususnya yang bersengketa. Beda ketika masalah ini diselesaikan dengan secara hukum adat tak ada definisi itu (menang atau kalah). Nah, kalau tak ada yang menang dan tak ada yang kalah, maka itu berarti ada win-win solution. Kalau ada win-win solution, berarti yang bersengketa bisa hidup harmonis. Intinya, hukum adat mampu menyelesaikan sengketa dan mencegah timbulnya konflik berkelanjutan.
Masalah hukum positif atau hukum nasional, idealnya harus menjadi jalan terakhir jika hukum adat tak bisa mendamaikannya.
* Berarti penilaian Anda hukum adat jauh lebih efektif dibanding hukum nasional?
Dari segi hasil, tentu hukum adat jauh lebih efektif. Karena itu tadi, kalau hukum adat tak ada istilah dikotomi menang atau kalah. Semua yang bermasalah memiliki kepuasan dari hasil hukum adat yang diputuskan. Tapi tentu dengan perimbangan pelaku hukum adat ini masih memiliki wibawa yang cukup besar untuk memimpin hukum informal ini di suatu wilayah tertentu.
Contoh, ya di Kajang (Bulukumba). Kenapa lingkungan sekitarnya bersih dan teratur, karena aturan adatnya jelas, yakni mengatur tentang kerusakan alam dan sebagaianya.
* Bagaimana menjabarkan aturan adat ini dalam konteks modern?
Itu susah. Karena masyarakat dalam wilayah tertentu hanya mampu mengaplikasikan aturan adat ini di wilayahnya sendiri. Mereka tentu memiliki cara sendiri untuk menyikapi berbagai persoalan yang menimpanya. Coba Anda pergi ke desa, di sana akan Anda temukan suatu keharmonisasian.
* Bagaimana Anda melihat fenomena sekarang?
Saat ini hukum adat sudah ditinggalkan. Tapi ironisnya, masyarakat yang melalui jalur hukum pengadilan justru banyak yang kecewa. Karena kalau pun menang, tak ada kepastian untuk melakukan eksekusi. Ini sangat memprihatinkan.
Tapi kalau hukum adat, tak ada istilah dikotomi antara yang menang dan kalah. Semuanya dilakukan dengan dasar kekeluargaan dan kebersamaan. Jadi sekali lagi tak menimbulkan konflik berkepanjangan. (*)
Apa sebenarnya hukum adat itu. Dan bagaimana sejarah terbentuknya di Indonesia?
Hukum adat adalah adalah seperangkat norma dan aturan kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah tertentu. Misalnya, di Sulsel ini ada masyarakat Kajang di Bulukumba, Komunitas Toraja di Tator dan sebagainya. Komunitas ini tentu memiliki rule of the game yang berbeda.
Sejarah terbentuknya hukum adat, sebenarnya dilatarbelakangi oleh kondisi geografis, tipologi dan lain sebagainya oleh masyarakat di Indonesia. Ingat, kita (Indonesia) ini terdiri dari berbagai suku dan memiliki adat yang berbeda pula. Dalam suatu komunitas, itu memiliki rule of the game yang berbeda pula. Tapi intinya, aturan adat ini mampu mendamaikan berbagai bentuk sengketa di dalam masyarakatnya.
* Hukum adat saat ini sering tak dilirik lagi. Masyarakat lebih memilih hukum positif. Tanggapan Anda?
Hukum adat memang sering dinilai sudah lewat atau kuno. Banyak yang menilai hukum adat adalah the things is pass. Padahal, aturan ini masih sangat efektif di tengah masyarakat dan masih diyakini mampu menjadi solusi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Khususnya bagi komunitas yang memiliki persamaan budaya.
Jadi jika ada masyarakat memiliki sengketa, maka harus diselesaikan dulu secara hukum adat. Jangan semua persoalan itu dibawa untuk dipengadilankan. Masyarakat sendiri memiliki cara tersendiri untuk mengatasi masalahnya sendiri. Pertanyaannya, kenapa mesti dipengadilankan, jika masyarakat mampu menyelesaikan secara adat. Kenapa harus ada saling tuntut menuntut di pengadilan.
Perlu diketahui, jika masalah sudah sampai di pengadilan, ujung-ujungnya ada yang menang dan ada yang kalah. Buntutnya, atas hasil ini tentu akan menimbulkan persoalan baru lagi di tengah masyarakat, khususnya yang bersengketa. Beda ketika masalah ini diselesaikan dengan secara hukum adat tak ada definisi itu (menang atau kalah). Nah, kalau tak ada yang menang dan tak ada yang kalah, maka itu berarti ada win-win solution. Kalau ada win-win solution, berarti yang bersengketa bisa hidup harmonis. Intinya, hukum adat mampu menyelesaikan sengketa dan mencegah timbulnya konflik berkelanjutan.
Masalah hukum positif atau hukum nasional, idealnya harus menjadi jalan terakhir jika hukum adat tak bisa mendamaikannya.
* Berarti penilaian Anda hukum adat jauh lebih efektif dibanding hukum nasional?
Dari segi hasil, tentu hukum adat jauh lebih efektif. Karena itu tadi, kalau hukum adat tak ada istilah dikotomi menang atau kalah. Semua yang bermasalah memiliki kepuasan dari hasil hukum adat yang diputuskan. Tapi tentu dengan perimbangan pelaku hukum adat ini masih memiliki wibawa yang cukup besar untuk memimpin hukum informal ini di suatu wilayah tertentu.
Contoh, ya di Kajang (Bulukumba). Kenapa lingkungan sekitarnya bersih dan teratur, karena aturan adatnya jelas, yakni mengatur tentang kerusakan alam dan sebagaianya.
* Bagaimana menjabarkan aturan adat ini dalam konteks modern?
Itu susah. Karena masyarakat dalam wilayah tertentu hanya mampu mengaplikasikan aturan adat ini di wilayahnya sendiri. Mereka tentu memiliki cara sendiri untuk menyikapi berbagai persoalan yang menimpanya. Coba Anda pergi ke desa, di sana akan Anda temukan suatu keharmonisasian.
* Bagaimana Anda melihat fenomena sekarang?
Saat ini hukum adat sudah ditinggalkan. Tapi ironisnya, masyarakat yang melalui jalur hukum pengadilan justru banyak yang kecewa. Karena kalau pun menang, tak ada kepastian untuk melakukan eksekusi. Ini sangat memprihatinkan.
Tapi kalau hukum adat, tak ada istilah dikotomi antara yang menang dan kalah. Semuanya dilakukan dengan dasar kekeluargaan dan kebersamaan. Jadi sekali lagi tak menimbulkan konflik berkepanjangan. (*)
No comments:
Post a Comment