A. Urgensi Pemerintahan Dalam Islam
1. Teori Kenegaraan Dalam Islam
Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhamaad dapat dikatakan sebagai negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah memnuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu negara; yaitu wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar.
Menurut Munawir Sjadzali, Piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang mejemuk di Madinah. Landasan tersebut adalah; pertama, semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan; kedua, hubungan intern komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dengan didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Dilihat dari praktik nabi muhammad mendirikan dan memimpin negara madinah, dapat disimpulkan bahwa keberadaan sebuah negara adalah penting dalam Islam. Dengan adanya negara, maka wahyu-wahyu Allah dapat diterapkan secara efektif dalam ruang dan waktu, sehingga terciptalah kebahagian, ketentraman dan keharmonisan kehidupan manusia. Namun negara bukanlah tujuan islam, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal ini merupakan isyarat bahwa dalam soal kenegaraan dan pemerintahan, nabi muhammad tidak memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sedangkan formulasinya dan hal-hal lain yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada umat islam. Merekalah yang merumuskannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang mereka hadapi. Ini pula sebabnya kenapa Nabi tidak menunjuk secara tegas siapa yang kelak akan menggantikan beliau setelah meninggal dunia, karena masalah suksesi kepemimpinan ini juga termasuk hal-hal yang bersifat teknis.
2. Tujuan Negara
Tujuan Islam terpenting adalah mewujudkan keadilan sosial yang terformulasi dengan tindakan “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan” (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar). Namun, siapa saja yang menghendaki suatu tujuan, konsekwensinya harus mau melaksanakan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam hal ini Ibn Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M) menegaskan, ”Allah mewajibkan manusia untuk melakukan perintah berlaku ma’ruf dan nahi munkar, keadilan, melaksanakan haji, melaksanakan shalat-shalat jemaah, jujur, amamat, dan memerangi orang-orang yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan imarah (kepemimpinan)”. Begitupula menurut pendapat al-Mawardi bahwa imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia (al-imamah mawdhuatun li khilafatin nubuwwah fi hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
Tujuan lembaga pemerintahan dalam pandangan al-Ghozali, adalah lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at, mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan urusan agama.
Oleh karena itu, keberadaan negara dan pemerintahan sangat penting dalam rangka mengurus dan mengayomi masyarakat. Bahkan al-Mawardi berpendapat bahwa Imamah adalah sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara.
Menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, bahwa tujuan pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat islam, yaitu memperoleh kebahagian di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena tujuan ini tidak mungkin dicapai hanya secara pribadi-pribadi saja, maka islam menekankan pentingnya pendirian negara sebagai sarana untuk memperoleh tujuan tersebut.
Selanjutnya, Muhammad Iqbal mengutip pendapat Fajrur Rahman, yang secara sederhana merumuskan tujuan negara Islam adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya Undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warganya menyadari kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.
Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk menerapkan dan mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam agar lebih efektif dalam kehidupan manusia. Di samping itu, negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari kesewenangan-kesewenangan satu orang atau golongan dan kekuasaan memaksa agar peraturan-peraturan yang diciptakannya dapat dipatuhi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Namun demikian, negara sendiri bukanlah tujuan dalam Islam, melainkan hanyalah sebagai alat atau sarana dalam mencapai tujuan kemaslahatan manusia.
Negara dan pemerintahan sangat urgen dalam me-manage dan mengayomi masyarakat. Tanpa negara dan pemerintahan yang konstitusional masyarakat tidak akan mungkin mewujudkan cita-cita sosial-politik dan keadilan sosial, melaksanakan hukum dan menegakkan keadilan, menciptakan sistem pendidikan dan mempertahankan kebudayaan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik dari dalam maupun serangan–serangan dari luar. Negara dan pemerintahan yang tidak konstitusional dapat menyebabkan masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa yang korup dan tiranik. Akhirnya Islam dianggap hanya ibadah (ritual) belaka dan ilusi semata. Selain itu, janji Islam sebagai petunjuk bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat belum dapat dibuktikan secara optimal.
Tujuan negara yang dikonsepsikan Al-Qur’an tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara ini juga bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkesinambungan yang telah diketengahkan Allah dalam kitab al-Qur’an. Untuk tujuan itu, kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan itu dan bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasi damai akan digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial maupun pendapat umum akan dijinakkan.
Menurut para politikus Muslim, dalam negara dan kekuasaan seyogianya prinsip-prinsip dasar syari’ah diimplementasikan. Nilai-nilai syari’at Islam direalisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis dalam konteks pluralisme sosial. Karena secara politis, syari’ah adalah sumber nilai yang memberi corak dari dinamika perkembangan politik dan negara yang ideal yang dicita-citakan. Ini berarti membumikan syari’ah Islam menghendaki betapa urgennya pemerintahan dalam Islam, yang ditegakkan dengan prinsip-prinsip syari’ah, yang mencakup nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat nasional, regional, maupun daerah.
Dalam perspektif fiqh siyasah, tujuan etis yang menjadikan dasar pendirian sebuah negara adalah penerapan syari’at Islam secara proporsional. Ini berarti bahwa kekuasaan pemerintah Islam diharapkan mampu meliputi seluruh cara dan segi kehidupan, baik masyarakat maupun perseorangan, dengan aturan yang memenuhi tujuan etika keagamaan masyarakat Islam. Dengan demikian, jika nilai-nilai syari’ah sudah dilaksanakan, maka kesejahteraan universal duniawi dan ukhrawi akan dapat diraih.
3. Tugas Negara
Tugas-tugas suatu negara dan pemerintahan dalam konsepsi Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas-tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh negara yang konstitusinya memuat acuan syari’ah. Tugas ini dirancang agar syari’ah terpelihara dan tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan-peraturannya ditaati. Misalnya, mengurus pelaksanaan salat jemaah, pendistribusian zakat, melaksanakan hudud, menegakkan keadilan (al-qadha’), mengawasi pasar (hisbah), menangani penyelewengan-penyelewengan di dalam timbangan, ukuran; kesusilaan dan kesopanan masyarakat, serta melaksanakan jihad untuk memberantas kemunkaran dan kezaliman yang meresahkan masyarakat.
Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh negara dan pemerintahan pada umumnya. Secara historis, ke dalam tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat Kepala Negara, Presiden, Menteri, Panglima, Hakim, dan lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas-tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Bagi Al-Mawardi lembaga Imamah mempunyai tugas yang signifikan. Pertama, mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ salaf (generasi pertama umat islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta. Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum tuhan. Kelima, membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam, jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta bait al-mal secara efektif. Kesembilan, meminta nasehat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
Pimpinan pemerintahan, dalam konsepsi Islam, dipilih berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi suatu jabatan publik tersebut, selain memiliki syarat moral dan intelektual, adalah kejujuran (amanah); kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam mengelola pemerintahan dengan pengawasan-pengawasan dari kelompok pemerintahannya (quwwah); dan keadilan (‘adalah) sebagai manifestasi kesalehan.
Imam Al-Ghazali, seorang tokoh hukum dan spiritualis Islam, misalnya dalam teorisasi kenegaraan mengutamakan perpaduan moral (agama) dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan itu, dipimpin oleh manusia biasa, tetapi harus mempunyai moral yang baik. Unsur agama mesti diperoleh dan dipertahankan dalam pemerintahan, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Eksistensi agama dalam negara dan pemerintahan dan kaitannya dengan otoritas kepala negara diibaratkan al-Ghazali sebagai anak kembar. Agama adalah suatu fondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang. Atas dasar itu, menurut al-Ghazali, asal-usul dan keberadaan negara dan pemerintahan merupakan suatu keharusan bagi ketertiban dunia. Ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, sedangkan ketertiban agama amat penting untuk mencapai kesejahteraan akhirat kelak. Secara syar’i, pengangkatan pimpinan yang mampu mengelola pemerintahan secara efektif merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.
Dengan demikian, negara dan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan ketertiban masyarakat dan perdamaian dunia. Keberadaan negara dan pemerintahan yang konstitusional sangat urgen dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara efektif dan merupakan suatu perangkat untuk mensosialisasikan syari’at Islam.
B. Wilayat al –Maz}alim
1. Pengertian Wilayat al –Maz}alim
Wilayat al-Maz}alim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
2. Syarat-syarat Wilayat al –Maz}alim
Di antara syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi Qad}i al-Maz}alim ialah memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat, perintahnya dipatuhi, berwibawa, “bersih”, tidak ambisius, dan sangat wara’ (menjauhi maksiat dan hal-hal yang syubhat), karena dalam menjalankan tugasnya ia membutuhkan gabungan dua sifat sekaligus; ketegasan aparat keamanan dan ketegaran hakim. Dengan kedudukannya yang tinggi, ia berhak mengeluarkan perintah kepada aparat keamanan dan hakim.
3. Tugas dan Kewenangan Wilayat al –Maz}alim
Secara umum tugas wilayat al-Maz}alim adalah mengajak para pelaku pidana kepada keadilan dengan menakut-nakuti mereka, dan melarang pihak-pihak yang berperkara dari saling memusuhi dengan mengancam mereka. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Al-Mawardi di dalam al-Ah}kam as-Sult}aniyyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada sepuluh macam:
a. Menangani pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat terhadap rakyatnya, dan segala penyimpangan mereka ketika berkuasa.
b. Memeriksa kecurangan para pertugas penarik zakat atau pajak dalam menjalankan tugasnya.
c. Memeriksa hasil kerja para penulis dokumen.
d. Menyelidiki pelanggaran hukum (kezaliman) terhadap para pegawai negeri, apakah gaji mereka dikurangi atau ditunda.
e. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa yang zalim.
f. Menangani harta wakaf.
g. Melaksanakan putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim sendiri, lantaran orang-orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya.
h. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah.
i. Memelihara hak Allah, yaitu ibadah yang nyata seperti jum’at, hari raya, haji, dan jihad,dan
j. Menangani pihak-pihak yang berperkara, dan memberi keputusan hukum kepada mereka.
Dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini dilengkapi dengan petugas-petugas pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang dalam pemeriksaan. Lembaga ini dilengkapi pula dengan hakim-hakim yang pandai untuk diminta pendapat tentang jalannya pemeriksaan. Dilengkapi pula oleh ahli-ahli fiqh dan panitera yang memcatat segala keterangan yang diberikan masing-masing pihak.
4. Sejarah Wilayat al -Maz|}alim
Wilayat al-Maz}alim telah terkenal sejak dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan persia dan dalam kalangan bangsa arab di zaman jahiliyah. Di masa Rasul SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyeleseikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khalifah tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengakaran yang terjadi di antara mereka dapat diseleseikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir pemerintahan Ali beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezaliman.
Tetapi Ali belum menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat, ialah Abdul Malik Ibn Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik Ibn Marwan berpegang pada pendapat para hakimnya, dan ahli fiqh-fiqhnya. Umar Ibn Abd Azis adalah seorang Khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat diambil oleh Bani Umayyah secara zalim.
Pada zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah, para Khalifah yang sangat peduli terhadap peradilan maz|}alim antara lain adalah Khalifah al-Mahdi (755-785), Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun. Peradilan maz}alim masih tetap berlangsung sampai runtuhnya kekhalifahan dunia Islam pada tahun 1924. setelah itu, masing-masing negara Islam memiliki kebijakan sendiri dalam menangani kasus maz}alim.
C. Wilayat al-H}isbah
1. Pengertian Wilayat al-H}isbah
Wilayat al-H}isbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, Secara etimologis berarti “melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan”. Dalam terminologi Islam, hisbah berarti “lembaga peradilan Islam yang khusus menangani kasus moral dan berbagai bentuk maksiat yang tidak termasuk wewenang peradilan biasa dan peradilan madzalim” (peradilan yang khusus menangani tindak pidana penguasa).
Hasby Asshiddiqie dalam bukunya Peradilan dan Hukum Acara Islam menerangkan bahwa hisbah merupakan tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas fardlu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap.
Al-Mawardi mendefinisikan h}isbah dengan “memerintah berbuat kebaikan jika kebaikan itu ternyata tidak dikerjakan, dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemungkaran itu dikerjakan”. Karena itu menurut teori al-Mawardi, hisbah merupakan salah satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan. Orang yang menjalankan tugas itu disebut muh}tasib atau wali al-h}isbah atau nazir fi’il- h|}isbah. Biasanya seorang muhtasib diambilkan dari kalangan yuris. Dia mempunyai kebebasan untuk memutuskan suatu perkara atas dasar ‘urf (kebiasaan).
Dasar hukum wilayat al-H}isbah tercantun dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran, ayat 104:
•
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada dasarnya hisbah merupakan tugas setiap pribadi muslim. Akan tetapi kewajiban melakukan tugas mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat munkar merupakan kewajiban kolektif umat Islam/wajib kifayah. Jika tugas ini dilaksanakan oleh sebagian orang, kewajiban bagi orang lain yang tidak melakukannya gugur. Namun bagi muh}tasib, tugas ini merupakan kewajiban pribadi yang harus dijalankannya, sesuai dengan ketentuan pemerintah. Oleh sebab itu, orang yang secara sukarela melakukan tugas al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar tidak dinamakan muh}tasib, tetapi lebih dikenal dengan nama mutatawwi’.
2. Syarat-Syarat Muh}tasib
Al-Mawardi memberikan syarat-syarat yang harus dimiliki muhtasib (petugas hisbah) ialah ia harus orang merdeka, adil, mampu berpendapat, tajam dalam berpikir, kuat agamnya, dan mempunyai pengetahuan tentang kemungkaran-kemungkaran yang terlihat.
3. Tugas dan Kewenangan wilayat al-Hisbah
Tugas dari hisbah adalah “memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah”. Tugas hakim adalah: “memutuskan perkara terhadap pertengkaran-pertengkaran yang dikemukakan kepadanya dan mengharuskan orang yang kalah mengembalikan hak-hak orang yang menang”. Adapun muhtasib tugasnya ialah: “mengawasi berlakunya tidaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun”. Dan terkadang muh}tasib ini memberikan putusan-putusan dalam hal-hal yang perlu segera diselesaikan.
Menurut al-Mawardi, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara h}isbah dan maz}alim. Persamaan (kemiripan) antara keduanya meliputi dua aspek: pertama, keduanya sama-sama mengandalkan kewibawaan yang diwujudkan melalui kekuatan posisi dan kekerasan cara bertindaknya. Kedua, keduanya sama-sama boleh mengambil tindakan untuk alasan mencapai kemaslahatan masyarakat.
Perbedaannya meliputi dua hal: maz}alim dibentuk untuk menangani hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh qad}i, sedangkan his}bah dibentuk untuk meringankan tanggung jawab petugas maz}alim. Karena itu, kedudukan maz}alim lebih tinggi dari pada his}bah. Petugas maz}alim boleh melimpahkan tugasnya kepada Hakim (qad}i) dan muh}tasib, sementara qad}i tidak boleh melimpahkan tugasnya kepada petugas maz}alim. Petugas maz}alim boleh melimpahkan tugasnya kepada muh}tasib, sedangkan muh}tasib tidak bisa melimpahkan tugasnya kepada salah satu dari keduanya. Petugas maz}alim bisa memberikan hukuman, sementara petugas h}isbah tidak boleh memberi hukuman.
Ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab lembaga hisbah meliputi dua hal penting, yaitu menyeru berbuat kebaikan dan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kejahatan (al-nahy ‘an al-munkar). Aspek pertama mencakup (1) hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan; (2) hal-hal yang berkaitan dengan hak individu; (3) hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan dan individu serta hubungan antara keduanya.
Secara garis besar, yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan (peribadatan) seruan muh}tasib mencakup dua sasaran: pertama kepada jamaah seperti menyeru penyelenggaraan Jum’at jika terdapat 40 orang di suatu tempat, dan kedua kepada individu seperti menyeru melaksanakan salat pada waktunya.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak manusia ada dua macam: umum dan khusus. Yang bersifat umum mencakup misalnya, tindakan yang harus dilakukan muhtasib jika sebuah daerah mengalami kekurangan air minum, kerusakan sarananya atau bila ada ibnu sabil (pengembara) yang melewati daerahnya. muh}tasib memiliki kewajiban untuk membantu dengan mengambil dana dari bait al-mal. Jika keuangan negara tidak mencukupi maka dia sebaiknya menganjurkan kepada orang yang mampu untuk memberikan bantuannya. Sedangkan yang bersifat khusus, muhtasib harus menganjurkan orang-orang untuk memenuhi tuntutan mereka yang berhak, seperti jika ada penundaan pembayaran utang. Sementara yang berkaitan dengan hak Tuhan dan manusia misalnya perwalian nikah untuk janda-janda jika ada permintaan.
Aspek kedua, yaitu mencegah kemunkaran, meliputi tindakan pencegahan terhadap pelanggaran atau penyelewengan hukum peribadatan. Jika ada orang yang tidak mempu membayar zakat atau sedekah, misalnya muhtasib memiliki kewenangan untuk memaksa orang tersebut melaksanakan kewajiban itu. Selain itu, muh}tasib juga berkewajiban mencegah timbulnya pelanggaran moral, mencegah adanya pelanggaran hak seseorang oleh orang lain, dan mencegah tindakan-tindakan yang mengakhibatkan terganggunya ketertiban umum dan hilangnya ketentaraman baik antar tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat luas.
Selain itu, al-Mawardi menyatakan bahwa muh}tasib juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap kegiatan produksi di pasar-pasar. Kegiatan produksi harus diawasi menyangkut soal aspek kuantitas, kejujuran dan kualitasnya. Muh}tasib harus mencegah adanya praktek-praktek yang merugikan dalam kegiatan pasar. Pengawasan juga ditujukan untuk mencegah timbulnya pencurian. Menurut al-Mawardi muh}tasib bisa memata-matai kegiatan sosial ekonomi di pasar. Juga jika ada pedagang yang mempekerjakan perempuan, maka muh}tasib harus mengecek dan menginspeksi perlakuan dan kejujuran pedagang tersebut.
Al-Mawardi juga menyebutkan tugas muh}tasib untuk mencegah terjadinya kecelakaan pelayaran dengan mengingatkan para pemilik atau pengendara kapal (perahu) agar tidak ceroboh.
Namun demikian wilayat al-H}isbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘urf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang wilayat al-H}isbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayat al-Qad|}a’ atau wilayat al-maz}alim.
Singkatnya, ide yang terkandung dalam fungsi lembaga hisbah dan tanggung jawab muh}tasib berkaitan dengan cita-cita dijalankannya ibadah agama sesuai dengan hukum, dan terwujudnya ketentraman dan ketertiban umum, khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi, tranportasi dan sosial masyarakat, termasuk berkembangnya nilai-nilai kejujuran di kalangan pelaku ekonomi. Lebih jauh, dibentuknya hisbah ialah untuk memperkecil terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
4. Sejarah Wilayat al-H}isbah
Kondisi peradilan pada masa Nabi Muhammad SAW sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qad}i), Akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayat al-H}isbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”.
Setelah Nabi SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qad}i yang diangkat. Begitu juga dengan lembaga h}isbah, pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muh}tasib dipegang sendiri oleh khalifah.
Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Melihat kepada perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka dimulailah masa imperium Daulah Umayyah dari 661 – 750 M.
Keberadaban peradilan pada masa Daulah Umayyah memiliki keistimewaan terpisah dengan kekuasaan pemerintah dengan adanya penentuan qad}i yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah Al-Rasyidin. Wilayat al-h}isbah (muh}tasib) pada masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Dengan demikian, wilayat al-h}isbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Setelah Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan dikepalai oleh qad}i al-qud}ah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam. Begitu juga dengan lembaga h}isbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayat al-Qad}a’.
D. Sistem Pengawasan di Indonesia
Pengawasan merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan rencana. Dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap tindak pemerintahan/aparat administrasi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menurut Victor M. Situmorang, pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia pengawasan dapat dilakukan lembaga-lembaga di luar organ pemerintahan yang diawasi (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri (pengawasan internal). Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh lembaga-lembaga negara seperti, dewan perwakilan rakyat (DPR), badan pemeriksa keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya. Pengawasan eksternal ini juga dilakukan oleh masyarakat, yang dapat dilakukan oleh perorarangan, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media massa (Pers).
Dilihat dari sifatnya, pengawasan pemerintahan ada yang bersifat preventif dan yang bersifat repressif. Pengawasan yang bersifat preventif adalah pengawasan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau sikap tindak pemerintahan yang melanggar hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan pengawasan yang bersifat repressif adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara melanggar hukum. Pengawasan repressif ini pada dasarnya adalah suatu tindakan penegakan hukum.
Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintahan, akan tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan suatu perbuatan atau kegiatan. Dalam hukum tata negara dan hukum pemerintahan berarti untuk menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga kenegaraan dan lembaga-lembaga pemerintahan (Badan Pejabat Usaha Negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
1. Teori Kenegaraan Dalam Islam
Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhamaad dapat dikatakan sebagai negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah memnuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu negara; yaitu wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar.
Menurut Munawir Sjadzali, Piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang mejemuk di Madinah. Landasan tersebut adalah; pertama, semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan; kedua, hubungan intern komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dengan didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasihati dan menghormati kebebasan beragama.
Dilihat dari praktik nabi muhammad mendirikan dan memimpin negara madinah, dapat disimpulkan bahwa keberadaan sebuah negara adalah penting dalam Islam. Dengan adanya negara, maka wahyu-wahyu Allah dapat diterapkan secara efektif dalam ruang dan waktu, sehingga terciptalah kebahagian, ketentraman dan keharmonisan kehidupan manusia. Namun negara bukanlah tujuan islam, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal ini merupakan isyarat bahwa dalam soal kenegaraan dan pemerintahan, nabi muhammad tidak memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sedangkan formulasinya dan hal-hal lain yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada umat islam. Merekalah yang merumuskannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan permasalahan yang mereka hadapi. Ini pula sebabnya kenapa Nabi tidak menunjuk secara tegas siapa yang kelak akan menggantikan beliau setelah meninggal dunia, karena masalah suksesi kepemimpinan ini juga termasuk hal-hal yang bersifat teknis.
2. Tujuan Negara
Tujuan Islam terpenting adalah mewujudkan keadilan sosial yang terformulasi dengan tindakan “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan” (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar). Namun, siapa saja yang menghendaki suatu tujuan, konsekwensinya harus mau melaksanakan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam hal ini Ibn Taimiyah (661 H/1263 M – 728 H/1328 M) menegaskan, ”Allah mewajibkan manusia untuk melakukan perintah berlaku ma’ruf dan nahi munkar, keadilan, melaksanakan haji, melaksanakan shalat-shalat jemaah, jujur, amamat, dan memerangi orang-orang yang zalim. Semuanya itu tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan (kekuasaan) dan imarah (kepemimpinan)”. Begitupula menurut pendapat al-Mawardi bahwa imam (khalifah) itu diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia (al-imamah mawdhuatun li khilafatin nubuwwah fi hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
Tujuan lembaga pemerintahan dalam pandangan al-Ghozali, adalah lembaga yang memiliki kekuasaan dan menjadi alat melaksanakan syari’at, mewujudkan kemaslahatan rakyat, menjamin ketertiban urusan dunia dan urusan agama.
Oleh karena itu, keberadaan negara dan pemerintahan sangat penting dalam rangka mengurus dan mengayomi masyarakat. Bahkan al-Mawardi berpendapat bahwa Imamah adalah sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam negara.
Menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, bahwa tujuan pendirian negara tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh umat islam, yaitu memperoleh kebahagian di dunia dan keselamatan di akhirat. Karena tujuan ini tidak mungkin dicapai hanya secara pribadi-pribadi saja, maka islam menekankan pentingnya pendirian negara sebagai sarana untuk memperoleh tujuan tersebut.
Selanjutnya, Muhammad Iqbal mengutip pendapat Fajrur Rahman, yang secara sederhana merumuskan tujuan negara Islam adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas negara, memelihara terlaksananya Undang-undang dan ketertiban serta membangun negara itu sehingga setiap warganya menyadari kemampuan masing-masing dan mau menyumbangkan kemampuannya itu demi terwujudnya kesejahteraan seluruh warga negara.
Penjelasan ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk menerapkan dan mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam agar lebih efektif dalam kehidupan manusia. Di samping itu, negara juga didirikan untuk melindungi manusia dari kesewenangan-kesewenangan satu orang atau golongan dan kekuasaan memaksa agar peraturan-peraturan yang diciptakannya dapat dipatuhi sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Namun demikian, negara sendiri bukanlah tujuan dalam Islam, melainkan hanyalah sebagai alat atau sarana dalam mencapai tujuan kemaslahatan manusia.
Negara dan pemerintahan sangat urgen dalam me-manage dan mengayomi masyarakat. Tanpa negara dan pemerintahan yang konstitusional masyarakat tidak akan mungkin mewujudkan cita-cita sosial-politik dan keadilan sosial, melaksanakan hukum dan menegakkan keadilan, menciptakan sistem pendidikan dan mempertahankan kebudayaan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, baik dari dalam maupun serangan–serangan dari luar. Negara dan pemerintahan yang tidak konstitusional dapat menyebabkan masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa yang korup dan tiranik. Akhirnya Islam dianggap hanya ibadah (ritual) belaka dan ilusi semata. Selain itu, janji Islam sebagai petunjuk bagi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat belum dapat dibuktikan secara optimal.
Tujuan negara yang dikonsepsikan Al-Qur’an tidaklah negatif, tetapi positif. Tujuan negara tidak hanya mencegah rakyat untuk saling memeras untuk melindungi kebebasan mereka dan melindungi seluruh bangsanya dari invasi asing. Negara ini juga bertujuan untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkesinambungan yang telah diketengahkan Allah dalam kitab al-Qur’an. Untuk tujuan itu, kekuasaan politik akan digunakan demi kepentingan itu dan bilamana diperlukan, semua sarana propaganda dan persuasi damai akan digunakan, pendidikan moral rakyat juga akan dilaksanakan, dan pengaruh sosial maupun pendapat umum akan dijinakkan.
Menurut para politikus Muslim, dalam negara dan kekuasaan seyogianya prinsip-prinsip dasar syari’ah diimplementasikan. Nilai-nilai syari’at Islam direalisir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara harmonis dalam konteks pluralisme sosial. Karena secara politis, syari’ah adalah sumber nilai yang memberi corak dari dinamika perkembangan politik dan negara yang ideal yang dicita-citakan. Ini berarti membumikan syari’ah Islam menghendaki betapa urgennya pemerintahan dalam Islam, yang ditegakkan dengan prinsip-prinsip syari’ah, yang mencakup nilai-nilai keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat nasional, regional, maupun daerah.
Dalam perspektif fiqh siyasah, tujuan etis yang menjadikan dasar pendirian sebuah negara adalah penerapan syari’at Islam secara proporsional. Ini berarti bahwa kekuasaan pemerintah Islam diharapkan mampu meliputi seluruh cara dan segi kehidupan, baik masyarakat maupun perseorangan, dengan aturan yang memenuhi tujuan etika keagamaan masyarakat Islam. Dengan demikian, jika nilai-nilai syari’ah sudah dilaksanakan, maka kesejahteraan universal duniawi dan ukhrawi akan dapat diraih.
3. Tugas Negara
Tugas-tugas suatu negara dan pemerintahan dalam konsepsi Islam ada dua macam: pertama, berupa tugas-tugas yang hanya dimiliki secara khas oleh negara yang konstitusinya memuat acuan syari’ah. Tugas ini dirancang agar syari’ah terpelihara dan tujuan-tujuannya terlaksana apabila peraturan-peraturannya ditaati. Misalnya, mengurus pelaksanaan salat jemaah, pendistribusian zakat, melaksanakan hudud, menegakkan keadilan (al-qadha’), mengawasi pasar (hisbah), menangani penyelewengan-penyelewengan di dalam timbangan, ukuran; kesusilaan dan kesopanan masyarakat, serta melaksanakan jihad untuk memberantas kemunkaran dan kezaliman yang meresahkan masyarakat.
Kedua, tugas-tugas yang juga dimiliki pula oleh negara dan pemerintahan pada umumnya. Secara historis, ke dalam tugas-tugas ini tercakup tugas-tugas mengangkat Kepala Negara, Presiden, Menteri, Panglima, Hakim, dan lain sebagainya; tugas mengawasi dan mengatur lembaga-lembaga hukum; menyelenggarakan pendidikan dan administrasi pemerintahan; tugas di bidang perpajakan dan keuangan; dan tugas-tugas serta fungsi-fungsi lain yang dianggap perlu demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Bagi Al-Mawardi lembaga Imamah mempunyai tugas yang signifikan. Pertama, mempertahankan dan memelihara agama menurut prinsip-prinsipnya yang ditetapkan dan apa yang menjadi ijma’ salaf (generasi pertama umat islam). Kedua, melaksanakan kepastian hukum di antara pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara dan berlakunya keadilan yang universal antara penganiaya dan yang dianiaya. Ketiga, melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat agar mereka bebas dan aman baik jiwa maupun harta. Keempat, memelihara hak-hak rakyat dan hukum-hukum tuhan. Kelima, membentuk kekuatan untuk menghadapi musuh. Keenam, jihad terhadap orang-orang yang menentang Islam setelah adanya dakwah agar mereka mengakui eksistensi Islam. Ketujuh, memungut pajak dan sedekah menurut yang diwajibkan syara’, nash dan ijtihad. Kedelapan, mengatur penggunaan harta bait al-mal secara efektif. Kesembilan, meminta nasehat dan pandangan dari orang-orang terpercaya. Kesepuluh, dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah dan kepala negara harus langsung menanganinya dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
Pimpinan pemerintahan, dalam konsepsi Islam, dipilih berdasarkan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. Syarat-syarat dan kualifikasi pokok bagi suatu jabatan publik tersebut, selain memiliki syarat moral dan intelektual, adalah kejujuran (amanah); kecakapan atau mempunyai otorisasi dalam mengelola pemerintahan dengan pengawasan-pengawasan dari kelompok pemerintahannya (quwwah); dan keadilan (‘adalah) sebagai manifestasi kesalehan.
Imam Al-Ghazali, seorang tokoh hukum dan spiritualis Islam, misalnya dalam teorisasi kenegaraan mengutamakan perpaduan moral (agama) dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan itu, dipimpin oleh manusia biasa, tetapi harus mempunyai moral yang baik. Unsur agama mesti diperoleh dan dipertahankan dalam pemerintahan, demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Eksistensi agama dalam negara dan pemerintahan dan kaitannya dengan otoritas kepala negara diibaratkan al-Ghazali sebagai anak kembar. Agama adalah suatu fondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang. Atas dasar itu, menurut al-Ghazali, asal-usul dan keberadaan negara dan pemerintahan merupakan suatu keharusan bagi ketertiban dunia. Ketertiban dunia merupakan keharusan bagi ketertiban agama, sedangkan ketertiban agama amat penting untuk mencapai kesejahteraan akhirat kelak. Secara syar’i, pengangkatan pimpinan yang mampu mengelola pemerintahan secara efektif merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.
Dengan demikian, negara dan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan ketertiban masyarakat dan perdamaian dunia. Keberadaan negara dan pemerintahan yang konstitusional sangat urgen dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara efektif dan merupakan suatu perangkat untuk mensosialisasikan syari’at Islam.
B. Wilayat al –Maz}alim
1. Pengertian Wilayat al –Maz}alim
Wilayat al-Maz}alim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
2. Syarat-syarat Wilayat al –Maz}alim
Di antara syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi Qad}i al-Maz}alim ialah memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat, perintahnya dipatuhi, berwibawa, “bersih”, tidak ambisius, dan sangat wara’ (menjauhi maksiat dan hal-hal yang syubhat), karena dalam menjalankan tugasnya ia membutuhkan gabungan dua sifat sekaligus; ketegasan aparat keamanan dan ketegaran hakim. Dengan kedudukannya yang tinggi, ia berhak mengeluarkan perintah kepada aparat keamanan dan hakim.
3. Tugas dan Kewenangan Wilayat al –Maz}alim
Secara umum tugas wilayat al-Maz}alim adalah mengajak para pelaku pidana kepada keadilan dengan menakut-nakuti mereka, dan melarang pihak-pihak yang berperkara dari saling memusuhi dengan mengancam mereka. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa.
Al-Mawardi di dalam al-Ah}kam as-Sult}aniyyah menerangkan bahwa perkara-perkara yang diperiksa oleh lembaga ini ada sepuluh macam:
a. Menangani pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat terhadap rakyatnya, dan segala penyimpangan mereka ketika berkuasa.
b. Memeriksa kecurangan para pertugas penarik zakat atau pajak dalam menjalankan tugasnya.
c. Memeriksa hasil kerja para penulis dokumen.
d. Menyelidiki pelanggaran hukum (kezaliman) terhadap para pegawai negeri, apakah gaji mereka dikurangi atau ditunda.
e. Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa yang zalim.
f. Menangani harta wakaf.
g. Melaksanakan putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim sendiri, lantaran orang-orang yang dijatuhkan hukuman atasnya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya.
h. Meneliti dan memeriksa perkara-perkara mengenai maslahat umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh petugas hisbah.
i. Memelihara hak Allah, yaitu ibadah yang nyata seperti jum’at, hari raya, haji, dan jihad,dan
j. Menangani pihak-pihak yang berperkara, dan memberi keputusan hukum kepada mereka.
Dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini dilengkapi dengan petugas-petugas pengawal dan penjaga yang akan bertindak terhadap seseorang yang membangkang dalam pemeriksaan. Lembaga ini dilengkapi pula dengan hakim-hakim yang pandai untuk diminta pendapat tentang jalannya pemeriksaan. Dilengkapi pula oleh ahli-ahli fiqh dan panitera yang memcatat segala keterangan yang diberikan masing-masing pihak.
4. Sejarah Wilayat al -Maz|}alim
Wilayat al-Maz}alim telah terkenal sejak dahulu. Kekuasaan ini terkenal dalam kalangan persia dan dalam kalangan bangsa arab di zaman jahiliyah. Di masa Rasul SAW masih hidup, maka Rasul sendiri yang menyeleseikan segala rupa pengaduan terhadap kezaliman para pejabat. Para Khalifah tidak mengadakan lembaga ini, karena anggota-anggota masyarakat pada masa itu masih dapat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran-pertengakaran yang terjadi di antara mereka dapat diseleseikan oleh pengadilan biasa. Akan tetapi di akhir pemerintahan Ali beliau merasa perlu mempergunakan tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap penguasa-penguasa yang berbuat kezaliman.
Tetapi Ali belum menentukan hari-hari yang tertentu untuk meneliti perkara-perkara ini. Permulaan khalifah yang sengaja mengadakan waktu-waktu tertentu untuk memperhatikan pengaduan-pengaduan rakyat kepada para pejabat, ialah Abdul Malik Ibn Marwan. Di dalam memutuskan perkara, Abdul Malik Ibn Marwan berpegang pada pendapat para hakimnya, dan ahli fiqh-fiqhnya. Umar Ibn Abd Azis adalah seorang Khalifah yang mempertahankan kebenaran dan membela rakyat dari kezaliman. Oleh karenanya beliau mengembalikan harta-harta rakyat diambil oleh Bani Umayyah secara zalim.
Pada zaman pemerintahan dinasti Abbasiyah, para Khalifah yang sangat peduli terhadap peradilan maz|}alim antara lain adalah Khalifah al-Mahdi (755-785), Harun al-Rasyid, dan al-Ma’mun. Peradilan maz}alim masih tetap berlangsung sampai runtuhnya kekhalifahan dunia Islam pada tahun 1924. setelah itu, masing-masing negara Islam memiliki kebijakan sendiri dalam menangani kasus maz}alim.
C. Wilayat al-H}isbah
1. Pengertian Wilayat al-H}isbah
Wilayat al-H}isbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, Secara etimologis berarti “melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan”. Dalam terminologi Islam, hisbah berarti “lembaga peradilan Islam yang khusus menangani kasus moral dan berbagai bentuk maksiat yang tidak termasuk wewenang peradilan biasa dan peradilan madzalim” (peradilan yang khusus menangani tindak pidana penguasa).
Hasby Asshiddiqie dalam bukunya Peradilan dan Hukum Acara Islam menerangkan bahwa hisbah merupakan tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar. Tugas ini merupakan suatu tugas fardlu yang harus dilaksanakan oleh penguasa. Karenanya penguasa harus mengangkat untuk tugas ini orang-orang yang dipandang cakap.
Al-Mawardi mendefinisikan h}isbah dengan “memerintah berbuat kebaikan jika kebaikan itu ternyata tidak dikerjakan, dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa kemungkaran itu dikerjakan”. Karena itu menurut teori al-Mawardi, hisbah merupakan salah satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu peraturan. Orang yang menjalankan tugas itu disebut muh}tasib atau wali al-h}isbah atau nazir fi’il- h|}isbah. Biasanya seorang muhtasib diambilkan dari kalangan yuris. Dia mempunyai kebebasan untuk memutuskan suatu perkara atas dasar ‘urf (kebiasaan).
Dasar hukum wilayat al-H}isbah tercantun dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran, ayat 104:
•
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Pada dasarnya hisbah merupakan tugas setiap pribadi muslim. Akan tetapi kewajiban melakukan tugas mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat munkar merupakan kewajiban kolektif umat Islam/wajib kifayah. Jika tugas ini dilaksanakan oleh sebagian orang, kewajiban bagi orang lain yang tidak melakukannya gugur. Namun bagi muh}tasib, tugas ini merupakan kewajiban pribadi yang harus dijalankannya, sesuai dengan ketentuan pemerintah. Oleh sebab itu, orang yang secara sukarela melakukan tugas al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar tidak dinamakan muh}tasib, tetapi lebih dikenal dengan nama mutatawwi’.
2. Syarat-Syarat Muh}tasib
Al-Mawardi memberikan syarat-syarat yang harus dimiliki muhtasib (petugas hisbah) ialah ia harus orang merdeka, adil, mampu berpendapat, tajam dalam berpikir, kuat agamnya, dan mempunyai pengetahuan tentang kemungkaran-kemungkaran yang terlihat.
3. Tugas dan Kewenangan wilayat al-Hisbah
Tugas dari hisbah adalah “memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantuan dari petugas-petugas hisbah”. Tugas hakim adalah: “memutuskan perkara terhadap pertengkaran-pertengkaran yang dikemukakan kepadanya dan mengharuskan orang yang kalah mengembalikan hak-hak orang yang menang”. Adapun muhtasib tugasnya ialah: “mengawasi berlakunya tidaknya undang-undang umum dan adab-adab kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun”. Dan terkadang muh}tasib ini memberikan putusan-putusan dalam hal-hal yang perlu segera diselesaikan.
Menurut al-Mawardi, ada beberapa persamaan dan perbedaan antara h}isbah dan maz}alim. Persamaan (kemiripan) antara keduanya meliputi dua aspek: pertama, keduanya sama-sama mengandalkan kewibawaan yang diwujudkan melalui kekuatan posisi dan kekerasan cara bertindaknya. Kedua, keduanya sama-sama boleh mengambil tindakan untuk alasan mencapai kemaslahatan masyarakat.
Perbedaannya meliputi dua hal: maz}alim dibentuk untuk menangani hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh qad}i, sedangkan his}bah dibentuk untuk meringankan tanggung jawab petugas maz}alim. Karena itu, kedudukan maz}alim lebih tinggi dari pada his}bah. Petugas maz}alim boleh melimpahkan tugasnya kepada Hakim (qad}i) dan muh}tasib, sementara qad}i tidak boleh melimpahkan tugasnya kepada petugas maz}alim. Petugas maz}alim boleh melimpahkan tugasnya kepada muh}tasib, sedangkan muh}tasib tidak bisa melimpahkan tugasnya kepada salah satu dari keduanya. Petugas maz}alim bisa memberikan hukuman, sementara petugas h}isbah tidak boleh memberi hukuman.
Ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab lembaga hisbah meliputi dua hal penting, yaitu menyeru berbuat kebaikan dan (al-amr bi al-ma’ruf) dan mencegah kejahatan (al-nahy ‘an al-munkar). Aspek pertama mencakup (1) hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan; (2) hal-hal yang berkaitan dengan hak individu; (3) hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan dan individu serta hubungan antara keduanya.
Secara garis besar, yang berkaitan dengan hak-hak Tuhan (peribadatan) seruan muh}tasib mencakup dua sasaran: pertama kepada jamaah seperti menyeru penyelenggaraan Jum’at jika terdapat 40 orang di suatu tempat, dan kedua kepada individu seperti menyeru melaksanakan salat pada waktunya.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak manusia ada dua macam: umum dan khusus. Yang bersifat umum mencakup misalnya, tindakan yang harus dilakukan muhtasib jika sebuah daerah mengalami kekurangan air minum, kerusakan sarananya atau bila ada ibnu sabil (pengembara) yang melewati daerahnya. muh}tasib memiliki kewajiban untuk membantu dengan mengambil dana dari bait al-mal. Jika keuangan negara tidak mencukupi maka dia sebaiknya menganjurkan kepada orang yang mampu untuk memberikan bantuannya. Sedangkan yang bersifat khusus, muhtasib harus menganjurkan orang-orang untuk memenuhi tuntutan mereka yang berhak, seperti jika ada penundaan pembayaran utang. Sementara yang berkaitan dengan hak Tuhan dan manusia misalnya perwalian nikah untuk janda-janda jika ada permintaan.
Aspek kedua, yaitu mencegah kemunkaran, meliputi tindakan pencegahan terhadap pelanggaran atau penyelewengan hukum peribadatan. Jika ada orang yang tidak mempu membayar zakat atau sedekah, misalnya muhtasib memiliki kewenangan untuk memaksa orang tersebut melaksanakan kewajiban itu. Selain itu, muh}tasib juga berkewajiban mencegah timbulnya pelanggaran moral, mencegah adanya pelanggaran hak seseorang oleh orang lain, dan mencegah tindakan-tindakan yang mengakhibatkan terganggunya ketertiban umum dan hilangnya ketentaraman baik antar tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat luas.
Selain itu, al-Mawardi menyatakan bahwa muh}tasib juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap kegiatan produksi di pasar-pasar. Kegiatan produksi harus diawasi menyangkut soal aspek kuantitas, kejujuran dan kualitasnya. Muh}tasib harus mencegah adanya praktek-praktek yang merugikan dalam kegiatan pasar. Pengawasan juga ditujukan untuk mencegah timbulnya pencurian. Menurut al-Mawardi muh}tasib bisa memata-matai kegiatan sosial ekonomi di pasar. Juga jika ada pedagang yang mempekerjakan perempuan, maka muh}tasib harus mengecek dan menginspeksi perlakuan dan kejujuran pedagang tersebut.
Al-Mawardi juga menyebutkan tugas muh}tasib untuk mencegah terjadinya kecelakaan pelayaran dengan mengingatkan para pemilik atau pengendara kapal (perahu) agar tidak ceroboh.
Namun demikian wilayat al-H}isbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘urf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang wilayat al-H}isbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayat al-Qad|}a’ atau wilayat al-maz}alim.
Singkatnya, ide yang terkandung dalam fungsi lembaga hisbah dan tanggung jawab muh}tasib berkaitan dengan cita-cita dijalankannya ibadah agama sesuai dengan hukum, dan terwujudnya ketentraman dan ketertiban umum, khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi, tranportasi dan sosial masyarakat, termasuk berkembangnya nilai-nilai kejujuran di kalangan pelaku ekonomi. Lebih jauh, dibentuknya hisbah ialah untuk memperkecil terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
4. Sejarah Wilayat al-H}isbah
Kondisi peradilan pada masa Nabi Muhammad SAW sudah terlihat dengan adanya sahabat yang diutus oleh Nabi SAW untuk menjadi qadhi, seperti Muadz Ibn Jabbal sebagai qadhi di Yaman, dan Umar Ibn al-Khaththab di Madinah. Namun demikian, walaupun kewenangan untuk menyelesaikan persoalan diberikan kepada shahabat (qad}i), Akan tetapi, apabila terjadi ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, boleh mengajukan keputusan kembali kepada Nabi SAW. Wilayat al-H}isbah pada masa ini sebagai suatu lembaga belum terbentuk sebagai suatu lembaga, hanya praktek-praktek yang mengarah pada kewenangan hisbah dilakukan sendiri oleh Nabi SAW, seperti ketika Nabi SAW berjalan-jalan di pasar Madinah dan melewati penjual makanan, kemudian Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam setumpukan gandum dan menemukan bagian gandum yang basah, Nabi SAW kemudian bersabda: “Bahwa barangsiapa yang menipu umatnya maka bukan termasuk umatnya”.
Setelah Nabi SAW wafat kewenangan sebagai pemimpin masyarakat (negara) digantikan oleh Abu Bakar, Umar Ibn al Khaththab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Ali Thalib. Secara umum kondisi peradilan pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan. Hanya pada masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib diberikan bimbingan dan petunjuk kepada qad}i yang diangkat. Begitu juga dengan lembaga h}isbah, pada masa ini tidak banyak mengalami perubahan, artinya muh}tasib dipegang sendiri oleh khalifah.
Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat kekhalifahan digantikan oleh Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Melihat kepada perdebatan dan kurangnya dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya, akhirnya ia serahkan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, maka dimulailah masa imperium Daulah Umayyah dari 661 – 750 M.
Keberadaban peradilan pada masa Daulah Umayyah memiliki keistimewaan terpisah dengan kekuasaan pemerintah dengan adanya penentuan qad}i yang dipilih khalifah, dengan memiliki kewenangan memutus perkara kecuali dalam bidang hudud. Pelaksanaan peradilan itu sendiri sesungguhnya masih sama dengan peradilan pada masa Khalifah Al-Rasyidin. Wilayat al-h}isbah (muh}tasib) pada masa ini tidak melembaga dan diangkat oleh khalifah dan lembaga disebut Shahib al-Sauq.
Dengan demikian, wilayat al-h}isbah pada periode ini sudah menjadi satu lembaga khusus dari lembaga peradilan yang ada dengan kewenangan mengatur dan mengontrol pasar dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Setelah Daulah Umayyah runtuh dan digantikan oleh Daulah Abbasiyah dari kurun waktu 750 M – 1225 M (132 H – 656 H), umat Islam banyak mengalami kemajuan dalam segala bidang termasuk dalam lembaga peradilan, pada periode ini telah terjadi pemisahan kekuasaan, lembaga peradilan dikepalai oleh qad}i al-qud}ah yang berkedudukan di ibukota, dengan kewenangan mengawasi para qadhi yang berkedudukan di daerah kekuasaan Islam. Begitu juga dengan lembaga h}isbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh wilayat al-Qad}a’.
D. Sistem Pengawasan di Indonesia
Pengawasan merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan rencana. Dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap tindak pemerintahan/aparat administrasi berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menurut Victor M. Situmorang, pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia pengawasan dapat dilakukan lembaga-lembaga di luar organ pemerintahan yang diawasi (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan oleh lembaga-lembaga dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri (pengawasan internal). Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh lembaga-lembaga negara seperti, dewan perwakilan rakyat (DPR), badan pemeriksa keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya. Pengawasan eksternal ini juga dilakukan oleh masyarakat, yang dapat dilakukan oleh perorarangan, kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media massa (Pers).
Dilihat dari sifatnya, pengawasan pemerintahan ada yang bersifat preventif dan yang bersifat repressif. Pengawasan yang bersifat preventif adalah pengawasan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya perbuatan atau sikap tindak pemerintahan yang melanggar hukum, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan pengawasan yang bersifat repressif adalah pengawasan yang dilakukan dengan cara melanggar hukum. Pengawasan repressif ini pada dasarnya adalah suatu tindakan penegakan hukum.
Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintahan, akan tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan suatu perbuatan atau kegiatan. Dalam hukum tata negara dan hukum pemerintahan berarti untuk menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga kenegaraan dan lembaga-lembaga pemerintahan (Badan Pejabat Usaha Negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.
No comments:
Post a Comment