A. Gambaran Umum Tentang Mahkamah Konstitusi
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, salah satunya adalah tidak tersedianya mekanisme chek and balances, sehingga melumpuhkan control yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berakibat melumpuhkan control yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter. Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis yang konstitusional, dibutuhkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara. Pilihanya jatuh pada mahkamah konstitusi.
Fenomena kebaeradaan lembaga mahkamah konstitusi dalam dunia ketatanegaraan dewasa ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan sesuatu yang baru. Menurut jimly asshidiqie, mahkamah konstitusi di banyak Negara di tempatkan sebagai elemen penting dalam system Negara konstitusional modern. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini lebih untuk menyeleseikan konflik antara lembaga Negara. Karena dalam proses perubahan menuju Negara demokrasi tak bisa dihindari menculnya pertentangan antar lembaga.
Mahkamah Konstitusi akhirnya disepakati dibentuk di Indonesia. Bentukan tersebut dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang di sahkan 10 Agustus 2002. sejak itu, Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan negaranya yang diyakini akan lebih demokratis dan konstitusional.
Mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikatakan sebagai lembaga Negara utama (mains state organs, principal organs). UUD 1945 dengan jelas memberikan cabang-cabang kekuasaan Negara bidang legislative, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi MPR, DPR dan DPD, badan pemeriksa keuangan (BPK) dan mahkamah konstitusi (MK). Lembaga-lembaga Negara inilah yang dimaksud secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan Negara yang utama, sehingga lembaga-lembaga Negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga Negara utama yang berhubungan satu dengan yang lain diikat oleh prinsip chek and balances.
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi/UUD. Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan/kebijakan yang dibuat penyelenggara Negara dapat di ukur dalam hal konstitusional/tidak oleh MK.
Ketentuan umum tentang MK diatur dalam pasal 24C UUD 1945:
1. Susunan Keanggotaan
Di dalam MK terdapat tiga pranata (institusi) yaitu hakim konstitusi, secretariat jenderal dan kepaniteraan. Pasal 77 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan 5 untuk kelancaran pelaksanaan tugas wewenangnya ,MK di Bantu oleh secretariat jendral dan kepanitraan artinya institusi utama dari MK adalah sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakn kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu oleh konstitusi lainya yaitu sekretaris dasn kepanitraan .
a. Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang di tetapkan dengan keputusan Presiden. Kesembilan hakim tersebut di ajukan masing-masing tiga orang oleh MK, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Hakim konstitusi harus memepunyai integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan ,dan tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Mahkamah konstitusi terdiri atas ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh anggota hakim Mahkamah Konstitusi .ketua dan wakil ketua di pilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan tiga tahun untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua mahkamah konstitusi telah mengeluarkan peraturan MK No. 1/PMK./2003.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena dalam proses perubahan menuju negara demokratis tak bisa dihindari munculnya pertentangan antar lembaga negara.
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 mengandung banyak kelemahan salah satunya adalah tidak tersedianya mekanisme check and balances, sehingga melumpuhkan kontrol yudisial terhadap peaksanaan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter. Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis yang konstitusional dibutuhkan lembaga yang memilki kewenangan untuk melakukan control yudisial terhadap penyelenggara negara pilihannya jatuh pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstitusikan sebagai pegawai konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada Mahkamah Konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi atau UUD.
Sebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga dibuatkan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengesklusifkan dan membedakan mehkamah konstitusi dari lembaga-lembaga lain.
Mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Disamping itu berdasarkan rumusan pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 teramandemen menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar”
Sedangkan dalam pasal 10 ayat (2) UU NO. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebgai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding atau kasasi terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut. Sedangkan kewenangan pada pasal 24 C ayat (2) UUD jo pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009. Secara khusus UUD tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus bahkan wajib dilalui dalam proses pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan atau Wakil Presiden.
2. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi
Sebelum penulis menyelesaikan lebih jauh mengenai latar belakang keputusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009, ada baik diuraikan bagaimana kronologi perkara hingga munculnya keputusan tersebut. Mengenai masalah pemilihan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, memang sangat santer dibicarakan dalam pemilihan tahun 2009. Karena calon anggota legislatif dan calon Kepala Daerah disinyalir telah banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu.
Dalam pemilu Tahun 2009 ada beberapa calon anggota legislatif dan calon Kepala Daerah yang dikeluarkan dari daftar pemilu karena tidak memenuhi salah satu syarat yang telah ditentukan oleh UU pemilu dan UU Pemda, yaitu: (1) Pasal 12 huruf g UU NO. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD, (2) Pasal 50 ayat 1 huruf g No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD, (3) Pasal 58 huruf f No.12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah.
Adapun latar belakang persidangan ini memeriksa perkara No.4/ PUU.VII/ 2009 yang diregistrasi pada hari rabu tanggal 28 Januari 2009. danperkara ini diajukan oleh Robertus yang didampingi oleh empat kuasa hukumnya yaitu 1) Zairin Harahap, SH, MH. 2) Ari Yusuf Amir, SH.MH. 3) Sugito, SH. 4)Ahmad Khairun. H, SH. M.Hum, pemohon merupakan seorang warga negara Indonesia yang hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Terhadap perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan dengan ketetapan NO.4/ PUU.VII/ 2009, tanggal 24 Maret 2009.
Dengan adanya ketentuan yang membatasi berupa persyaratan calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) serta calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bagi mantan terpidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih jelas-jelas merugikan konstitusional pemohon yang setiap periodesasi ketatanegaraan dengan keadaan normal atau kondisi tertentu akan dilakukan pengisian jabatan tersebut, sehingga hak konstitusional pemohon dapat dipastikan dirugikan dengan adanya persyaratan tersebut.
Dalam penjelasan permohonan, pemohon dalam perkara NO.4/ PUU-VII/ 2009 mengatakan kepada Majelis Hakim Konstitusi dengan menyatakan. Pertama, pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU NO.10 Tahun 2008 tetang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasal 58 huruf f UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemda yang kesemuanya mensyaratkan: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun/ lebih.”
Pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 1 ayat (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28 C ayat (2), pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), dan pasal 28 D ayat (5).
Kedua, menyatakan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Serta pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemda tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Berikut petikan dalil-dalil hukum yang di kekukakan oleh pemohon:
a. Partisipasi politik yang dipersempit dan status mantan narapidana.
1) Bahwa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam suatu pemilihan jabatan, baik yang bersifat jabatan publik yang dipilih seperti pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden, ataupun jabatan yang diangkat. Sehingga oleh karena harus dibuka seluas-luasnya karena hak masyarakat atas partisipasi masyarakat merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 C ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, pasal 21 deklarasi umum hak asasi manusia (UUHAM) PBB Tahun 1948 dan pasal 5 ayat (1), pasal 15, pasal 4 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.Bahwa dengan demikian partisipasi politik merupakan hak asasi manusia setiap warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk turut serta menetapkan tujuan-tujuan dan masa depan negara termasuk menentukan orang-orang yang akan memegang pemerintahan.
2) Bahwa UU pemilu (pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g) dan UU pemda (pasal 58 huruf f) secara nyata masih membedakan perlakuan terhadap warga negara yang pernah menjalani hukuman dengan warga negara yang tidak pernah dihukum berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga nampak dengan jelas dan terang di satu sisi pembentuk Undang-Undang menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang bebas dan bertanggungjawab, dapat aktif dalam pembangunan sebagai warga yang baik dan lain sebagainya namun di sisi lain masih juga menganggap bahwa mantan terpidana adalah orang ang harus dicurigai, tercela, cacat moralnya dan tidak pantas untuk menduduki jabatan public yang dipilih seperti anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ataupun kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian bagaimana mungkin seorang mantan terpidana dapat berperan aktif dalam pembangunan baik formal maupun informal jika negara sendiri telah membatasi ruang gerak atau bahkan membunuh hak-hak politik yang telah dimilikinya sejak lahir padahal di satu sisi ia telah membayar lunas semua akibat yang pernah dilakukannya di masa lampau.
3) Bahwa pemohon selain tidak pernah dicabut hak politiknya oleh pengadilan, juga pada prinsipnya telah menjalani hukuman atas tindak pidana yang pernah dilakukannya. Sehingga sudah selayaknya tidak diperlakukan sebagai pendosa seumur hidupnya.
4) Bahwa tujuan dari pembentukan suatu normal UU adalah tercapainya asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Dengan adanya pasal a quo dalam UU pemilu dan UU pemda maka keadilan yang dicari oleh dan bermanfaat bagi pemohon tidak tercapai.
5) Oleh karenanya pemohon berpendapat bahwa pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu serta pasal 58 huruf f UU pemda lebih bersifat pengekangan terhadap hak-hak politik warga negara dan melanggar hak asasi manusia sebagaimana di jamin oleh UUD 1945, pasal 27 ayat (1) , asal 28 C ayat (1), pasal 28 D ayat (1), dan ayat (1), serta pasal 21 DUHAM PBB 1948.
b. Penghukuman dan stigmatisasi seumur hidup
1) Bahwa setiap warga negara yang telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di mata hukum.
2) Bahwa adanya persyaratan sebagaimana yang tersebut dalam pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU pemda tidak dapat menjamin atau menghasilkan calon yang lebih berkualitas dan memiliki integritas lebih baik dibanding dengan orang yang pernah menjalani masa hukuman pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) Tahun atau lebih. Bahkan sebaliknya, sejarah pun telah membuktikan bahwa orang yang pernah dihukum atau dipidana pun dapat berinteraksi, bergaul, dan diterima masyarakatnya sampai pada dipilih dipercaya dan menjadi pemimpin bagi mereka seperti yang pernah dialami oleh Bung Karno dan A.M.Fatwa.
3) Bahwa pasal-pasal a quo salain telah menghukum menghapus hak politik mantan terpidana juga telah menstigma memberi label mantan terpidana sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya yang tidak pernah dipidana, sehingga tidak mendudukannya secara sama di dalam hukum yang pada akhirnya berimbas pula kepada perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
c. Inkonsistensi pembentuk Undang-Undang dan diskriminasi
1) Bahwa ketentuan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat ( 1) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU Pemda selain telah membunuh hak politik dan bersifat diskriminatif juga telah nyata merupakan bentuk dari tidak konsistennya pembentuk UU dalam menerapkan persyaratan-persyaratan untuk suatu jabatan publik.
2) Bahwa telah nyata ketentuan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (4) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU pemda meruakan pula dan bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai asasi dari hak dasar manusia yang pada pokoknya merupakan pembatasan hak fundamental dan inkonstitusional.
3) Bahwa dengan lahirnya pasal-pasal a quo selain menimbulkan sikap diskriminasi, melanggar hak asasi dan hak keperdataan warga negara juga bukanlah UU pembuatan yang adil, yang dapat menjamin pengkuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD 1945, khususnya pasal 28 I ayat (5).
d. Pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat
1) Bahwa pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan.
2) Bahwa hal yang aneh dan tidak berdasar jika negara menghapus hak dipilih mantan terpidana sedang hak memilihnya tidak dihapus, dan lebih aneh dan tidak berdasar lagi jika hak pilih tersebut dihapus tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya. Bukankah perbuatan pidana yang pernah dilakukannya telah mendapat penghukuman tersendiri dan ia telah menjalaninya.
3) Bahwa aspirasi rakyat adalah kehendak jaman yang tak terbantah dan tidak dapat dibendung apalagi sampai dihalang-halangi oleh suatu norma yang pada hakikatnya tidak sejalan dengan pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan aturan seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi dan semangat demokrasi.
4) Bahwa dengan demikian adanya pasal-pasal a quo selain telah mengenyampingkan rakyat juga bukanlah sebuah UU/ pembatasan yang adil, yang dapat menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan UUD 1945, khususnya pasal 28 J ayat (2).
Kemudian permohonan mengajukan satu orang ahli yang bernama Dr. Mudzakir, SH.MH. telah memberi keterangan yang intinya sebagai berikut:
Dalam memberikan argumen hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan yang intinya bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan publik yakni menuntut syarat kepercayaan masyarakat yang dinilai telah merupakan praktik yang diterima umum. Ada standar moral tertentu yang disyaratkan bagi setiap orang yang akan memangku jabatan-jabatan dalam pemerintahan yaitu tidak pernah dipidana.
3. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. 4/ PUU-VII/2009, sudah pasti mempunyai beberapa pertimbangan yang benar-benar matang dalam memutus suatu perkara. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi mempunyai dasar pertimbangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pasal pengujian konstitusional pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pasal 58 huruf f UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemda.
b. Bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi.
c. Bahwa sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
d. Bahwa dalam kedudukan hukum (legal standing) pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
e. Bahwa Mahkamah Konstitusi bependapat pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo terhadap UUD 1945.
f. Bahwa pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
g. Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, pemohon mengajukan alat bukti surat (bukti P-1 sampai dengan bukti P-9) juga mengajukan ahli Dr. Mudzakkir, SH.,MH. yang memberikan keterangan di sidang pleno pada tanggal 10 Maret 2009.
h. Bahwa dalam putusan No.14-17/ PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007, mahkamah dalam amar putusannya telah telah menolak pengujian pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemda, pasal 6 huruf E UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden, pasal 18 ayat (1) huruf d UU MK, pasal 7 ayat (2) huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA, dan pasal 13 huruf g No. 16 Tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan.
C. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Posisi Yuridis Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu dan Pasal 58 Huruf f UU Pemda.
Belum lama berselang Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan tentang permohonan judicial review (uji materi) atas beberapa pasal dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemda yang diduga bertentangan dengan UUD 1945, yang diajukan oleh Robertus Aji asal Lahat, Palembang, Sumatera Selatan.
Diantara keputusan itu adalah batalnya pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 dan pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008, yakni norma hukum yang berbunyi: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) Tahun atau lebih.” Bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), serta pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat.
Keputusan tersebut berimplikasi pada posisi yuiridis pasal a quo. Pasal a quo mensyaratkan ada pertentangan dengan UUD sebab norma hukum yang dicantumkan dalam pasal-pasal a quo telah berbuat tidak adil, yakni telah mendiskriminasikan antara warga negara yang mantan narapidana dengan warga yang bukan mantan narapidana serta tidak memberikan kedudukan hukum yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Dan inkonsisten dalam menetapkan persyaratan-persyaratan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam karya Sumali yang berjudul Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Cappelleti menegaskan bahwa untuk mengaktualisasikan perlindungan terhadap kaidah-kaidah konstitusi, setidaknya terdapat dua cara yang lazim ditempuh yaitu: pengawalan secara politik dan pengawasan secara yuridis (judicial review). Kedua model pengawasan tersebut dilakukan dengan cara menilai atau menguji apakah suatu undang-undang yang ada bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Dalam hal ini yang berhak atau yang berwenang menguji pasal-pasal a quo adalah Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”.
Mengenai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD secara teoritik maupun praktek dikenal ada dua macam yaitu pengujian formal dan pengujian secara materiil. Pengujian secara formal adalah untuk menilai apakah seuatu produk legislatif dibuat sesuai prosedural ataukah tidak. Serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan kewenangan tersebut MK berhak membatalkan pasal-pasal a quo sebab bertentangan dengan UUD 1945 dan karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi. Jadi Mahkamah memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (DPR, DPD, DPRD, dan Kepala Daerah).
Dari putusan MK tersebut norma hukum baru telah terbentuk dan norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 menjadi norma hukum yang tidak lagi bertentangan. Mahkamah Konstitusi memang tidak dapat melakukan pembentukan aturan hukum baru karena tidak mempunyai kewenangan legislasi, namun dapat menemukan norma hukum baru dengan putusannya. Hal ini telihat dalam pertimbangannya yang berbunyi:
“meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan suatu norma hukum yang tercantum dalam suatu undang-undang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, namun Mahkamah membuat rumusan baru suatu norma undang-undang”. (vide putusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009:79)
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menetapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Menemukan hukum merupakan karya manusia dan ini berarti bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subyektif, yakni mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan.
Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Disamping itu hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum juga.
Jadi putusan No. 4/ PUU-VII/ 2009 merupakan penemuan hukum dalam yudisial review oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Yang keputusan tersebut berakibat pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu dan pasal 50 huruf f UU pemda, yakni tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebab pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inconstitusional bersyarat) pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Mantan Narapidana Menduduki Jabatan Publik Yang Dipilih (Elected Officials)
Selain berimplikasi pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu dan pasal 58 huruf f UU pemda, pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009 juga berimplikasi pada aspek politik yaitu dibukanya kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki elected officials (jabatan publik yang dipilih).
Dibukanya kesempatan kepada mantan narapidana dalam berpolitik berarti Mahkamah Konstitusi telah berbuat adil dan telah mengembalikan hak-haknya yang telah dirampas karena dulu pernah dipidana.
Menurut Sudikno Mertokusumo, pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah dalam keadaan semula.
Sehingga apabila setiap warga negara yang telah menjalani hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dipersamakan telah mengembalikan tatanan dan keseimbangan masyarakat dalam keadaan semula. Dengan demikian warga yang pernah menjalani hukuman itu sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di mata hukum.
Dalam konsep pemasyarakatan terdapat tujuan luhur yaitu mendidik para narapidana yang selama ini dianggap tersesat, agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Dengan tujuan tersebut diharapkan orang yang telah menjalani hukuman dapat manjadi orang yang berguna serta aktif berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, narapidana tidak hanya dididik dan diberi keterampilan saja tetapi juga dibimbing untuk dimasyarakatkan. Apabila tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, maka mantan narapidana harus dapat diterima dalam masyarakat, harus dapat hidup berdampingan dalam masyarakat.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal-pasal a quo yang tecantum dalam UU No. 10/ 2008 dan UU No. 12/ 2008 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mangikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan putusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009 berarti telah dibuka lebar kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials). Inilah implikasi politik yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/ PUU-VII/2009. Keputusan MK tersebut berimplikasi positif yang menggembirakan publik sebab hak mantan narapidana telah dikembalikan, yakni tidak adanya diskriminasi, adanya pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD 1945.
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 mengandung banyak kelemahan, salah satunya adalah tidak tersedianya mekanisme chek and balances, sehingga melumpuhkan control yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan yang berakibat melumpuhkan control yudisial terhadap pelaksanaan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter. Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis yang konstitusional, dibutuhkan lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan control yudisial terhadap penyelenggaraan Negara. Pilihanya jatuh pada mahkamah konstitusi.
Fenomena kebaeradaan lembaga mahkamah konstitusi dalam dunia ketatanegaraan dewasa ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan sesuatu yang baru. Menurut jimly asshidiqie, mahkamah konstitusi di banyak Negara di tempatkan sebagai elemen penting dalam system Negara konstitusional modern. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini lebih untuk menyeleseikan konflik antara lembaga Negara. Karena dalam proses perubahan menuju Negara demokrasi tak bisa dihindari menculnya pertentangan antar lembaga.
Mahkamah Konstitusi akhirnya disepakati dibentuk di Indonesia. Bentukan tersebut dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang di sahkan 10 Agustus 2002. sejak itu, Indonesia memasuki babak baru dalam kehidupan negaranya yang diyakini akan lebih demokratis dan konstitusional.
Mahkamah konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikatakan sebagai lembaga Negara utama (mains state organs, principal organs). UUD 1945 dengan jelas memberikan cabang-cabang kekuasaan Negara bidang legislative, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi MPR, DPR dan DPD, badan pemeriksa keuangan (BPK) dan mahkamah konstitusi (MK). Lembaga-lembaga Negara inilah yang dimaksud secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan Negara yang utama, sehingga lembaga-lembaga Negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga Negara utama yang berhubungan satu dengan yang lain diikat oleh prinsip chek and balances.
Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga Negara yang ada setelah adanya amandemen UUD 1945. pada hakikatnya, fungsi utama MK adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi/UUD. Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan MK memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan/kebijakan yang dibuat penyelenggara Negara dapat di ukur dalam hal konstitusional/tidak oleh MK.
Ketentuan umum tentang MK diatur dalam pasal 24C UUD 1945:
1. Susunan Keanggotaan
Di dalam MK terdapat tiga pranata (institusi) yaitu hakim konstitusi, secretariat jenderal dan kepaniteraan. Pasal 77 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan 5 untuk kelancaran pelaksanaan tugas wewenangnya ,MK di Bantu oleh secretariat jendral dan kepanitraan artinya institusi utama dari MK adalah sembilan hakim konstitusi yang dalam melaksanakn kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu oleh konstitusi lainya yaitu sekretaris dasn kepanitraan .
a. Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang di tetapkan dengan keputusan Presiden. Kesembilan hakim tersebut di ajukan masing-masing tiga orang oleh MK, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden. Hakim konstitusi harus memepunyai integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dalam bersikap negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan ,dan tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Mahkamah konstitusi terdiri atas ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh anggota hakim Mahkamah Konstitusi .ketua dan wakil ketua di pilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan tiga tahun untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua mahkamah konstitusi telah mengeluarkan peraturan MK No. 1/PMK./2003.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini lebih untuk menyelesaikan konflik antar lembaga negara karena dalam proses perubahan menuju negara demokratis tak bisa dihindari munculnya pertentangan antar lembaga negara.
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 mengandung banyak kelemahan salah satunya adalah tidak tersedianya mekanisme check and balances, sehingga melumpuhkan kontrol yudisial terhadap peaksanaan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter. Pada akhirnya disadari bahwa untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis yang konstitusional dibutuhkan lembaga yang memilki kewenangan untuk melakukan control yudisial terhadap penyelenggara negara pilihannya jatuh pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi dikonstitusikan sebagai pegawai konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada Mahkamah Konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi atau UUD.
Sebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga dibuatkan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengesklusifkan dan membedakan mehkamah konstitusi dari lembaga-lembaga lain.
Mengenai wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Disamping itu berdasarkan rumusan pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 teramandemen menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar”
Sedangkan dalam pasal 10 ayat (2) UU NO. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebgai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam undang dasar negara republik Indonesia Tahun 1945.”
Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme banding atau kasasi terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut. Sedangkan kewenangan pada pasal 24 C ayat (2) UUD jo pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009. Secara khusus UUD tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus bahkan wajib dilalui dalam proses pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan atau Wakil Presiden.
2. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi
Sebelum penulis menyelesaikan lebih jauh mengenai latar belakang keputusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009, ada baik diuraikan bagaimana kronologi perkara hingga munculnya keputusan tersebut. Mengenai masalah pemilihan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, memang sangat santer dibicarakan dalam pemilihan tahun 2009. Karena calon anggota legislatif dan calon Kepala Daerah disinyalir telah banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu.
Dalam pemilu Tahun 2009 ada beberapa calon anggota legislatif dan calon Kepala Daerah yang dikeluarkan dari daftar pemilu karena tidak memenuhi salah satu syarat yang telah ditentukan oleh UU pemilu dan UU Pemda, yaitu: (1) Pasal 12 huruf g UU NO. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD, (2) Pasal 50 ayat 1 huruf g No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD, (3) Pasal 58 huruf f No.12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah.
Adapun latar belakang persidangan ini memeriksa perkara No.4/ PUU.VII/ 2009 yang diregistrasi pada hari rabu tanggal 28 Januari 2009. danperkara ini diajukan oleh Robertus yang didampingi oleh empat kuasa hukumnya yaitu 1) Zairin Harahap, SH, MH. 2) Ari Yusuf Amir, SH.MH. 3) Sugito, SH. 4)Ahmad Khairun. H, SH. M.Hum, pemohon merupakan seorang warga negara Indonesia yang hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Terhadap perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan dengan ketetapan NO.4/ PUU.VII/ 2009, tanggal 24 Maret 2009.
Dengan adanya ketentuan yang membatasi berupa persyaratan calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD) serta calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bagi mantan terpidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih jelas-jelas merugikan konstitusional pemohon yang setiap periodesasi ketatanegaraan dengan keadaan normal atau kondisi tertentu akan dilakukan pengisian jabatan tersebut, sehingga hak konstitusional pemohon dapat dipastikan dirugikan dengan adanya persyaratan tersebut.
Dalam penjelasan permohonan, pemohon dalam perkara NO.4/ PUU-VII/ 2009 mengatakan kepada Majelis Hakim Konstitusi dengan menyatakan. Pertama, pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU NO.10 Tahun 2008 tetang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasal 58 huruf f UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemda yang kesemuanya mensyaratkan: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun/ lebih.”
Pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal 1 ayat (2), pasal 27 ayat (1), pasal 28 C ayat (2), pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), dan pasal 28 D ayat (5).
Kedua, menyatakan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Serta pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemda tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Berikut petikan dalil-dalil hukum yang di kekukakan oleh pemohon:
a. Partisipasi politik yang dipersempit dan status mantan narapidana.
1) Bahwa partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam suatu pemilihan jabatan, baik yang bersifat jabatan publik yang dipilih seperti pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden, ataupun jabatan yang diangkat. Sehingga oleh karena harus dibuka seluas-luasnya karena hak masyarakat atas partisipasi masyarakat merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 C ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28 D ayat (3) UUD 1945, pasal 21 deklarasi umum hak asasi manusia (UUHAM) PBB Tahun 1948 dan pasal 5 ayat (1), pasal 15, pasal 4 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.Bahwa dengan demikian partisipasi politik merupakan hak asasi manusia setiap warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan bersama untuk turut serta menetapkan tujuan-tujuan dan masa depan negara termasuk menentukan orang-orang yang akan memegang pemerintahan.
2) Bahwa UU pemilu (pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g) dan UU pemda (pasal 58 huruf f) secara nyata masih membedakan perlakuan terhadap warga negara yang pernah menjalani hukuman dengan warga negara yang tidak pernah dihukum berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga nampak dengan jelas dan terang di satu sisi pembentuk Undang-Undang menganggap bahwa mantan narapidana adalah orang yang bebas dan bertanggungjawab, dapat aktif dalam pembangunan sebagai warga yang baik dan lain sebagainya namun di sisi lain masih juga menganggap bahwa mantan terpidana adalah orang ang harus dicurigai, tercela, cacat moralnya dan tidak pantas untuk menduduki jabatan public yang dipilih seperti anggota DPR, DPD, dan DPRD. Ataupun kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian bagaimana mungkin seorang mantan terpidana dapat berperan aktif dalam pembangunan baik formal maupun informal jika negara sendiri telah membatasi ruang gerak atau bahkan membunuh hak-hak politik yang telah dimilikinya sejak lahir padahal di satu sisi ia telah membayar lunas semua akibat yang pernah dilakukannya di masa lampau.
3) Bahwa pemohon selain tidak pernah dicabut hak politiknya oleh pengadilan, juga pada prinsipnya telah menjalani hukuman atas tindak pidana yang pernah dilakukannya. Sehingga sudah selayaknya tidak diperlakukan sebagai pendosa seumur hidupnya.
4) Bahwa tujuan dari pembentukan suatu normal UU adalah tercapainya asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Dengan adanya pasal a quo dalam UU pemilu dan UU pemda maka keadilan yang dicari oleh dan bermanfaat bagi pemohon tidak tercapai.
5) Oleh karenanya pemohon berpendapat bahwa pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu serta pasal 58 huruf f UU pemda lebih bersifat pengekangan terhadap hak-hak politik warga negara dan melanggar hak asasi manusia sebagaimana di jamin oleh UUD 1945, pasal 27 ayat (1) , asal 28 C ayat (1), pasal 28 D ayat (1), dan ayat (1), serta pasal 21 DUHAM PBB 1948.
b. Penghukuman dan stigmatisasi seumur hidup
1) Bahwa setiap warga negara yang telah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di mata hukum.
2) Bahwa adanya persyaratan sebagaimana yang tersebut dalam pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU pemda tidak dapat menjamin atau menghasilkan calon yang lebih berkualitas dan memiliki integritas lebih baik dibanding dengan orang yang pernah menjalani masa hukuman pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) Tahun atau lebih. Bahkan sebaliknya, sejarah pun telah membuktikan bahwa orang yang pernah dihukum atau dipidana pun dapat berinteraksi, bergaul, dan diterima masyarakatnya sampai pada dipilih dipercaya dan menjadi pemimpin bagi mereka seperti yang pernah dialami oleh Bung Karno dan A.M.Fatwa.
3) Bahwa pasal-pasal a quo salain telah menghukum menghapus hak politik mantan terpidana juga telah menstigma memberi label mantan terpidana sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya yang tidak pernah dipidana, sehingga tidak mendudukannya secara sama di dalam hukum yang pada akhirnya berimbas pula kepada perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
c. Inkonsistensi pembentuk Undang-Undang dan diskriminasi
1) Bahwa ketentuan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat ( 1) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU Pemda selain telah membunuh hak politik dan bersifat diskriminatif juga telah nyata merupakan bentuk dari tidak konsistennya pembentuk UU dalam menerapkan persyaratan-persyaratan untuk suatu jabatan publik.
2) Bahwa telah nyata ketentuan pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (4) huruf g UU pemilu, serta pasal 58 huruf f UU pemda meruakan pula dan bentuk diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai asasi dari hak dasar manusia yang pada pokoknya merupakan pembatasan hak fundamental dan inkonstitusional.
3) Bahwa dengan lahirnya pasal-pasal a quo selain menimbulkan sikap diskriminasi, melanggar hak asasi dan hak keperdataan warga negara juga bukanlah UU pembuatan yang adil, yang dapat menjamin pengkuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD 1945, khususnya pasal 28 I ayat (5).
d. Pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat
1) Bahwa pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar dan tidak dapat dikesampingkan.
2) Bahwa hal yang aneh dan tidak berdasar jika negara menghapus hak dipilih mantan terpidana sedang hak memilihnya tidak dihapus, dan lebih aneh dan tidak berdasar lagi jika hak pilih tersebut dihapus tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya. Bukankah perbuatan pidana yang pernah dilakukannya telah mendapat penghukuman tersendiri dan ia telah menjalaninya.
3) Bahwa aspirasi rakyat adalah kehendak jaman yang tak terbantah dan tidak dapat dibendung apalagi sampai dihalang-halangi oleh suatu norma yang pada hakikatnya tidak sejalan dengan pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan aturan seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi dan semangat demokrasi.
4) Bahwa dengan demikian adanya pasal-pasal a quo selain telah mengenyampingkan rakyat juga bukanlah sebuah UU/ pembatasan yang adil, yang dapat menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana yang diperintahkan UUD 1945, khususnya pasal 28 J ayat (2).
Kemudian permohonan mengajukan satu orang ahli yang bernama Dr. Mudzakir, SH.MH. telah memberi keterangan yang intinya sebagai berikut:
Dalam memberikan argumen hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan yang intinya bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih sebagai salah satu syarat untuk menduduki jabatan publik yakni menuntut syarat kepercayaan masyarakat yang dinilai telah merupakan praktik yang diterima umum. Ada standar moral tertentu yang disyaratkan bagi setiap orang yang akan memangku jabatan-jabatan dalam pemerintahan yaitu tidak pernah dipidana.
3. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. 4/ PUU-VII/2009, sudah pasti mempunyai beberapa pertimbangan yang benar-benar matang dalam memutus suatu perkara. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi mempunyai dasar pertimbangan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah mengenai pasal pengujian konstitusional pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No.10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pasal 58 huruf f UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemda.
b. Bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi.
c. Bahwa sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo.
d. Bahwa dalam kedudukan hukum (legal standing) pemohon menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.
e. Bahwa Mahkamah Konstitusi bependapat pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo terhadap UUD 1945.
f. Bahwa pemohon mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
g. Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, pemohon mengajukan alat bukti surat (bukti P-1 sampai dengan bukti P-9) juga mengajukan ahli Dr. Mudzakkir, SH.,MH. yang memberikan keterangan di sidang pleno pada tanggal 10 Maret 2009.
h. Bahwa dalam putusan No.14-17/ PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007, mahkamah dalam amar putusannya telah telah menolak pengujian pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemda, pasal 6 huruf E UU No 23 Tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden, pasal 18 ayat (1) huruf d UU MK, pasal 7 ayat (2) huruf d UU No. 5 Tahun 2004 tentang MA, dan pasal 13 huruf g No. 16 Tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan.
C. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Posisi Yuridis Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu dan Pasal 58 Huruf f UU Pemda.
Belum lama berselang Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan tentang permohonan judicial review (uji materi) atas beberapa pasal dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang pemda yang diduga bertentangan dengan UUD 1945, yang diajukan oleh Robertus Aji asal Lahat, Palembang, Sumatera Selatan.
Diantara keputusan itu adalah batalnya pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 dan pasal 58 huruf f UU No. 12 Tahun 2008, yakni norma hukum yang berbunyi: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) Tahun atau lebih.” Bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), serta pasal-pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat.
Keputusan tersebut berimplikasi pada posisi yuiridis pasal a quo. Pasal a quo mensyaratkan ada pertentangan dengan UUD sebab norma hukum yang dicantumkan dalam pasal-pasal a quo telah berbuat tidak adil, yakni telah mendiskriminasikan antara warga negara yang mantan narapidana dengan warga yang bukan mantan narapidana serta tidak memberikan kedudukan hukum yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Dan inkonsisten dalam menetapkan persyaratan-persyaratan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dalam karya Sumali yang berjudul Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Cappelleti menegaskan bahwa untuk mengaktualisasikan perlindungan terhadap kaidah-kaidah konstitusi, setidaknya terdapat dua cara yang lazim ditempuh yaitu: pengawalan secara politik dan pengawasan secara yuridis (judicial review). Kedua model pengawasan tersebut dilakukan dengan cara menilai atau menguji apakah suatu undang-undang yang ada bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Dalam hal ini yang berhak atau yang berwenang menguji pasal-pasal a quo adalah Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 jo pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2008 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD”.
Mengenai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD secara teoritik maupun praktek dikenal ada dua macam yaitu pengujian formal dan pengujian secara materiil. Pengujian secara formal adalah untuk menilai apakah seuatu produk legislatif dibuat sesuai prosedural ataukah tidak. Serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan kewenangan tersebut MK berhak membatalkan pasal-pasal a quo sebab bertentangan dengan UUD 1945 dan karena tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat lagi. Jadi Mahkamah memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (DPR, DPD, DPRD, dan Kepala Daerah).
Dari putusan MK tersebut norma hukum baru telah terbentuk dan norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 menjadi norma hukum yang tidak lagi bertentangan. Mahkamah Konstitusi memang tidak dapat melakukan pembentukan aturan hukum baru karena tidak mempunyai kewenangan legislasi, namun dapat menemukan norma hukum baru dengan putusannya. Hal ini telihat dalam pertimbangannya yang berbunyi:
“meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan suatu norma hukum yang tercantum dalam suatu undang-undang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, namun Mahkamah membuat rumusan baru suatu norma undang-undang”. (vide putusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009:79)
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menetapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Menemukan hukum merupakan karya manusia dan ini berarti bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subyektif, yakni mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan.
Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan. Disamping itu hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan sumber hukum juga.
Jadi putusan No. 4/ PUU-VII/ 2009 merupakan penemuan hukum dalam yudisial review oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Yang keputusan tersebut berakibat pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu dan pasal 50 huruf f UU pemda, yakni tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebab pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inconstitusional bersyarat) pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Mantan Narapidana Menduduki Jabatan Publik Yang Dipilih (Elected Officials)
Selain berimplikasi pada posisi yuridis pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU pemilu dan pasal 58 huruf f UU pemda, pasca putusan MK No.4/ PUU-VII/ 2009 juga berimplikasi pada aspek politik yaitu dibukanya kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki elected officials (jabatan publik yang dipilih).
Dibukanya kesempatan kepada mantan narapidana dalam berpolitik berarti Mahkamah Konstitusi telah berbuat adil dan telah mengembalikan hak-haknya yang telah dirampas karena dulu pernah dipidana.
Menurut Sudikno Mertokusumo, pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaedah dalam keadaan semula.
Sehingga apabila setiap warga negara yang telah menjalani hukuman (pidana penjara) berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dipersamakan telah mengembalikan tatanan dan keseimbangan masyarakat dalam keadaan semula. Dengan demikian warga yang pernah menjalani hukuman itu sama artinya dengan warga negara lainnya yang dilahirkan dalam keadaan bersih, bebas, berharkat, dan bermartabat serta sederajat di mata hukum.
Dalam konsep pemasyarakatan terdapat tujuan luhur yaitu mendidik para narapidana yang selama ini dianggap tersesat, agar menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Dengan tujuan tersebut diharapkan orang yang telah menjalani hukuman dapat manjadi orang yang berguna serta aktif berperan dalam pembangunan, serta dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, narapidana tidak hanya dididik dan diberi keterampilan saja tetapi juga dibimbing untuk dimasyarakatkan. Apabila tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, maka mantan narapidana harus dapat diterima dalam masyarakat, harus dapat hidup berdampingan dalam masyarakat.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal-pasal a quo yang tecantum dalam UU No. 10/ 2008 dan UU No. 12/ 2008 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mangikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Dengan putusan MK No. 4/ PUU-VII/ 2009 berarti telah dibuka lebar kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials). Inilah implikasi politik yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/ PUU-VII/2009. Keputusan MK tersebut berimplikasi positif yang menggembirakan publik sebab hak mantan narapidana telah dikembalikan, yakni tidak adanya diskriminasi, adanya pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia, nilai-nilai agama dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi sebagaimana yang diperintahkan oleh UUD 1945.
No comments:
Post a Comment