Saturday, May 1, 2010

Asas Ijbari

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menjelaskan bahwa hukumNya adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan demi kehidupan manusia itu sendiri agar tercipta kedamaian dalam hidupnya dan menjadikan di kehidupan akhirat bahagia dengan rahmatNya. Sangat menakutkan apa yang sudah dijanjikan oleh Allah dalam al-Quran bagi siapa saja yang tidak melakukan hukumNya yaitu dengan tiga julukan diantara yang paling menakutkan ialah kafir.
Adapun diantara hukumnya yang sering menjadi permasalahan dan terkadang menjadi senjata bagi orang-orang yang ingin menghancurkan Islam dengan mengatakan Islam itu tidak adil pemakasaan dan sebagainya ialah tentang kewarisan terlebih lagi di dalam pembagian. padahal ketika ditelusuri Allah SWT telah menjelaskan bahwa hukumNya adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan demi kehidupan manusia itu sendiri agar tercipta kedamaian dan kwbahagiaan dalam hidupnya.
Begitu juga halnya dengan Alqur’an dan Hadis nabi Muhammad SAW juga menjelaskan tentang kewarisan, secara eksplisit memang tidak ada asas-asas dalam ayat al-Quran dalam hal ini kewarisan, tapi secara implisit ayat-ayat tersebut telah melahirkan bermacam-macam asas diantaranya, asas keadilan hukum, asas kepastian hukum, dan asas manfaat.. Adapun asas-asas tersebut diperoleh dari suatu pemahaman mengenai tentang kandungan ayat ayat tentang kewarisan tersebut.
Namun dalam makalah ini akan difokuskan kepada asas ijbari.selengkapnya sebagaimana akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dijadikan sebagai acuan dalam makalah in adalah sebagai berikut:
 Apa yang dimaksud asas ijbari dalam hukum kewarisan islam?
 Apa dasar-dasar asas ijbari?

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Derfinisi Asas Ijbari

Sebelum membahas asas ijbari, perlu diketahui tentang asas itu sendiri. Menururt al-Raghib, asas berasal dari kata al-ussu kemudian berubah menjadi al-asasu atau al-asas yang bermakana asal, dasar, atau pangkat suatu bangunan. Selanjutnya, kata asasa berubah menjadi ussu atau asas yang mengandung makna kaidah-kaidah yang harus dipertahankan karena ia berpangkal dari hati atau dasar. Selanjutnya kata ini diserap dalam bahasa Indonesia yang baku dan bermakna sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Sedangkan kata ijbari mengandung arti paksaan yaitu melaksananakan sesuatu diluar kehendak sendiri.
Setelah mengetahui arti asas ijbari secara etimologi diatas maka akan dikemukakan arti kata asas ijbari secara terminilogi.
1. Asas kepastian (ijbari) adalah peralihan dan hak seeorang yang sudah wafat kepada ahli warisnya yang masih hidup diluar kehendak diri sendiri karena sudah ditetapkan dalam al-qur’an.

2. Pengertian ijbari berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang ayang masih hidup tanpa ada perbuatan hukum, atau pernyataan kehendak dari sipewaris semasa hidupnya tidak dapat menolak atau mengahalang-halangi terjadinya peralihan tersebut.
3. Asas ijbari adalah peralihan harta seseorang yangv telah meninggal dunmia kepada ahli warisnya , yang berlaku dengan sendirinya menurut kehandak allah tanpa bergantung kepada kehendak pada ahli waris atau pewaris.

Melihat dari definisi di atas jelas bahwa asas ijbari adalah asas yang mana seorang pewaris dan ahli waris tidak boleh semena-mena dalam memberikan hartanya, artinya, harus mengikuti apa-apa yang digariskan dalam al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut Kitab Undana-Undang Hukum Perdata, bahwa peralihan hak kewarisan kepada ahli waris tergantuing dari kehendak dan kerelaan pewaris atau ahli waris.
Asas ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
1. Dari segi peralihan harta
2. Dari segi jumlah pembagian
3. Dari segi kepada siapa harta itu beralih
Dari segi peralihan harta dapat dilihat dalam al-qur’an surat an-nisa ayat 7 yang berbunyi:
             •      • 
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”
Dari kata-kata ada bagian harta peninggalan ibu, bapak dan saudara-saudara, disadari atau tidak telah ada bagian ahli waris dengan tidak perlu pewaris menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal, begitu pula para ahli waris tidak perlu meminta haknya.
Sedangkan bentuk ijbari dari segi jumlah pembagian tertera dalam al-qur’an surat an-nisa ayat 7, yaitu bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan,dan bila anak perempuan itu hanya seorang, maka bagiannya setengah dari harata peningalan. Selengkapanyja mari kita simak ayat dibawah ini.
             •      • 
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”(qs.an-Nisa: 7).
Dari kata “•” diakhir ayat diatas dimaksudkan adanya pembagian yang pasti dan telah ditetapkan oleh allah swt.
Bentuk ijbari dari segi kepada siapa saja harta itu beralih, tertera dalam al-qur’an surat annisa’. Disitu dijabarkan bahwa golongan yang berhak mendapatkan harta waris adalah yang mempunyjai sebab perkawinan dan kekerabatan.

II.1 Dasar-Dasar Ayat Yang Relevan Dengan Asas Ijbari
Adapun dasar-dasar yang diambil dari ayat-ayat suci al-Qur’an berkenaan dengan asas ijbari adalah sebagai berikut:
             •      • 
‘’Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan’’.
                              •                       •                       •      .
‘’Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana’’.
         •           
‘’ (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar’’.

              •       
‘’Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu’’.


                                                        
‘’ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.’’


II.2 Analisis
Kata  pada surat an-Nisa ayat 7 mengandung arti saham yang sudah pasti, yang mana saham tersebut tidak bisa ditambah atau dikurangi, karena sudah merupakan kepastian. Adapun saham-saham yang telah ditentukan tersebut terdiri dari 6 macam bagian, yaitu 1/2, 1/3, 1/4 , 1/6, 1/8, dan 2/3, yangmana bagian-bagian in akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan bagian-bagian dalam kewarisan.
Dewasa ini hukum kewarisan Islam sering menimbulkan pro dan kontra mengenai relevansi pembagian harta waris menurut alqur’an dan al-hadits, sehingga terjadi hambatan-hambatan dalam penerapan hukum kewarisan Islam. Seku
rang-kurangnya ada dua faktor yang menyebabkan hambatan-hambatan tersebut: pertama Faktor intern, yang bersumber dari dalam diri manusia yaitu adanya keengganan atau kecenderungan menolak hukum kewarisan Islam baik karena kesengajaan atau karena ketidak fahaman; dan yang kedua Faktor ekstern, yaitu karena pengaruh budaya luar Islam termasuk hukum barat ( BW-KUHPerdata) dan adat.
Hukum kewarisan Islam sering dibenturkan dengan masalah gender, diskriminasi,dan lain-lain. Akan tetapi menurut Muhammad Amin Summa mengatakan bahwa sepanjang sejarah kewarisan (yahudi), hukum waris Romawi, dan hukum waris adat Arab pra-islam bahkan hokum waris adapt yang lain pada dasarnya dan kenyataannya tidak memberikan hak kewarisan kepada kaum perempuan apakah dia sebagai ibu, istri, ataupun anak.
Namun perlu diingat,Allah yang menurunkan Al Qur’an, yang telah membuat hukum untuk manusia adalah zat yang Maha tahu, Maha adil, dan Maha bijaksana. Maka tidak perlu diragukan lagi keadilan serta kebijakan yang terdapat dalam hukum Allah.
Muncul pertanyaan:
1. Apakah ahli waris dapat memperoleh wasiat?
Dalam QS. An. Nisa’ : 12 telah dijelaskan tentang kedudukan wasiat begitu juga disinggung dalam QS. Al Baqarah: 180, mengatakan bahwa wasiat sah bagi kerabat namun, ketika ayat al-Quran tadi dikomparasikan dengan hadits nabi secara sekilas seperti ada pertentangan.
لا وصيةلوارث(tidak ada wasiat untuk ahli waris)
Namun hal ini bisa diambil jalan tengah, yaitu harta wasiat tersebut bisa diberikan kepada ahli waris selama ahli waris tersebut benar-benar membutuhkan harta tersebut dengan alasan himpitan ekonomi. Menurut at- Thabata’i hal ini (wasiat) dilaksanakan ketika telah terjadi kesepakatan antara para ahli waris lainnya.
2. Apakah asas ijbari juga berlaku ketika pewaris meninggalkan hutang, sehingga para ahli waris juga mendapat kewajiban untuk membayarkan hutangnya?
Jawabannya tidak, ketika si pewaris meninggalkan hutang tidak ada hukum yang menyatakan bahwa ahli warislah yang mempunyai kewajiban untuk membayarnya yang ada hanyalah kewajiban moral.


BABIII
KESIMPULAN
 Asas Ijbari artinya peralihan harta benda dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah dan rasulNya tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris ataupun ahli waris.
 Asas ijbari diperoleh dari suatu pemahaman yang tertuang dalam sebuah kesimpulan bahwa dalam ayat kewarisan terkandung asas ijbari.
 Adapun dasar-dasar asas ijbari diantaranya adalah: Q.s An-Nisaa’ :7, 11, 13, 33, 176.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Jawad, Ahmad. Ushul Ilmu Al-Mawarits. Lebanon: Dar Al-Jil 1987
Lubis, Suhrawardi dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika 1995
Manan, Abdul. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Kencana 2006
Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1995
Rahman, Fatchur. 1971. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma’arif 1971
Ramulyo, Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya 1992
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2004














No comments:

Post a Comment