Saturday, May 1, 2010

IDDAH


A. Hadits utama
Pembahasan tentang iddah merupakan pembahasan yang panjang, karena menyangkut pembahasan jenis-jenis iddah dan lamanya masa iddah itu sendiri. Sehingga dalam hadits tidak ada yang membahasa iddah secara umum tapi dengan spesifikasi masing-masing kasus.
Biasanya iddah sering di diidentikkan dengan jarak bagi seorang perempuan yang diceraikan suaminya. Padahal dalam kenyataannya ada jarak waktu (iddah) sebagai waktu untuk menentukan adanya bibit keturunan dari suami yang terdahulu. Selain itu iddah merupakan hal ubudiyyah yaitu masalah agamis yang bersifat ritualyang tidak rasional. Jadi ketentuan iddah tidak dapat diganti atau dirubah umpamanya dengan pemeriksaan medis menurut ilmu kedokteran.
Adapun hadits utamanya adalah sebagai berikut :
Hadits tentang iddah talak
2097 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ طَلَّقْتُ امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ ». (رواه ابن ماجه)
“telah menceritakan kepada kami abu bakr bin ab saibah telah menceritakan kepada kami Abdulla bin idris dari ubaidillah dari nafi’ dari ibnu umar ia berkata : aku mentalak isteriku dalam keadaan haidh kemudian umar menceritakan hal tersebut kepada rasullah. Kemudian rasulullah bersabda “perintahkan kepadanya (ibnu umar) supaya kembali kepada isterinya sehingga suci kemudian haidh kemudian suci lagi, kemudian apabila ia ingin mentalaknya hendaklah ia mentalak sebelum berhubungan dengannya, apabila tetap ingin bersmanya maka hendaklah bersamanya. Itulah iddah yang diperintahkan oleh allah”. HR Ibn Majah


Hadits pelengkap
Hadits tentang iddah wanita hamil
3796 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ أَخْبَرَنِى سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ عَبَّاسٍ اجْتَمَعَا عِنْدَ أَبِى هُرَيْرَةَ وَهُمَا يَذْكُرَانِ الْمَرْأَةَ تُنْفَسُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ عِدَّتُهَا آخِرُ الأَجَلَيْنِ. وَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ قَدْ حَلَّتْ. فَجَعَلاَ يَتَنَازَعَانِ ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ أَنَا مَعَ ابْنِ أَخِى - يَعْنِى أَبَا سَلَمَةَ - فَبَعَثُوا كُرَيْبًا - مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ فَجَاءَهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ إِنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ وَإِنَّهَا ذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَمَرَهَا أَنْ تَتَزَوَّجَ. (رواه مسلم)

“Diriwayatkan dari Muhammad bin mutsanna al anazy diceritakan dari abdul wahhab ia berkata : aku mendengar yahya bin sa’id berkata telah bercerita kepadaku sulaiman bin yassar bahwa abu salamah bin abdul rahman dan ibnu abbas pernah berkumpul bersama abu hurairah dan membicarakan tentang wanita yang nifas satu malam setelah kematian suaminya. Ibnu abbas berkata bahwa iddahnya adalah yang paling akhir dari dua ketentuan (iddah hamil dan iddah wafat). Abu salamah berpendapat bahwa wanita tersebut telah halal. Kemudian mereka berdua berdebat tentang hal tersebut. Maka berkatalah abu hurairah “sesungguhnya aku sepakat dengan anak saudarakau (abu salamah). Kemudian mereka mengutus kurbi kepada umi salamah untuk menanyakan kasusu tersebut, tidak lama kemudian kurbi dating membawa berita bahwa ummi salamah berkata : sesungguhya subai’ah al salami nifas setelah satu malam ditinggal mati suaminya dan ia memceritakan hal tersebut kepada rasulullah dan ia diperintah untuk menikah lagi”. HR Muslim

Hadits tentang iddah wafat
3798 - وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِى سَلَمَةَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الأَحَادِيثَ الثَّلاَثَةَ قَالَ قَالَتْ زَيْنَبُ دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ تُوُفِّىَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ مِنْهُ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَّتْ بِعَارِضَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ وَاللَّهِ مَا لِى بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ غَيْرَ أَنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ « لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا » (رواه مسلم)
“telah bercerita kepada kami yahya bin yahya ia berkata : aku membacakan hadits dihadapan malik dari Abdullah bin abi bakr dari humaid bin nafi’ dari zainab binti abi salamah bahwa zainab telah meriwayatkan hadits ini. Humaid bin nafi’ berkata bahwa zainab pernah berkata “aku bertemu dengan umi haibah isteri nabi ketika ayahnya meninggal ayahnya (abu tsufyaan)dst. Kemudian umi habibah berkata “aku mendengar rasulullah bersabda diatas mimbar “tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada allah dan hari akhir meratapi mayit lebi dari tiga hari kecuali atas suaminya selama empat bulan sepuluh hari”. HR Muslim
B. Takhrij Hadits
Untuk menentukan derajat keshahihan hadits, diperlukan sebuah takhrij yang diawali dengan penelitian mengenai kesinambungan sanad, keadilan dan kedlabitan rawi, terbebas dari syadz dan illat. Dalam upaya penelitian sanad ini, Subhi shalih dalam kitab karyanya Ulum Al Hadits Wa Mushthalahuh mengatakan bahwa hal ini perlu dilihat dari biografi rawi tersebut, kredibilitas, hubungan antar-rawi (hubungan guru-murid, atau keluarga). Maka berikut ini adalah biografi singkat para perawi:
a. Ibnu majah
Nama lengkap :Muhammad bin yazid al rabi’I al qazwini abu abdillah ibnu majah
Lahir : 209 H
Wafat : 273 H
Kedudukan menurut ibnu hajar : hfidz, seorang imam hadits
Kedudukan menurut al dzahaby : hafidz, shohib as sunan
b. Abu bakr bin abi syaibah
Nama lengkap : Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin utsman bin khawasti al abasy
wafat : 235 H
tingkatan : ke 10
derajat menurut ad dzahaby :hafidz
derajat menurut ibnu hajar : terpercaya, hafidz, seorang pengarang kitab
c. Abdullah bin idris
Nama lengkap : Abdullah bin idris bin yazid bin abdil rahman bin aswad bin hujjiyah bin ashab bin yazid bin hilawah al audy az za’afiri
Wafat : 192 H
Golongan : ke 8
Kedudukan menurut ibnu hajar : terpercaya, faqih
Kedudukan menurut ad dzahaby : seorang ulama

d. Ubaidillah
Nama lengkap : ubaidillah bin umar bin hafs bin a’ashim bin umar bin khattab al quraisy al adawy al umary
Wafat : 100 H
Golongan : ke 5 dari shighar tabiin
Kedudukan menurut ibnu hajar : terpercaya
Keddudukan menurut ad dzahaby : tidak diragukan.
e. Nafi’
Nama lengkap : abu abdillah al madani
Wafat : 117 H
Golongan : ke 3 dari tabi’in
Kedudukan menurut ibnu hajar : terpercaya, tsubut, faqih, mashur
Kedudukan menurut ad dzahaby : imam para tabi’in
f. Abdullah bin umar
Nama lengkap : Abdullah bin umar b in khattab al quraisy al a’dawy abu abdul rahman
Wafat : 73 H
Golongan : ke 1 dari sahabat
Kedudukan menurut ibnu hajar : sahabat
Kedudukan menurut ad dzahaby : sahabat

. Penjelasan hadits
dalam hadits pertama diterangkan bahwa iddah merupakan jangka waktu bagi seorang wanita yang ditinggalkan atau diceraikan oleh suaminya. Hal ini dapat diambil dari pemahan hadits tersebut yang menyebutkan bahwa iddah adalah jangka waktu suci dan haidh secara berulang bagi seorang perempuan.

Dengan berdasarkan pada beberapa hadits diatas dapat diambil pembahasa bahwa iddah terbagi dalam empat bagian yang mana semuanya menginduk pada iddah talak. Adapun pembahasan ssecara rinci adalah sebagai berikut:

1. Iddah wanita di talak dalam masa haid (iddah talak)
Dalam hadits pertama tersebut nabi menyuruh umar bin khattab untuk menyampaikannya kepada anaknya (Abdullah bim umaar) tentang hokum mentalak isteri dalam waktu haidh. Untuk pembahasan talaknya adalah pada makalah sebelumnya.
Dari hadits pertama dapat diungkapkan bahwa iddahnya wanita yang ditalak dalam keadaan haidh adalah tiga kali haidh/suci. Dalam al quran sendiri pembahasan tentang iddah wanita yang ditalak terbagai dua pendapat. Hal ini disebabkan pemaknaan terhadap kata quru’ itu sendiri . yang dibahas dalam tafsir ayat ahkam.
Pemahaman ini (tga kali haidh) dari hadits pertama diatas da
pat dihitung dari ungkapan hadits sebagai berikut . حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُر
perlu diperhatikan dari pernyataan nabi diatas bahwa terjadinya talak tersebut terjadi sebelum masa suci (masa haidh) dengan unkapan abdullah bin umar :
طَلَّقْتُ امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِضٌ .
jadi masa iddahnya dimulai ketika ia ditalak dalam waktu haidh hingga tiga kali haidh dua kali masa suci.
ada juga yang menyatakan bahwa iddanya wanita yang ditalak adalah tiga kali suci. untuk pemahaman tersebut dari hadits diatas adalah perhitungan suci dimulai sebelum talak itu terjadi sedangkan talak itu dalam masa haidh.
Maksud dari adanya iddah talak/ haidh ini adalah memberikan kesempatan kepada suami untuk kembali kepada isterinya di tengah-tengah masa iddah. hal tersebut mungkin saja terjadi setelah suami berfikir panjang tentang akibat perbuatannya tersebut. Selain itu juga iddah merupakan sarana untuk melanggengkan perkawinanan dan menghargai betapa besarnya peran perkawinan dalam membina keluarga yang bahagia.

2. Iddah waita hamil
Menurut ketentuan hadits kedua diatas dan hadits-pendukung lainnya bahwa iddahnya wanita hamil baik karena ditinggal mati atau diceraikan adalah sehingga ia melahirkan. Apabila terjadi kemungkinan dua iddah dalam satu kasus seperti ketika ia ditinggal mati suaminya dalam keadaan mengandung meurut ketentuan hadits diatas adalah mendahulukan yang paling cepat selesainnya (empat bulan sepuluh hari dan atau melahirkan). dalam hadits diatas diceritakan bahwa subai’ah al aslamiyyah diperbolehkan menikah lagi setelah ia melahirkan padahal ia baru satu malam saja ditinggal mati suaminya sebagamana dikemukakan oleh imam syafi’I, malik, ahmad, ab hanifah dan sebagaian ulama lainnya.

3. Iddah wanita ditinggal wafat suaminya

Iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, apabila wanita tersebut sedang mengandung maka iddah yang digunakan adalah iddah hamil.


Fiqh Hadits
Salah satu pengaruh dari perceraian adalah masa iddah bagi istri. Iddah berasal dari kata al’adad yang artinya bilangan dan menghitung, yaitu hari yang dihitung dan dipergunakan bagi seorang perempuan selama ia suci dari haid. Sedangkan dalam kitab-kitab fiqih adalah
العدة هى اسم لمدة تتربص بها المراة عن التزويج بعد وفاة زوجها او فراقه لها
Dalam kitab lain yaitu: masa tunggu bagi wanita untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau karena ta’abud atau karena berbela sungkawa atas kematian suaminya.
Tujuan dari disariatkannya Iddah yaitu untuk menjaga kemuliaan pernikahan yang yang telah berlamgsung antara kedua belah pihak, yaitu dengan iddah dapat mengetahui keadaan rahim sang istri apakah ia sedang hamil atau tidak, agar tidak terjadi percampuran benih dan terjaganya nasab. Dan juga memberikan kesempatan kepada suami untuk kembali kepada istrinya (ruju’).
MACAM-MACAM IDDAH :
1. Iddah perempuan yang masih berhaid yaitu tiga kali haid, yaitu yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah 228 :
والمطلّقات يتربّصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء
2. Iddah perempuan yang berhenti haid(monopous) dan wanita yang masih kecil atau belum haid, yaitu masa iddahnya tiga bulan, sebagaimana dalam surat Atthalaq ayat 4
3. Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari, yang disebutkan dalam surat Al baqarah 234 dan juga dalam hadits Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah :
الا تحدّ إمرأة على ميّت فوق ثلاث الاّ علي زوج اربعة اشهر وعشرا
4. Iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Sebagaimana dalam surat Attalaq ayat 4, dan juga hadits nabi yang diriwayatkan Bukhari yang mana Rasul memberikan izin kepada Subai’ah al Aslamiyyah untuk menikah setelah ia melahirkan.

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai makna quru’ dalam surat Al Baqarah ayat 228 :
 Berpendapat bahwa arti quru’ adalah suci, yaitu masa diantara dua haid. Yang memilki pendapat ini antara lain adalah Malik, Syafi’I, dan Abu Tsaur yang ini sesuai dengan pendapat Zaaid bin Tsabit r.a. Umar r.a dan Aisyah r.a. pendapat ini berdasarkan dengan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’I : مره فليراجعها حتى تخيض ثم تطهر ثم تخيض حتى تطهر ثم يطلقها ان شاء قبل ان يمسها فتلك العدة التى امر االله ان تطلق له النساء
selain hadits diatas sebagai alasan terkuat, mereka juga mengatakan bahwa quru’ adalah bentuk jama’ khusus untuk kata qur’un yang berarti suci karena kata qur’un yang berarti haid dijama’kan menjadi aqra’, bentuk jama’ ini diriwayatkan oleh Ibnu al Anbari.
 Golongan yang berpendapat bahwa quru’ berarti haid, antara lain yaitu : Abu Hanifah, Auza’I, Ibnu abi Laila. Sedangkan dari golongan sahabat antara lain adalah Ali r.a., Umar bin Khattab r.a., Ibnu Mas’ud r.a., abu Musa al Asy’ari r.a. pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi saw yang berkata pada wanita yang istihadhah : فاذا اتىقرؤك فلا تصلى
Alasan yang paling kuat bagi golongan ini adalah bahwa Iddah diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim wanita, sedang kosongnya rahim ini hanya dapat diketahui dengan haid bukan dengan masa suci.
Dari kedua perbedaan ini maka dapat disimpulkan bahwa menurut golongan yang memaknai quru’ adalah masa suci maka suami tidak boleh meruju’ istrinya pada haid yang ketiga dan istri halal bagi lelaki lain. Sedangkan golongan yang memaknai quru’ adalah haid maka istri baru menjadi halal bagi pria lain setelah lewat masa haid yang ketiga.


DAFTAR PUSTAKA
H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 2002.
Ibnu majah. Sunan ibnu majah. Maktabah syamila.
Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007.
Imam bukhari. Shohih bukhari. Maktabah syamila
Maktabah samila versi terbaru
Muhammad binismail al son’ani subulus salaam sarh bulughul maram . dahlan. Bandung.
Sayyid sabiq. Fiqh sunnah. Beirut. Dar fikr 2006.
Syeh Muhammad Abid As sindi, Musnad Syafi’ie, Bandung : Sinar Baru algesindo,2000.hal.1080
Wahbah zuhaily al fiqh islamy wa adillatuhu. Dar fikr. Bairut.


No comments:

Post a Comment