Saturday, May 1, 2010

pengadilan dan macam-macamnya

A. Latar Belakang
Masyarakat tentunya terdiri dari individu-individu yang berbeda dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda pula. Setap individu dalam menjalankan kepentingannya mempunyai hak dan kewajiban masing-masing sehingga perlu adanya saling menghormati agar tidak terjadi kekacauan dalam penerapnnya. Namun, terkadang tidak semua orang mempunyai pemahaman yang cukup tentang hak-hak ini khususnya dalam memandang hak orang lain. Maka dari itulah pentingnya adanya aturan-aturan yang dibuat serta mengikat yang dinamakan hukum. Dalam hukum ada beberapa pembagian yang mempunyai karakteristik masing-masing, diantaranya Hukum Ekonomi, Hukum Perdata, Hukum Islam, Hukum Adat, dan lain-lain. Namun, terasa kurang jika mengetahui hanya sekilas tanpa ada pendalaman terhadap hal tersebut, adapun salah satu cara untuk mengetahui secara mendetail ialah dengan metode penelitian. Dalam makalah ini kami cukupkan membahas empat macam hukum sebagaimana tersebut di atas ditambah suatu lembaga yang sangant erat kaitannya dengan bidang hukum, yakni pengadilan.

B. Rumusan Masalah :
1. Apa dan bagaimana Hukum Ekonomi, Hukum Adat, Hukum Perdata, dan Hukum Islam?
2. Apa yang dimaksud dengan pengadilan dan macam-macamnya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. HUKUM PERDATA
a. Pengertian Hukum Perdata
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara satu orang dengan orang lain dalam masyarakat, juga mengatur hubungan hukum antaranggota masyarakat dengan pemerintah dalam hubungan atau Kepentingan Perorangan (privat).
Menurut Van Dunne, Hukum Perdata adalah suatu peraturan yang mengatur hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, perorangan dan keluaarga serta hak milik dan perikatan.
Hukum Perdata sering juga disebut Privaatrecht (hukum sipil). Hukum Perdata bersumber pokok pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Bugerlijkwetboek).
Melihat dari definisi di atas jelas bahwa Hukum Perdata adalah hukum yang berseberangan dengan Hukum Pidana, Hukum Perdata lebih menitikberatkan pada kepentingan pribadi atau individu baik hubungan antarindividu maupun hubungan antarpemerintah dengan inividu yang tetap dalam lingkup kepentingan perorangan sehingga tidak salah apa yang dikatakan Van Dunne bahwa perdata adalah sangat esensial bagi kebebasan individu.
b. Sejarah Hukum Perdata
Hukum Perdata Indonesia terhimpun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berasal dari Eropa dan dibawa ke Indonesia oleh Belanda. Hukum Perdata Belanda berasal dari Perancis. Ketika Perancis menjajah Belanda, Hukum Perdata ini diberlakukan di Belanda, dan ketika Belanda menjajah Indonesia, Belanda menerapkannya di Indonesia. Pemberlakuan hukum penjajah di negara jajahannya seperti ini didasarkan pada asas konkordansi.
Hukum Perdata yang dikodfikasikan dalam KUHPerdata ini dahulu tidak berlaku untuk semua warga Indonesia. KUHPerdata hanya berlaku bagi Golongan Eropa yang menundukkan diri secara sukarela kepada Hukum Perdata. Hukum perdata di Indonesia tidak secara langsung menjiplak dari hukum Belanda (KUHS Belanda) melainkan melalui kodifikasi terlebih dahulu antara hukum Belanda dengan keadaan Indonesia yang terdiri dari penduduk yang heterogen. Berikut ini pembagaian penduduk Indonesia menurut I.S pasal 163 ayat 1, yaitu:
a. Golongan Eropa ialah Belanda, bukan Belanda tetapi asalnya dari Eropa, Jepang, orang-orang dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan Hukum Keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan), serta keturunan mereka yang tersebut diatas.
b. Golongan Timur Asing yang meliputi Golongan Cina dan Golongan Timur Asing bukan Cina (Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain).
c. Golongan Bumiputera (Indonesia) yaitu sebagai berikut:
1. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tiada memasuki golongan rakyat lain.
2. Orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain, lalu masuk dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia asli.
Setiap golongan ini berlaku Hukum Perdata yang berbeda-beda. Di samping itu, perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain yang sangat mempengaruhi, dintaranya:
a. Apakah masing-masing golongan penduduk itu warganegara Indonesia atau orang asing.
b. Bagaimana hubungan hukum masing-masing golongan tersebut.
Namun, pada kenyataannya asas konkordinasi sangatlah kuat. Hukum Belanda yang nyata-nyata salah tetap diikuti dalam peraturan Indonesia. Sehingga dapat dikatakan KUHS Indonesia saat ini yang berlaku sejak 1 Mei 1848 merupakan suatu copy dari KUHS Belanda. Penyimpangan terhadap hukum Belanda dapat dilakukan pada hal-hal yang sangat perlu saja. Namun, itu pun hampir tidak pernah dilakukan.
Mengenai Hukum Perkawinan, di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang berlaku bagi semua warganegara Indonesia. Dengan adanya Hukum Perkawinan Indonesia, Hukum Perkawinan menurut KUHPerdata secara otomatis tidak berlaku di Indonesia.
Dilihat dari realitas yang ada, Hukum Perdata Indonesia terdiri dari:
a. Hukum Perdata Adat
Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antarindividu dalam masyarakat adat. Hukum ini umumnya tidak tertulis, akan tetapi berlaku dan ditaati dalam kehidupan masyarakat adat secara turun-menurun.
b. Hukum Perdata Eropa
Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur orang-orang yang diberlakukan ketentuan itu. Ketentuan-ketentuan hukum Eropa itu mempunyai bentuk tertulis dan berlakunya sesuai ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
c. Bagian Hukum Perdata yang Bersifat Nasional
Yaitu Hukum Perdata sebagai hasil produksi nasional yang mengatur tentang kepentingan perorangan yang dibuat berlaku untuk seluruh arganegara Indonesia.
c. Pembagian dan Sistematika Hukum Perdata
a. Menurut sistem formal
Hukum Perdata diatur dalam KUHS yang terdiri dari empat buku, yaitu:
• Buku I, tetang subjek hukum yang berjudul Perihal Orang ( van personen ) .Buku ini memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
• Buku II, tentang benda yang berjudul Perihal Benda (vanzaken). Buku ini memuat hukum benda dan hukum waris.
• Buku III, tentang perikatan yang berjudul Perihal Perikatan (van verbintennissen). Buku ini memuat hukum harta kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu.
• Buku IV, tentang pembuktian lewat waktu yang berjudul Pembuktian dan Kadaluwarsa (Van bewijs en verjaring ).
b. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum
• Hukum Pribadi ( personen recht )
• Hukum Keluarga ( familie recht )
• Hukum Kekayaan ( Vermogen )
• Hukum Waris ( Erfrecht )
• Hukum Bukti dan Lama Waktu
c. Menurut Prof Dr. A. Sanusi, S.H.
• Hukum tentang orang ( badan hukum )
• Hukum tentang benda dan hak-hak kebendaan
• Hukum tentang benda dan hukum perikatan
• Hukum Waris

B. HUKUM DAGANG
a. Istilah dan Pengertian Hukum Dagang
Hukum Dagang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “handelsrecht”, yang juga sering diterjemahkan menjadi hukum perniagaan. Dua istilah tersebut digunakan oleh negara-negara civil law. Ada istilah lain lagi untuk menterjemahkan handelsrecht yaitu Hukum Komersial atau “commercial law”.
Istilah dagang merupakan istilah ekonomi, bukan istilah hukum. Istilah ini mempunyai pengertian:
Hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melekukn perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan perdagangan.
Adapun jenis-jenisnya adalah:
1. Pekerjaan seorang perantara adalah sebagai makelar, komisioner, dan agen
2. Pembentukan persekutuan perniagaan atau badan-badan usaha seperti Firma, CV, dan PT.
3. Pengangkutan untuk kepentingan perniagaan baik di darat, laut maupun udara.
4. Penyelenggaraan asuransi atau pertanggungan agar pedagang dapat menutup resiko.
5. Perantaraan melalui perbankan sebagai salah satu pembiayaan.
6. Penggunaan surat-surat berharga untuk melakukan pembayaran agar mudah dan aman (Cek, Wesel, dan Surat Sanggup).
b. Sejarah Hukum Dagang
Hukum dagang dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang berlaku sejak 1 Mei 1848 dan hingga hari ini merupakan hukum positif Indonesia. Sebagaimana Hukum Perdata, Hukum Dagang berasal dari negeri Belanda yang diberlakukan di Indonesia karena Indonesia dijajah oleh Belanda. Sejak tahun 1993, beberapa hal yang diatur dalam KUHD diperbaharui dengan peraturan setingkat undang-undang. Pembaharuan ini dilakukan untuk menjawab tuntutan kebutuhan masa kini, seperti kebutuhan pengaturan tentang bursa (ketentuan barunya dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal), tentang Perseoan Terbatas (ketentuan barunya terdapat dalam UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan baru lainnya .
Adapun hal-hal yang diatur dalam KUHD adalah:
1. Perniagaan pada umumnya
2. Pembukuan
3. Beberapa macam perseroan/badan usaha
4. Bursa
5. Komisioner
6. Juru kirim
7. Tukang pedati dan juragan kapal
8. Surat-surat berharga
9. Reklame atau penuntutan kembali dalam keadaan pailit
10. Surat-surat berharga ( Wesel, Order, Cek, Promes, dan Kwitansi)
11. Dan lain-lain macam pertanggungan

c. Sumber-sumber dan Sistematik Hukum Dagang
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada:
1. Hukum tertulis yang dikodifikasikan:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) atau wetboek van koophandel Indonesia ( W.K .)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil ( KUHS ) atau urgerlijk wetboek indonesia ( B.W .)
2. Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yakni peraturan-perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
KUHD terbagi atas dua kitab dan 23 bab, yaitu Kitab I tediri dari 10 bab dan Kitab II terdiri dari 13 bab. Isi pokok KUHD Indonesia itu adalah:
1. Kitab pertama tentang dagang umumnya.
2. Kitab kedua tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait dari pelayaran, yang memuat hukum laut.
Hal-hal yang diatur dalam kitab III KUHS ialah mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, seperti:
a. Persetujuan jual beli (contact of sale)
b. Persetujuan sewa menyewa (contract of hire)
c. Persetujuan pinjam uang (contract of loan)
Hukum dagang selain diatur dalam KUHD dan KUHS juga terdapat dalam pelbagai peraturan-peraturan khusus yang belum dikodifikasikan seperti:
a. Peraturan tentang koperasi:
1) Dengan badan hukum Eropa ( stb. 1949/179 )
2) Dengan badan hukum Indonesia ( stb. 1933/108 )
b. Peraturan pailisemen ( stb. 195/21b. b. 197 yo. Stb. 1908/348 )
c. Undang-Undang Oktroi ( stb. 1922/54 )
d. Peraturan Lalu Lintas ( stb 1933/66 yo. 249 )
e. Peraturan maskapai adil Indonesia ( stb. 1939/589 yo. 717 )
f. Peraturan tentang Perusahaan Negara ( UU No.19/prp tahun 1960 yo. UU. No 1 tahun 1961 ) dan UU No.9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara ( Persero, Perum, Perjan).

C. HUKUM ADAT
a. Istilah dan Pengertian
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “adat recht”, yang pertama dikemukakan oleh snouck hurgronje yang kemudian dalam bukunya: “De atjeness” (orang-orang Aceh). Istilah “adat recht “ ini kemudian dipakai pula oleh Van vallen hoven yang menulis tentang buku pokok tentang hukum adat dalam 3 jilid yaitu Het adat recht van nederlandsch indie” ( hukum adat Hindia Belanda ).
Adapun pengertian hukum adat adalah:
a. Van Vallen Hoven
Menurut beliau, Hukum Adat ialah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu adat).
b. Ter Hear
“Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan desa, surat-surat perintah raja –adalah peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionarias hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authorithy) serta pengaruh yang dalam pelaksaaannya berlaku sertamerta (spontan) yang dipatuhi sepenuh hati”.
c. Soepono
“Hukum adat adalah hukum non-statutain yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah hukum Islam”.
Berdasarkn pengertian-pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa hukum adat merupakan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang lahir dari interaksi masyarakat dan kebudayaan yang telah muncul dahulu sebelum adanya pengaruh faktor luar dan hukum ini mempunyai daya sanksi yang kuat. Sehingga penulis kurang setuju denngan pendapat Soepono karena hukum Islam tidak terlalu berpengaroh terhadap hukum adat, mengingat masyarakat Indonesia yang pada awalnya merupakan penganut kepercayaan-kepercayaan yang tidak rasional .
b. Sejarah Hukum Adat
Bangsa Indonesia sesungguhnya berasal dari Benua Asia di sebelah utara yang sekarang dikenal sebagai Indo-Tiongkok dan dikenal dengan Golongan Malaya yang terbagi menjadi dua: Proto-Malaya dan Duetero-Malaya dan juga bangsa Wedda yang termasuk salah satu suku di Indonesia.
Bermula pada seorang pegawai Pangreh Praja Hindia-Inggris bernama Marsden (1754-1836) dan disusul oleh Muntinghe (1773-1827), Raffles (1781-1826), Crowfurd (1783-1868) adalah para peneliti dalam bidang Hukum Adat. Namun yang dikenal sebagai penemu adalah Wilken, Liefrinck dan Snouk Hurgronje.
Pada masa penjajahan, para penjajah berupaya untuk merubah Hukum Adat kepada Hukum Barat yang mana hukum ini dipelopori oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Namun upaya ini digagalkan oleh Van Vallenhoven dengan menentang keras penghapusan Hukum Adat ini sebagaimana yang ada dalam bukunya yaitu 'Het Adat-Recht vn Nederlandsch-Indie'.
Sebenarnya dalam pasal 131 ( 1 ) ayat 26 1.5. dinyatakan bahwa akan memberi bentuk tertulis dari Hukum Adat bagi golongan pribumi, walaupun ada aturan tersebut dalam kenyataannya hukum pribumi (adat) tersebut tidak dituliskan, kalaupun dituliskan itu hanya sebagian kecil saja. Maka dari itulah dikatakan hukum adat adalah hukum tidak tertulis.
Dasar perundang-undangan berlakunya Hukum Adat:
1) UUD 1945
Di dalam UUD 1945 yag dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959, tidak ada satu pasalpun yang memuat dasar berlakunya Hukum Adat itu. Menurut Aturan Peralihan Pasal II UUD tersebut maka: “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang menurut UUD ini.”
2) UUD Tahun 1950
Sebelum itu (5-7-1959) berlaku UUD 1950, di dalam pasal 104 ayat 1, ditentukan: “ segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan Hukum Adat yang di jadikan dasar hukum itu.”
3) I.S. Pasal 131 R.R. ayat 2 sub 6
I.S ( indische staatsregeling ) pasal 131 ayat 2 sub 6: termasuk ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya maka pembuat ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh badan legislatif pusat/gubernur, jendral bersama-sama dengan volksraad) dapat menentukan bagi mereka:
a. Hukum Eropa.
b. Hukum Eropa yang telah diubah.
c. Hukum gaji beberapa golongan bersama-sama.
d. Hukum baru.
4) Undang-undang No. 19/1964 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 17/1970.
Pasal- pasal penting yang sebagai landasan hukum adat ialah pasal 25 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1.
Berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum Adat dapat dibagi dalam tiga kelompok:
a. Hukum Adat mengenai Tata Negara (tata susunan rakyat). Hukum Adat ini mengatur tentang susunan dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgmens chappen) serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan dan pejabatnya.
b. Hukum Adat menjadi warga. Hukum warga terdiri dari:
1) Hukum pertalian sanak (perkawinan, waris)
2) Hukum tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi atas tanah)
3) Hukum perutangan (hak-hak atas tanah, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan jasa).
c. Hukum Adat mengenai delik (Hukum Pidana) memuat peraturan-peraturan tentang pelbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran Hukum Pidana itu.

D. HUKUM ISLAM
1. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah aturan-aturan yang sengaja diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan makasud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia yang mencakup segala aspek.
At-Tasyri’ menurut istilah “syara'’ dan qanun berarti upaya penyusunan undang-undang dan hukum Islam sebagai pedoman bagi masyarakat dan umat Islam.
Beberapa sumber Hukum Islam:
a. Al- Qur'an
b. Sunnah Nabi
c. Ijma'
d. Qiyas
2. Sejarah Hukum Islam
Sistem ini muncul bersamaan dengan pembentukan negara yang berasaskan Islam, awalnya dianut oleh Arab sebagai awal penyebaran agama oleh Islam. Kemudian berkembang ke negara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika baik dengan cara individual atau kelompok.
Adapun Perkembangannya dalam dunia Islam dibagi dalam beberapa tahapan:
1. Masa Rasulullah
2. Khulafa Rasyidin
3. Shighar sahabat dan Tabi’ien
4. Era Keemasan
5. Era Keterpakuan Tekstual
6. Era Kebangkitan kembali
Terkadang hukum Islam sering diidentikkan dengan fiqh. Padahal keduanya berbeda. Fiqh merupakan salah satu dimensi hukum Islam dan sebagai ilmu hukum. Hukum Islam (tasyri’) mencakup berbagai dimensi, dimensi abstrak dalam wujud segala perintah dan karangan Allah dan Rasul-Nya, dan dimensi konkret, dalam wujud perilaku mempola yang bersifat ajeg di kalangan umat Islam sebagai upaya untuk melaksanakan titah Allah dan Rasul-Nya. Hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial. Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang, yang kemudian disebut Hukum Islam dan Pranata Sosial.
Ketika membahas tentang beberapa masalah hukum Islam berkenaan dengan diundangkannya dan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Muhammad Daud Ali menyatakan manakala membicarakan Hukum Islam, sistem hukum ini semula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebaran agama Islam. Kemudian berkembang ke negara-negara lain di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika secara individual dan kelompok. (1990:28)
Adapun sistem Hukum Islam dalam fiqh terdiri dari dua hukum pokok, yaitu:
1) Hukum Rohaniah Lazim. Disebut “ibadah”, yaitu cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah seperti shalat, puasa, zakat, dan menjalankan haji.
2) Hukum Duniawi, terdiri dari
a. Mu’amalat
b. Nikah
c. Jinayah
Dalam perkembangannya, Hukum Islam melahirkan beberapa hukum lainnya:
a) Aqliyah. Ialah pengaturan hukum pengadilan, meliputi kesopanan hakim, saksi beberapa hak peradilan, dan cara-cara memerdekaan budak belian.
b) Al- khilafah. Ialah mengatur mengenai kehidupan bernegara, meliputi bentuk negara, dan dasar-dasar pemerintahan, hak dan kewajiban warga, kepemimpinan dan pandangan Islam terhadap pemeluk agama lain.

E. PENGADILAN
1. Pengertian
Pengertian pengadilan berbeda dengan peradilan. Peradilan menunjuk pada proses mengadili sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat. Hasil akhir dari proses dari peradilan tersebut berupa putusan pengadilan atau sering juga digunakan kata putusan hakim, karena hakimlah yang menjadi pemimpin dalam sidang pengadilan itu.
Definisi dari ‘pengadilan’ cenderung digeneralisasi dari asumsi ‘pandangan umum’ mengenai institusi yang diakui sebagai pengadilan dalam masyarakat Barat, juga dibentuk oleh dugaan politik.
Theodore Becker, mengembangkan analisis teoritikal fungsional umum tentang pengadilan yang dapat dipakai untuk menjelaskan pengadilan dalam kaitannya dengan masyarakat. Pengadilan adalah :
• Seorang manusia atau tubuh manusia.
• Kekuasaan untuk menjelaskan perselisihan.
• Sebelum kelompok atau wali siapapun menghadirkan fakta dari perselisihan yang terjadi, prinsip normatif adalah prinsip utama (dalam Undang-undang, konstitusi, aturan-aturan, kasus-kasus sebelumnya).
• Yang digunakan oleh orang-orang tersebut.
• Yang percaya bahwa mereka seharusnya mendengar presentasi secara adil, obyektif atau dengan sikap yang tidak terpengaruh,
• Bahwa mereka menetapkan hal tersebut.
• Sebagai badan yang independen.
Menurutnya, keadilan atau sikap tidak memihak sangat penting bagi eksistensi pengadilan atau sebagai ‘jantung utama dari proses hukum’.
Keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi – Ulpianus). Menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Sedang menurut Hans Kelsen, keadilan merupakan suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur.
Bentuk ideal pengadilan menurut Martin Shapro diadopsi dari banyak literatur, yaitu terdiri dari empat elemen :
• Hakim yang independen
• Menggunakan norma-norma yang telah ada sebelumnya.
• Mencari cara kerja lawan.
• Mencapai sebuah keputusan dikotomi, yakni satu dari kelompok yang berselisish dinyatakan benar menurut hukum dan pihak lain dinyatakan salah.
2. Bentuk-Bentuk Pengadilan
Undang-undang 1945 bab IX menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan-badan Kehakiman lain. GBHN menyebutkan salah satu asas pembangunan nasional adalah atas hukum, karena itu dibutuhkan lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai keadilan, ketertiban dan kepastian hukum, yaitu badan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dengan adanya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan tata kerja, dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, perlu diganti dan disesuaikan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dan Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung.
Pada pokoknya, perihal Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri diatur oleh dua undang, yaitu :
1. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN. tahun 1970 Nomor 74).
2. Undang-undang Nomor 13 tahun 1965 tentang pengadilan dalam limgkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (LN. tahun 1965 Nomor 70).
Susunan pengadilan pada permulaan zaman kemerdekaan RI 1945 ialah sebagai berikut :
1) Pengadilan Umum
a) Pengadilan Kewedanaan
b) Pengadilan Kabupaten
c) Pengadilan Negeri
d) Mahkamah Agung
2) Pengadilan Agama
a) Rapat Agama
b) Mahkamah Islam Tinggi
Adapun pengadilan masa sekarang adalah sebagai berikut
a) Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan (yang umum) sehari-hari yang memeriksa dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua golongan penduduk (warga negara atau orang asing).
Pada setiap Pengadilan Negeri ditempatkan satu Kejaksaan Negeri yang terdiri dari seorang atau lebih Jaksa dan Jaksa-jaksa Muda.
b) Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi adalah pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua(tingkat banding) suatu perkara perdata dan atau perkara pidana, yang telah diadili atau telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri pada tingkat pertama. Pemeriksaan di sini atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja, kecuali bila Pengadilan Tinggi merasa perlu untuk langsung mendengarkan para pihak yang berperkara.
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan Undang-undang dan daerah hukumnya pada asasnya meliputi satu daerah tingkat I.
Kekuasaan mengadili Pengadilan Tinggi adalah :
o Memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
o Memberi pimpinan kepada Pengadilan-pengadilan Negeri di dalam daerah hukumnya.
o Melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di dalam daerah hukumnya dan menjaga supaya peradilan itu diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
o Perbuatan hakim Pengadilan negeri di dalam daerah hukumnya diawasi dengan teliti oleh Pengadilan Tinggi.
o Untuk kepentingan negara dan keadilan, Pengadilan Tinggi dapat memberi peringatan , tegoran dan petunjuk yang dipandang perlu kepada Pengadilan dalam daerah hukumnya.
o Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk dan memberi penilaian tentang kecakapan dan kerajinan para hakim.
c) Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan badan Pengadilan yang tertinggi di Indonesia, berkedudukan di ibu kota Republik Indonesia (Jakarta) atau di lain tempat yang ditetapkan oleh presiden. Daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia dan kewajibannya terutama ialah melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan segala pengadilan lainnya di seluruh Indonesia, dan menjaga atau menjamin agar hukum dilaksanakan dengan sepatutnya.
Tugas Mahkamah Agung antara lain :
1. Memutuskan dalam pemeriksaan pertama dan tingkat tertinggi perselisihan- perselisihan yurisdiksi antara :
a. Pengadilan-pengadilan Negeri yang tidak terletak dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang sama.
b. Pengadilan-pengadilan Tinggi sesamanya
c. Pengadilan Tinggi dan Peradilan Negeri yang terletak di daerah hukumnya.
d. Pengadilan Sipil dan Pengadilan Militer ( Perselisihan yurisdiksi antara Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, diputuskan oleh presiden).
2. Mengkasasikan (memberi kasasi atau membatalkan) atas keputusan Hakim yang lebih rendah.
3. Memberi keputusan dalam tingkat banding dalam keputusan wasit (peradilan swasta urusan dagang).
4. Mengadakan pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan.
5. Mengadakan pengawasan tertinggi atas pengacara-pengacara ayau notaris-notaris.
6. Memberi keterangan, pertimbangan, nasihat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum.
d) Pengadilan Militer.
Tugasnya ialah mengadili hanya dalam lapangan pidana sedang pelaku tindak pidananya adalah:
a. Anggota TNI dan orang yang dianggap sama dengan TNI menurut Undang-undang.
b. Bukan kedua-duanya di atas tapi ditetapkan dengan persetujuan Menteri Kehakiman diadili dengan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer ini ada tiga, yaitu Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, Mahkamah Tentara Agung, dengan tugas dan wewenang tersendiri.
e) Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama bertugas memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang timbul antara orang-orang yang beragama Islam tentang soal Nikah, Talak, Rujuk, Perceraian, Nafkah, dan lain-lain. Mahkamah Islam Tinggi adalah pengadilan yang merupakan Hakim Banding bagi Pengadilan Agama.

BAB III
KESIMPULAN

Masyarakat Indonesia bersifat heterogen, terdiri dari berbagai individu yang beragam yang tentunya memiliki hak dan kewajiban yang bermacam-macam pula. Untuk menghindari dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi antarindividu, kelompok, ataupun antarlembaga diperlukan suatu tatanan hukum yang bersifat mengikat dan memaksa. Diperlukan aturan-aturan hukum yang jelas, tegas dan sistematis demi tercapainya keadilan dalam masyarkat hingga terwujudnya kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dalam makalah kita telah membahas secara singkat hukum perdata, hukum ekonomi, hukum adat dan hukum Islam. Namun, sebenarnya perselishan-perselisihan antara berbagai pihak dalam suatu negara itu tidaklah dapat dielakkan untuk terjadi. Karena itu diperlukan suatu lembaga yang bertugas khusus menangani masalah-masalah seperti ini, yakni pengadilan. Dari uraian yang telah kami paparkan di atas dapat disimpulkan bahwa antara hukum perdata dan hukum dagang terdapat kesamaan secara global yakni sama-sama mengatur dalam hal perorangan namun hukum dagang lebih menekankan pada masalah perekonomian dengan tujuan keuntungan. Sedangan antara hukum adat dan hukum Islam perbedaannya terletak pada subjek hukum itu, yakni hukum adat untuk semua penduduk Indonesia asli sedangkan hukum Islam adalah untuk penduduk Indonesia asli yang beragama Islam.


DAFTAR PUSTAKA


Djamali, R. Abdul. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartohadiprojo, Soediman. 1987. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Sejarah Hukum Islam Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya. Bandung : Marja.
Kusumo, Hilman Adi. 1994. Hukum Adat dalam Yurisprudensi. Bandar Lampung: PT. Citra Aditya Bakti.
Lopa, B. dan Hamzah. 1994. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
Rahardjo, Sadjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Saleh Wantjik. 1981. Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Jakarta: Bina Aksara.
Sudarsono. 1994. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudiyat, Imam. 1991. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Sudiyat, Imam. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
T.O., Ihromi. 2000. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum Perdata. Jakarta: Prestasi Pustaka.













No comments:

Post a Comment