PEMBAGIAN PUSAKA SUAMI ISTERI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATARBELAKANG
Dalam undang-undang ditetapkan NO. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 2 ayat 1 erkawinan dapat dikatakan sah apabila sudah dilaksanakan akad nikah dan ketentuan yang sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan serta bebas dari halangan perkawinan dan jikalau perkawinan tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat unsure halangan didalamnya, maka perkawinan yang demikian tidak sah. Akad yang tidak sah, otomatis perkawinan tidak sah atau fasid. Perkawinan yang fasid adalah perkawinan yang melanggar salah satu syarat perkawinan misalnya tidak ada mahar.
Maka dari itu akad perkawinan yang tidak sah dalam segala bentuknya, tidak menyebabkan adanya peristiwa hubungan kewarisan. Meskipun begitu, akan tetapi perlu dicatat bahwa pewarisan karena hubungan perkawinan akan berlaku, sepanjang suami atau istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas penulis akan merumuskan tentang:
a. pengetian asas sababiyah b. syarat-syarat mengambil pusaka karena ikatan perkawinan c. sistematika pembagian pusaka suami istri d. pembagian pusaka dari garis istri e. pembagian pusaka dari garis suami f. hikmah suami istri dapat mempusakai dari sebab perkawinan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ASAS SABABIYAH
Asas sababiyah adalah hubungan perkwinan sumi istri yang saling mewarisi karenamereka melakukan akad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya1.
B. SYARAT-SYARAT MENGAMBIL PUSAKA KARENA IKATAN PERKAWINAN
Pertama: akad prnikahan yang terjadi antara mereka, sah menurut syara’
Baik si istri telah diantar ketempat suaminya ataupun belum, baik telah terjadi dukhul atau khilwat ataupun belum. Apabila salah seorang dari suami istri meninggal setelah pernikahan yang sah, hak pusaka dari yang meninggal berujud selama tidak adanya penghalang, seperti perbedaan agama jika akad nikah itu tidak sah dan slah seorangnya meninggal walaupun sebelum mereka berpisah atau belum dipisahkan oleh hakim maka tidak ada pusaka yang meninggal walaupun terjadi dukhul atau khilwat.
Kedua: pernikahan yang sah itu masih tejalin antara keduanya, baik secara hakikat ataupun menurut hukum, diwaktu salah seorangnya meninggal. Dan pernikahan itu dipandang masih ada hakikatnya antara suami istri apabila belum pernah terjadi perceraian baik dengan talak, ataupun dengan cara lain. Dan pernikahan itu dipandang masih ada menurut hukum.
Apabila si suami mentalak si istrinya dalam keadaan iddah, pernikahan masih dianggap ada karena dalam talak raj’i tidak menghapus pernikahan selama si istri masih dalam iddah, seta apabila pernikahan itu tidak ada lagiantara keduanya baik hakikat maupun secara hukum maka tidak ada lagi hk pusaka antara keduanya.
Dan pernikahan dipandang masih ada diantara suami istri walaupun sesudah terjadi talak ba’in, apabila yang mentalakitu bermaksud untuk menghindarkan sang istri menerima pusaka. Maka apabila si suami mentalak istrinya dengan talak ba’in padahal mereka dalam keadaan sakit, kemudian meninggal, sedang istri dalam keadaan iddah, maka si istri tetap menerima pusaka. Tetapi kalau si istri yang meninggal, maka si suami tidak menerima pusaka karena dia menjatuhkan talak ba’in berarti dia melepas haknya .
Adapun pusaka untuk si istri yang ditalak oleh suaminya yang sakit, para madzhab berbeda argument. Menurut gologan hanafiyah:
a. suami menjatuhkan talak tidak dalam keadaan terpaksa. Kalau talak karena terpaksa, sedang orang talak yang dipaksa dipandang sah oleh hanafiyah,si istri tidak menerima pusaka lantaran suami menjatuhkan talak bukan dengan maksud menghindarkan si istri dari menerima pusaka
b. si suami menjatuhkan talak tanpa pesetujuan si istri, seperti di talak atas permintaan, maka si istri tidak menerima pusaka.
c. Si suami yang dalam kadaan sakit manjatuhkan talak kemudian meninggal, dapat dipandang ingin menghindarkan si istri ari pusaka. Kalau dia sembuh dari sakit, kemudian meninggal sedang si istri masih iddah, maka siistri tidak menerima pusaka.
Menurut madzhab Ahmad Bin Hambal si istri yang ditalak ba’in dalam
keadaan si suami menderita sakit yang membawa kematiannya, menerima pusaka dari suaminya apabila suami meninggal selama si istri belum menikah kembali, baik masih dalam iddah, maupun telah selesai iddahnya.
Menurut madzhab maliki, si istri yang telah ditalak oleh suami yang sedang sakit, maka apabila si suami meninggal dalam sakitnya niscaya si istri mengambil pusaka daripadanya, walau si istri bersuami lain,sesudah iddahnya selesai.
Menurut Asy-Syfi’i si istri tidak dapat pusaka dari suaminya itu, sebagaimana dia tdak dapat pusaka dari suaminya bila dia diceraikan dengan talak ba’in .
C. SISTEMATIKA PEMBAGIAN PUSAKA SUAMI ISTRI
a. seorang istri meninggal dengan meninggalkan suaminya dan saudaranya kandung, maka si suami mendapat setengah harta dengan jalan fardhu dan si saudara mendapat sisanya yaitu setengah lagi dengan jalan ta’shib.
b. Seorang istri meninggal dengan meninggalkan suaminya dan anak perempuan (cucu perempuan dari anak laki laki) maka si suami mendapat seeprempat dan si anak mendapat sisanya dengan jalan fardlu dan jalan radl.
c. Seorang istri meninggal dengan meninggalkan suami dan anak laki-laki dari anak perempuan (atau cucu perempuan dari anak perempuan) maka si suami mendapat separuh dan yang sisanya bagi cucu laki-laki dari anak perempuan dengan jalan rahim.
d. Seorang istri dengan meningglakn suami dan seorang anak laki-laki yang telah membunuhnya dan seorang saudara lelaki seayah,maka sii suami mendapatkan setengah harta dengan jalan fardlu dengan yang lain atau sisanya diambil oleh saudara laki dengan jalan ta’shib,anak yang membunuh tidak mendapat apa-apa,andaikata si anak bukan pembunuh ibunya,tentulah suami mendapat seperempat dengan jalan fardlu dan saudara lelaki seayah terhalang oleh si anak dengan hajbu hirman,dan sisa harta diambil oleh si anak lelaki dangan jalan ta’shib
e. Seorangg suami meninggal dengan meninggalkan istri dan anak perempuan atau cucu dari anak perempuan,maka si istri mendapat seperdelapan dengan jalan fardlu dan sisanya diambil oleh si anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki dengan jalan fardlu dan radd.
f. Seorang suami meninggal dengan meninggalkan 2 istri dan seorang anak laki-laki dari anak perempuan atau anak perempuan dari anak perempuan, maka 2 istri mendapat seperempat yang dibagi dua,sisanya diambil oleh anak laki-laki dari anak perempuan dengan jalan rahim .
g. Seorang suami meninggal dengan meninggalkan seorang istri dan paman sekandung,maka si istri mendapatkan seperempat dari jalan fardlu dan paman mendapat sisanya dengan jalan ta’shib.
D. Pembagian Pusaka dari Garis Istri
a. Bagian Istri
Istri dalam mempusakai harta peninggalan suaminya mempunyai dua macam fardlu.yaitu :
1. Istri mendapat seperempat apabila tidak ada anak.
2. Istri mendapat seperdelapan apabila ada anak.
b. Dasar Hukum
Surat an-Nisa ayat 12
Artinya “…para istri-istri mendapat seperempat harta peninggalan yang kamu tinggalkan,jika kamu tidak mempunyai anak,jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperlapan dari harta peninggalan yang kamu tinggalkan,setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau setelah dilunasi hutang.
Para ulama sepakat menetapkan bahwa lafad itu mencakup :
1. anak-anak shulbi (kandung) baik laki-laki maupun perempuan.
2. anak-anaknya anak laki-laki,betapa rendah menurunnya,jika tidak ada anak-anak shulbi,tetapi tidak mencakup anak naknya perempuan baik laki-laki maupun perempuan.
c. Hajib dan Mahjub
Hajib ialah ahli waris yang menutup hak pusaka ahli waris yang lain,sedang mahjub ialah ahli waris yang ditutup hak pusakanya. Perbuatan menutupnya disebut hijab.
Istri tidak dapat menjadi hajib tterhadap ahli waris siapapun saja,dan tidak dapat dihijab hirman oleh ahli waris siapaun juga. Tetapi ia bisa dihijab nuqsan oleh anak laki-laki atau perempuan dan cucu laki-laki atau cucu perempuan.
E. Pembagian Pusaka Dari Garis Suami
a. Bagian Suami
Dalam mempusakai harta peninggalan istrinya,suami mempunyai dua fardlu yaitu :
1. Suami mendapat separuh apabila tidak mempunyai anak.
2. suami mendapat seperempat apabila ada anak.
b. Dasar Hukum
Surat An-Nisa ayat 12
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) mendapat setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika ia tidak mempunyai anak,jika istri-istri itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau setelah dilunasi hutangnya.
b. Hajib dan Mahjub
Suami tidak dapat menjadi hajib terhadap seorang ahli waris. Ia tidak dapat dihijab hirman oleh ahli waris siapa saja. Tetapi dapat dihijab nuqsan oleh far’u-warits yakni dari setengah fardlu menjadi seperempat fardlu.
F. Hikmah Suami Istri yang Dapat Mempusakai Dari Sebab Perkawinan
1. Setiap pihak dari suami istri menjadi penolong yang setia dalam mengemudikan bahtera hidup,memupuk kehidupan dan membiayai pengajaran anak-anaknya.
2. Dalam beberapa hal sering terjadi bahwa seorang suami meningggal dunia,meninggal istri yang sudah tidak pantas untuk kawin lagi,pemberian usaka yang demikian ini besar artinya sampai nanti ada orang lain yang kan menanggung nafkahnya.
3. Istri yang ditinggal mati itu dalam keadaan melarat serta tidak ada orang lain yang menafkahinya sampai selesai iddahnya dan dapat kawin lagi dengan orang lain .
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan pembahasan diatas penulis akan menyimpulkan bahwasannya perkawinan itu bisa dikatakan sah menurut syara’ apabila akad perkawinan itu dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan.
Dan perkawinan yang sah akan menimbulkan hubungan kewarisan sepanjang suami istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran.apabila salah seorang dari suami istri meninggal setelah akad pernikahan yang sah,maka hak pusaka dari yang meninggal akan berujud selama tidak ada penghalang,seperti perbedaan agama.
Dan apbila terjadi talak raj’I dan si suami meninggal sedang si istri masih dalam keadaan iddah maka hak pusaka masih ada,apabila terjadi talak ba’in maka sis tri tidak mendapatkan hak pusaka dari suaminya
DAFTAR PUSTAKA Fathur Rahman,Imu Waris,PT Alma’arif,Bandung,1971 Jawad mughniyah,Fiqih Lima Madzhab,Lentera,Jakarta,2006 Hasbi Ash shidiqiy,Fiqih Mawarits,PT Pustaka Rizki Putra,semarang,2001
No comments:
Post a Comment