Saturday, May 1, 2010

TAKHARUJ DAN AKDARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Takharuj dan akdariyah adalah beberapa permasalahan dalam ilmu waris yang erat hubungannya dengan cara penyelesaian pembagian harta warisan. Kedua permasalahan ini sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi Muhammad. Kedua hal ini timbul menjadi bahasan dalam ilmu waris disebabkan adanya peristiwa yang belum dijelaskan dalam waris, sehingga para fuqaha’ pada masa itu menjelaskan kedua hal tersebut melalui ijtihad.
Dalam pembagian warisan, terkadang seorang atau beberapa ahli waris yang bukan mahjub dan bukan mamnu’ tidak menerima bagian. Bagian yang seharusnya mereka terima diberikan kepada seorang atau ahli waris lain sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan. Dalam ilmu waris, hal seperti inilah yang disebut dengan takharuj. Karena tidak selamanya ahli waris mengambil bagiannya dalam waris karena disebabkan faktor-faktor tertentu.
Akdariyah adalah salah satu permasalahan khusus dalam ilmu waris. Permasalahan khusus dalam ilmu waris adalah permasalahan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa. Akdariyah terjadi karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaiannya dilakukan secara khusus. Penyelesaian yang khusus ini hanya berlaku untuk persoalan yang khusus pula.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah takharuj itu ?
2. Bagaimana bentuk dan cara penyelesaiannya?
3. Bagaimana Akdariyah dapat terjadi?
4. Apa permasalan utama dalam Akdariyah?





BAB II
PEMBAHASAN
TAKHARUJ
A. Definisi Takharuj
Takharuj adalah perjanjian yang diadakan antar ahli waris untuk mengundurkan atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan tanpa paksaan. Harta benda yang seharusnya ia terima dibagikan kepada ahli waris selainnya sesuai dengan bagiannya masing-masing. Dengan demikian dia tidak mengambil bagian yang setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan syara’. Contohnya, seorang ahli waris tidak mengambil bagiannya dan bagian itu diberikan pada orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa dia menghapus bagian warisnya sendiri.
Takharuj juga berarti suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima warisan dengan memberikan suatu tebusan atau pengganti yang diberikan oleh orang yang mengundurkan kepada yang diundurkan. Adapun tebusan atau pengganti tersebut berasal dari orang yang mengundurkan atau dari harta peninggalan yang akan dibagi-bagikan.
B. Status Takharuj
Status takharuj ada 4, yaitu:
1. Perjanjian dua pihak.
Satu pihak menyerahkan sesuatu sebagai tebusan kepada pihak lain dan pihak lain tersebut menyerahkan bagian warisannya, sebagai imbalan kepada pihak pertama.
2. Perjanjian jual-beli.
Tebusan yang diberikan pihak pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan imbalan yang diberikan oleh pihak kedua seakan-akan merupakan barang yang dibeli. Jadi takharuj merupakan perjanjian jual-beli.

3. Perjanjian tukar-menukar. (‘aqdu mu’awadhah).
Perjanjian tersebut hampir sama dengan pertukaran barang atau barter. Tebusan yang diserahkan sebagai alat penukar terhadap imbalan yang akan dia terima.
4. Perjanjian pembagian.
Jika tebusan yang diberikan diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka disebut perjanjian pembagian.
C. Dasar Hukum
Takharuj hukumnya boleh. Argumentasinya :
1. Diriwayatkan bahwa Abdurrahman ibnu Auf r.a mempunyai 4 orang istri. Setelah meninggal, salah seorang istrinya Tumadhir binti al Ashbagh setuju tidak menerima bagian pusakanya, yakni 1/8 dibagi 4 = 1/32, karena ia telah rela menerima imbalan dari isteri yang lain sebanyak 83.000 dinar (ada yang menyatakan dirham).
2. Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik seperti perjanjian jual-beli, tukar-menukar, serta perjanjian pembagian dapat diterapkan di perjanjian takharuj dan selalu dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat dan ketentuannya telah dipenuhi. Yang paling utama adalah bila kedua belah pihak menyatakan kerelaan masing-masing.
D. Bentuk-bentuk takharuj dan cara pembagiannya.
Perjanjian takharuj mempunyai empat bentuk.
1. Seorang ahli waris mengundurkan ahli waris yang lain dengan memberikan sejumlah uang atau barang yang diambilkan dari miliknya sendiri.
Ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan yang di dalamnya didapati perjanjian takharuj bentuk pertama ini adalah:
a. Hendak dicari dulu berapa besar bagian masing-masing ahli waris termasuk juga pihak yang diundurkan.
b. Pihak yang diundurkan atau mutakharaj harus dianggap dan diperhitungkan sebagai ahli waris yang ada yang harus dicari besar kecil bagian yang ia terima.
c. Kemudian bagian yang diundurkan tersebut dikumpulkan (ditambahkan) kepada yang mengundurkannya.
d. Besar asal masalah dalam pembagian harta warisan sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta warisan setelah terjadinya perjanjian takharuj.
2. Beberapa ahli waris mengundurkan beberapa/seorang ahli waris dengan memberikan pengganti/tebusan yang diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri. Dengan catatan seluruh ahli waris terlibat dalam perjanjian takharuj. Ketentuannya adalah:
a. Sisa harta peninggalan setelah diambil sebanyak yang dijadikan tebusan terhadap pihak yang diundurkan, dibagi antar ahli waris yang lain menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj.
b. Bagian mereka dijumlahkan untuk dijadikan asal masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama.
c. Pihak yang diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah tebusan, tetap diperhitungkan bagiannya untuk memperhitungkan bagian ahli waris yang mengundurkan, sebab kalau tidak demikian akan berlainan dengan ijma’ (tidak sesuai dengan hitungan).
3. Beberapa ahli waris mengundurkan ahli waris dengan memberikan tebusan yang diambil dari harta milik mereka masing-masing. Besar kecilnya iuran yang harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati. Ketentuan bentuk ketiga:
a. Takharuj tidak mempengaruhi asal masalah semula.
b. Ahli waris yang diundurkan dianggap tidak ada, ketika terjadi pembagian harta warisan pada yang mengundurkannya. dalam membagikan.
4. Seorang ahli waris dengan ahli waris lainnya, dan imbalan yang diberikan kepada mutakharaj berasal dari harta peninggalan. Bentuk takharuj ini hanya terjadi jika tidak ada ahli waris selain mereka berdua.
E. Contoh Kasus dan Analisa.
Deskripsi: Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris suami, anak perempuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar Rp 48.000.000,00. Para ahli waris mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
Analisa kasus:
Pembagian sebelum takharuj:
-anak perempuan : ½ : 6 (diberikan sebuah rumah)
-suami : ¼ x12 : 3
-ibu : 1/6 : 2 Rp 48.000.000,00
-sdr. Laki sebapak : ashabah : 1
Pembagian sesudah takharuj:
Perjanjian takharuj di atas termasuk dalam bentuk takharuj kedua. Maka penyelesaiannya sebagai berikut:
-Anak perempuan mendapatkan harta peninggalan sebuah rumah sesuai dengan perjanjian.
-Suami :3 3/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 24.000.000,00
-Ibu :2 2/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 16.000.000,00
- Sdr. Selaki Sebapak :1 1/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00








AKDARIYAH
A. Akdariyah adalah masalah pembagian harta pusaka yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, saudari kandung/seayah, kakek.
Contoh kasus:
Jika seandainya Harta warisan = Rp 216.000, maka bagian masing-masing adalah:
6
1. Suami : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
2. Ibu : 1/3 2 2/9 x 216.000 = 48.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
4. Kakek : 1/6 1 1/9 x 216.000 = 24.000
9
Dalam hitungan tersebut, yakni (kakek) sebagai ahli waris laki-laki ‘ashabah binnafsi mendapat bagian yang sedikit dari ahli waris perempuan (saudara perempuan), dan mendapat bagian yang lebih kecil dari ibu. Maka timbullah masalah baru yang kemudian dinamakan dengan masalah “Akdariyah”.
B. Penamaan Akdariyah
Masalah ini dinamakan “Akdariyah” karena:
a. Adanya kakek dapat menyusahkan saudari dalam menerima harta warisan. Menyusahkan dalam bahasa arab adalah kaddara. Jika kakek tidak ada, maka saudari akan mendapat 1/2 dari seluruh harta warisan. Namun dengan adanya kakek, bagian saudari akan berkurang karena bagian ahli waris laki-laki harus lebih besar daripada ahli waris perempuan bahkan Abu Bakar berpendapat mahjub.
b. Suatu riwayat bahwa Abdul malik bin Marwan pernah menanyakan masalah ini kepada seseorang yang bernama Akdar. Akdar menjawab berdasarkan fatwa Zaid bin Tsabit r.a. tetapi nyatanya salah.
c. Sebagian pendapat bahwa Akdar adalah nama seorang perempuan yang mati dengan meninggalkan ahli waris seperti masalah diatas.
C. Analisa Penyelesaian Masalah Akdariyah.
Beberapa pendapat untuk menghilangkan kejanggalan masalah tersebut adalah:
1. Pendapat Abu bakar ash-Shiddiq r.a., Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hanifah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kakek mempunyai posisi seperti ayah berdasarkan penggunaan kata “abun” dalam Al-Qur’an untuk kakek sehingga dapat menghijab saudara perempuan.
b. Kakek mempunyai derajat lebih tinggi dibandingkan saudari sekandung atau seayah. Dan kakek termasuk garis ubuwwah (ke atas) yang lebih utama dari garis ukhuwwah (menyamping) sehingga menghijab saudara perempuan kandung dan seayah.
Perhitungan berdasarkan pendapat Abu Bakar diatas:
6
1. Suami : 1/2 3 3/6 x 216.000 = 108.000,00
2. Ibu : 1/3 2 2/6 x 216.000 = 72.000,00
3. Sdri kdg/seayah : gugur
4. Kakek : Ash 1 1/6 x 216.000 = 36.000,00
6

2. Pendapat Umar dan Ibnu Mas’ud:
6
1. Suami : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
2. Ibu : 1/6 1 2/8 x 216.000 = 27.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
4. Kakek : 1/6 1 1/8 x 216.000 = 27.000
8
Ibu hanya diberi bagian 1/6 untuk menghindari bagian ibu lebih besar dari bagian kakek.
3. Pendapat Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dan ketiga Imam Madzhab, bahwa kakek tidak dapat menghijab saudari kandung/seayah akan tetapi mendapat bagian bersama-sama (muqasamah). Alasannya adalah:
a. Antara kakek dan saudari kandung/seayah adalah sama-sama dari garis ayah, oleh karena itu keduanya mempunai kedudukan sama dan tidak saling memahjub.
b. Dalam Al-Qur’an tidak ada nash yang menerangkan terhijabnya saudari kandung/seayah oleh kakek. Karena penggunaan kata “jadd” dengan “abb” adalah penyebutan secara majazy.
c. Meskipun kakek kadang-kadang mendapat bagian 1/6, ‘ashabah, dan 1/6+’ashabah tidak menjamin tentang kelebihannya atas saudari kandung/seayah karena kenyataannya anak laki-laki selalu mendapat bagian ‘ashabah (kedudukannya melebihi semua ahli waris).
Ahli waris Jumlah Bagian AM SM
6 aul 9 x3 27
Suami 1 1/2 3 x3 9
Ibu 1 1/3 2 x3 6
Kakek 1 2 1/6 1
3 4 x3 12
Sdri kandung/seayah 1 1 1/2 3
6 aul 9 27
Dengan harta peninggalan sejumlah Rp 216.000,00 maka:
Suami 9/27x Rp 216.000,00 = Rp 72.000,00
Ibu 6/27x Rp 216.000,00 = Rp 48.000,00
Kakek 2/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 64.000,00
Sdri kdng/seayah 1/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 32.000,00

Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang ketigalah yang paling shahih karena Zaid bin Tsabit diakui keahliannya dalam bidang ilmu faraid oleh Nabi. Dan tidak ada ahli waris yang dirugikan, karena semua mendapat bagian sesuai yang ditentukan Al-Quran. Dan pendapat Zaid bin Tsabit tersebut telah dijadikan UU waris no. 77 tahun 1942 oleh negara Mesir.

BAB III
PENUTUP

Takharuj adalah perjanjian yang diadakan antar ahli waris untuk mengundurkan atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan tanpa paksaan.
Adapun bentuk-bentuknya diantaranya seorang ahli waris mengundurkan ahli waris lain, beberapa ahli waris mengundurkan beberapa/seorang ahli waris. Tebusan terhadap ahli waris yang diundurkan berasal dari harta milik yang mengundurkan, dapat pula berasal dari harta peninggalan dengan syarat semua ahli waris terlibat dalam perjanjian takharuj tersebut.
Akdariyah adalah masalah pembagian harta pusaka yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, saudari kandung/seayah, kakek. Dalam penghitungan normal, maka terdapat kejanggalan dengan bagian kakek sebagai ‘ashabah bin-nafsi yang lebih kecil daripada dua ahli waris perempuan lainnya. Sehingga jumhur fuqaha berpendapat untuk menyelesaikannya kakek dalam pembagian waris dianggap sebagai saudara laki-laki kandung/seayah pewaris.















DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhammad Al-Jurjani, Syarhu Sayyid Syarif ‘ala-Sirajiyah, Farajallahu Zaky Al-Kurdy, Kairo
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl, Pustaka Hikmah Perdana, Surabaya, 2005
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1971, Cet. X
Komis Simanjuntak dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1995
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, Penerbit Tiga Serangkai, Solo, 2007
M. Yusuf Musa, At-Tirkah Wal-Mirast, Darul Ma’rifah, Kairo, Cet. II
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, 1997, Cet. VII, Edisi ke-2

No comments:

Post a Comment