Saturday, May 1, 2010

pemikiran Harun Nasution


1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumetera. Ayahnya Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab jawi. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia meneruskan ke MIK (modern islamietische kweekschool) di Bukitinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.
Setiba ditanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencemplungkan diri dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN Jakarta, IKIP Jakarta dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan administrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis) ketika ia memimpin IAIN, ketua lembaga pembinaan pendidikan agama IKIP Jakarta dan terakhir pimpinan Fakultas Pascasarjana IAIN Jakarta. Dengan bekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun 1968 di Mc. gill Uiversity, ia pun mempunyai bekal yang berbeda dari pakar sebelumnya di Indonesia tentang studi Islam. Perbedaan latar belakang ini hendaknya perlu diperhatikan.
Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution didalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah (terutama menyangkut sejarah pengembangan pemikiran) yang terbukti sebagai salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan antara harun nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peranan Akal
Bukankah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi M. Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mc.Gill, Motreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal melambangkan kekuatan manusia, karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk meng
alahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan manusia, bertambah rendahlah kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku akal dan wahyu dalam islam, teologi islam : aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan dan Muhammad Abduh dan teologi rasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan Al Qur’an sendiri. Bukankah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun dikalangan non Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga dimana saja) adalah disebabkan “ada masalah” dalam teologi mereka. Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al Afghani, Said Amer Aly dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, pre-deteminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.

c. Hubungan Wahyu dengan Akal
Salah satu fokus pemikiran Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua pemasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan akal ulama lain.

No comments:

Post a Comment