Saturday, May 1, 2010

DASAR POLIGAMI

POLIGAMI

A. Hadits Utama
1071 - و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ ثَقِيفٍ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ حِينَ أَسْلَمَ الثَّقَفِيُّ أَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
Artinya: Rasulullah Saw mengatakan pada seorang laki-laki dari Bani Tsaqafi yang ketika masuk islam mempunyai sepuluh orang istri “pertahankanlah empat orang dari mereka dan ceraikanlah yang lainnya: (HR Imam Malik)
B. Mufradat
لرجل : Kepada seorang laki-laki
ثقيف : Nama sebuah suku atau kabilah
عشر نسوة : Sepuluh Orang
امسك : Pegangilah, pertahankanlah
وفارق : Tinggalkanlah, berpisahlah, ceraikanlah
C. Hadits Pendukung
Beberapa hadist yang kami tulis di bawah ini adalah merupakan hadist pendukung yang berfungsi untuk menguatkan dan menjelaskan dan mendukung hadist utama. Adapun hadist-hadist tersebut adalah:
1.riwayat Imam Bukhari
260 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ قَالَ
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدُورُ عَلَى نِسَائِهِ فِي السَّاعَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُنَّ إِحْدَى عَشْرَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَوَكَانَ يُطِيقُهُ قَالَ كُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ أُعْطِيَ قُوَّةَ ثَلَاثِينَ
وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ إِنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُمْ تِسْعُ نِسْوَةٍ

2. riwayat Imam muslim

2656 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ فَجَاءَتْ زَيْنَبُ فَمَدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا فَقَالَتْ هَذِهِ زَيْنَبُ فَكَفَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ فَتَقَاوَلَتَا حَتَّى اسْتَخَبَتَا وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَمَرَّ أَبُو بَكْرٍ عَلَى ذَلِكَ فَسَمِعَ أَصْوَاتَهُمَا فَقَالَ اخْرُجْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَى الصَّلَاةِ وَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ الْآنَ يَقْضِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ فَيَجِيءُ أَبُو بَكْرٍ فَيَفْعَلُ بِي وَيَفْعَلُ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَتَاهَا أَبُو بَكْرٍ فَقَالَ لَهَا قَوْلًا شَدِيدًا وَقَالَ أَتَصْنَعِينَ هَذَا.


3. riwayat Abu Daud
4528 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ سَمِعَهُ مِنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ يَقُولُ أَخْبَرَتْهُ أَسْمَاءُ ابْنَةُ يَزِيدَ
مَرَّ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا.

4. riwayat Imam Ahmad
26108 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ عَنْ أُمِّهِ سَلْمَى بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَتْ كَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ لَا تَغُشَّنَّ أَزْوَاجَكُنَّ قَالَتْ فَلَمَّا انْصَرَفْنَا قُلْنَا وَاللَّهِ لَوْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِشُّ أَزْوَاجِنَا قَالَتْ فَرَجَعْنَا فَسَأَلْنَاهُ قَالَ أَنْ تُحَابِينَ أَوْ تُهَادِينَ بِمَالِهِ غَيْرَهُ.
5. riwayat ibn majah
2028 - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِىُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنِ ابْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا ».
6. riwayat imam an-nasa'i
3196 - أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ سَيْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ
حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَنَازَةَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَرِفَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ مَيْمُونَةُ إِذَا رَفَعْتُمْ جَنَازَتَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مَعَهُ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ وَوَاحِدَةٌ لَمْ يَكُنْ يَقْسِمُ لَهَا
7. riwayat abu daud
2135 - حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ ».











D. Silsilah Sanad







Tingkat Shahabat










E. Takhrij Hadits
Takhrij hadist merupakan langkah atau cara yang siperlukan untuk menggetahui drajat suatu hadist. Oleh karena itu untuk mengetahui drajat hadist utma tentang poligami, maka dilakukan suatu takhrij. Salah satunya dengan mengrtahui biografi para perawi hadist ini.
Berikut ini biografi singkat perawi hadith utama:
1. Yahya
a. Riwayat : Nama lengkapnya Yahya bin Adam bin Sulaiman Al-Qursyi al-Amwa, Abu Zakaria al-Kufi, Mawla khalid bin Khalid bin uqubah bin Abi mui’th. Dari segi tabaqatnya, ia termasuk sigharu at-tabiin dan wafat 203 H.
b. Guru : yahya bin zakariya bin abi zaidah, Abi Muawiyah Ad-dhariiro, Qutbah bin Abdul Aziz.
c. murid : Ishaq bin Ibrahim bin nashri Al-bukhari, Yahya Bin Mu’in, Abdah bin Abullah As-shafar.
d. kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai rawi hadith, al-hafidh dalam tahdib al-kamal ibn hajar menyebutnya dengan siqah dan hafidzh fadhil(penghapal utama) dan Az-zahabi menyebutnya Ahadul A’lam.



2. Malik
a. Riwayat : Nama lengkapnya Malik At-thai Al-kufi ( Walid khasfi bin Malik). Dari segi tabaqatnya, ia termasuk Kibar al-Tabi’in. Tahun wafatnya belum dicantumkan.
b. Gurunya : Abdullah bin Mas’ud.
c. Muridnya : Khasaf bin Malik (anaknya)
d. kredibilatasnya : Ibn hajar menilai belum disebutkan (lam yujkaroha) dan Az-zahabi menyebutnya (la yu’rof) belum diketahui.
3. Ibn Shihab
a. Riwayat : Nama lengkapnya Ahmar bin Juz’I, dan pendapat lain Ahmar bin Suwai bin Juz’I, juga pendapat lain Ahmar bin Shihab bin Juz’I bin Sa’labah bin Zaid bin Malik bin Sunan As-sudusi Ar-rob’i’. beliau termasuk tabaqat As-shohabi. Tahun wafatnya belum dicantumkan.
b. Gurunya : Beliau langsung berguru kepada Rasulullah seperti yang disebutkan oleh Al-maji dalam kitab Tahdzibu Al-Kamal
c. Muridnya : Hasan al-Bashri
d. kredibilitasnya : shohabi

F. I’tibar Hadist
Dilihat dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa drajat hadits utama di atas adalah hadits mursal. Hal ini dikarenakan sanad tersebut putus di tingkat sahabat. Pendapat ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid.
Walaupun pada dasarnya hadits ini adalah dhaif dikarenakan sanadnya terputus, namun kemudian karena didukung hadits lain baik berupa muttabi’ maupun Syahid, maka hadits ini menjadi hasan lighairih. Oleh karena itu kebanyakan ulama membolehkan untuk memakai hadits tersebut. Berikut biografi singkat perawi hadits utama.




E. Makna Ijmali
Secara garis besar, hadits riwayat Malik diatas menceritakan tentang seorang laik-laki dari Bani Tsaqif yang pada waktu itu dia masuk islam dan dia mempunyai sepuluh istri. Kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat orang istri dan menyuruh menceraikan lainnya. Perintah tersebut adalah sebagai bentuk atau aturan dalam perkawinan islam, bahwa kebolehan poligami bagi setiap laki-laki dibatasi dengan tidak diperbolehkan mempunyai lebih dari empat istri.

F. Makna tafshili
Makna رجل yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah seorang laki-laki yang bernama Ghailan bin Salamah, nama ini secara jelas disebutkan dalam sunan ibnu Majah, Imam Ahmad dan yang lainnya, yang mana hadits yang mereka riwayatkan adalah semakna walaupun dalam matannya ada perbadaan lafazd.
من ثقيفmerupakan nama dari keturunan bani tsaqafi, karena dalam hadits lain disebutkan dengan nama Ghailan bin Salamah As-Tsaqafi,kata ثقيفى merupakan sebuah gelar yang diambil dari nama keturunan.
امسك منهنpertahankanlah empat dari mereka, matan hadits ini diawali dengan lafadz امسك yang merupakan kata perintah dari kata امسك yang berarti memegang atau lebih cocok dengan pegertian mempertahankan. Sedangkan subjeknya adalah kata رجل.
اربعاberkedudukan sebagai objek (maf’ul bih) dari kata perintah sebelumnya. Bilangan empat disini mentakdirkan kata niswatin yang kemudian diartikan dengan dari istri yang dimiliki. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa orang yang melakukan bentuk perkawinan poligami istrinya tidak boleh lebih dari empat.
وفارقdan tinggalkanlah yang lainnya, kata فارق dalam hadits diatas merupakan kata perintah dari kata فارق Yang berarti berpisah, sedangkan subjeknya kembali pada kata رجل
سائرهنmerupakan objek (maf’ul bih) dari kata kerja sebelumnya. Dalam hadits diatas Ghailan bin Salamah yang ketika sebelum masuk islam mempunayi sepuluh istri, diperintahkan untuk mempertahankan empat dan menceraikan yang lainnya oleh nabi ketika di memutuskan untuk masuk islam bukan berarti mengindikasikan adanya perintah untuk melakukan poligami ataupun memusnahkannya, tetapi dalam hadits ini memberikan pengertian bahwa sumua umat nabi Muhammad SAW untuk meminimalisir perkawinan dengan bentuk poligami.


G. Kandungan Hukum
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Perintah nabi Muhammad SAW terhadap Ghailan bin Salamah untuk menceraikan beberapa istrinya dan disuruh untuk memperthankan empat dari istrinya adalah sebagai bentuk upaya untuk menyebarkan syariat Islam. Adanya perintah ini tidak terlepas dari adanya perintah dalam Al-qur’an yang menyuruh kepada semua umat nabi untuk tidak berpoligami dengan beristri lebih dari empat.
                              
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An-nisa:3)
Dari hadist utama dan nash al-qur’an di atas, jelas bahwa dalam Islam poligami adalah sebuah bentuk perkawinan yang diperbolehkan, namun dengan syarat tidak boleh melebihi empat istri. Selain hadist di atas atas terdapat pula hadist yang mengindikasikan terhadap kebolehan berpoligami sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi yang berbunyi :
و اخبرنا ابو عبدالله الحافظ وابو سعيد بن ابي عمر قال ثنا ابو العباس محمد بن يعقوب ثنا ابراهيم بن مرزوق ثنا ابو عامر عن اسرائيل عن سماك عن عكرمه عن ابن عباس رضيالله عنهما : والمحصنات من النساء الا ما ملكت ايمانكم كتاب الله عليكم قال لا يحل للمسلم ان يتزوج فوق اربع فان فعل فهى عليه مثل امه و اخته.
Artinya : tidak dihalalkan bagi orang islam menikah melebihi empat orang istri, jika hal itu dilakukan, maka selebihnya disamakan dengan menikahi ibu atau saudaranya (haram). H.R Baihaqi
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turunya Q.S An-Nisa : 3 yang menjelaskan tentang dibatasinya seorang laki-laki untuk menikahi wanita dengan jumlah paling banyak empat orang. Nabi memerintahkan para sahabat yang memiliki lebih dari empat istri untuk tetap mempertahankan empat istrinya dan menceraikan yang lainnya. Seperti yang terdapat dalam hadist utama di atas dimana nabi memerintahkan kepada seorang dari Bani Tsaqafi yang baru masuk Islam sedangkan dia mempunyai sepuluh istri untuk menceraikan istri-istrinya sehingga hanya mempunyai empat orang istri saja.
Selain itu dari keterangan hadits lain yang diriwayatkan oleh Naufal ibnu Muawiyah, ia berkata : ketika aku masuk islam, aku memliki lima orang istri. Rasulullah berkata : “ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat. Dalam riwayat lain disebutkan :
حدثنا احمد بن ابراهيم الدوراقيّ حدثا هشيم عن ابن ابي ليلي عن حميضة بنت الشمردل عن قيس بن الحارث قال اسلمت و عندي ثمان نسوة فأتيت نبي صلي الله عليه و سلم فقلت : ذالك له : فقال "اجتر منهن اربعا"
Artinya : Qais ibnu Harits berkata :”ketika masuk islam aku mempunyai delapan istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan beliau berkata :”pilih dari mereka empat orang. (H.R Ibnu majah)
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak pernah untuk mengajarkan poligami atau asas dari perkawinan Islam adalah monogami (seorang laki-laki mempunyai satu istri). Selain itu dapat difahami pula bahwa Islam tidak memandang positif apalagi mewajibkan poligami. Islam hanya memperbolehkan poligami dengan bentuk yang ketat, yaitu harus berlaku adil, hal ini berdasarkan :
                              
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An-nisa:3)
Barlaku adil di sini adalah perlakuan yang adil dalam pemenuhan istri seperti pakaian, tempat tinggal, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Jika suami khawatir berbuat zalim atau dan tidak mampu untuk memenuhi semua hak mereka, maka hendaknya untuk tidak berpoligami. Bila ia hanya sanggup untuk berbuat adil dan juga memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga, maka janganlah menambah istri menjadi empat, bila ia hanya sanggup untuk berbuat adil dan juga memenuhi hak-hak istrinya hanya dua orang, maka janganlah menambah istri menjadi tiga dan begitu sampai seterusnya.
Apabila seorang suami yang melakukan poligami sedangkan dia tidak dapat berlaku adil kepada para istrinya, Allah mengancamnya melalui hadits yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya nabi SAW bersabda :”barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu meberitakan kepada salah satunya, maka ia akan dating pada hari kiamat dengan bahunya yang miring. (H.R Abu Daud)
Keadilan yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah sesuatu yang bersifat materi, seperti pemberian pakaian, nafkah, dan sampai juga paa persoalan hubungan seksual. Rasulullah sendiri ketika mempunyai sembilan istri dalam melakukan hubungan seksual menggilir semua istrinya kecuali satu dari mereka. Penggiliran ini sebagai bentuk keadilan yang diterapkan oleh nabi pada istri-istrinya, hal ini sesuai hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i:
أَخْبَرَنَا أَبُو دَاوُدَ سُلَيْمَانُ بْنُ سَيْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ
حَضَرْنَا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ جَنَازَةَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَرِفَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ هَذِهِ مَيْمُونَةُ إِذَا رَفَعْتُمْ جَنَازَتَهَا فَلَا تُزَعْزِعُوهَا وَلَا تُزَلْزِلُوهَا فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مَعَهُ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ وَوَاحِدَةٌ لَمْ يَكُنْ يَقْسِمُ لَهَا

Sesungguhnya Rasulullah mempunyai sembilan istri, beliau menggilirnya secara bergantian (dalam melakukan hubungan seksual) kecuali pada satu istrinya yang tidak pernah beliau gauli. (H.R Imam Nasa’i)
Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Nasa’I, disebutkan bahwa satu istrinya yang tidak pernah beliau gauli adalah Saudah. Sebenarnya bukan karena nabi tidak menyukainya hingga beliau tidak pernah berhubungan seksual dengannya tapi karena Saudah tidak lagi berkeinginan melakukan hubungan seksual, hingga ketika gilirannya digantikan kepada Aisyah, hadits tersebut berbunyi :
Diceritakan dari Ibnu Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW mempunyai sembilan istri,beliau melakukan dengan semua istrinya kecuali hanya kepada saudah. Dia berikan hari dan malamnya untuk Aisyah. (H.R Muslim)
Dari hadits-hadits diatas, jelas bahwa nabi secara bergiliran berhubngan seksual dengan semua istrinya. Hal ini tidak lain dikarenakan dalam masalah hubungan seksual nabi yang melakukan poligami dihruskan untuk berbuat adil kepada para istrinya. Keadilan untuk melakukan hubungan seksual juga diwajibkan kepada semua laki-laki yang melakukan poligami seperti apa yang telah dilakuka oleh nabi.
Adapun mengenai keadilan dalam masalah immateri, yakni tentang cinta dan kasih sayang itu berada diluar kemampuan manusia. Nabi bersabda :
Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Beliau pernah berdoa, Ya Allahini bagianku yang dapat aku kerjakan, karena itulah janganlah mencelakanku tentang apa yang engkau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya, yang dimaksud adalah masalah hati. (H.R Abu daud)
Dari sini dapt difahami bahwa keadilan yang harus diberiakn seorang yang berpoligami kepada para istrinya adalah sesuatu yang bersifat dhohir. Sedangkan untuk masalah hati suami tidak dilarang untuk lebih mencintai istri yang satu daripada istri yang lainnya karena hal ini berada diluar kemampuan manusia.
Walaupun poligami diperbolehkan dengan syarat adil, tetapi kalau kita cermati secara mendalam ternyata keadilan ini akan sulit diwujudkan, karena pada umumnya ketika seorang wanita dipoligami dia akan merasa sakit hati yang dimana hal ini akan menjadikan tidak terwujudnya suatu tujuan pernikahan, yaitu untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Sehingga ketika nabi ditanya oleh Amrah bintu Abdurrahman : “Ya Rasulullah mengapa engkau tidak menikahi perempuan dikalanan Anshar yang beberapa dari mereka terkenal kecantikannya? Rasul menjawab :”mereka perempuan-perempuan yang mempunyai rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar untuk dimadu. Aku mempunyai beberapa istri dan aku tidak suka menyakiti perempuan berkenaan dengan hal itu”.
Jawaban Rasulullah dalam hadits di atas mengandung pengertian bahwa poligami pada hakkatnya menyakiti hati perempuan. Nabi terlalu mulia untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau diutus untuk mengangkat martabat kaum perempuan yang ketika itu sudah sangat terpuruk.
Nabi juga tidak mengizinkan menantunya Ali bin Abi bin Abi Thalib untuk memadu putrinya Fatimah Al-zahra denagn perempuan lain. Dalam satu riwayat yang dinukilkan dari Al-Miswar ibnu Mukarramah bahwa ia telah mendengar Rasulullah berpidato di atas mimbar. “sesungguhnya anak-anak Hisyam ibnu Mughairah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali, ketahuilah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku dan menikahi anak mereka. Sesungguhnya Fatimah bagian dari diriku. Barang siapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku, sebaliknya barangsiapa yang menyakiyinta berarti menyakitiku”.
Sangat logis dan manusiawi bila dalam hadits ini tidak mengizinkan Ali untuk memadu putrinya, karena secara hakiki tidak ada seorang ayah yang rela bila anaknya dimadu. Secara naluri, semua orangtua selalu berharap agar putrinya merupakan satu-satunya istri dari suaminya, semua orang tua tidak ingin ada perempuan lain dalam kehidupan suami anaknya.
Walaupun pada asasnya perkawinan dalam Islam adalah monogami, tetapi keadaan poligami sampai saat ini tidak dapat dihapuskan karena dalam keadaan tertentu poligami masih diperlukan, misalnya ketika wanita yang dinikahinya mandul agar tidak diceraikan suaminya maka sang suami diperbolehkan untuk menikah lagi (poligami).
Dari keterangan di atas sangat jelas bahwa pada dasarnya bentuk perkawinan poligami sangat sulit untuk dapat mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, hingga nabi tidak berkeinginan untuk menikahi wanita dari kaum Anshar yang pada umumnya mereka mempunyai rasa cemburu yang sangat tinggi, selain itu nabi juga tidak memperbolehkan sahabat Ali untuk memadu Fatimah, karena itulah menurut penulis keberadaan poligami yang diperbolehkan dalam islam hanya diperuntukkan bagi laki-laki yang benar-benar membutuhkannya, semisal bagi laki-laki yang mempunyai istri mandul, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sang suami.

H. Pendapat Ulama
Menurut Maulana Umar Ahmad Utsmani seorang Alim dari Pakistan dalam karyanya fiqh Al-Qur’an, menjelaskan secara detail masalah poigami, pertama dia menguraikan akar kata zauj yang dalam bahasa Arab berarti pasangan (suami istri) atau satu dengan pasangan lain. Kedua, pasangan tersebut saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, menurut dia zawwaja atau tazawwaja berarti seorang laki-laki atau perempuan mengawini perempuan atau laki-laki lain, yang menyatakan secara tidak langsung dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan. Jadi kata zawwaja berarti mengharuskan satu laki-laki dan satu perempuan, bukan banyak perempuan. Yang berarti dalam hal ini menganut asas monogami.
Muhammad Abduh memperbolehkan atau menyetujui adanya poligami, akan tetapi ia sangat menentang praktek poligami dalam masyarakat. Menurutnya disamping sulit merealisasikan keadilan diantara para istri, sangat sulit juga membina masyarakat yang berpoligami. Hal itu dikarenakan kondisi masyarakat yang tentram dan damai berasal dari keluarga, sementara poligami tidak dapat menciptakan suasana seperti itu, malah sebaliknya menciptakan permusuhan diantara para istri dan anak-anak dari masing-masing keluarga.
Sebab lain Muhammad Abduh menentang poligami dalam praktek, karena ia menganggap poligami sebagai biang keladi kerusakan masyarakat yang terjadi di Mesir yang senang melakukan poligami sekaligus mudah menjatuhkan talak karena mereka lebih mengutamakan kenikmatan seksual dan tenggelam dalam memperturutkan hawa nafsunya dan tidak dibarengi dengan peningkatan pendidikan dan peradaban. Bahkan ia mengatakan berdasar kaidah “Dar’u al-mafasid muqaddamu ‘ala jalbi al-mashalih” maksudnya mencega mudharat harus didahulukan dapi pada mengambil manfaat, maka Inna ta’adduda az-zaujati muharromun qath’an ‘inda al-khaufi min ‘adami al-‘adli’ (sesungguhnya poligami itu diharamkan secara pasti kalau dikhawatirkan tidak bias berbuat adil). Dengan ini Muhammad Abduh menyatakan bahwa poligami haram apabila tidak mungkin
berbuat adil kepada para istrinya dan juga berarti keadilan diantara masing-masing keluarga.
Para ulama Hanafi berpendapat bahwa perilaku adil merupakan salah satu hak istri dan menjadi kwajiban bagi suami. Mereka pun berpendapat bahwa disaat suami tidak bisa berlaku adil, maka pihak istri bisa mengadukannya kepada hakim hingga kekuasaan hakim pun diharap bias memberi peringatan kepadanya dan juga menghukum atas ketidak adilannya tersebut. Bila suami masih tetap tidak berlaku adil, maka hakim pun bias memukulnya tanpa harus mengurungnya dalam penjara. Semua itu ditetapkan demi mencapai tujuan utama dari suatu pernikahan yakni usaha saling membahu dalam menjalankan kehidupan dan berlaku baik kepada istri.
Rasyid Ridha berpendapat bahwa idealnya perkawinan adalah monogami. Poligami dibolehkan dalam keadaan dharurat. Akan tetapi meskipun dalam keadaan dharurat poligami diperbolehkan dengan syarat jaminan untuk tidak akan muncul kejahatan dan kedzaliman harus dipenuhi terlebih dahulu. Jadi dalam hal ini Rasyid Ridha sependapat dengan Muhammad Abduh bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat keadilan terpenuhi diantara para istri sehigga tidak muncul kejahatan dan kedzaliman yang berdampak buruk bagi masyarakat.
Dalam bukunya Nida’ li al-jins al-latif Rasyid Ridha mengatakan bahwa poligami diharamkan bagi mereka yang akan berlaku aniaya terhadap kaum perempuan dengan mencintai salah seorang istri dari paa istri yang lain karena kelebihan yang dimilikinya, atau sebaliknya karena membenci salah seorang istri karena kekurangannya. Padahal syarat diperbolehkannya poligami adalah apat berbuat adil kepada para istri, sementara adil adalah masalah yang sulit untuk dilakukan.
Rasyid Ridha menjelaskan tiga masalah pokok yang berkaitan dengan poligami yaitu, pertama, islam tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi menunjukkan bahwa sedikit sekali pelaku poligami yang bisa berbuat adil, bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada yang bisa adil membagikan rasa cinta terhadap semua istrinya, sehingga mereka sulit sekali membebaskan dari penganiayaan dan kedzaliman yang diharamkan. Jadi seorang laki-laki yang akan berpoligami hendaknya mempertimbangkan dengan matang soal tujuan, kemauan dan melihat lebih jauh kedepan tentang kemanfaatan dan kemudharatannya.
Kedua, Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi juga tidak terlalu longgar. Hal ini mengingat watak dan kebiasaan laki-laki yang tiak puas dengan satu istri, karena adanya tuntutan mencari keturunan, jumlah perempuan yan terlalu banyak dank arena banyak janda atau perempuan yang tidak memiliki suami atau pelindung untuk memberikan nafkah, sementara itu dipihak lain banyak laki-laki yang cukup kaya dan mampu menghidupi lebih dari satu istri. Ketiga, islam memberikan hukum mubah atau boleh atas poligami dengan syarat ketat dan berbagai sebab seperti di atas dismping harus mempertimbangkan dampak buruknya.
Dalam masalah ini Syahrur berada dalam posisi moderat. Pembolehan praktik poligami baginya harus mempertimbangkan batas-batas kualitatif. Yang dimaksud batas-batas kualitatif disini adalah kualitas istri kedua tersebut apakah perawan, janda karena ditinggal mati suaminya atau janda karena dicerai suaminya.

Para Ahli Fiqh bersepakat bahwa seorang suami tidak boleh mendatangi rumah seorang istri yang tidak pada waktunya, kecuali karena ada kebutuhan yang mendesak yang mengharuskanya untuk datang mengunjunginya. Namun demikian ia boleh mengucapkan salam untuk istri yang belum mendapat giliranya dari balik pintu dan menyatakan kabarnya tanpa harus memasuki rumahya.
Berbagai referensi buku memaparkan bahwa disaat seorang lelaki telah memasuki rumah istrinya yang mendapat gilirannya dan kemudian pintu itupun ditutup maka sudah menjadi kewajibannya untuk bermalam dengannya dan ia tidak boleh pergi kerumah istri lainnyakecuali karena suatu halangan yang mendesak.






No comments:

Post a Comment