A. Pendahuluan
Di antara hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai hukum positif adalah hukum tentang harta bersama. Penyebutan harta bersama dan tata cara pembagian harta bersama di berbagai daerah sebenarnya berbeda-beda. Namun demikian, dalam perkembangannya, seperti yang terdapat dalam Burgelijk Wetboek (BW)/KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam, konsep pembagian harta bersama adalah bahwa masing-masing suami istri berhak atas separoh dari harta bersama ketika terjadi perceraian atau kematian salah satu pasangan. Penyeragaman hukum dalam masalah pembagian harta bersama tersebut memang merupakan sebuah komitmen dari upaya unifikasi hukum untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul antara para pihak karena adanya pluralisme hukum. Namun demikian, muncul pertanyaan yaitu sejauh manakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang heterogen? Terlebih lagi, apakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut juga dapat memenuhi rasa keadilan dalam hal hanya salah satu pasangan yang berjasa atau memiliki kontribusi dalam memperoleh harta bersama tersebut?
Tulisan ini akan mencoba untuk mengkaji berbagai pertanyaan di atas meskipun tidak menjanjikan memberikan sebuah kajian yang mendalam dan
menyeluruh. Secara garis besar, tulisan ini akan mendiskripsikan tentang konsepsi harta bersama, baik dalam hukum adat maupun hukum positif dan kemudian memberikan sebuah analisis terhadap konsepsi pembagian harta bersama tersebut.
B. Konsepsi Harta Bersama
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang konsepsi harta bersama, perlu dijelaskan perbedaan antara konsep dan kosepsi. Konsepsi adalah pengertian yang meliputi hal-hal yang parsial, tidak mendasar, aplikatif, empiris, dan praktis. Sedangkan konsep merupakan pengertian abstrak yang meliputi hal-hal yang bersifat universal, mendasar, filosofis, dan teoritis. Sebuah konsep dibangun atas seperangkat konsepsi. Dalam tulisan ini, konsepsi harta bersama akan dibagi menjadi menurut hukum adat dan hukum positif.
I. Hukum Adat
Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan. Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya. Suami dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat disebut somah atau serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah. Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.
b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama.
d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.
Menurut Prof. Djodjodigoeno dan Tirtawinata, SH dalam bukunya ”Adatprivaatrecht van Middel-Java”, masyarakat Jawa Tengah membagi harta perkawinan menjadi dua macam, yaitu:
a. Harta asal atau harta yang dibawa ke dalam perkawinan.
b. Harta milik bersama atau harta perkawinan.
Sementara menurut Wirjono Prodjodikoro, SH dalam bukunya ”Hukum Perkawinan di Indonesia”, menjelaskan bahwa harta perkawinan menurut hukum adat terbagi menjadi harta milik masing-masing suami atau istri dan harta bersama. Adapun harta perkawinan yang menjadi harta milik masing-masing suami atau istri mencakup:
a. Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai warisan dari orang tua atau nenek-moyang.
b. Harta yang diperoleh masing-masing suami-isteri sebagai hibah atau hasil usaha sendiri.
Penyebutan harta bersama suami-isteri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suarang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan
”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan ”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, atau ”kaya reujeung” . Di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap harta bersama tersebut. Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri, apabila isterinya tidak memberikan suatu dasar materiil –yang berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman- bagi keluarga atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan isteri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung), maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi milik isteri sendiri. Di Kudus-Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan para pedagang, maka suami dan isteri masing-masing tetap memiliki barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama selama perkawinan. Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan gejala umum dan telah menjadi azas umum dalam hukum adat seiring dengan pertumbuhan somah yang semakin kuat di dalam masyarakat yang menggeser kedudukan dan pengaruh keluarga besar atau kerabat dalam masalah harta perkawinan.
Di daerah-daerah lain yang mengakui adanya harta bersama memiliki konsepsi bahwa segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama perkawinan berlangsung termasuk harta bersama, selama suami isteri tersebut sama-sama bekerja untuk keperluan somah. Dan pengertian bekerja itu sendiri lama-kelamaan menjadi semakin luas dan kabur, sehingga seorang isteri yang
bekerja di rumah saja untuk memelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga, sudah dianggap bekerja juga, sehingga dalam hal ini semua kekayaan yang in concreto diperoleh suami menjadi harta bersama. Ini adalah sesuatu yang wajar, sebab meskipun pihak isteri tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta tersebut, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga itu, pihak suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Selain itu, apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari, isteri mampu melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung isteri juga membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama suami isteri. Oleh karena itu, anggapan umum yang saat ini berlaku adalah bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan siapakah yang sesungguhnya berjerih payah memperoleh harta tersebut. Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibat kematian salah satu pihak atau akibat perceraian. Tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengenai tata cara pembagian harta bersama. Namun demikian yang menjadi arus utama dalam pembagian harta bersama adalah bahwa suami atau isteri masing-masing mendapat separoh dari harta bersama.
Beberapa daerah di Jawa Tengah memiliki kebiasaan pembagian harta bersama yaitu suami mendapatkan dua-pertiga dan isteri mendapat sepertiga. Azas pembagian tersebut di Jawa Tengah disebut azas ”sakgendong sakpikul.” Tata
cara pembagian seperti ini juga dikenal di pulau Bali berdasarkan azas “sasuhun-sarembat.” Begitu juga di kepulauan Banggai, terdapat azas dua-pertiga dan sepertiga tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya, azas ”sagendong sapikul,” atau “sasuhun-sarembat,” dalam pembagian harta bersama makin lama makin lenyap. Kemudian dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka lazimnya semua harta bersama tetap berada di bawah kekuasaan pihak yang masih hidup dan dia berhak untuk menggunakan harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya. Tetapi, dalam hal sudah tersedia secara pantas sejumlah harta yang diambilkan dari harta bersama tersebut untuk keperluan hidupnya, maka kelebihannya dapat dibagi oleh para ahli waris. Kalau terdapat anak, maka anak itulah yang menerima bagiannya sebagai barang asal. Sedangkan kalau tidak ada anak, maka sesudah kematian suami atau isteri yang hidup lebih lama, harta bersama tersebut harus dibagi antara kerabat suami dan kerabat isteri menurut ukuran pembagian yang sama dengan ukuran pembagian yang digunakan suami isteri seandainya mereka masih hidup serta membagi harta bersama tersebut.
II. Hukum Positif
a. Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)
Masalah harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) diatur dalam Pasal 35-37. Pasal 35 (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sementara Pasal 35 (2) menjelaskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya Pasal 36 (1) mengatur bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan Pasal 36 (2) mengatur bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Kemudian Pasal 37 menjelaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat. Perlu diketahui bahwa Pasal 35-37 di atas disusun berdasarkan pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu: (1) masing-masing pihak dalam perkawinan memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah, dan (2) dengan ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara terkait dengan kekayaan keluarga terlepas pihak mana yang sebenarnya mengusahakan aset tersebut.
b. Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)
Dalam Bab XIII, Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 85-97. Pasal 85 menjelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 (1)
menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, sementara Pasal 86 (2) mengatur bahwa harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 (1) mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan Pasal 87 (2) menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya. Pasal 88 menjelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 89 menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, sementara Pasal 90 menyatakan bahwa isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 terdiri dari empat ayat: (1) harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak beruwujud; (2) harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharda; (3) harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban; dan (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain. Pasal 92 menyatakan bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 terdiri dari 4 ayat: (1) pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing; (2) pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; (3) bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami; (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri. Pasal 94 terdiri dari dua ayat: (1) harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; (2) pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Pasal 95 tediri dari dua ayat: (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya; (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96 terdiri dari dua ayat: (1) apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; (2) pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara
hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Dan terakhir, Pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut.
c. Burgelijk Wetboek (BW)
Burgelijk Wetboek juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-154 BW. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
C. Pembagian Harta Bersama: sebuah catatan kritis
Seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa secara umum pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibat perceraian atau kematian salah seorang pasangan - baik menurut hukum adat maupun hukum positif – adalah bahwa masing-masing suami isteri memiliki hak yang sama terhadap harta bersama, yaitu separoh dari harta bersama. Pembagian seperti ini berlaku tanpa harus mempersoalkan siapakah yang berjerih payah untuk mendapatkan harta kekayaan selama dalam perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ketentuan tersebut dapat berlaku secara universal untuk semua kasus, ataukah hanya dalam kasus tertentu yang memang dapat mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak. Sejauh pemahaman penulis ketentuan pembagian harta bersama separoh bagi suami dan separoh bagi isteri hanya sesuai dengan rasa keadilan dalam hal baik suami maupun isteri sama-sama melakukan peran yang dapat menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga. Dalam hal ini, pertimbangan bahwa suami atau isteri berhak atas separoh harta bersama adalah berdasarkan peran yang dimainkan baik oleh suami atau isteri, sebagai patner yang saling melengkapi dalam upaya membina keutuhan dan kelestarian keluarga.
Pengertian peran di sini pun tidak didasarkan pada jenis kelamin dan pembakuan peran, bahwa suami sebagai pencari nafkah sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal suami memang tidak bekerja, tetapi dia masih memiliki peran besar dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, seperti mengurusi urusan rumah tangga, mengantar dan menjemput anak maupun isteri, bahkan berbelanja dan menyediakan kebutuhan makan dan minum, ketika isteri bekerja, maka suami tersebut masih layak untuk mendapatkan hak separoh harta bersama. Sebab meskipun pihak suami tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta, namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah
tangga itu, pihak isteri telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Sebaliknya, ketika isteri bekerja, sedangkan pihak suami tidak menjalankan peran yang semestinya sebagai patner isteri untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, pembagian harta bersama separoh bagi isteri dan separoh bagi suami tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan. Dalam hal ini bagian isteri harus lebih banyak dari pihak suami. Dalam kasus ini mungkin azas ”sakgendong sakpikul” dapat diadopsi sebagai salah satu pilihan, tetapi penerapannya dibalik, dalam arti bahwa pihak isteri mendapatkan dua-pertiga dari harta bersama dan pihak suami hanya sepertiga harta bersama. Bahkan ketika ternyata pihak suami selama dalam perkawinan justru boros, sering judi maupun mabuk, maka tidak sepantasnya suami tersebut mendapatkan hak dalam pembagian harta bersama.
D. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa meskipun hukum positif (BW/KHI) secara tegas mengatur bahwa pembagian harta bersama antara suami isteri pasca perceraian atau kematian salah satu pihak adalah masing-masing mendapat separoh dari harta bersama, ketentuan tersebut bukanlah sebuah ketentuan yang dapat diterapkan secara universal untuk semua kasus pembagian harta bersama. Dalam hal ini, semangat atau tujuan di balik hukum pembagian harta bersama harus diutamakan, yaitu untuk mewujudkan keadilan. Oleh karena itu, dalam penerapan hukum
positif tersebut harus tetap mempertimbangkan bagaimana peran yang dimainkan oleh masing-masing pihak dalam upaya menjaga keutuhan dan kelestarian keluarga, dan bukan semata-mata membagi harta bersama separoh bagi suami dan separoh bagi isteri. Selain itu, pertimbangan juga tidak didasarkan semata-mata pada siapa yang berjerih payah memperoleh harta kekayaan. Karena jika hanya didasarkan pada siapa yang lebih banyak memperoleh harta kekayaan, secara tidak sadar kita telah terjebak pada pola pikir positifisme yang cenderung matematis dan materialis, sehingga peran dalam mengurus rumah tangga seringkali tidak dihargai. Demikianlah ijtihad yang dapat ditawarkan oleh penulis dalam masalah pembagian harta bersama. Semoga apa yang penulis tawarkan dapat lebih memenuhi rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Amin. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Daftar Pustaka
Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Edisi II, (t.tp: t.n.p, 1973). Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008). Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974). Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991).
No comments:
Post a Comment