Saturday, May 1, 2010

FASAKH KARENA CACAT DALAM PERSPEKTIF HADIST


Hadist tentang Fasakh karena Cacat

A. Hadist Utama
Secara umum, dalam beberapa literatur tidak ditemukan hadist yang membahas secara umum mengenai fasakh. Namun terdapat banyak hadist yang menerangkan tentang fasakh dipandang dari berbagai macam akibat. Misalnya fasakh akibat menikahi saudaranya sendiri, fasakh akibat cacatnya salah satu pihak, fasakh akibat murtadnya salah satu pihak dan lain sebagainya.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hadist tentang tentang fasakh, alangkah baiknya jika mengetahui terlebih dahulu mengenai arti dari fasakh, yaitu merusak atau melepas tali ikatan perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkaitan dengan akad (sah atau tidaknya) dan sebab yang datang setelah akad.
Fasakh yang berkaitan dengan akad, misalnya bila akad sudah berlangsung tetapi ternyata perempuan yang dinikahinya adalah saudara sendiri, maka rusaklah akadnya. Sedangkan fasakh karena adanya sebab yang datang setelah berlakunya akad, misalnya salah seorang dari pasangan suami istri murtad dari islam dan lain sebagainya. Adapun dalam makalah kali ini kami mengangkat hadist yang berkaitan dengan fasakh karena adanya sebab setelah berlakunya akad. Bunyi hadist tersebut adalah:
حدثنا أبو بكر محمد بن أحمد بن بالويه ، ثنا الحسن بن علي بن شبيب المعمري ، ثنا يحيى بن يوسف الرقي ، ثنا أبو معاوية الضرير ، عن جميل بن زيد الطائي ، عن زيد بن كعب بن عجرة ، عن أبيه ، قال : تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة من بني غفار ، فلما دخلت عليه ووضعت ثيابها رأى بكشحها بياضا ، فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم : البسي ثيابك والحقي بأهلك, وأمر لها بالصداق. (رواه الحاكم)
B. Hadist Pendukung

Imam Ad-daruqutni
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْعَطَّارُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ غَرَّ بِهَا رَجُلٌ بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا وَصَدَاقُ الرَّجُلِ عَلَى وَلِيِّهَا الَّذِى غَرَّهُ.
Imam Malik
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّهُ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّاب أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَبِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا كَامِلًا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا غُرْمٌ عَلَى وَلِيِّهَا
Sa’id bin musayyab
روي سعيد ايضا عن علي نحوه وزاد وبها قرن فزوجها با الحيار فان مسها فلها المهر بما استحل من فرجها

C. Makna mufrodat
بياضا:Belang putih atau penyakit kusta
البسي : Pakailah
الحقي : kembalillah
الصداق :Mahar
كشح : Rusuk
D. Terjemah hadist
“Dari Abu Bakar Muhammad bin ahmad Baalawi, dari Hasan bin Ali bin syubaib Al-mu’mary, dari yahya bin yusuf ar-raqy, dari abu muawiyah Adh-dharir, dari jamil bin zaid Attoiy, dari zaid bin ka’ab bin ujroh dari ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw. Menikahi wanita dari bani Ghifar, dan pada saat dia menghampiri Rasul dan mulai melepas pakaiannya, Rasul melihat pada rusuk wanita tersebut terdapat belang putih atau penyakit kusta, kemudian Rasul berkata kepadanya; pakailah bajumu dan kembalilah kepangkuan keluargamu dan memerintahkannya untuk mengambil mahar.
E. Takhrij Hadist
Untuk menentukan derajat keshohihan suatu hadist diperlukan suatu langkah sistematis yang dimulai dari penelitian ketersambungan sanad, keadilan dan kedhbitan Rawi, serta bebas dari shadd dan illah. berikut ini biografi dan kredibilitas perowi-perowi hadist tersebut:

Nama : Muhammad bin Ahmad bin Nafi’ Al-Abdi Al-Qiysi, Abu Bakr Al-Bisri.
Tobaqoh: 10: setelah Atba’ut Tabi’in
Wafat: setelah tahun 240 H
Kualitas: menurut Ibnu Hajar: Suduq, dan menurut Dzahabi: Tsiqoh

Kualitas Nama: Yahya bin yusuf bin Abi Karimah Al-Zimi, Abu yusuf, dan sering disebut Abu Zakaria Al_Khurosini
Thabaqah: 10: Atbaut Tabi’in
Wafat: 200 H.
Kualitas: menurut Ibnu Hajar : Tsiqoh

Nama : Muhammad bin khazim At-Tamimi As-Su’udi, Abu muawiyah Ad-Darir Al-Kufiy
Thabaqah: 9 : Shigar Atbaut Tabi’in
Wafat: setelah tahun 295 H.
Kualitas: menurut Ibnu Hajar: Tsiqoh, dan menurut Dzahabi: Hafidz

Nama : Jamil Bin Zaid Atha’iy
Kualitas: menurut ibnu hajjar Asqalani: Majhul

Nama: Zaid Bin Ka’ab
Thabaqah:1: Shahabi
Kualitas: menurut Ibnu Hajar dan Dzahabi: Shohabi (tidak diragukanlagi keTsiqahannya)

Dari keterangan diatas, dari segi sanad hadist penulis dapat menyimpulkan bahwa hadist diatas adalah dha’if karena terdapat seorang perawi yang majhul yaitu jamil bin Zaid At-Thaiy. Dalam kitab ilmu musthalah Al-hadis majhul tergolongan martabat rawi dhaif yang kelima . Yang dimaksud majhul disana yaitu tidak diketahui keadaan perawi tersebut baik mengenai guru-guru dan murid-muridnya. Walaupun hadist tersebut dha’if akan tetapi terdapat hadis (riwayat lain) yang lafadz dan maknanya serupa bahkan banyak hadist dari para shahabat yang mendukung hadist tersebut. Sehingga dapat dipahami hadist tersebut meningkat derajatnya menjadi Hasan Lighairihi karena ada dukungan dari hadist lain.
Dari segi matan hadist diatas tidak bertentangan dengan Al-quran, hadist lain dan akal. Bahkan matan hadist diatas selaras dengan tujuan nikah yaitu untuk terwujudnya keluarga sakinah, mawadah dan rahmah serta mendapatkan keturunan. Dengan demikian kami menyimpulkan bahwa hadist diatas dapat dijadikan sebagai hujjah terhadap diblehkannya fasakh karena adanya cacat.
F. Makna Ijmali
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwasanya fasakh yang disebabkan oleh adanya salah satu pihak yang mengalami cacat adalah sah-sah saja. Seperti yang terdapat dalam kasus yang terjadi pada nabi, dikarenakan hal itu sesuai dengan tujuan perkawinan dan kehidupan perkawinan harus didasarkan atas ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul apabila salah satu pihak cacat atau berpenyakit yang membuat pihak lain tidak mau mendekatinya, sedangkan cacat atau penyakit yang membuat orang lain lari dari padanya bukanlah sasaran yang dituju dari perkawinan.
G. Makna Tafsili
رأى بكشحها بياضا : maksudnya belang putih (penyakit kusta) yang terdapat pada rusuk istrinya. Belang putih itu merupakan suatu aib atau cacat bagi istri, yang mana disana membolehkan bagi seorang suami untuk mengfasakhnya. Walaupun hanya disebutkan bayadhon saja bukan berarti penyakit yang lainnya itu tidak bisa menyebabkan adanya fasakh. sebagaima dengan hadist pendukung dari Umar bin Khatab dan Ali bin abi Thalib dimana cacat-cacat berikut dapat menyebabkan dibolehkanya fasakh yaitu: penyakit kusta, sopak, gila dan kemaluannya ada tulang. Dan iman Mahdzab menambahinya hingga sembilan macam cacat.
Dengan demikian dalam memandang cacat sebagai penyebab fasakh harus secara kontekstual buktinya dihadist nabi yang hanya menyebutkan satu penyakit kemudian dizaman umar ditambah dengan beberapa penyakit begitu juga di zaman Ali bin abi Thalib dan zaman imam mahdzab . Hal itu tidak menutup kemungkinan adanya penyakit pada zaman berikutnya yang dipandang itu merupakan suatu aib yang menyebabkan tidak terwujudnya tujuan perkawianan sehingga dibolehkannya fasakh. Mungkin penulis bisa memberikan satu contoh yaitu penyakit HIV dan AIDS, dimana penyakit ini terbilang parah bahkan menular dan mengancam keselamatan jiwa. Penulis memandang penyakit HIV dan AIDS dapat dikatagorikan sebagai penyebab adanya fasakh. Dengan alasan adanya penyakit HIV dan AIDS membuat tujuan nikah tidak terwujud (kasih saying dan berketurunan) dan demi khifdzu an-anfs pihak lain karena penyakit itu dapat menular dan mengancam jiwa.
Jika dipahami dari hadist di atas bahwa adanya aib pada istri nabi itu sebelum menikah. Hal itu dibuktikan dengan hadist lain dari ibnu katsir yang mana nabi berkata:… دلستم علي yang artinya “kalian (istri dan waliya) telah menipuku” . Maksudnya bahwa sebelumnya nabi memang tidak diberi tahu terlebih dahulu oleh istri dan walinya, bahwa pada diri si istri (sebelum menikah) sudah terdapat penyakit kusta (belang putih yang terdapat pada rusuknya). Sehingga dapat dimengerti bahwa hadist di atas hanya berkaitan dengan dibolehkannya fasakh jika si istri memang sebelum menikah sudah terdapat cacat. Adapun jika munculnya cacat tersebut setelah nikah maka tidaklah dibolehkan fasakh, dengan pertimbangan tidak ada hadist baik yang marfu’ maupun yang maukuf yang mempebolehkannya dan juga ketika istri sudah menikah dengan suami maka secara tidak langsung tanggung jawab beralih dari istri ke suami sehingga semua hal yang timbul setelah pernikahan sudah merupakan tanggung jawab bagi suami baik itu senang maupun susah termasuk adanya cacat, karena jelas dalam hidup berumahtangga susah senang itu ditanggung bersama. Sehingga tidaklah pantas kiranya jika terdapat suatu cacat pada siitri kemudian suami menfasakh atau lepas tangan dari tanggung jawabnya (hanya mengambil enaknya saja). Hal itu tentu sangat merugikan si istri padahal didalam islam tidak mengharapkan adanya pihak lain yang dirugikan. Sehingga dapat dipahami bahwa tidak diperbolehkan adanya fasakh jika cacat pada istri itu baru muncul setelah nikah.
: البسي ثيابك ilbasi merupakan fi’il amr khusus untuk perempuan yaitu aliyah dari bani ghifar (istri rasul). Lafadz amr menunjukan wajib, berarti wajib bagi Aliyah istri nabi) untuk memakai kembali pakaianya setelah ia membukanya dihadapan nabi. Hal itu dikarenakan nabi terkejut setelah melihat pada rusuk istrinya terdapat terdapat belang putih atau penyakit kusta.
والحقي بأهلك :alkhiqi juga merupakan fi’il amr sebagaimana lafadz albisi yang ditujukan kepada istri nabi. Sebelum lafadz alkhiqi terdapat huruf wawu yang mana termasuk salah satu hurus athaf. Sehingga dapat dipahami bahwa disamping nabi memerintahkan istrinya untuk memakai kembali pakaiannya juga memintanya untuk kembali kepada keluargannya.
Hal diatas menunjukan bahwa nabi benar-benar menfasakh atau menolak aliyah sebagai istrinya. Karena jelas nabi menyuruhnya untuk kembali kepada keluarganya, dalam artian nabi melepas tanggung jawabnya dan mengembalikan tanggung jawab itu kepada walinya. Apalagi kalau kita lihat pada hadist pendukung yang diriwayatkan oleh ibnu kastir yang menambahi setelah lafadz diatas dengan lafadz dalastum alaiya, yang artinya kalian telah menipu aku (nabi). Sehingga dapat dipahami secara jelas bahwa nabi sudah menutup suatu harapan untuk hidup berkeluarga bersama istrinya lagi karena nabi merasa dikecewakan oleh istrinya dan juga walinya. Jadi hal diatas dapat maknai fasakh nabi kepada istrinya. Kalaupun dimaknai talak berarti nabi masih mengharapkannya lagi dan mungkin adanya ruju’ sebagaimana talak satu. Logikanya tidaklah mungkin orang yang sudah ditipu dan dikhianati kemudian mempercayainya lagi karena jelas ia tidak akan mau masuk kejurang yang kedua kalinya dalam artian ia tidak akan mau kembali lagi atau ruju’. Jadi jelas maksud hadist tersebut adalah fasakh bukan talak.
Lebih jelasnya mengenai perbedaan talaq dan fasakh yaitu kalau talak ada dua macam yaitu raj’I dan ba’in. talak raj’I tidak menghentikan ikatan perkawinan seketika dan talak ba’in menghentikan perkawinan sejak saat dijatuhkannya. Sedangkan fasakh dapat memutuskan hubungan perkawinan seketika. Disamping itu cerai dengan jalan talak akan mengurangi bilangan talak karena talak itu sampai tiga. Cerai fasakh tidak mengurangi bilangan talak.
أمر لها بالصداق :maksudnya bahwa istri nabi masih berhak mengambil mahar yang nabi berikan kepadanya setelah mengfasakhnya. Meskipun dalam kalimat tersebut menggunakan lafadz amara bukan berarti tetap menjadi suatu kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan mahar kepada istrinya. Nabi seperti itu karena sebagai bukti sifat kedermawanannya. Dan indikator lain yang menunjukan bahwa mahar tidaklah kewajiban nabi atau suami yaitu karena nabi jelas belum sempat berhubungan badan dengan istrinya tersebut, sehingga tidaklah diwajibkan mahar karena mahar itu sebagai penghalalan farjinya istri. dalam artian serupa dengan talak dimana jika seorang mentalak istrinya, dan belum behubungan badan, maka tidaklah wajib mahar penuh kepadanya.
Menurut pendapat Abu hanifah dan Syafi’I jika istri sudah di didukhul atau disetubuhi oleh suaminya sebelum fasakh maka wajib bagi suami untuk membayar mahar sebab diwajibkan mahar itu dikarenakan wat’u atau bersetubuh. pada suatu hadist jelas disebutkan bahwa mahar itu diwajibkan sebagai tanda penghalalan atas farjinya perempuan:
عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "أيما امرأة نكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل، ثلاثا، فإن أصابها فلها المهر بما استحل من فرجها، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له"
Namun imam malik dan ashab syafi’I berpendapat lain bahwa pada awalnya suami diwajibkan membayar mahar kemudian wali dari si istri diwajibkan untuk mengembalikannya. Jadi sama halnya suami tidak membayar mahar. Mereka berlandaskan pada hadist:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ غَرَّ بِهَا رَجُلٌ بِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا وَصَدَاقُ الرَّجُلِ عَلَى وَلِيِّهَا الَّذِى غَرَّهُ.
Artinya: “manakalah seorang wanita menikah, padahal ia gila, atau kusta kemudian suaminya mencampurinya. Lantas ketahuan penyakitnya, maka perempuan itu berhak menerima mahar karena sentuhan suaminya. Dan walinya berhak memberikan mahar karena pemalsuannya”.
Penulis lebih sepakat dengan pendapat yang pertama karena berdasarkan hadist marfu’ dan juga dirasa lebih menghormati si istri karena keperawanannya telah hilang atau berganti setatusnya dari gadis menjadi janda walaupun si istri itu sempat melakukan penipuan terhadap suaminya. Dan juga dipahami dari hadis utama bahwa nabi tidak berharap kepada wali istrinya untuk mengembalikan maharnya kepada nabi lagi, apalagi nabi tidak sampai mendhukhulnya. Dalam artian tidak wajib bagi walinya untuk mengembalikan mahar tersebut. Apalagi kalau kita lihat pada pendapat kedua hanya berlandaskan hadist mauquf yaitu perkataan umar bin khatab dan hal itudapat menimbulkan mafsadah bagi si istri yaitu keperawanannya hilang tanpa suatu pengganti (mahar).
H. Pendapat ulama
Para ulama berbeda pendapat mengenai fasakh nikah dikarenakan adanya cacat. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pernikahan itu tidak akan bisa dirusakkan atau di fasakh karena cacat, apapun cacatnya. Ini menurut pendapat Dawud al-asfahani dan ibnu hazm dan sayyid sidiq khan. Mereka beralasan bahwa putusnya nikah hanya dikarenakan talaq dan mati, dan menurut mereka bahwa hadist utama itu sebenarnya yang dimaksudkan adalah talaq bukan fasakh, tidak ada hadist yang secara shorih menyebutkan adanya cacat dapat menyebabkan fasakh.
Namun sebagian ulama berpendapat lain bahwa perkawinan dapat di fasakh karena adanya cacat. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama termasuk 4 mahdzab dan juga didukung oleh ibnu qayyim. Mereka berpegangan bahwa hadist utama itu adalah fasakh bukan talaq dan juga berlandaskan bahwa tujuan nikah harus harus berdasarkan pada cinta kasih yang mana tidak mungkin timbul apabila salah satu pihak cacat yang mana membuat pihak lain tidak mau mendekatinya.
Ada beberapa cacat yang menurut para imam mahdzab menyebabkan boleh khiyar yaitu memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya (fasakh). Tiga diantaranya berada pada pihak laki-laki dan perempuan, yaitu gila, kusta dan sopak. Dua diantaranya khusus pada laki-laki, yaitu putus dzakar dan impotent. Empat diantaranya khusus pada perempuan, yaitu tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya tersumbat daging, kemaluanya buntu dan kemaluannya basah.
Menurut hanafi bahwa laki-laki tidak mempunyai hak khiyar lantaran sebab-sebab cacat tersebut. Namun bagi perempuan ada hak khiyar jika suaminya putus dzakar atau impotent. Adapun menurut maliki, syafi’i dan hambali menetapakan adanya hak khiyar bagi laki-laki dan perempuan lantaran adanya sebab-sebab cacat tersebut.
Sebagaimana diatas menurut pendapat maliki, syafi’I dan hambali bahwa Jika terdapat semua cacat itu pada diri suami, istri boleh khiyar. Menurut maliki, syafi’I dan hambali bahwa jika hal itu terjadi pada suami setelah akad dan sebelum bercampur, maka istri memiliki hak khiyar. Namun syafi’I menambahi juga bahwa setelah bercampur (kecuali impotent) pun tetap memiliki hak khiyar sebagaimana sebelumnya.
Sedangkan jika cacat tersebut pada istri maka, maka suami berhak membatalkan pernikahan. Demikian menurut pendapat paling kuat dalam mahdzab syafi’I dan mahdzb hamban syafli. Adapun dalam riwayat lain menurut pendapat maliki dan syafi’I suami tidak memiliki hak khiyar.

DAFTAR PUSTAKA

A. Hasan. 1991. Bulughul Maram. Pustaka Tamam: Bangil
A. Qadir hasan. 2007. ilmu mustalah al-hadist. Ikapi; Jawa barat
Al Hamdani. 2001. Risalah An-Nikah. Pustaka amani: Jakarta.
Mansur ali Nasif. 1981. At-tajj Al-jami’ lil usul fi Ahadis Ar-Rasul. Darul fikr: bairut
Muhammad bin ismail. 1059. subul As-salam. Dahlan: Bandung.
Muhammad bin Abdurrahman. 2004. Fiqh empat madzab. Hasyimi: bandung
Maktabah As-Samilah
.

No comments:

Post a Comment