Saturday, May 1, 2010

TINJAUAN NUSYUZ DALAM PRESPEKTIF HADITS


Abstraksi
“Pernikahan merupakan ikatan lahir batin seorang permpuan dengan laki-laki dengan maksud membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Dalam pernikahan terdapat suatu hak dan kewajiban antara suami-istri yang harus saling dipenuhi. Apabila diantara suami-istri ada yang menyalahi kewajibannya, sehingga ada yang merasa tidak dihargai/diperhatikan dalam islam disebut Nusyuz. Pada dasarnya konsep nusyuz ini diambil dari QS. An-Nisa:34 dan 38. Dari pengertian nusyuz al-Qur’an tersebut kemudian ditarik dan dikembangkan bagaimana tinjauan hadits terhadap konsep nusyuz ini. Hadits yang ditemukan lebih cenderung menunjukan nusyuz seorang istri, yaitu ketika suaminya mengajak wathi’, istri enggan/menolaknya, sehingga timbul kekesalan pada diri suami ”

BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan suatu ritual yang sakral dalam perspektif masyarakat umumnya. Segala tenaga dan harta pasti dicurahkan ketika pelaksanan pernikahan. Pihak yang terlibat bukan hanya calon pengantin saja, tetapi juga keluarga, kerabat, tetangga dan masyarakat. Bahkan pemerintah pun selaku pemimpin bangsa dan Negara melibatkan diri dalam pernikahan, misalnya yang berkenaan dengan pencatatan pernikahan.
Islam memandang pernikahan bukan sekedar hubungan biologis antara suami-istri, tetapi merupakan ibadah, yang dalam Al-Qur’an disebut Misyaqan Ghaalidon. Di samping itu, Islam memperhatikan pula dalam pernikahan aspek sosiologisnya. Jadi, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, pernikahan dimaksudkan pula untuk membentuk suatu keluarga sakinah, mawadah dan warahmah. Sehingga terbangun suatu tatanan masyarakat yang aman, damai dan tentram.
Dalam suatu rumah tangga tidak jarang terjadi perselisihan atau persengketaan antara suami-istri. Baik dikarenakan kesalahan suami atau sebaliknya. Bentuk kesalahan tersebut bisa berupa unsur ketidaksengajaan atau kesengajaan. Penyelesaian kesalahan yang disebabkan unsur ketidaksengajaan, tiada lain dengan kebesaran hati memaafkan pihak yang bersalah dengan persyaratan jangan sampai diulangi. Sedangkan penyelesaian kesalahan disebabkan unsur kesengajaan seperti pembangkangan seorang istri, Allah SWT menjelaskannya pada surat An-Nissa’ ayat 34, yaitu dengan memberikan nasihat, tidak melakukan hubungan suami-istri dan memukulnya. Dalam penafsiran ayat ini, para mufasir klasik dan kontemporer berbeda pendapat mengenai penyelesaian nusyuz ini, terutama pada “pemukulan”.
Di samping dalam al-Qur’an, dalam hadits permasalahan nusyuz juga dipaparkan. Walau memang istilah nusyuz tidak terdapat pada hadits. Oleh karena itu, penulis mencoba menganalisa perspektif hadits terhadap nusyuz.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Utama
Hadits tentang nusyuz sebenarnya selalu berkaitan dengan hak dan kewajiban suami-istri. Hal ini dikarenakan nusyuz memang diartikan pembangkangan, menghindar terhadap kewajiban yang diembannya, baik yang dilakukan suami atau istri. Hadits yang berkaitan dengan nusyuz, lebih menyoroti nusyuznya seorang istri ketika diajak suaminya untuk berhubungan seksual. Maka, untuk mengawali pembahasan ini diawali dengan hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah r.a sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
تَابَعَهُ شُعْبَةُ وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
Terjemahnya:
“menceritakan Musaddad dan Abu ‘Awaanah dari A’masy dari Abu Haazim dari Abu Hurairah ra. berkata Rasulullah Saw bersabda: apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya kemudian istri tersebut enggan atau menolak ajakan suami sehingga suami marah karena hal tersebut, malaikat melaknat istri sampai shubuh”
B. Hadits pendukung
Hadits pendukkung ini adalah hadits yang memiliki kesamaan maksud dan redaksi, berfungsi sebagai penguat, pembanding atau penjelas, sehingga diketahui perbedaan maksud hadits dari sisi sanad maupun matan. Hadits tersebut sebagai berikut:
1. Riwayat Imam Bukhari
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
{ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا }
قَالَتْ هِيَ الْمَرْأَةُ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ لَا يَسْتَكْثِرُ مِنْهَا فَيُرِيدُ طَلَاقَهَا وَيَتَزَوَّجُ غَيْرَهَا تَقُولُ لَهُ أَمْسِكْنِي وَلَا تُطَلِّقْنِي ثُمَّ تَزَوَّجْ غَيْرِي فَأَنْتَ فِي حِلٍّ مِنْ النَّفَقَةِ عَلَيَّ وَالْقِسْمَةِ
2. Riwayat Imam Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ح و حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ كُلُّهُمْ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
3. Riwayat Imam Abu Daud
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
4. Riwayat Imam Ahmad

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَوَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ عَلَيْهِ فَبَاتَ وَهُوَ غَضْبَانُ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ قَالَ وَكِيعٌ عَلَيْهَا سَاخِطٌ

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ وَهُوَ عَلَيْهَا سَاخِطٌ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
5. Riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ غَرْقَدَةَ الْبَارِقِيِّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ حَدَّثَنِي أَبِي, أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ



C. Takhrij Hadits
1. Musaddad
• Riwayat : nama lengkapnya Musaddad bin musyarhad bin musarbal bin mustaurad al asadi dan julukannya adalah Musaddad. Dari segi thabaqat beliau termasuk thobaqat 10 dari kibar al akhizin an tabi’ al atba’ dan wafat pada tahun 228 H.
• Guru : Abu ‘awanah al wadhah bin abdullah, abdul wahid bin ziyad, abdul warits bin sa’id,dll
• Murid : bukhari, abu daud, ya’qub bin sufyan al farisi, muhammad bin ahmad bin madwiyah at tirmidzi,dll
• Kredibilitas : ibnu hajar dalam kitab tahdzib at tahdzib mengatakan bahwa beliau termasuk tsiqah, hafidh, sedangkan az zihbi mengatakan beliau hafidh
2. Abu ‘awanah
• Riwayat : nama lengkapnya al wadhah bin abdullah al yaskuri abu ‘awanah al wasithi al bazzaz, kauniyahnya al kindi. Dari segi thabaqah dia thabaqah 7 dari kibar atba’ at tabi’in dan wafat pada tahun 175 atau 176 H.
• Guru : sulaiman al a’masy, isma’il bin salim, jabir bin yazid al ja’fi, husain bin abdurrahman,dll
• Murid : musyaddad bin musarhad, yahya bin yahya an naisaburi, muhammad bin thalib, muhammad bin hasan bin zubair al asadi, dll.
• Kredibilitas : menurut ibnu hajar beliau termasuk tsiqah tsabat, adapun az zihbi mengatakan bahwa beliau hafidh dan tsiqah mutqin dalam tulisannya. Affan bin muslim dalam kitab tahdzib al kamal mengatakan dia shahih al kitab
3. Al a’masy
• Riwayat : nama lengkapnya sulaiman bin mahran al asadi al kahili abu muhammad al kufa al a’masy. Beliau lahir pada tahun 61 H. Thabaqah 5 dari shighar at tabi’in dan wafat pada tahun 147 atau 148 H.
• Guru : abu hazm salman al asja’i, abdurrahman bin ziyad, utsman bin qais, qais bin muslim, malik bin harits, dll.
• Murid : abu ‘awanah, abu ja’far ar razi, yahya bin yaman, waqi’ bin jarrah, hasyim bin busyair, dll.
• Kredibilitas : menurut ahmad bin abdullah al ajili dalam kitab tahdzibul kamal beliau tsiqah sahabat dan ahli hadits qufah pada zamannya. Adpun menurut ibnu hajar dia termasuk tsiqah, hafidz, ‘arif bil qira’ah, wara’, akan tetapi dia termasuk mudallis dan menurut az zihbi beliau adalah hafidz dan salah satu orang yang ‘alim
4. Abu hazm
• Riwayat : nama lengkap salman abu hazm al asja’i al kufi thabaqah 3 dari wasath at tabi’in dan wafat pada tahun 100 H.
• Guru : abu hurairah, hasan dan husain bin ‘ali bin abi thalib, sa’id bin ash, abdullah bin zubair, abdullah bin ‘umar bin khatthab, dll
• Murid : sulaiman al a’masy, abdurrahman ibnu al ashbahani, salim bin abi hafhah, muhammad bin ajlan, maisarah al asja’i, dll/
• Kredibilitas : menurut ibnu hajar, ibnu hibban, ibnu sa’id dan al ajili dalam kitab tahzib at tahzib, beliau termauk orang yanh tsiqah. Adapun menurut ahmad bin hambal dalam kitab tahzib al kamal beliau adalah orang yang tsiqah.
5. Abu Hurairah
• Riwayat : nama lengkap abu hurairah ad dausi al yamani ( ada juga yang mengatakan bahwa nama asli beliau adalah abdurrahman bin sakhr) thabaqah 1 golongan sahabat. Beliau wafat pada tahun 57 H. (ada yang mengatakan 58 H. Atau 59 H.)
• Guru : Nabi Muhammad saw, abu bakar, umar bin khathab, ‘aisyah, usamah bin zaid al haritsah, ubai bin ka’ab, dll.
• Murid : abu hazm al asja’i, abu ayub al maraghi, yahya bin ya’mar al basri, muhammad bin ka’ab al qardi, muhammad bin umar, muhammad bin abdurrahman. Dll.
• Kredibilitas : menurut ibnu hajar beliau termasuk golongan sahabat. Dapun menurut az zihbi beliau termasuk sahabat yang hafizh mutsabbitan, cerdas, mufti, ahli puasa dan sholat malam.
D. I’tibar Hadits
Berdasarkan data di atas dapat di tentukan bahwa hadits utama tersebut dari segi sanad telah memenuhi asas ketersambungan sanad tanpa mengalami keterputusan perawi, karena para rawi yang meriwwayatkannya memiliki hubungan guru dan murid disatu sisi. Disisi lain, jarak waktu hidup mereka berdekatan yang memungkinkan terjadinya mu’asir dan liqa’, yaitu : musaddad adalah murid dari abu awanah, abu awanah murid dari al a’masy, al a’masy murid dari abu hazm, abu hazm murid dari abu hurairah, abu hurairah merupakan murid sekaligus sahabat dari Rasulullah saw.




















E. Penjelasan Hadits
Apabila suami atau istri sudah sampai ada yang meninggalkan kewajiban bersuami-isteri dalam Islam disebut dengan nusyuz. Dalam kitab fikih atau tafsir klasik, kata nusyuz sering diartikan istri yang tidak taat atau membangkang kepada suami. Nusyuz secara bahasa kedurhakaan, penenentangan. Kalau dikaitkan dengan nusyuz istri maka nusyuz diartikan kedurhakaan atau maksiat istri terhadap suaminya karena tidak memenuhi kewajibannya.
Secara global (makna ijmali), Hadits utama di atas menunjukan bahwa jika suami meminta untuk berhubungan seksual (wat’i) kepada istrinya, istri tidak boleh menolaknya karena itu sudah menjadi kewajiban seorang istri melayani suami untuk berwat’i dan hak bagi seorang suami. Meskipun pada dasarnya berhubungan seksual ini merupakan kebutuhan bersama, tidak mesti itu hak suami atau istri, melainkan keduanya memiliki hak untuk berhubungan seksual. Apabila istri enggan atau menolaknya maka malaikat melaknat istri tersebut sampai shubuh.
( إِذَا دَعَا الرَّجُل اِمْرَأَته إِلَى فِرَاشه ) Ibn Abu Jamrah dalam Fathul Bari, berpendapat bahwasya kata فِرَاش kinayah dari kata jima. Kemudian pada ( لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ ) Ibn Abu Jamrah menjelaskan bahwa laknat disini bukan hanya penolakan berhubungan seeksual di malam hari saja, melainkan pada siang hari pula. Lafadz ( حَتَّى تُصْبِحَ )hanya menunjukan bahwa berhubungan biasanya dilakukan pada malam hari. Jadi jika istri menolak pada siang hari pun bisa termasuk nusyuz. Pada kata (فَبَاتَ غَضْبَان عَلَيْهَا ) masih dalam Fathul Bari, menjelaskan bahwa keadaan marah suami menjadi penyebab adanya laknat, karena akibat kemaksiatan istrinya. jika kemarahan ini tidak ada maka laknatpun tidak ada. Dalam syarah sunan Abu Daud di kitab “عون المعبود” menjelaskan bahwa hadits ini bukan menggambarkan seorang istri yang maksiat trhadap suaminya akan tetapi tidak patuh terhadap suami. Jadi dalam kitab ini membedakan antara ketidakpatuhan dan kemaksiatan, tetapi keduanya masih bentuk dari nusyuz juga.
Disamping melihat hadits utama disana, bisa dilihat pula keterangan dari hadits lain. Secara konseptual nusyuz ini berangkat dari al-qur’an surat an-Nisa ayat 34 dan ayat 128., yaitu:
                                       •     
Terjemahnya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (34)”
     •                           
Terjemahnya:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dari penjelasan ayat itu oleh para mufasir, maka dapat disimpulkan bahwa nusyuz adalah kedurhakaan istri atau suami terhadap kewajibannya. Dalam hadits di depan mencerminkan bagaimana nusyuz seorang istri ketika dimminta berhubungan seksual. Kemudian perspektif hadits terhadap penyelesaian dari nusyuz tersebut bisa dilihat hadits dari kitab Sunan Ibn Majjah yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ غَرْقَدَةَ الْبَارِقِيِّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ حَدَّثَنِي أَبِي, أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
Terjemahnya:
“Hendaklah kalian berwasiat baik-baik kepada perempuan. Karena mereka ini ibarat tawanan di tanganmu. Kamu tidak berkuasa kepada mereka sedikitpun lebih dari itu, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka berbuat demikian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah dengan pukulan yang tidak keras. Jika mereka taat kepada kalian, maka janganlah mencari-cari alasan (kesalahan) terhadap mereka. Sesungguhnya kalian punya hak terhadap istri-istri kalian, dan mereka punya hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah, mereka tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke dalam rumah. Dan hak mereka kepada kalian adalah, kalian memberi pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik.” (Riwayat Ibn Majah dan At Tirmidzi)
Kata مُبَيِّنَةٍ فَاحِشَة ulama mengartikannya sebatas pada tindakan penyelewengan istri terhadap suami seperti nusyuz, perilaku yang tidak baik ataupun menyakiti hati suami. Dalam runtutan hadits tersebut diterangkan bahwa jika melakukan مُبَيِّنَةٍ ِفَاحِشَة maka ditanganinya dengan berhiijrah tempat tidur dengannya. Para mufasir dalam mengartikan ini seperti Ibnu Abbas bahwa maksudnya jangan menyetubuhinya, jangan tidur dekatnya, atau belakangi dia sewaktu tidur. Jika tetap maksiat maka istri diperkenankan dipukul tapi dengan ringan atau tidak membekas. Dalam hadits lain menyatakan tidak kena wajah atau bagian kepala. Memang untuk saat ini permasalahan “pukulan” dalam nusyuz ini menjadi kontroversial karena sudah dianggap kontaproduktif untuk melunakkan istri.
Adapun hadits tentang nusyuz suami adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
{ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا }
قَالَتْ هِيَ الْمَرْأَةُ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ لَا يَسْتَكْثِرُ مِنْهَا فَيُرِيدُ طَلَاقَهَا وَيَتَزَوَّجُ غَيْرَهَا تَقُولُ لَهُ أَمْسِكْنِي وَلَا تُطَلِّقْنِي ثُمَّ تَزَوَّجْ غَيْرِي فَأَنْتَ فِي حِلٍّ مِنْ النَّفَقَةِ عَلَيَّ وَالْقِسْمَةِ لِي
Terjemahnya:
Aisyah berkata: pada surat an-Nisa: 128 “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya” bahwa keadaan seorang istri waktu suaminya tidak memperhatikannya lagi dan bermaksud menceraikannya dan menikah lagi, maka istri teresbut berkata “tahanlan diriku dan janganlah menceraikanku kemudian nikahilah yang lain tanpa melupakan nafkah dan bagian bagiku”.

Dalam riwayat ini menjelaskan nusyuznya suami yang terdapat pada QS. An-Nisa: 128. Hadits ini memperkuat bahwa ketika suami berbuat nusyuz, istri diharapkan sabar untuk membuat suatu maslahah sehingga tidak terjadi perceraian. Hal ini cocok dengan karakter seorang laki-laki yang keras, jika diatasi dengan kelembutan dan keikhlasan seorang istri, suami diharapkan lunak hatinya sehingga tidak berbuat nusyuz.

BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas, maka makalah ini berkesimpulan:
1. Hadits tentang nusyuz istri yang diriwayatkan bukhari adalah shahih
2. Nusyuz bisa dari suami atau istri
3.
4. Jika istri nusyuz, maka penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur (mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan selain wajah dan bagian kepala.
5. Dalam tahap ketiga, “pukulan” ada perbedaan menafsiran. Ini berawal dari perbedaan penafsiran pada QS. An-Nisa: 34. Ulama klasik mengartikan dengan nyata suatu pukulan tapi dengan syarat tidak menyakitkan dan bukan pada wajah dan bagian kepala. Sedangkan ulama kontemporer mengartikan “pukulan” disana adalah memberkan contoh.

DAFTAR PUSTAKA

 ‘Aunul Ma’bud, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Abu Bakar Jabir al-Jaziri. Minhajul Muslimin. Madinah: Maktabatul al-Ulum wa al-Hukm.
 Fatul Bari, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
 Musnad Ahmad, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Shahih Bukhari, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Shahih Muslim, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Sunan Abu Daud, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Tahdzib al-Kamal, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah
 Tahdzib at-Tahdzib, dalam al-Maktabatu Asy-Syamillah

No comments:

Post a Comment