BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh agama Islam. Mungkin hal inilah yang bisa kita katakan mengingat banyaknya persoalan dalam kehidupan umat manusia yang dapat dipecahkan oleh Islam. Hal ini bukan hanya isapan jempol saja tapi memang suatu fakta yang tidak dapat kita pungkiri kebenarannya. Tak luput juga dalam persoalan harta peninggalan si mayit (harta warisan), bagaimanakah Islam bisa bertindak adil dalam hal pembagian harta warisan tersebut.
Ilmu mawarits adalah ilmu yang tidak lekang dimakan waktu, walaupun begitu banyaknya persoalan baru yang timbul dalam hal ini. Misalkan saja persoalan bagaimanakah pembagian harta warisan yang ditinggalkan si mayit yang tidak mempunyai keturunan baik itu ke atas maupun ke bawah dan seterusnya atau yang sering disebut dengan masalah kalalah, kepada siapakah harta tersebut akan dibagikan? Dan bagaimana cara menghadapi persoalan yang terjadi jika si mayit itu meninggalkan kedua orang tua dan seorang isteri atau suami? Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah ketika terjadi pembagian harta warisan antara kedua orang tua, agar asas keadilan bisa ditegakkan didalamnya.
Untuk menjawab semua permasalah itu, maka kami sebagai penulis berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan beberapa solusi pemecahan terhadap masalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita. Amin ya Robbal ‘alamin.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kalalah?
2. Sebutkan Pendapat para ulama’ mengenai pengertian anak?
3. Apa yang dimaksud dengan ghorowain?
4. Bagaimana para ulama’ menyikapi masalah ghorowain?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KALALAH
2.1.1 Definisi
Menurut kaum Sunni dan Syi’ah kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa mempunyai anak dan ayah; adapun menurut Hazairin kalalah adalah seorang yang meninggal dunia tanpa mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya keturunan mereka dan tidak saling menghijab diantara mereka. Akan tetapi dalam hal ini jumhur ulama’ sepakat dengan kaum sunni dan syi’ah bahwa kalalah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai ayah maupun anak, yaitu tidak mempunyai pokok maupun cabang.
Jadi, kalalah berkenaan dengan hak waris seseorang yang tidak mempunyai keturunan ke atas maupun ke bawah kendatipun jauh hubungan kekerabatannya, kecuali hanya seketurunan dengan atau tanpa seorang janda.
2.1.2 Dasar Hukum
Kata kalalah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam dua tempat yaitu dalam Q.S. an-Nisa: 12 dan ayat 176:
و لكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد فان كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها اودين و لهن الربع مما تركتم ان لم يكن لكم ولد فان كان لكم ولد فلهن الثمن مما تركتم من بعد وصية توصون بها او دين و ان كان رجل يورث كلالة او امرأة و له اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس فان كانوا اكثر من ذلك فهم شركأ فى الثلث من بعد وصية يوصى بها او دين غير مضار وصية من الله و الله عايم حليم
Artinya: Dan bagianmu (suami-suami) adalah ½ dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (isteri-isterimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditingalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para isteri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang 1/3 itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.(Q.S. An-Nisa:12)
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seoran saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) ½ dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa:176)
Diriwayatkan juga dari Abu Bakar r.a. “bahwa aku mempunyai sebuah pendapat mengenai ‘kalalah’, jika pendapatku benar maka ia berasal dari Allah saja, tiada sekutu baginya. Dan jika pendapatku salah, maka ia berasal dari aku dan syaithon, bukan dari Allah. Sesungguhnya ‘kalalah’ adalah orang yang mati tanpa meninggalkan ayah dan ibu.”
2.1.3 Pendapat ulama’
Ulama’ berselisih paham mengenai waris kalalah, diantaranya adalah masalah tidak memilki anak, yang dalam al-Qur’an kata anak disebutkan dengan ولد. Mengenai pengertian anak, terdapat beberapa pendapat, yaitu:
1. Menurut kaum Sunni, tidak memilki anak adalah tidak ada anak laki-laki seterusnya kebawah anak-anak mereka tanpa berselang perempuan dan anak juga berarti anak perempuan mayit saja, tanpa anak turunnya apabila ia lebih dulu meninggal.
2. Menurut Syi’ah, anak adalah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya ke bawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka, hanya derajat mereka berbeda di antara mereka dimana dalam kategori tersebut sebagaimana adany anak laki-laki atau perempuan menghijab segala cucu dan para cucu akan menghijab ank-anaknya dan seterusnya.
3. Menurut Hazairin, kelompok ini sependapat dengan Syi’ah dalam memahami ‘anak’ yaitu segala keturunan mayit dalam garis apapun, tetapi tidak sependapat jika di antara mereka dapat saling menghijab seperti yang dikemukakan Syi’ah. Menurut Hazairin mereka dalam derajat yang sama.
4. Menurut M. Mustofa Sulbi, jumhur ulama’ berpendapat bahwa ولد atau anak adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya, dan bukanlah pengertian anak pada umumnya yang meliputi laki-laki dan perempuan seperti pada ayat يوصيكم الله في اولادكم karena far’ yang berupa perempuan tidak dapat mencegah bagian saudara laki-laki dari harta warisan. Sebaliknya jika bersama anak perempuan maka saudara laki-laki menjadi ashobah. Begitu juga dengan saudara perempuan tidak dapat gugur karena anak perempuan, sebaliknya bisa mendapat warisan jika bersamanya anak perempuan.
Akan tetapi pendapat terakhir ditentang oleh Ibnu Abbas yang berpendapat bahwa saudara perempuan tidak akan mendapat warisan jika bersamanya terdapat anak perempuan, karena ayat al-Qur’an mensyaratkan diperolehnya harta warisan bagi saudara perempuan jika tidak adanya anak. Dan maksud anak di sini adalah arti anak secara umum yang meliputi laki-laki dan perempuan dalam sebuah riwayat, ketika Ibnu Abbas ditanya oleh seseorang tentang bagian dari keduanya, anak perempuan dan saudara perempuan, maka Ibnu Abbas menjawab “tidak ada sesuatu pun untuk saudara perempuan”. Kemudian dikatakannya kepada Ibnu Abbas bahwa Umar berkata “untuk anak perempuan adalah separoh dan saudara perempuan sisanya”, marahlah Ibnu Abbas dan berkata “kamu yang lebih mengetahui atau kah Allah”. Allah telah berfirman ان امرؤ هلك ليس له ولد و له اخت . dan dengan jawaban ini diketahui bahwa pendapat Ibnu Abbas dalam menafsirkan kata anak pada ayat tersebut mencakup laki-laki dan perempuan.
2.2. GHOROWAIN
2.2.1 Definisi
Dinamakan masalah ghorowain yaitu diambil dari kata al-ghorowain yang artinya yang cemerlang, karena kemashurannya yang seperti bintang yang terang benderang. Dan dinamakan juga ummariyatain, karena Umar yang memutuskannya dan disetujui oleh jumhur sahabat Nabi SAW. Penyebutan istilah tersebut pada dasarnya ditujukan kepada sahabat Umar, karena masalah seperti itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab dan diputuskan olehnya. Selain dua penyebutan tersebut ada juga yang menyebutnya ghoribatain.
Kasus ghorowain ini terjadi hanya dalam dua kemungkinan saja, yaitu:
1. Jika seseorang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris suami, ayah, dan ibu.
2. Jika seseorang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris isteri, ayah, dan ibu.
Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang tinggal di sini adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena boleh jadi ahli waris lain masih ada, akan tetapi terhijab oleh bapak. Jadi apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus ghorowain atau tidak, diketahui setelah ditentukan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dari si meninggal, kemudian siapa-siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri dari) suami, ayah, dan ibu atau isteri, ayah, dan ibu maka dapat dipastiakan bahwa persoalan kewarisan tersebut adalah persoalan khusus (istimewa) yang diistilahkan dengan ghorowain.
2.2.2 Dasar Hukum
Dalam ilmu faraidh asal warisan ibu jika ia bersama ayah adalah mewarisi 1/3 dari seluruh harta sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah:
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seoarang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh ½ (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat 1/3. jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat 1/6. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.(Q.S. An-Nisa:11)
2.2.3 Pendapat Ulama’
Penyelesaian kasus dalam masalah ghorowain ini tidaklah sama seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Dalam hal ini terjadi perselisihan dari para faradhiyun tentang fardh atau bagian ibu, apakah 1/3 harta peninggalan atau 1/3 dari sisa harta peninggalan setelah ditentukannya bagian isteri atau suami:
a. Menurut Umar r.a. yang diikuti oleh sahabat-sahabat Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud r.a. para ahli ra’yi dan fuqoha’ (jumhur), menetapkan bahwa ibu mendapatkan 1/3 sisa, maka penyelesaiannya:
I II
Suami Bapak Ibu Isteri Bapak Ibu
1/2 sisa 1/3 dari sisa ¼ Sisa 1/3 dari sisa
Hal ini didasarkan pada metode perbandingan 1:2 (lidzakari mitslu hadzil untsyain). Keadaan ini hendaknya tetap berlaku, biarpun kedua ibu bapak tersebut mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami atau isteri. Jadi, persoalan al-ghorowain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan bapak. Unuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan dengan masalah khusus, yaitu pendapatan ibu bukanlah 1/3 harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta warisan.
b. Ibnu Abbas r.a. berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat 1/3 harta warisan, dan bukan 1/3 dari sisa harta. Dengan pembagian:
I II
Suami Ibu Bapak Isteri Ibu Bapak
1/2 1/3 Sisa 1/4 1/3 sisa
Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11 tentang bagian ibu yang bersama dengan ayah dan mayit tidak mempunyai seorang anak, yaitu faliummihi tsulus, lafadz tsulus (1/3) itu maksudnya secara umum ialah 1/3 harta warisan bukan tsulusul baqi (1/3 sisa harta warisan).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia diutus kepada Zaid bin Tsabit untuk bertanya tentang perempuan yang meninggalkan suami dan kedua orang tuanya. Maka Zaid bin Tsabit menjawab: ”Bagian suami adalah ½ dan untuk ibu adalah 1/3 dari sisanya”. Kemudian Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kamu menemukannyadalam kitab Allah, atau engkau mengatakan hanya dengan pendapatmu sendiri?”. Zaid menjawab: ”Saya menyatakan dengan pendapatku, seorang ibu tidaklah lebih utama dari seorang bapak”. Zaid telah menetapkan bagian ½ dari sisa untuk kedua orang tua (bapak ibu). Setelah ditetapkannya bagian suami, jika tidak ada anak dan dua saudara laki-laki maupun perempuan.
Ibnu Qoyyim mengatakan dalam kitab I’lam al-Muqi’in bahwa Ibnu Abbas telah mendebat Zaid bin Tsabit tentang masalah ghorowain atau ummariyatain. Ibnu Abbas berkata: “Dimana terdapat 1/3 dari sisa di kitab Allah?” Zaid menjawab: “Tidak terdapat pula dalam kitab Allah pemberiannya 1/3 dari seluruh harta bila terdapat suami atau isteri.
c. Menurut Ibnu Sirrin dan Abu Tsaur, mereka mempunyai penyelesaian sendiri mengenai masalah ghorowain, yaitu:
I II
Suami Bapak Ibu Isteri Bapak Ibu
½ 1/3 1/3 dari sisa 1/4 Sisa 1/3
Alasannya adalah dalam masalah I jika ibu diberi 1/3 dari harta warisan, niscaya bagian ibu akan melebihi bagian bapak, hal ini tidak boleh terjadi. Akan tetapi dalam masalah II, bagian ibu yang 1/3 dari harta tidak akan melebihi bagian bapak.
Adapun dari tiga pendapat di atas yang paling shohih adalah pendapat jumhur yang menetapkan bagian ibu 1/3 dari sisa harta setelah dikurangi bagian yang harus diterima oleh suami atau isteri. Sehingga bagian ibu menjadi separo dari bagian bapak, sebagaimana yang telah ditetapkan kepada keduanya ketika tidak bersama ahli waris lain. Menurut pendapat ini, ayat yang menetapkan bagian ibu adalah 1/3 dari seluruh harta, telah mengindikasikan dua syarat:
1. Tidak ada anak, yaitu dengan dalil فإنلم يكن له ولد
2. Sendirinya kedua orang tua (bapak ibu) sebagai ahli waris, dengan dalil و ورثه ابواه karena ayat ini maktuf kepada ayat yang menjadi syarat berarti pertama, dan maktuf kepada syarat berarti juga menjadi syarat.
Dalam penyelesaian bagian ibu dari masalah I yaitu ibu, bapak, dan suami adalah 1/6 dan masalah II yaitu ibu, bapak, dan isteri maka bagian ibu adalah ¼. Akan tetapi digunakan kata 1/3 untuk menunjukkan adab terhadap al-Qur’an.
2.2.4 Analisa
Pertama:
Dalam masalah yang ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah. Dalam masalah ini suami mendapat ½ , ibu menerima 1/3 sisa secara fardh dan ayah memperoleh sisanya. Jadi penerimaan mereka masing-masing adalah sebagai berikut:
Ahli waris : fardh : dari a.m. 6 sahamnya:
1. Suami : ½ : ½ x 6 = 3
2. Ibu : 1/3 sisa: 1/3 x (6 – 3) = 1
3. Ayah : ‘U. : 6 – 4 = 2
Kedua:
Dalam masalah yang ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu, dan ayah. Fardh isteri adalah 1/4, ibu adalah 1/3 sisa dan ayah adalah sisanya secara ushubah. Dengan demikian saham mereka masing-masing adalah sebagai berikut:
Ahli waris : fardh : dari a.m. 12 sahamnya:
1. Isteri : 1/4 : ¼ x 12 = 3
2. Ibu : 1/3 sisa: 1/3 x (12 – 3) = 3
3. Ayah : ‘U. : 12 – 6 = 6
BAB III
KESIMPULAN
1. Kalalah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai ayah maupun anak, yaitu tidak mempunyai pokok maupun cabang atau baik keturunan ke atas maupun ke bawah.
2. Ulama’ berselisih paham mengenai perngertian anak dalam masalah kalalah:
a. Menurut kaum Sunni, tidak memilki anak adalah tidak ada anak laki-laki seterusnya ke bawah anak-anak mereka tanpa berselang perempuan dan anak juga berarti anak perempuan mayit saja, tanpa anak turunnya apabila ia lebih dulu meninggal.
b. Menurut Syi’ah, anak adalah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya kebawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka, hanya derajat mereka berbeda di antara mereka yakni adanya anak-anak laki-laki maupun perempuan menghijab segala cucu dan para cucu akan menghijab anak-anaknya dan seterusnya.
c. Menurut Hazairin, anak yaitu segala keturunan mayit dalam garis apapun, tetapi di antara mereka tidak dapat saling menghijab karena mereka dalam derajat yang sama.
3. Masalah ghorowain atau ummariyatain atau juga disebut dengan gharibatain ialah masalah yang ahli warisnya terdiri dari:
I atau II
1. Suami 1. Isteri
2. Ibu 2. Ibu
3. Ayah 3. Ayah
4. Ulama’ berselisih paham dalam penetapan bagian ibu dalam masalah ghorowain:
a. Menurut jumhur ulama’ bahwa ibu mendapat 1/3 sisa harta warisan
b. Menurut Ibnu Abbas r.a. bahwa ibu mendapat 1/3 harta peninggalan
c. Menurut Ibnu Sirrin dan Abu Tsaur, bahwa dalam masalah I ibu mendapat 1/3 sisa peninggalan harta, dan dalam masalah II ibu mendapat 1/3 harta peninggalan
DAFTAR PUSTAKA
As-shabuni, M. Ali. Hukum Waris, Surabaya; Mutiara Ilmu, 1388 H
Khalifah, M. Thaha Abul Ela. Hukum Waris, Solo; Tiga Serangkai,2007.
Lubis, Suhrawardi k., Simanjuntak, Komis. 1995, Hukum Waris Islam, Jakarta; Sinar Grafika, 1995
Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Rahman, Fathur. Ilmu Mawaris, Bandung; PT. Al-Ma’arif, 1971
Samardi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1997
Syulbiy, Muhammad Musthafa. Ahkamul Mawaris, Beirut; Darun-Nahdhoh Al-Arabiyah, 1978
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh agama Islam. Mungkin hal inilah yang bisa kita katakan mengingat banyaknya persoalan dalam kehidupan umat manusia yang dapat dipecahkan oleh Islam. Hal ini bukan hanya isapan jempol saja tapi memang suatu fakta yang tidak dapat kita pungkiri kebenarannya. Tak luput juga dalam persoalan harta peninggalan si mayit (harta warisan), bagaimanakah Islam bisa bertindak adil dalam hal pembagian harta warisan tersebut.
Ilmu mawarits adalah ilmu yang tidak lekang dimakan waktu, walaupun begitu banyaknya persoalan baru yang timbul dalam hal ini. Misalkan saja persoalan bagaimanakah pembagian harta warisan yang ditinggalkan si mayit yang tidak mempunyai keturunan baik itu ke atas maupun ke bawah dan seterusnya atau yang sering disebut dengan masalah kalalah, kepada siapakah harta tersebut akan dibagikan? Dan bagaimana cara menghadapi persoalan yang terjadi jika si mayit itu meninggalkan kedua orang tua dan seorang isteri atau suami? Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah ketika terjadi pembagian harta warisan antara kedua orang tua, agar asas keadilan bisa ditegakkan didalamnya.
Untuk menjawab semua permasalah itu, maka kami sebagai penulis berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan beberapa solusi pemecahan terhadap masalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita. Amin ya Robbal ‘alamin.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kalalah?
2. Sebutkan Pendapat para ulama’ mengenai pengertian anak?
3. Apa yang dimaksud dengan ghorowain?
4. Bagaimana para ulama’ menyikapi masalah ghorowain?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KALALAH
2.1.1 Definisi
Menurut kaum Sunni dan Syi’ah kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa mempunyai anak dan ayah; adapun menurut Hazairin kalalah adalah seorang yang meninggal dunia tanpa mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya keturunan mereka dan tidak saling menghijab diantara mereka. Akan tetapi dalam hal ini jumhur ulama’ sepakat dengan kaum sunni dan syi’ah bahwa kalalah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai ayah maupun anak, yaitu tidak mempunyai pokok maupun cabang.
Jadi, kalalah berkenaan dengan hak waris seseorang yang tidak mempunyai keturunan ke atas maupun ke bawah kendatipun jauh hubungan kekerabatannya, kecuali hanya seketurunan dengan atau tanpa seorang janda.
2.1.2 Dasar Hukum
Kata kalalah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam dua tempat yaitu dalam Q.S. an-Nisa: 12 dan ayat 176:
و لكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد فان كان لهن ولد فلكم الربع مما تركن من بعد وصية يوصين بها اودين و لهن الربع مما تركتم ان لم يكن لكم ولد فان كان لكم ولد فلهن الثمن مما تركتم من بعد وصية توصون بها او دين و ان كان رجل يورث كلالة او امرأة و له اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس فان كانوا اكثر من ذلك فهم شركأ فى الثلث من بعد وصية يوصى بها او دين غير مضار وصية من الله و الله عايم حليم
Artinya: Dan bagianmu (suami-suami) adalah ½ dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (isteri-isterimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat ¼ dari harta yang ditingalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para isteri memperoleh ¼ harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang 1/3 itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.(Q.S. An-Nisa:12)
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seoran saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) ½ dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An-Nisa:176)
Diriwayatkan juga dari Abu Bakar r.a. “bahwa aku mempunyai sebuah pendapat mengenai ‘kalalah’, jika pendapatku benar maka ia berasal dari Allah saja, tiada sekutu baginya. Dan jika pendapatku salah, maka ia berasal dari aku dan syaithon, bukan dari Allah. Sesungguhnya ‘kalalah’ adalah orang yang mati tanpa meninggalkan ayah dan ibu.”
2.1.3 Pendapat ulama’
Ulama’ berselisih paham mengenai waris kalalah, diantaranya adalah masalah tidak memilki anak, yang dalam al-Qur’an kata anak disebutkan dengan ولد. Mengenai pengertian anak, terdapat beberapa pendapat, yaitu:
1. Menurut kaum Sunni, tidak memilki anak adalah tidak ada anak laki-laki seterusnya kebawah anak-anak mereka tanpa berselang perempuan dan anak juga berarti anak perempuan mayit saja, tanpa anak turunnya apabila ia lebih dulu meninggal.
2. Menurut Syi’ah, anak adalah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya ke bawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka, hanya derajat mereka berbeda di antara mereka dimana dalam kategori tersebut sebagaimana adany anak laki-laki atau perempuan menghijab segala cucu dan para cucu akan menghijab ank-anaknya dan seterusnya.
3. Menurut Hazairin, kelompok ini sependapat dengan Syi’ah dalam memahami ‘anak’ yaitu segala keturunan mayit dalam garis apapun, tetapi tidak sependapat jika di antara mereka dapat saling menghijab seperti yang dikemukakan Syi’ah. Menurut Hazairin mereka dalam derajat yang sama.
4. Menurut M. Mustofa Sulbi, jumhur ulama’ berpendapat bahwa ولد atau anak adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya, dan bukanlah pengertian anak pada umumnya yang meliputi laki-laki dan perempuan seperti pada ayat يوصيكم الله في اولادكم karena far’ yang berupa perempuan tidak dapat mencegah bagian saudara laki-laki dari harta warisan. Sebaliknya jika bersama anak perempuan maka saudara laki-laki menjadi ashobah. Begitu juga dengan saudara perempuan tidak dapat gugur karena anak perempuan, sebaliknya bisa mendapat warisan jika bersamanya anak perempuan.
Akan tetapi pendapat terakhir ditentang oleh Ibnu Abbas yang berpendapat bahwa saudara perempuan tidak akan mendapat warisan jika bersamanya terdapat anak perempuan, karena ayat al-Qur’an mensyaratkan diperolehnya harta warisan bagi saudara perempuan jika tidak adanya anak. Dan maksud anak di sini adalah arti anak secara umum yang meliputi laki-laki dan perempuan dalam sebuah riwayat, ketika Ibnu Abbas ditanya oleh seseorang tentang bagian dari keduanya, anak perempuan dan saudara perempuan, maka Ibnu Abbas menjawab “tidak ada sesuatu pun untuk saudara perempuan”. Kemudian dikatakannya kepada Ibnu Abbas bahwa Umar berkata “untuk anak perempuan adalah separoh dan saudara perempuan sisanya”, marahlah Ibnu Abbas dan berkata “kamu yang lebih mengetahui atau kah Allah”. Allah telah berfirman ان امرؤ هلك ليس له ولد و له اخت . dan dengan jawaban ini diketahui bahwa pendapat Ibnu Abbas dalam menafsirkan kata anak pada ayat tersebut mencakup laki-laki dan perempuan.
2.2. GHOROWAIN
2.2.1 Definisi
Dinamakan masalah ghorowain yaitu diambil dari kata al-ghorowain yang artinya yang cemerlang, karena kemashurannya yang seperti bintang yang terang benderang. Dan dinamakan juga ummariyatain, karena Umar yang memutuskannya dan disetujui oleh jumhur sahabat Nabi SAW. Penyebutan istilah tersebut pada dasarnya ditujukan kepada sahabat Umar, karena masalah seperti itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab dan diputuskan olehnya. Selain dua penyebutan tersebut ada juga yang menyebutnya ghoribatain.
Kasus ghorowain ini terjadi hanya dalam dua kemungkinan saja, yaitu:
1. Jika seseorang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris suami, ayah, dan ibu.
2. Jika seseorang meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris isteri, ayah, dan ibu.
Adapun yang dimaksud dengan ahli waris yang tinggal di sini adalah ahli waris yang tidak terhijab, karena boleh jadi ahli waris lain masih ada, akan tetapi terhijab oleh bapak. Jadi apakah suatu kasus warisan itu merupakan kasus ghorowain atau tidak, diketahui setelah ditentukan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris dari si meninggal, kemudian siapa-siapa yang terhijab, dan ternyata ahli waris yang berhak untuk mendapat warisan hanyalah (terdiri dari) suami, ayah, dan ibu atau isteri, ayah, dan ibu maka dapat dipastiakan bahwa persoalan kewarisan tersebut adalah persoalan khusus (istimewa) yang diistilahkan dengan ghorowain.
2.2.2 Dasar Hukum
Dalam ilmu faraidh asal warisan ibu jika ia bersama ayah adalah mewarisi 1/3 dari seluruh harta sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah:
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seoarang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh ½ (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat 1/3. jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat 1/6. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.(Q.S. An-Nisa:11)
2.2.3 Pendapat Ulama’
Penyelesaian kasus dalam masalah ghorowain ini tidaklah sama seperti penyelesaian kasus-kasus kewarisan pada umumnya. Dalam hal ini terjadi perselisihan dari para faradhiyun tentang fardh atau bagian ibu, apakah 1/3 harta peninggalan atau 1/3 dari sisa harta peninggalan setelah ditentukannya bagian isteri atau suami:
a. Menurut Umar r.a. yang diikuti oleh sahabat-sahabat Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud r.a. para ahli ra’yi dan fuqoha’ (jumhur), menetapkan bahwa ibu mendapatkan 1/3 sisa, maka penyelesaiannya:
I II
Suami Bapak Ibu Isteri Bapak Ibu
1/2 sisa 1/3 dari sisa ¼ Sisa 1/3 dari sisa
Hal ini didasarkan pada metode perbandingan 1:2 (lidzakari mitslu hadzil untsyain). Keadaan ini hendaknya tetap berlaku, biarpun kedua ibu bapak tersebut mewarisi bersama-sama dengan salah seorang suami atau isteri. Jadi, persoalan al-ghorowain ini terletak pada pendapatan ibu yang lebih besar dari pendapatan bapak. Unuk menghilangkan kejanggalan ini haruslah diselesaikan dengan masalah khusus, yaitu pendapatan ibu bukanlah 1/3 harta warisan melainkan hanya 1/3 dari sisa harta warisan.
b. Ibnu Abbas r.a. berpendapat bahwa ibu dalam kedua masalah tersebut mendapat 1/3 harta warisan, dan bukan 1/3 dari sisa harta. Dengan pembagian:
I II
Suami Ibu Bapak Isteri Ibu Bapak
1/2 1/3 Sisa 1/4 1/3 sisa
Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11 tentang bagian ibu yang bersama dengan ayah dan mayit tidak mempunyai seorang anak, yaitu faliummihi tsulus, lafadz tsulus (1/3) itu maksudnya secara umum ialah 1/3 harta warisan bukan tsulusul baqi (1/3 sisa harta warisan).
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia diutus kepada Zaid bin Tsabit untuk bertanya tentang perempuan yang meninggalkan suami dan kedua orang tuanya. Maka Zaid bin Tsabit menjawab: ”Bagian suami adalah ½ dan untuk ibu adalah 1/3 dari sisanya”. Kemudian Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kamu menemukannyadalam kitab Allah, atau engkau mengatakan hanya dengan pendapatmu sendiri?”. Zaid menjawab: ”Saya menyatakan dengan pendapatku, seorang ibu tidaklah lebih utama dari seorang bapak”. Zaid telah menetapkan bagian ½ dari sisa untuk kedua orang tua (bapak ibu). Setelah ditetapkannya bagian suami, jika tidak ada anak dan dua saudara laki-laki maupun perempuan.
Ibnu Qoyyim mengatakan dalam kitab I’lam al-Muqi’in bahwa Ibnu Abbas telah mendebat Zaid bin Tsabit tentang masalah ghorowain atau ummariyatain. Ibnu Abbas berkata: “Dimana terdapat 1/3 dari sisa di kitab Allah?” Zaid menjawab: “Tidak terdapat pula dalam kitab Allah pemberiannya 1/3 dari seluruh harta bila terdapat suami atau isteri.
c. Menurut Ibnu Sirrin dan Abu Tsaur, mereka mempunyai penyelesaian sendiri mengenai masalah ghorowain, yaitu:
I II
Suami Bapak Ibu Isteri Bapak Ibu
½ 1/3 1/3 dari sisa 1/4 Sisa 1/3
Alasannya adalah dalam masalah I jika ibu diberi 1/3 dari harta warisan, niscaya bagian ibu akan melebihi bagian bapak, hal ini tidak boleh terjadi. Akan tetapi dalam masalah II, bagian ibu yang 1/3 dari harta tidak akan melebihi bagian bapak.
Adapun dari tiga pendapat di atas yang paling shohih adalah pendapat jumhur yang menetapkan bagian ibu 1/3 dari sisa harta setelah dikurangi bagian yang harus diterima oleh suami atau isteri. Sehingga bagian ibu menjadi separo dari bagian bapak, sebagaimana yang telah ditetapkan kepada keduanya ketika tidak bersama ahli waris lain. Menurut pendapat ini, ayat yang menetapkan bagian ibu adalah 1/3 dari seluruh harta, telah mengindikasikan dua syarat:
1. Tidak ada anak, yaitu dengan dalil فإنلم يكن له ولد
2. Sendirinya kedua orang tua (bapak ibu) sebagai ahli waris, dengan dalil و ورثه ابواه karena ayat ini maktuf kepada ayat yang menjadi syarat berarti pertama, dan maktuf kepada syarat berarti juga menjadi syarat.
Dalam penyelesaian bagian ibu dari masalah I yaitu ibu, bapak, dan suami adalah 1/6 dan masalah II yaitu ibu, bapak, dan isteri maka bagian ibu adalah ¼. Akan tetapi digunakan kata 1/3 untuk menunjukkan adab terhadap al-Qur’an.
2.2.4 Analisa
Pertama:
Dalam masalah yang ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah. Dalam masalah ini suami mendapat ½ , ibu menerima 1/3 sisa secara fardh dan ayah memperoleh sisanya. Jadi penerimaan mereka masing-masing adalah sebagai berikut:
Ahli waris : fardh : dari a.m. 6 sahamnya:
1. Suami : ½ : ½ x 6 = 3
2. Ibu : 1/3 sisa: 1/3 x (6 – 3) = 1
3. Ayah : ‘U. : 6 – 4 = 2
Kedua:
Dalam masalah yang ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu, dan ayah. Fardh isteri adalah 1/4, ibu adalah 1/3 sisa dan ayah adalah sisanya secara ushubah. Dengan demikian saham mereka masing-masing adalah sebagai berikut:
Ahli waris : fardh : dari a.m. 12 sahamnya:
1. Isteri : 1/4 : ¼ x 12 = 3
2. Ibu : 1/3 sisa: 1/3 x (12 – 3) = 3
3. Ayah : ‘U. : 12 – 6 = 6
BAB III
KESIMPULAN
1. Kalalah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai ayah maupun anak, yaitu tidak mempunyai pokok maupun cabang atau baik keturunan ke atas maupun ke bawah.
2. Ulama’ berselisih paham mengenai perngertian anak dalam masalah kalalah:
a. Menurut kaum Sunni, tidak memilki anak adalah tidak ada anak laki-laki seterusnya ke bawah anak-anak mereka tanpa berselang perempuan dan anak juga berarti anak perempuan mayit saja, tanpa anak turunnya apabila ia lebih dulu meninggal.
b. Menurut Syi’ah, anak adalah segala keturunan yang lelaki maupun perempuan seterusnya kebawah tanpa membedakan jenis kelamin mereka, hanya derajat mereka berbeda di antara mereka yakni adanya anak-anak laki-laki maupun perempuan menghijab segala cucu dan para cucu akan menghijab anak-anaknya dan seterusnya.
c. Menurut Hazairin, anak yaitu segala keturunan mayit dalam garis apapun, tetapi di antara mereka tidak dapat saling menghijab karena mereka dalam derajat yang sama.
3. Masalah ghorowain atau ummariyatain atau juga disebut dengan gharibatain ialah masalah yang ahli warisnya terdiri dari:
I atau II
1. Suami 1. Isteri
2. Ibu 2. Ibu
3. Ayah 3. Ayah
4. Ulama’ berselisih paham dalam penetapan bagian ibu dalam masalah ghorowain:
a. Menurut jumhur ulama’ bahwa ibu mendapat 1/3 sisa harta warisan
b. Menurut Ibnu Abbas r.a. bahwa ibu mendapat 1/3 harta peninggalan
c. Menurut Ibnu Sirrin dan Abu Tsaur, bahwa dalam masalah I ibu mendapat 1/3 sisa peninggalan harta, dan dalam masalah II ibu mendapat 1/3 harta peninggalan
DAFTAR PUSTAKA
As-shabuni, M. Ali. Hukum Waris, Surabaya; Mutiara Ilmu, 1388 H
Khalifah, M. Thaha Abul Ela. Hukum Waris, Solo; Tiga Serangkai,2007.
Lubis, Suhrawardi k., Simanjuntak, Komis. 1995, Hukum Waris Islam, Jakarta; Sinar Grafika, 1995
Rahman, A. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Rahman, Fathur. Ilmu Mawaris, Bandung; PT. Al-Ma’arif, 1971
Samardi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 1997
Syulbiy, Muhammad Musthafa. Ahkamul Mawaris, Beirut; Darun-Nahdhoh Al-Arabiyah, 1978
No comments:
Post a Comment