Monday, May 10, 2010

KOROPSI

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
 (STUDI TERHADAP PENGEMBANGAN WACANA KEAGAMAAM ANTIKORUPSI) MUHAMMADIYAH

Abstrak: Tulisan ini mencoba mendeskripsikan salah satu wujud partisipasi Muhammadiyah dalam upaya pemberantasan praktek korupsi melalui wacana keagamaan anti korupsi. Menurut Muhammadiyah korupsi bukan hanya tergolong pencurian biasa, tetapi lebih dari itu. Dampak yang diakibatkan oleh korupsi begitu dahsyat, sehingga Muhammadiyah mencoba menempatkan posisi korupsi pada fikih dalam berbagai posisi, bias masuk qulu’, riswah, dan lainnya. Muhammadiyah juga mencoba memaparkan wacana sebagai langkah-langkah melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kata Kunci: Wacana Keagamaan, Pemberantasan, Korupsi.

A.    Pendahuluan
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah masalah korupsi, dalam arti bagaimana cara memberantas dan menghentikan praktik-praktik korupsi yang nampaknya sudah melembaga dan membudaya. Korupsi adalah masalah kompleks, korupsi berakar san bercabang diseluruh aspek masyarakat Indonesia. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh.
Yang sangat menyedihkan bagi kita adanya fakta bahwa Indonesia merupakan negara terkorup se-Asia. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Political and economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan minggu, 10 Maret 2002 menyatakan bahwa Indonesia Merupakan Negara paling korup di Asia dengan tingkat skor 9,92. Ini merupakan angka terjelek bagi Republik Indonesia sejak PERC melakukan survey pada tahun 1995. sementara India menduduki peringkat ke dua dengan skor 9,17. Sedangkan Vietmnam peringkat ke tiga, dengan skor 8,25. Survey tersebut dilakukan dengan mengambil responden 1.000 pengusaha ekspatriat di 12 negara Asia.  Selain survey yang dilakukan oleh PERC di atas, sebuah survey yang dilakukan oleh lembaga survey lainnya juga selalu menetapkan Indonesia sebagai negara terkorup, bahkan selalu masuk 10 besar dalam deretan negara terkorup di dunia. Misalnya survey yang dilakukan oleh TI (Transparasi Internasional) – sebuah lembaga yang mengkampanyekan anti korupsi dan memiliki 80 cabang di seluruh dunia, termasuk Indonesia-pada tahun 1996 yang menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara dengan derajat korupsi tertinggi. Posisi ini bertahan sampai tahun 1999 yajni sebagai negara terkorup nomor 3 dari 99 negara di dunia, disusun kemudian Nigeria dan Kamerun skor Indonesia saat ini adalah 1,7.
Pada tahun 2001 posisi Indonesia masih sangat menyedihkan dalam deretan negara terkorup di dunia yakni menempati urutan ke empat dari 91 negara terkorup di dunia. Dalam urutan Corruption Perceptions Indeks (Indeks Citra Korupsi) 2001 yang dikeluarkan Transparancy International (TI) itu, Indonesia mendapat skor sekelas dengan Uganda, yakni 1,9. Hal ini hanya sedikit lebih baik ketimbang dua negara terkorup di dunia, yakni Nigeria (1,0) dan Bangladesh (0,4).  Tahun 2006-2007 Indonesia menempati urutan kedua dari Filipina sebagai Negara Korup di Asia.
Korupsi merupakan salah satu fenomena hukum yang perlu mendapat prioritas untuk negara diselesaikan dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab, bahaya korupsi terkait dengan keuangan negara yang dapat mengganggu bahkan mengguncang perekonomian negara dan stabilitas nasional, menghambat proses pembangunan, merusak moral bangsa dan menurunkan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap pemerintah, sehingga para investor dan para pelaku bisnis enggan untuk investasi ke negara Indonesia.
Akibat lain dari bahaya tindak kejahatan korupsi, yaitu bisa mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa, membuat wibawa pemerintah turun serta dapat menimbulkan apatisme dan pesimisme di kalangan masyarakat termasuk kalangan remaja. Karena itu, maka korupsi harus diberantas secara efektif dan menyeluruh dalam segala bentuk manifestasinya.
Dalam kontek inilah Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar tergerak untuk ikut serta dan memprakarsai sebuah gerakan untuk memberantas korupsi dan mewujudkan good governance. Tulisan ini bermaksud memaparkan konsep-konsep Muhammadiyah dalam upaya pemberantasan sebagaimana yang terangkum dalam buku “ Fikih Anti Korupsi”.

B.    Pengertian Korupsi dan Unsur-Unsurnya
Pengertian korupsi secara etimologi, berasal dari bahasa latin yaitu Coruption, yang berarti keburukan, ketidakjujuran, kejahatan, dapat disuap, tidak bermoral.
Adapun perngertian korupsi secara terminologi adalah penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan di mana tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Kartini Kartono, seorang ahli patologi sosial mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi merugikan kepentingan umum dan negara.
Jeremy Pope membuat definisi yang cukup simpel dan mudah dipahami bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan/kepercayaan untuk keuntungan pribadi. 
Senada dengan itu, Azyumardi Azra mengutip beberapa definisi korupsi, antara lain menurut Leiken korupsi adalah “penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan (matrial) pribadi atau kemanfaatan politik”. Definisi Leiken ini menyebut unsur keuntungan matrial, padahal korupsi juga banyak terkait dengan keuntungan non matrial yang jauh lebih banyak. Azyumardi berpendapat bahwa pengertian ini bersifat minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk korupsi.  Lebih lanjut Azyumardi juga mengutip pendapat Syed Husen Alatas, korupsi adalah “penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.  Tampaknya definisi Husen Alatas dan Jeremy Pope inilah yang lebih luas sehingga mudah diterapkan.
Pengertian tindak pidana korupsi yang banyak dikutip adalah:
“Tingkah laku yang menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan statur atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi” .

Dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 1 pengertian tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang yang secara melawan hukum yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Definisi ini diperkuat lagi pada pasal 3, bahwa korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Yang dimaksud dengan setiap orang yang secara “melawan hukum” dalam pasal ini adalah meliputi perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal maupun material, yakni walaupun perbuatn itu tidak diatur dalam perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dipandang tercela karena tidak sejalan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan melihat beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan kepentingan umum, keuangan dan perekonomian negara.
Berdasarkan pengertian korupsi di atas, pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana korupsi itu ialah:
1.    Adanya tindakan mengambil atau menggelapkan yang dilakukan oleh seseorang.
2.    Bersifat melawan norma yang sah dan berlaku
3.    Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya yang diancam dengan pidana
4.    Merugikan orang lain
C.    Korupsi dalam Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah menyebutkan bahwa apabila mengacu pada khazanah hukum Islam, maka sulit untuk mendefinisikan korupsi secara persis sebagaimana yang dimaksud dengan istilah korupsi yang dikenal pada saat ini. Namun demikian, ternyata korupsi merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada beberapa praktek kecurangan dalam transaksi antara manusia, sehingga istilah tersebut dapat dilacak perbandingannya dalam beberapa ekspresi tindakan curang yang dilarang dalam hukum Islam. 
Untuk mengidentifikasi beberapa bentuk ekspresi yang disebutkan dalam kitab fikih, maka terlebih dahulu harus diketahui unsur-unsur korupsi secara tepat. Merujuk pada hukum positif Indonesia yang disebutkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1999 ayat 2 dan 3, bahwa unsur-unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, merugikan pihak lain baik pribadi maupun negara dan menyalagunakan wewenang atau kesempatan atau sarana karena kedudukan dan jabatan.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka Muhammadiyah menyebutkan bahwa definisi korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan norma masyarakat, agama, moral dan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri  atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan rusaknya tatanan yang sudah disepakati yang berakibat pada hilangnya hak-hak orang lain, korporasi atau negara yang semestinya diperoleh. Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi terakhir yang ditawarkan oleh Muhammadiyah, dapat dijumpai ekspresinya dalam berbagai kasus yang terangkum dalam beberapa konsep-konsep normatif dan fikih, atau pemberian yang pada dasarnya halal menjadi haram karena mengandung unsur korupsi.
Berikut ini adalah beberapa istilah sebagai bentuk ekspresi yang mengandung unsur-unsur korupsi :
1)    Gulul
Konsep yang sering dihubungkan dengan korupsi karena dilihat sebagai bentuk pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga, adalah gulul. Secara leksikal, gulul bermakna "ahz|u al-syai wa dassahu fi mata'ihi", yaitu mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya.  Pada mulanya, gulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan gulul sebagai "al-hiya>nah fi al-magnam", yaitu pengkhianatan pada harta rampasan perang. 
Menurut Muhammadiyah, meskipun istilah gulul berawal dari harta rampasan perang (gani>mah), namun istilah ini dapat juga digunakan untuk penyelewengan dalam bidang pemerintahan atau penyelewengan yang dilakukan oleh seorang pejabat. Alasannya adalah karena kedua bentuk gulul tersebut merupakan manifestasi dari tindakan khianat pada pekerjaan, serta karena kedua bentuk gulul tersebut diharamkan sebab adanya unsur merugikan pihak lain, baik satu orang maupun masyarakat umum dan negara karena melakukan penggelapan atau juga menerima hadiah yang bukan menjadi haknya.
Muhammadiyah menyimpulkan bahwa gulul memenuhi semua unsur korupsi, karena :
    Gulul terjadi karena ada niat untuk memperkaya diri sendiri.
    Gulul merugikan orang lain dan sekaligus merugikan kekayaan negara karena gani>mah dan hadiah yang digelapkan (diterima) oleh para pelakunya mengakibatkan tercecernya hak orang lain dan hak negara.
    Gulul terjadi disebabkan karena adanya penyalagunaan wewenang.
    Gulul merupakan tindakan yang bertentangan dan sekaligus melawan hukum karena dilarang agama dan merusak sistem hukum dan moral masyarakat.
2)  Risywah (Suap)
Secara leksikal, risywah mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan, yang bermakna al-ju'l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan risywah (penyuapan) secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. 
Namun dalam hal ini, Muhammadiyah menyamakan risywah dengan istilah "sogok" dalam bahasa Indonesia.  Namun, tidak sepenuhnya risywah identik dengan korupsi, karena istilah tersebut mengandung cakupan yang lebih luas. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa korupsi mencakup beragam bentuk penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak ada unsur suapnya. Dengan kata lain, risywah tidak sama persis dengan korupsi. Namun, merupakan salah satu bentuk ekspresi dari korupsi.
3) Khianat
Secara umum, khianat berarti tidak menepati janji. Dalam al-Qur'an Surat al-Anfal ayat 27 juga telah dijelaskan tentang larangan mengkhianati amanat sesama manusia beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.

Yang dimaksud dengan amanat sesama yang dilarang untuk dikhianati adalah meliputi amanat politik, ekonomi, bisnis (muamalah), sosial dan pergaulan.  Dalam hubungan pemidanaan yang dibicarakan dalam fikih, khianat dikhususkan untuk tindakan yang mengingkari pinjaman barang yang telah dipinjamnya, dengan bahasa fikihnya yaitu 'ariyah.  Khianat juga merupakan sesuatu yang melekat pada gulul. Sebagaimana M. Shadiq Khan dalam tafsirnya Nail al-Maram min Tafsir ayat al-ahkam :
Artinya : “Mengkorup sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam hartanya dan menyembunyikannya, kemudian ia mengkhianati sahabatnya dalam (harta) itu”.
   
4) Mukabarah dan Gasab
Konsep lain yang dapat dihubungkan dengan korupsi karena dipandang dari sudut dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan adalah mukabarah dan gasab. Ali mengungkapkan bahwa arti gasab menurut bahasa adalah:
Artinya : “Gasab adalah mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan kekerasan (paksa)”.
Sedangkan menurut istilah syara', para Ulama' berbeda pendapat. Muhammadiyah merujuk pada pendapat al-Hanafiyah yang merumuskan gasab sebagai berikut:

Artinya : “Gasab yaitu menghilangkan kekuasaan orang yang berhak (pemilik) dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat batil secara terang-terangan, tidak secara rahasia, pada harta yang berharga dan dapat dipindahkan".

Adapun pengertian mukabarah bersifat lebih umum, yaitu meliputi eksploitasi secara tidak sah atas benda dan manusia. Dengan pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa gasab termasuk di dalamnya. Mengingat bahwa gasab merupakan tindakan menguasai atau mengeksploitasi milik pihak lain berdasarkan kekuatan dan kekuasaan.
5( Saraqah (Pencurian)
Konsep lain menurut Muhammadiyah yang biasanya langsung dihubungkan dengan korupsi karena populer sebagai konsep perpindahan hak atas harta secara melawan hukum adalah saraqah atau pencurian. Pencurian (saraqah) adalah tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya.  Dan pelaku atas kejahatan ini dijatuhi hukuman potong tangan, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat al-Maidah ayat 38:
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".


6( Intikab
Menurut Muhammadiyah, konsep selanjutnya yang banyak disinggung dalam kitab fikih adalah Intikab dan Iktilas}. Intikab adalah "ahz|u syai mugalabatah" yang berarti merampas atau menjambret, dan iktilas} adalah "qat}fu syai jiharan bi hadrat sahibihi fi gaflah minhu wal harab bih" yang berarti mencopet atau mengutil.
Dua konsep tersebut dapat dihubungkan dengan korupsi dilihat dari hakikatnya sebagai pemindahan hak secara melawan hukum. Dua kejahatan tersebut bersama dengan khianat, dan para pelakunya tidak dijatuhi hukuman potong tangan, sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa'i berikut:

Artinya : “Diriwayatkan oleh 'Ali bin Khosyrimin, diriwayatkan oleh 'Isa bin Yunus, dari Ibnu Jurayj dari Abi Zubair dari Jabir dari Nabi saw bersabda: tidaklah dihukum potong tangan seorang pengkhianat, perampas dan pencuri secara diam-diam".

7) Aklu suht (makan hasil atau barang haram)
Konsep terakhir yang menurut Muhammadiyah dekat dengan korupsi adalah suht. Menurut asal katanya, suht berarti sesuatu yang membinasakan. Kemudian dianggap sebagai sesuatu yang haram, karena dianggap sesuatu yang haram pasti membinasakan pelakunya. Adapun ayat al-Qur'an yang menyebutkan tentang suht adalah:
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk minta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil".

Dari definisi yang dipaparkan di atas, Muhammadiyah menyimpulkan bahwa aklu suht mencakup semua kebiasaan dan kesenangan dalam berusaha dan memakan serta memanfaatkan barang yang haram atau dari hasil yang diharamkan. Dengan demikian, semua konsep yang merupakan ekspresi korupsi tercakup dalam istilah aklu suht ini, karena korupsi merupakan bentuk usaha yang haram dan sesuatu yang dihasilkannya menjadi haram pula. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir yang menafsirkan QS. Al-Maidah: 62 bahwa memakan harta dengan cara yang bathil maka tidak dibenarkan.
Dari beberapa konsep yang dipaparkan, Muhammadiyah menganggap konsep yang paling tepat untuk pidana korupsi dan dianggap memudahkan dalam penyelesaian sanksinya adalah konsep gulul (penggelapan) dan risywah (penyuapan). Yaitu dengan dikenai sanksi ta'zi>r dari hukuman yang terberat yakni hukuman mati, hingga hukuman yang teringan yakni penjara, dan tentunya sesuai dengan berat tindakan dan dampak korupsi yang dilakukan. 
Nampaknya kecenderungan Muhammadiyah untuk menggunakan terminologi gulul dan risywah terhadap korupsi daripada terminologi lain adalah berdasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
1) Berkaitan dengan tidak dikenalnya terminologi korupsi dalam khazanah Islam dan modus operandi yang relatif baru dan canggih sehingga sulit untuk dikaitkan dengan jari>mah had yang memiliki unsur-unsur tertentu yang seringkali tidak dapat terpenuhi atau samar untuk menarik definisinya kepada tindak pidana korupsi. Misalnya, kesukaran untuk menganalogikan korupsi terhadap hirabah, hal ini disebabkan karena pada hirabah, konsep yang terpenting adalah adanya unsur kekerasan. Sedangkan dalam korupsi sendiri, seringkali menggunakan cara-cara yang halus bahkan dilegalkan dengan perangkat hukum yang koruptif serta dilakukan atas dasar suka sama suka.
2) Pemilihan konsep gulul dan risywah memudahkan para penegak hukum untuk menentukan jenis sanksi yang disesuaikan dengan berat tindak pidana korupsi, yakni dengan instrumen ta'zimah had masih diliputi keraguan dan kesamaran dalam menganalogikan unsur materiil, dan Rasulullah memerintahkan untuk menghindari dari sanksi had apabila terdapat keraguan atau kesamaran.
3) Dengan memanfaatkan kelenturan ta'zir sebagai perangkat kriminalisasi tindak pidana korupsi, maka dapat dengan mudah mengaitkan pada berbagai jenis sanksi yang terberat seperti had, sampai pada jenis hukuman yang paling ringan seperti hukuman penjara.

D.    Langkah-Langkah Pemberantasan Korupsi Menurut Muhammadiyah
Langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Muhammadiyah antara lain sebagai berikut:
a)  Dekonstruksi budaya yang melestarikan korupsi.
Langkah ini dapat dilakukan dengan cara, antara lain seperti:
    Memberantas dan mengikis budaya kultus dan paternalistik. Budaya ini telah melahirkan sikap ewuh pakewuh atau rikuh (sungkan) dalam upaya pemberantasan korupsi atau penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
    Memberantas budaya pemberian hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan tertentu dalam kaitannya dengan urusan publik. Karena pada prakteknya, makna hadiah telah mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksud oleh konsep hadiah itu sendiri.
    Memberantas budaya komunalisme dalam kehidupan masyarakat dalam konteks ketergantungan akan kehidupan kolektif yang kemudian melahirkan sikap toleran terhadap praktek-praktek korupsi.
    Memberantas budaya instant. Karena selama ini dalam meraih segala sesuatu dengan serba singkat dan tanpa bekerja keras, sehingga aturan atau prosedur yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah akan dilanggar.
    Mengikis budaya permissif , hedonistik dan materialistik. Dimana fenomena ini sudah menjadi wabah endemik di kalangan masyarakat.
    Perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada masyarakat, sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya praktek korupsi. Dengan demikian, orang akan berfikir lagi apabila akan melakukan korupsi karena masyarakat akan bersikap kritis dan sekaligus menuntut akuntabilitas terhadap setiap jabatan yang diemban.
    Perlunya identifikasi problem korupsi secara menyeluruh disertai informasi yang jelas mengenai dampak korupsi dan strategi untuk melawan korupsi kepada masyarakat. Sehingga rakyat akan terdorong untuk bersama-sama melawan korupsi.
    Masyarakat harus diberi penjelasan secara terus-menerus bahwa sebagian dari sikap, kebiasaan dan perilaku mereka memiliki kecenderungan kolutif dan koruptif. Sehingga perlu dilakukan suatu usaha yang lebih sistematis untuk melawan kecenderungan itu.      
b)  Melalui jalur pendidikan
Pendidikan masih dapat diharapkan untuk menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didik, sehingga sejak dini mereka memahami bahwa korupsi bertentangan dengan norma hukum maupun norma agama. Upaya ini dapat dilakukan melalui jalur formal, non formal, maupun informal.
(1)    Jalur formal
(a)    Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran atau mata kuliah civic aducation di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak melahirkan warga negara yang memiliki komitmen akan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran.
(b)    Perlunya pengajaran dan penyisipan materi atau mata pelajaran "Kurikulum Antikorupsi" secara menyeluruh. Hal ini dilakukan agar kesadaran "Antikorupsi" dapat ditumbuhkan mulai di dunia pendidikan. Tindakan menyontek, menjiplak (plagiat) hasil karya orang lain, korupsi waktu bagi guru dan dosen, korupsi uang bagi para pejabat dan pengelola pendidikan dan jual beli nilai harus diberantas dengan aturan main yang jelas serta sanksi yang tegas.
(c)    Melakukan reformasi silabus pendidikan keagamaan dari yang lebih menekankan kesalehan individual menuju pada kesalehan sosial, dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara lebih kontekstual khususnya yang terkait dengan isu korupsi.
(d)    Mendorong para akademisi untuk terus melakukan berbagai penelitian tentang korupsi maupun yang terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.    
(e)    Membersihkan lembaga-lembaga pendidikan dari praktek korupsi, seperti pungutan berlebihan dengan dalih sumbangan, uang praktikum atau sebagainya.
(f)    segera merealisasikan anggaran pendidikan 20% sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan Undang-Undang. Sehingga peluang untuk memperoleh akses pendidikan yang berkualitas dapat merata bagi seluruh lapisan masyarakat, yang kemudian berakibat pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
(2)    Jalur non-formal
(a)    Mengadakan pelatihan-pelatihan dan pemantauan anti korupsi.
(b)    Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya korupsi melalui lembaga pengajian dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
(c)    Para pejabat, tokoh masyarakat, pemimpin informal, serta para hartawan harus memberikan keteladanan bagi masyarakat dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang dimiliki.
(3)    Jalur informal
(a)    Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang terkait dengan bahaya korupsi yang diberlakukan kepada seluruh anggota keluarga.
(b)    Para orang tua harus membimbing anak agar dibiasakan memiliki rasa bangga dan senang dengan usahanya sendiri, tidak dipacu untuk mendapatkan hasil tanpa usaha.
(c)    Mendorong para orang tua, tokoh dan pimpinan masyarakat, politisi maupun pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan birokrasi negara.
(d)    Para keluarga hendaknya membiasakan budaya menabung dan hidup secara produktif dan tidak konsumtif melalui pembudayaan sistem manajemen keuangan keluarga secara proporsional dan professional.
c)  Melalui jalur keagamaan
Strategi yang dapat dilakukan melalui jalur ini, antara lain dengan:
1)    Mendorong para tokoh dan lembaga agama untuk mengeluarkan fatwa atau opini tentang korupsi serta sanksi moral bagi para pelaku korupsi.
2)    Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih menghayati ajaran agamanya, karena penghayatan agama yang benar akan mencegah seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun tindak kejahatan lainnya.
3)    Membersihkan organisasi kemasyarakatan Islam dan institusi-institusi keagamaan dari unsur-unsur dan praktek-praktek korupsi.
4)    Mengoptimalkan potensi institusi masjid sebagai pusat pembinaan umat.
5)    Proses penyadaran dan pemberdayaan melalui media pengajian majlis ta'lim, khotbah jum'at dan momentum hari-hari besar Islam serta metode dakwah lain mengenai bahaya korupsi.
d)  Pendekatan sosio-kultural
            Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah:
1)    Menciptakan dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga bangsa khususnya yang terkait dengan kasus penyalahgunaan atau korupsi itu sendiri.
2)    Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya pengucilan bagi setiap anggota masyarakat yang terbukti melakukan korupsi.
3)    Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya korupsi di tengah masyarakat melalui media massa, elektronik maupun cetak serta memanfaatkan media kesenian rakyat dan lain sebagainya.
4)    Memanfaatkan media olahraga, melalui pertandingan-pertandingan olahraga secara jujur, fair  dan sebagainya.
5)    Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai pada kasus money politics.
6)    Mendorong segenap warga masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang berwenang apabila ada indikasi penyalahgunaan wewenang (korupsi).
7)    Memberikan penghargaan (award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.
8)    Menerbitkan dan mempublikasikan berbagai literatur keagamaan yang mengkritisi perilaku korupsi dan menjelaskan bahaya korupsi.
e)  Pendekatan hukum dan politik
Adapun cara yang dapat dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi melalui jalur hukum dan politik, antara lain:
1)    Mendorong pemerintah maupun anggota legislatif untuk segera merevisi Undang-Undang antikorupsi dengan mengedepankan "asas pembuktian terbalik" terhadap orang yang diduga melakukan tindakan pidana korupsi.
2)    Perlunya penyusunan anggaran yang rasional dan proporsional bagi setiap pejabat negara atau pelaksana pemerintahan, seperti anggaran baju dinas pejabat, anggaran kesehatan dan sebagainya.
3)    Setiap anggota masyarakat, baik secara individual maupun kelembagaan hendaknya melakukan tekanan kepada para aparat penegak hukum untuk konsekuen dan memiliki keberanian dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi.
4)    Memperluas horizon tentang makna korupsi, bahwa korupsi bukan hanya korupsi uang, namun juga termasuk korupsi waktu, kesetiaan, informasi dan lain-lain.
5)    Mendorong aparat birokrasi agar mengembangkan sistem pemerintahan yang transparan dan responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat yang berkembang, serta selalu berupaya agar terwujud sistem birokrasi yang memiliki akuntabilitas tinggi.
6)    Mendorong seluruh aparat pemerintahan, maupun pimpinan atau anggota parpol untuk tidak melakukan rangkap jabatan.
7)    Menghimbau dan mendorong semua komponen masyarakat umum maupun masyarakat politik untuk melakukan koalisi bersih yang bersifat lintas agama, lintas ormas atau LSM, dan lintas parpol.
8)    Mempublikasikan inisial para koruptor yang diduga terkait dengan isu korupsi.
9)    Mempublikasikan berbagai kasus-kasus korupsi dari yang tingkat rendah sampai tingkat tinggi berdasarkan informasi yang akurat sehingga membuat jera para pelaku korupsi.
10)    Mendorong setiap proses sosial-politik yang dapat mewujudkan terciptanya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dapat mereduksi munculnya berbagai penyakit sosial termasuk korupsi.
11)    Pemerintah dan segenap masyarakat harus terus-menerus meningkatkan pengawasan yang sudah tersedia, disamping media informal lain.
12)    Segera dilakukan perbaikan sistem pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan empat kriteria, yaitu; a). bersifat komprehensif, saling sinergi dan tidak parsial; b). bersifat ideologis; c). menganut asas keimbangan; dan d). semakin mendekati tujuan perjuangan. 
f)   Memilih pemimpin yang bersih
Adapun untuk memilih pemimpin yang bersih dan pemerintahan yang baik, dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1)    Memiliki integritas kepribadian yang tinggi, beriman dan bertakwa, serta memiliki kekuatan moral dan intelektual.
2)    Memiliki kapabilitas, yakni kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang serta mengelola keberagaman menjadi kekuatan yang sinergis.
3)    Populis, berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
4)    Visioner, memiliki visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri).
5)    Berjiwa negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
6)    Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional.
7)    Berjiwa reformasi, memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi.
g)  Keteladanan pemimpin
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan seorang pemimpin agar memberi keteladanan adalah:
1)    Pemimpin harus memiliki sikap terpuji dalam segala aspek kehidupannya. Selain itu, kata-katanya harus sesuai dengan perbuatannya.
2)    Konsisten untuk mengusung idealisme, dan sikap antikorupsi harus selalu dijunjung oleh para pejuang reformasi, agar tidak terjerumus atau bahkan menunggu giliran dalam praktek korupsi.
3)    Memegang amanat dan janji.
4)    Tidak menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.
5)    Seorang pemimpin hendaknya selalu menyelesaikan setiap persoalan berlandaskan kepada aturan hukum.
6)    Selain seorang pemimpin harus bersifat jujur, amanah dan bertanggung jawab, seorang pemimpin juga harus dapat mengelola atau mendayagunakan kekayaan negara secara proporsional dan tidak untuk kepentingan pribadi.
7)    Seorang pemimpin hendaklah berani menyampaikan kebenaran, serta tidak takut memberantas KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme), tidak bekerjasama dengan para koruptor, tidak terlibat dalam kasus-kasus kriminal, serta bersikap tegas terhadap perbuatan munkar.
h)  Perbaikan sistem upah
Untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan produktivitas kerja, maka kesejahteraan pegawai, karyawan dan buruh harus diperhatikan. Pemerintah dan pimpinan perusahaan memiliki kepentingan untuk terus berupaya agar gaji karyawan dan upah buruh harus selalu disesuaikan dengan tingkat yang wajar. Karena, dengan kondisi kurangnya gaji maka akan mendorong terjadinya korupsi.
Selain penetapan gaji yang proporsional, aspek perlindungan hukum, masalah kesehatan dan pendidikan keluarga karyawan serta jaminan hidup pasca pensiun perlu menjadi perhatian yang serius. Dengan demikian, karyawan akan bekerja sepenuh hati, sehingga akan mengurangi terjadinya penyelewengan-penyelewengan dalam jabatan.

i)   Debirokratisasi
Sudah saatnya untuk merealisasikan prinsip kemudahan dalam penyelenggaraan administrasi dan manajemen. Sebagaimana dimaklumi, bahwa penyebab terbesar dari munculnya berbagai praktek korupsi di Indonesia adalah karena sistem birokrasi pemerintahan yang rumit dan berbeli-belit. Di samping itu, terdapat beberapa hal mendesak yang harus diakukan oleh pemerintah, yaitu:
1)    Penyederhanaan birokrasi dengan target peningkatan kualitas pelayanan publik.
2)    Menerapkan manajemen otomasi di mana proses pengawasan internal dan eksternal berjalan secara transparan dan professional dengan funsionalisasi IT (International Transparancy) secara optimal.
3)    Melantik pejabat yang selain memiliki kemampuan keilmuan dan kompetensi, yang tidak kalah penting diantaranya adalah berkepribadian dan bermoral tinggi, sehingga tidak hanya menggunakan standar kepangkatan struktural semata, sebagaimana yang masih berlangsung.
j)   Pembuktian terbalik
Tanpa alat bukti, seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran atau kejahatan, sebagaimana yang dikenal dengan asas praduga tak bersalah. Dengan demikian, untuk melacak dan mencari alat-alat bukti bagi tindak pidana korupsi seringkali merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Seperti, karena terlalu lama perbuatan korupsi tersebut dilakukan sehingga sebagian atau keseluruhan barang bukti telah hilang, baik karena sengaja dihilangkan oleh terdakwa untuk menutupi perbuatannya, maupun karena faktor bencana alam yang berakibat musnahnya barang bukti.
Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak penyelidik akan sulit sekali mencari barang bukti padahal diyakini seseorang tersebut telah melakukan tindak korupsi. Sehingga, menurut Muhammadiyah perlu diupayakan upaya hukum lain yaitu dengan pembuktian terbalik. Yakni, terdakwa dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, antara lain dengan membuktikan asal-usul harta terdakwa itu sendiri. 
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya penggunaan pembuktian terbalik merupakan bagian dari memberlakukan aturan khusus yang dinilai lebih dapat mendatangkan kemaslahatan di kala berhadapan dengan aturan umum. Metode pembuktian terbalik ini dalam Kaidah Hukum Islam dikategorikan penggunaan dalil al-Istihsan. 
k)  Partisipasi masyarakat untuk mengontrol kebijakan publik
Adapun bentuk keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat berupa:
1)    Masyarakat harus terlibat dalam penyusunan RAPBN dan RAPBD.
2)    Mengkritisi berbagai peraturan perundang-undangan agar tidak ada celah untuk disalahgunakan yang akan merugikan negara dan masyarakat.
3)    Meminta transparansi dari suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah, lembaga atau siapa pun yang menyangkut tugas yang diembannya.
4)    Melaporkan setiap orang yang diduga melakukan KKN kepada instansi penegak hukum.
5)    Memantau jalannya proses peradilan dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi.
l)   Reward dan punishment (Imbalan dan Hukuman)
Sistem reward dan punishment ini memiliki nilai yang sangat penting dalam pembentukan moral. Sebab dengan hal ini, akan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mendukung perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk, bahkan akan membuat jera para pelaku kejahatan termasuk korupsi, karena ia akan selalu mendapat hukuman atas perbuatannya. 

E.    Penutup
    Pendekatan dan pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama pendekatan politik dan hukum, ini menjadi tugas pemerintah. Pemerintah bertugas membuat aturan dan mengimplementasikan aturan-aturan tersebut. Kedua melalui pendekatan budaya, dimana Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan membantu pemerintah dalam upaya mempertegas  pemberantasan korupsi baik melalui social pressure, input berupa masukan saran dan penyadaran masyarakat.
    Konsep-konsep dan langkah-langkah strategi yang dihasilkan oleh Muhammadiyah yang kemudian dituangkan dalam buku “ Fikih Anti Korupsi “ merupakan wujud upaya pemberantasan praktek korupsi melalui pengembangan wacana keagamaan anti korupsi. Harus diakui bahwa sejauh ini arti penting wacana anti korupsi berspektif keagamaan belum begitu banyak disadari disamping itu wacana sendiri tersebut belum luas dikembangkan. Padahal dalam teks-teks agama sendiri, khususnya agama Islam kutukan terhadap korupsi mendapat ruang yang cukup luas. Dengan demikian upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini memiliki arti penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.


No comments:

Post a Comment