BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini banyak kejadian yang kita temukan baik dari media tulis maupun elektronik berupa kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya untuk mendapatkan harta warisan orang tuanya. Begitu juga dengan kasus pernikahan dua insan yang berlainan agama.
Orang yang membunuh orang tuanya agar dapat memperoleh harta warisan orang tuanya denga cepat, sebetulnya telah mencelakakan dirinya. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa untuk memperoleh hak sebagai ahli waris, seseorang harus terbebas dari beberapa hal yang disebut dengan ‘penghalang–penghalang hak mewarisi” atau mawaani’ul irtsi.
Mawaani’ul irtsi atau penghalang hak mewarisi, didefinisikan oleh para ulama sebagai hal-hal yang bisa menghalangi seseorang mendapatkan haknya sebagai pihak yang akan mewarisi, padahal sudah ada sebab pihak-pihak yang akan mewariskan, seperti hubungan kerabat, hubungan pernikahan atau walaa.
Faktor ketidakketahuan dan keserakahan merupakan penyebab terjadinya hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan seorang muslim. Maka dari itu pemakalah tertarik untuk membahas beberapa penghalang ahli waris untuk memperoleh harta warisan dengan harapan kejadian-kejadian seperti yang penulis sebutkan tadi tidak terulang lagi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan mawani’ul irtsi?
b. Apa saja yang termasuk dalam mawani’ul irtsi?
c. Apakah dasar-dasar hukum mawani’ul irtsi ?
d. Bagaimana pendapat para ulama mengenai akibat hukum dari mawani’ul irtsi itu?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari mawani’ul irtsi
b. Untuk mengetahui macam-macam mawani’ul irtsi
c. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum mawani’ul irtsi
d. Untuk mengetahui pendapat para ulama mengenai akibat hukum dari mawani’ul irtsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Berdasarkan ilmu faraidh, halangan kewarisan adalah hilangnya hak ahli waris untuk memperoleh harta warisan dari perwaris karena adanya hal-hal yang melarangnya menerima harta warisan. Para ahli waris yang kehilangan hak-hak mewarisi yang disebabkan adanya mawani’ul irtsi disebut mahrum dan halangannya disebut hirman.
Ada perbedaan yang mendasar antara mawani’ul irsti dengan hijab, ketika berbicara mawani’l irsti maka hilangnya hak memperoleh harta warisan disebabkan adanya sesuatu yang yang melarangnya memperoleh harta warisan, berbeda denga hijab yang mana si ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan karena adanya ahli waris yang lebih utama menerima harta warisan tersebut daripadanya.
B. Macam-Macam Penghalang Hak Waris
Ada beberapa kategori yang menyebabkan seseorang tidak dapat memberikan dan menerima harta warisan, sebagai mana berikut:
1. Budak (hamba sahaya), seorang hamba tidak dapat menerima harta warisan dari seluruh keluarganya yang meninggal dunia dan dia juga tidak dapat mewariskan hartanya kepada ahli warisnya selama ia masih berstarus hamba.
Firman Allah SWT:
• ( النحل : 75 )
“Seorang hamba sahaya (budak) tidak dapat bertindak terhadap sesuatu” (an-Nahl: 75)
2. Pembunuhan, seseorang yang membunuh keluarganya maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari keluarga yang ia bunuh.
Hadist Rasulullah SAW.
ليس لقاتل من الميراث شيئ (رزاه : الجماعة)
Yang membunuh tidak mewarisi sesuatu dari yang dibunuhnya (Hadist riwayat An-Nasai)
3. Berlainan agama, seorang yang beragama Islam tidak dapat menerima harta warisan dari keluarganaya yang non-muslim dan ia juaga tidak dapat mewarisi harta warisannya kepada keluarganya yang kafir (non-muslim).
Hadist Rasulullah SAW.
لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم (رواه : الجماعة)
“Orang islam itu tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang Islam” (Hadist riwayat al-Jama’ah)
Dari tiga kategori penghalang hak waris di atas, yakni hamba sahaya, pembunuhan, dan berlainan agama. Pada kesempatan kali ini pemakalah hanya ingin menjelaskan dua dari tiga penghalang tersebut, yaitu pembunuhan dan berlainan agama berhubung hamba sahaya pada saat ini tidak ada lagi dan telah dihapuskan.
1. Pembunuhan
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa orang yang membunuh dapat menghalangi si pembunuh untuk menerima harta warisan dari orang yang ia bunuh. Hanya fuqaha dari golongan khawarij yang membolehkan sipembunuh mendapat harta warisan dari orang yang ia bunuh dengan alasan bahwa ayat-ayat mawarist yang terkandung dalam al-Qur’an berlaku untuk umum dan ke-umum-an ayat tersebut harus diamalkan dan hadist Nabi tidak cukup kuat untuk membatasi keumuman al-Qur’an.
a. Dasar Hukum Terhalangnya Hak Waris Karena Pembunuhan.
Ada beberapa dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur ulama ketika menetapkan si pembunuh tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya, seperti hadist yang telah disebutkan pada pembahasan mancam-macam panghalang hak waris.
Selain itu ada juga hadist lain, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
“Barang siapa yang membunuh seseorang, maka ia tidak dapat mewarisinya walaupun sikorban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika sikorban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembinuh tidak berhak menirima harta pennigngalan. (Hadist riwayat Ahmad)
Dari Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi bersabda:
ليس لقاتل ميراث (رواه : مالك)
“seorang pembunuh tidak berhak memperoleh warisan” (HR: Malik)
Diriwayatkan oleh Baihawi dari Jabir bin Ziyad:
“Jika seorang pria membunuh pria lain atau wanita, baik sengaja maupun tidak, dia tidak memperoleh warisan sedikit pun siapa pun dia, jika seorang wanita membunuh pria lain atau wanita, baik sengaja maupun tidak, maka ia tidak memperoleh warisan sedikitpun, siapapun dia.”
Kemudian ada beberapa alasan terhalangnya si pembunuh dari hak kewarisan dari orang-orang yang dibunuhnya, antara lain:
1. Pembunuhan merupakan pemutus hubungan silaturrahmi yang merupakan salah satu penyebab adanya kewarisan. Dengan terputusnya sebab, maka terputus pulalah musabbab atau hukum yang menetapkan hak kewarisan.
2. Untuk mencegah seseorang yang sudah ditentukan akan menerima warisan untuk mempercepat proses berlakunya hak itu. Oleh karena itu ulama menetapkan suatu kaidah fiqih:
“Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka diganjar dengan tidak mendapatkan apa-apa”
3. Pembunuhan adalah suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan hak kewarisan adalah suatu nikmat. Maksiat tidak boleh digunakan untuk mendapat nikmat.
b. Macam-Macam Pembunuhan Yang Menyebabkan Terhalangnya Hak Waris
Setelah para fuqaha’ sepakat dalam menetapkan pembunuhan adalah penghalang menerima hak waris dari orang yang ia bunuh. Kemudian mereka memperselisihkan macam pembunuhan yang menjadi penghalang dalam mewarisi dan menerima harta warisan.
Menurut ulama-ulama aliran Hanafiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang memperoleh harta warisan ada dua macam yakni:
• Pembunuhan yang bersanksi qishash, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan menggunakan alat-alat yang dapat menghancurkan anggota badan, seperti kayu runcing, besi, pistol.
• Pembunuhan yang bersangsi kafarah, yaitu pembunuhan yang dituntut untuk menebus kelalaiannya dengan membebaskan seorang budak wanita islam atau menjalankan puasa dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersangsi kafarah mempunyai 3 (tiga) type, yaitu:
1. Pembunuhan mirip sengaja (syibhul ‘amdi), yaitu kesengajaan seseorang memukul orang lain dengan alat-alat yang tidak meyakinkan dapat menghabisi nyawa seseorang, seperti kayu kecil atau ranting pohon, tetapi mengakibatkan kematian
2. Pembunuhan silap (qatlul-khatha’i), yaitu pembunuhan yang dikarenakan silap, dan kesilapan dalam kasus ini ada dua jenis yaitu:
Silap maksud, misalnya seseorang melepaskan tembakan kepada bayang-bayang yang disangkanya seekor binatang yang ternyata adalah manusia.
Silap tindakan, misalnya seseorang memanjat pohon untuk mebersihkan dahan-dahan, tetapi sabit yang ia gunakan jatuh dan mengenai bapaknya yang berada di bawah pohon hingga meninggal.
3. Pembunuhan dianggap silap, misalnya seseorang yang sedang tidur nyenyak di atas tempat yang tinggi, kemudian tempatnya roboh dan mengenai orang yang berada di bawahnya hingga membawa kematian.
Sedangkan pembunuhan yang tidak manjadi penghalang dalam memperoleh harta warisan menurut Hanafiah ada 4 macam, yaitu:
1. Pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang menggali lubang di tengah jalan yang bukan miliknya. Kemudian keluarganya melewati jalan tersebut dan terpelosok ke dalam lubang hingga mengkibatkan kematian.
2. Pembunuhan karena hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan untuk qhishash, atau pembelaan diri dan kehormatan.
3. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, orang gila dan orang sinting.
4. Pembunuhan karena udzur, misalnya seseorang menyergap istrinya yang diketahui berbuat zina dengan orang lain, hingga membawa kematian.
Sedangkan menurut fuqaha’ Malikiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang seseorang untuk menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya adalah pembunuhan sengaja lagi permusuhan, baik secara langsung, seperti memukuli orang dengan sengaja dan menggunakan benda tajam maupun tidak langsung, seperti memberikan makanan yang beracun.
Dengan demikian, pembunuhan yang menjadi penghalang dalam memperoleh harta warisan menurut imam Malik tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh imam Hanafi, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja
2. Pembunuhan mirip sengaja dan
3. Pembunuhan tidak langsung.
Sedangkan pembunuhan yang tidak menjadi penghalang dalam mewarisi menurut Malikiah adalah:
1. Pembunuhan silap
2. Pembunuhan yang dilakukan oleh orna gyang tidak cakap bertindak
3. Pembunuhan yang bukan permusuhan (karena hak)
4. Pembunuhan karena udzur
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Hal ini dikarenakan para ulama syafi’iyah berpegang teguh pada ke-umum-an sabda Rasulullah s.a.w.:
Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai sedikitpun (Hadist riwayat an-Nasaiy)
Dan dikuatkan dengan suatu analisa yang menyatakan segalam macam pembunuhan itu memutuskan tali perwalian, yang justru perwalian tersebut menjadi dasar-dasar perwarisan.
Menurut fuqaha’ aliran Hanabilah, pembunuhan yang menghalangi seseorang menerima harta warisan adalah pembunuhan yang dibebani sangsi qishash, kafarah, diyah dan ganti rugi, seperti pembunuhan-pembunuhan:
1. Pembunuhan dengan sengaja
2. Pembunuhan mirip sengaja
3. Pembunuhan dianggap silap
4. Pembunuhan karena silap
5. Pembunuhan tidak langsung dan
6. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak.
Sedangkan pembunuhan yang tidak menjadi penghalang dalam menerima harta warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sangsi-sangsi tersebut. Seperti:
1. Untuk melaksanakan had atau qishash
2. Karena udzur.
2. Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berbedanya kerpercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Misalnya, yang mewarisi muslim, sementara orang yang bakal diwarisi harta warisannya adalah nasrani. Maka proses pewarisan di antara mereka tidak berlaku karena perbedaan agama.
Jumhur Ulama telah sepakat dan menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi orang islam berdasarkan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:
و عن أسامة بن زيد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لايرث المسلم الكافر ولايرث الكافر
المسلم متفق عليه
“Diriwayatkan dari Usaamah bin Zaid ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,“ orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”
Dan ditegaskan lagi dengan hadist Rasulullah yang berbunyi:
و عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يتوارث أهل ملَتين
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “ tidak saling mewarisi antara orang yang berbeda agama”.
Maksud dari kata أهل ملَتين yakni dua orang yang berlainan agama menurut mayoritas ulama adalah orang Islam dan kafir. Adapun orang kafir, boleh saja saling mewarisi di antara mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dan tidak ada yang berpendapat dengan keumuman hadits selain Al Auza’i yang menyatakan, “ Orang Yahudi tidak dapat mewarisi orang Nasrani dan sebaliknya. Demikian juga untuk seluruh penganut agama.”
Namun menurut Mu’adz, Mu’awiyah, Ibnu al-Musayyab dan an-Nakha’i bahwa perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang non-Muslim. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat mereka:
إنّ المسلم يرث الكافر و لا عكس كما يتزوج المسلم الكافرة و لا يتزوج الكافر المسلمة
“Sesungguhnya orang muslim dapat mewarisi harta seseorang ahli warisnya yang kafir, tetapi tidak sebaliknya seperti halnya seorang laki-laki muslim dapat mengawini wanita kafir sedangkan laki-laki kafir tidak boleh mengawini wanita muslim”.
Setelah ulama sepakat bahwa orang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi orang kafir dan sebaliknya, timbul suatu masalah, yakni bagaimanakah hukum seseorang yang yang masuk islam setelah pewaris mati sedangkan harta warisannya belum dibagikan.
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa ahli waris yang masuk Islam setelah pewaris meninggal bisa menerima harta warisan tersebut. Karena status kekafirannya sudah hilang sebelum pembagian harta warisan
Sedangkan Jumhur ulama menyatakan bahwa ia tetap terhalang untuk memperoleh harta warisan tersebut. Karena timbulnya hak mewarisi itu sejak kematian orang yang mewarisi, bukan pada saat dimulainya pembagian harta warisan. Dan jika pendapat pertama dijadikan pedoman, maka hal ini akan dapat disalah gunakan oleh ahli waris untuk masuk Islam karena ingin memperoleh harta warisan saja dan kemudian murtad kembali ke agamanya yang semula setelah maksudnya tercapai.
Kemudian sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, oleh sebab itu, orang murtad tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewariskan atau tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali ( mayoritas ulama), seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Karena orang yang telah murtad berarti telah keluar dari ajaran agama Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir, seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa antara orang muslim dan orang kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazdhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazdhab Hanafi sepakat mengatakan, “ ornag yang murtad dapat mewarisi yang muslim”. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shidiqi, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lainnya.
Macam-macam pembunuhan yang menjadi dan tidak menjadi penghalang dalam menerima harta warisan menurut para fuqaha’
Hanafiyah Malikiyah Syafi’iyah Hanabilah
Mawani’ul Irtsi a. Pembunuhan dangan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena silap
d. Pembunuhan dianggap silap a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan tak langsung Semua macam pembuuhan secara mutlak menjadi penghalang mewarisi a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena silap
d. Pembunuhan dianggap silap
e. Pembunuhan tak langsung
f. Pembunuhan yang dilakukan ghairu mukallaf
Ghairu Mawani’ul Irtsi a. Pembunuhan tak langsung
b. Pembunuhan karena hak
c. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf
d. Pembunuhan karena udzur
a. Pembunuhan karena silap
b. Pembunuhan dianggap silap
c. Pembunuhan karena hak
d. Pembunuhan yang dilakukan ghairu mukallaf
e. Pembunuhan karena udzur a. Pembunuhan karena hak
b. Pembunuhan karena udzur
BAB III
SIMPULAN
Mani’ul Irtsi adalah hal-hal yang bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya sebagai pihak yang akan mewarisi, padahal sudah ada sebab pihak-pihak yang akan mewariskan, seperti hubungan kerabat, hubungan pernikahan atau walaa.
Ada tiga penyebab mani’ul irtsi yang disepakati ulama yaitu pembunuhan dan perbedaan agama dan budak (hamba sahaya) dan semuanya ini di dasarpan pada beberapa hadist dari Rasulullah SAW. dan firman Allah.
Dari ketiga hal mawani’ul istsi di atas hanya pembunuhan dan perbedaan agama yang sering kita jumpai sedangkan mawani’ul irtsi yang disebabkan stasus budak atau hamba sahaya tidak dijumpai lagi, karena perbudakan sendiri telah dihapuskan dari muka bumi ini.
Para ulama dalam memahami macam-macam pembunuhan yang menyebabkan hilangnya hak wais berbeda-beda, ada ulama yang menyatakan pembunuhan yang menjadi penghalak hak waris hanya pembunuhan yang diberi sanksi qishash dan kafarah, ada yang menyatakan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja bahkan ada yang menyatakan seluruh jenis pembunuhan adalah mawani’ul irtsi tanpa terkecuali seperti pendapat imam Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Abu Umar. Warisan. Solo: Rumah Dzikir. 2006
Elakhalifah, Muhammad Thaha Abul. Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam. Solo: Tiga Serangkai. 2007
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.1999
Rachman, Falhur. Ilmu Waris. Bandung: Al Ma’arif. 1975
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, bandung: Sinar Baru Algensindo. 2007
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana. 2005
Syalibi, Muhammad Mushthafa. Ahkam al-Mawarist baina al-Fiqh wa al-Qanun. Beirut: Darun Nahdlah al-Arabiyah.1978
Usman, Suparman. Fiqih Mawaris. Jakarta: Gaya Media Pramata.1997
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada saat ini banyak kejadian yang kita temukan baik dari media tulis maupun elektronik berupa kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap orang tuanya untuk mendapatkan harta warisan orang tuanya. Begitu juga dengan kasus pernikahan dua insan yang berlainan agama.
Orang yang membunuh orang tuanya agar dapat memperoleh harta warisan orang tuanya denga cepat, sebetulnya telah mencelakakan dirinya. Karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa untuk memperoleh hak sebagai ahli waris, seseorang harus terbebas dari beberapa hal yang disebut dengan ‘penghalang–penghalang hak mewarisi” atau mawaani’ul irtsi.
Mawaani’ul irtsi atau penghalang hak mewarisi, didefinisikan oleh para ulama sebagai hal-hal yang bisa menghalangi seseorang mendapatkan haknya sebagai pihak yang akan mewarisi, padahal sudah ada sebab pihak-pihak yang akan mewariskan, seperti hubungan kerabat, hubungan pernikahan atau walaa.
Faktor ketidakketahuan dan keserakahan merupakan penyebab terjadinya hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan seorang muslim. Maka dari itu pemakalah tertarik untuk membahas beberapa penghalang ahli waris untuk memperoleh harta warisan dengan harapan kejadian-kejadian seperti yang penulis sebutkan tadi tidak terulang lagi.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan mawani’ul irtsi?
b. Apa saja yang termasuk dalam mawani’ul irtsi?
c. Apakah dasar-dasar hukum mawani’ul irtsi ?
d. Bagaimana pendapat para ulama mengenai akibat hukum dari mawani’ul irtsi itu?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian dari mawani’ul irtsi
b. Untuk mengetahui macam-macam mawani’ul irtsi
c. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum mawani’ul irtsi
d. Untuk mengetahui pendapat para ulama mengenai akibat hukum dari mawani’ul irtsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Berdasarkan ilmu faraidh, halangan kewarisan adalah hilangnya hak ahli waris untuk memperoleh harta warisan dari perwaris karena adanya hal-hal yang melarangnya menerima harta warisan. Para ahli waris yang kehilangan hak-hak mewarisi yang disebabkan adanya mawani’ul irtsi disebut mahrum dan halangannya disebut hirman.
Ada perbedaan yang mendasar antara mawani’ul irsti dengan hijab, ketika berbicara mawani’l irsti maka hilangnya hak memperoleh harta warisan disebabkan adanya sesuatu yang yang melarangnya memperoleh harta warisan, berbeda denga hijab yang mana si ahli waris tidak dapat memperoleh harta warisan karena adanya ahli waris yang lebih utama menerima harta warisan tersebut daripadanya.
B. Macam-Macam Penghalang Hak Waris
Ada beberapa kategori yang menyebabkan seseorang tidak dapat memberikan dan menerima harta warisan, sebagai mana berikut:
1. Budak (hamba sahaya), seorang hamba tidak dapat menerima harta warisan dari seluruh keluarganya yang meninggal dunia dan dia juga tidak dapat mewariskan hartanya kepada ahli warisnya selama ia masih berstarus hamba.
Firman Allah SWT:
• ( النحل : 75 )
“Seorang hamba sahaya (budak) tidak dapat bertindak terhadap sesuatu” (an-Nahl: 75)
2. Pembunuhan, seseorang yang membunuh keluarganya maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari keluarga yang ia bunuh.
Hadist Rasulullah SAW.
ليس لقاتل من الميراث شيئ (رزاه : الجماعة)
Yang membunuh tidak mewarisi sesuatu dari yang dibunuhnya (Hadist riwayat An-Nasai)
3. Berlainan agama, seorang yang beragama Islam tidak dapat menerima harta warisan dari keluarganaya yang non-muslim dan ia juaga tidak dapat mewarisi harta warisannya kepada keluarganya yang kafir (non-muslim).
Hadist Rasulullah SAW.
لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم (رواه : الجماعة)
“Orang islam itu tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang Islam” (Hadist riwayat al-Jama’ah)
Dari tiga kategori penghalang hak waris di atas, yakni hamba sahaya, pembunuhan, dan berlainan agama. Pada kesempatan kali ini pemakalah hanya ingin menjelaskan dua dari tiga penghalang tersebut, yaitu pembunuhan dan berlainan agama berhubung hamba sahaya pada saat ini tidak ada lagi dan telah dihapuskan.
1. Pembunuhan
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa orang yang membunuh dapat menghalangi si pembunuh untuk menerima harta warisan dari orang yang ia bunuh. Hanya fuqaha dari golongan khawarij yang membolehkan sipembunuh mendapat harta warisan dari orang yang ia bunuh dengan alasan bahwa ayat-ayat mawarist yang terkandung dalam al-Qur’an berlaku untuk umum dan ke-umum-an ayat tersebut harus diamalkan dan hadist Nabi tidak cukup kuat untuk membatasi keumuman al-Qur’an.
a. Dasar Hukum Terhalangnya Hak Waris Karena Pembunuhan.
Ada beberapa dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur ulama ketika menetapkan si pembunuh tidak dapat menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya, seperti hadist yang telah disebutkan pada pembahasan mancam-macam panghalang hak waris.
Selain itu ada juga hadist lain, seperti hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
“Barang siapa yang membunuh seseorang, maka ia tidak dapat mewarisinya walaupun sikorban tidak mempunyai pewaris selainnya dan jika sikorban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembinuh tidak berhak menirima harta pennigngalan. (Hadist riwayat Ahmad)
Dari Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi bersabda:
ليس لقاتل ميراث (رواه : مالك)
“seorang pembunuh tidak berhak memperoleh warisan” (HR: Malik)
Diriwayatkan oleh Baihawi dari Jabir bin Ziyad:
“Jika seorang pria membunuh pria lain atau wanita, baik sengaja maupun tidak, dia tidak memperoleh warisan sedikit pun siapa pun dia, jika seorang wanita membunuh pria lain atau wanita, baik sengaja maupun tidak, maka ia tidak memperoleh warisan sedikitpun, siapapun dia.”
Kemudian ada beberapa alasan terhalangnya si pembunuh dari hak kewarisan dari orang-orang yang dibunuhnya, antara lain:
1. Pembunuhan merupakan pemutus hubungan silaturrahmi yang merupakan salah satu penyebab adanya kewarisan. Dengan terputusnya sebab, maka terputus pulalah musabbab atau hukum yang menetapkan hak kewarisan.
2. Untuk mencegah seseorang yang sudah ditentukan akan menerima warisan untuk mempercepat proses berlakunya hak itu. Oleh karena itu ulama menetapkan suatu kaidah fiqih:
“Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka diganjar dengan tidak mendapatkan apa-apa”
3. Pembunuhan adalah suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan hak kewarisan adalah suatu nikmat. Maksiat tidak boleh digunakan untuk mendapat nikmat.
b. Macam-Macam Pembunuhan Yang Menyebabkan Terhalangnya Hak Waris
Setelah para fuqaha’ sepakat dalam menetapkan pembunuhan adalah penghalang menerima hak waris dari orang yang ia bunuh. Kemudian mereka memperselisihkan macam pembunuhan yang menjadi penghalang dalam mewarisi dan menerima harta warisan.
Menurut ulama-ulama aliran Hanafiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang memperoleh harta warisan ada dua macam yakni:
• Pembunuhan yang bersanksi qishash, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan menggunakan alat-alat yang dapat menghancurkan anggota badan, seperti kayu runcing, besi, pistol.
• Pembunuhan yang bersangsi kafarah, yaitu pembunuhan yang dituntut untuk menebus kelalaiannya dengan membebaskan seorang budak wanita islam atau menjalankan puasa dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersangsi kafarah mempunyai 3 (tiga) type, yaitu:
1. Pembunuhan mirip sengaja (syibhul ‘amdi), yaitu kesengajaan seseorang memukul orang lain dengan alat-alat yang tidak meyakinkan dapat menghabisi nyawa seseorang, seperti kayu kecil atau ranting pohon, tetapi mengakibatkan kematian
2. Pembunuhan silap (qatlul-khatha’i), yaitu pembunuhan yang dikarenakan silap, dan kesilapan dalam kasus ini ada dua jenis yaitu:
Silap maksud, misalnya seseorang melepaskan tembakan kepada bayang-bayang yang disangkanya seekor binatang yang ternyata adalah manusia.
Silap tindakan, misalnya seseorang memanjat pohon untuk mebersihkan dahan-dahan, tetapi sabit yang ia gunakan jatuh dan mengenai bapaknya yang berada di bawah pohon hingga meninggal.
3. Pembunuhan dianggap silap, misalnya seseorang yang sedang tidur nyenyak di atas tempat yang tinggi, kemudian tempatnya roboh dan mengenai orang yang berada di bawahnya hingga membawa kematian.
Sedangkan pembunuhan yang tidak manjadi penghalang dalam memperoleh harta warisan menurut Hanafiah ada 4 macam, yaitu:
1. Pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang menggali lubang di tengah jalan yang bukan miliknya. Kemudian keluarganya melewati jalan tersebut dan terpelosok ke dalam lubang hingga mengkibatkan kematian.
2. Pembunuhan karena hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan untuk qhishash, atau pembelaan diri dan kehormatan.
3. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa, orang gila dan orang sinting.
4. Pembunuhan karena udzur, misalnya seseorang menyergap istrinya yang diketahui berbuat zina dengan orang lain, hingga membawa kematian.
Sedangkan menurut fuqaha’ Malikiyah, pembunuhan yang menjadi penghalang seseorang untuk menerima harta warisan dari orang yang dibunuhnya adalah pembunuhan sengaja lagi permusuhan, baik secara langsung, seperti memukuli orang dengan sengaja dan menggunakan benda tajam maupun tidak langsung, seperti memberikan makanan yang beracun.
Dengan demikian, pembunuhan yang menjadi penghalang dalam memperoleh harta warisan menurut imam Malik tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh imam Hanafi, yaitu:
1. Pembunuhan sengaja
2. Pembunuhan mirip sengaja dan
3. Pembunuhan tidak langsung.
Sedangkan pembunuhan yang tidak menjadi penghalang dalam mewarisi menurut Malikiah adalah:
1. Pembunuhan silap
2. Pembunuhan yang dilakukan oleh orna gyang tidak cakap bertindak
3. Pembunuhan yang bukan permusuhan (karena hak)
4. Pembunuhan karena udzur
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya.
Hal ini dikarenakan para ulama syafi’iyah berpegang teguh pada ke-umum-an sabda Rasulullah s.a.w.:
Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai sedikitpun (Hadist riwayat an-Nasaiy)
Dan dikuatkan dengan suatu analisa yang menyatakan segalam macam pembunuhan itu memutuskan tali perwalian, yang justru perwalian tersebut menjadi dasar-dasar perwarisan.
Menurut fuqaha’ aliran Hanabilah, pembunuhan yang menghalangi seseorang menerima harta warisan adalah pembunuhan yang dibebani sangsi qishash, kafarah, diyah dan ganti rugi, seperti pembunuhan-pembunuhan:
1. Pembunuhan dengan sengaja
2. Pembunuhan mirip sengaja
3. Pembunuhan dianggap silap
4. Pembunuhan karena silap
5. Pembunuhan tidak langsung dan
6. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap bertindak.
Sedangkan pembunuhan yang tidak menjadi penghalang dalam menerima harta warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sangsi-sangsi tersebut. Seperti:
1. Untuk melaksanakan had atau qishash
2. Karena udzur.
2. Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan perbedaan agama adalah berbedanya kerpercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Misalnya, yang mewarisi muslim, sementara orang yang bakal diwarisi harta warisannya adalah nasrani. Maka proses pewarisan di antara mereka tidak berlaku karena perbedaan agama.
Jumhur Ulama telah sepakat dan menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi orang islam berdasarkan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:
و عن أسامة بن زيد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لايرث المسلم الكافر ولايرث الكافر
المسلم متفق عليه
“Diriwayatkan dari Usaamah bin Zaid ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,“ orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim”
Dan ditegaskan lagi dengan hadist Rasulullah yang berbunyi:
و عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يتوارث أهل ملَتين
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “ tidak saling mewarisi antara orang yang berbeda agama”.
Maksud dari kata أهل ملَتين yakni dua orang yang berlainan agama menurut mayoritas ulama adalah orang Islam dan kafir. Adapun orang kafir, boleh saja saling mewarisi di antara mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dan tidak ada yang berpendapat dengan keumuman hadits selain Al Auza’i yang menyatakan, “ Orang Yahudi tidak dapat mewarisi orang Nasrani dan sebaliknya. Demikian juga untuk seluruh penganut agama.”
Namun menurut Mu’adz, Mu’awiyah, Ibnu al-Musayyab dan an-Nakha’i bahwa perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang non-Muslim. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat mereka:
إنّ المسلم يرث الكافر و لا عكس كما يتزوج المسلم الكافرة و لا يتزوج الكافر المسلمة
“Sesungguhnya orang muslim dapat mewarisi harta seseorang ahli warisnya yang kafir, tetapi tidak sebaliknya seperti halnya seorang laki-laki muslim dapat mengawini wanita kafir sedangkan laki-laki kafir tidak boleh mengawini wanita muslim”.
Setelah ulama sepakat bahwa orang yang beragama Islam tidak dapat mewarisi orang kafir dan sebaliknya, timbul suatu masalah, yakni bagaimanakah hukum seseorang yang yang masuk islam setelah pewaris mati sedangkan harta warisannya belum dibagikan.
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa ahli waris yang masuk Islam setelah pewaris meninggal bisa menerima harta warisan tersebut. Karena status kekafirannya sudah hilang sebelum pembagian harta warisan
Sedangkan Jumhur ulama menyatakan bahwa ia tetap terhalang untuk memperoleh harta warisan tersebut. Karena timbulnya hak mewarisi itu sejak kematian orang yang mewarisi, bukan pada saat dimulainya pembagian harta warisan. Dan jika pendapat pertama dijadikan pedoman, maka hal ini akan dapat disalah gunakan oleh ahli waris untuk masuk Islam karena ingin memperoleh harta warisan saja dan kemudian murtad kembali ke agamanya yang semula setelah maksudnya tercapai.
Kemudian sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, oleh sebab itu, orang murtad tidak dapat mewarisi harta seorang muslim.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewariskan atau tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali ( mayoritas ulama), seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Karena orang yang telah murtad berarti telah keluar dari ajaran agama Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir, seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya bahwa antara orang muslim dan orang kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazdhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazdhab Hanafi sepakat mengatakan, “ ornag yang murtad dapat mewarisi yang muslim”. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shidiqi, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lainnya.
Macam-macam pembunuhan yang menjadi dan tidak menjadi penghalang dalam menerima harta warisan menurut para fuqaha’
Hanafiyah Malikiyah Syafi’iyah Hanabilah
Mawani’ul Irtsi a. Pembunuhan dangan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena silap
d. Pembunuhan dianggap silap a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan tak langsung Semua macam pembuuhan secara mutlak menjadi penghalang mewarisi a. Pembunuhan dengan sengaja
b. Pembunuhan mirip sengaja
c. Pembunuhan karena silap
d. Pembunuhan dianggap silap
e. Pembunuhan tak langsung
f. Pembunuhan yang dilakukan ghairu mukallaf
Ghairu Mawani’ul Irtsi a. Pembunuhan tak langsung
b. Pembunuhan karena hak
c. Pembunuhan yang dilakukan oleh ghairu mukallaf
d. Pembunuhan karena udzur
a. Pembunuhan karena silap
b. Pembunuhan dianggap silap
c. Pembunuhan karena hak
d. Pembunuhan yang dilakukan ghairu mukallaf
e. Pembunuhan karena udzur a. Pembunuhan karena hak
b. Pembunuhan karena udzur
BAB III
SIMPULAN
Mani’ul Irtsi adalah hal-hal yang bisa menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya sebagai pihak yang akan mewarisi, padahal sudah ada sebab pihak-pihak yang akan mewariskan, seperti hubungan kerabat, hubungan pernikahan atau walaa.
Ada tiga penyebab mani’ul irtsi yang disepakati ulama yaitu pembunuhan dan perbedaan agama dan budak (hamba sahaya) dan semuanya ini di dasarpan pada beberapa hadist dari Rasulullah SAW. dan firman Allah.
Dari ketiga hal mawani’ul istsi di atas hanya pembunuhan dan perbedaan agama yang sering kita jumpai sedangkan mawani’ul irtsi yang disebabkan stasus budak atau hamba sahaya tidak dijumpai lagi, karena perbudakan sendiri telah dihapuskan dari muka bumi ini.
Para ulama dalam memahami macam-macam pembunuhan yang menyebabkan hilangnya hak wais berbeda-beda, ada ulama yang menyatakan pembunuhan yang menjadi penghalak hak waris hanya pembunuhan yang diberi sanksi qishash dan kafarah, ada yang menyatakan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja bahkan ada yang menyatakan seluruh jenis pembunuhan adalah mawani’ul irtsi tanpa terkecuali seperti pendapat imam Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Abu Umar. Warisan. Solo: Rumah Dzikir. 2006
Elakhalifah, Muhammad Thaha Abul. Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam. Solo: Tiga Serangkai. 2007
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.1999
Rachman, Falhur. Ilmu Waris. Bandung: Al Ma’arif. 1975
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, bandung: Sinar Baru Algensindo. 2007
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana. 2005
Syalibi, Muhammad Mushthafa. Ahkam al-Mawarist baina al-Fiqh wa al-Qanun. Beirut: Darun Nahdlah al-Arabiyah.1978
Usman, Suparman. Fiqih Mawaris. Jakarta: Gaya Media Pramata.1997
No comments:
Post a Comment