A. Hadits Utama
Hadits tentang hak dan kewajiban suami istri jumlahnya sangat banyak, baik sebagai penafsiran dari ayat 34 surat An Nisa, maupun hadits yang secara detail merinci hak dan kewajiban suami istri. Adapun hadits yang menjadi bahasan pokok dalam pembahasan ini diambil dari kitab Sunan Ibn Majjah yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ شَبِيبِ بْنِ غَرْقَدَةَ الْبَارِقِيِّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ حَدَّثَنِي أَبِي, أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ أَلَا وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Hendaklah kalian berwasiat baik-baik kepada perempuan. Karena mereka ini ibarat tawanan di tanganmu. Kamu tidak berkuasa kepada mereka sedikitpun lebih dari itu, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka berbuat demikian, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah dengan pukulan yang tidak keras. Jika mereka taat kepada kalian, maka janganlah mencari-cari alasan (kesalahan) terhadap mereka. Sesungguhnya kalian punya hak terhadap istri-istri kalian, dan mereka punya hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah, mereka tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke dalam rumah. Dan hak mereka kepada kalian adalah, kalian memberi pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik.” (Riwayat Ibn Majah dan At Tirmidzi)
B. Hadits Pendukung
Hadits pendukung dimaksudkan sebagai penguat, pembanding, atau penjelas bagi hadits utama, sehingga darinya dapat ditemukan perbandingan antar-hadits meski dengan redaksi dan maksud yang serupa. Berikut adalah hadits-hadits pendukung:
Hadist 1: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Tidak ada yang lebih baik di dunia ini bagi seorang muslim setelah menyembah Allah, selain mendapatkan istri yang shaleh, cantik apabila dipandang, patuh apabila diperintah, memenuhi sumpah pernikahan, menjaga dirinya dan kekayaan suami di saat suami pergi, mengasuh anak-anaknya, tidak membiarkan orang lain masuk ke rumah tanpa ijin suami, dan tidak menolak apabila suami memanggil ke tempat tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 2: Seorang perempuan datang memohon nasehat pada Nabi Muhammad SAW. Nabi menanyakan apakah dia memiliki suami, dan perempuan itu mengiyakan. Kemudian Nabi menanyakan apakah dia melayani suaminya. Perempuan itu menjawab dia melakukan apa yang bisa dia lakukan. Kemudian Nabi bersabda pada perempuan tersebut: “Engkau sama dekatnya dengan Surga dan sama jauhnya dari Neraka sebagaimana dekatnya engkau dalam melayani suamimu”, dan dalam riwayat lain “suamimu adalah Surgamu atau Nerakamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 3: Ummu Salamah ra. (Istri Nabi) meriwayatkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Seorang perempuan, yang ditinggal mati suami dan sang suami tersebut senang padanya, akan masuk Surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 4: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk menyembah yang lain, aku akan memerintahkan istri untuk menyembah suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 5: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Seorang perempuan tidak patuh pada suaminya dan dia tidak akan mampu tanpa suaminya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 6: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Seorang perempuan yang menegakkan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan mematuhi suaminya akan memasuki Surga melalui pintu mana saja dia suka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 7: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Demi Dia yang berkuasa pada hidupku, ketika sang suami memanggil istrinya ke tempat tidur dan dia menolaknya, Dia yang di Surga akan murka padanya sampai suaminya senang akan dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 8: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Ketika seorang perempuan melalui malam dengan meninggalkan suami di tempat tidur, para malaikat akan mengutuknya sampai pagi hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist 9: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Yang terbaik diantara para perempuan adalah yang mengasihi, mengasuh anak, supportif dan patuh, dan yang terburuk diantara perempuan adalah yang suka mengenakan perhiasan dan egois, dan masuk surganya tidak lebih mungkin dari seekor gagak putih”. (HR. Bukhari dan Muslim). Gagak berwarna putih, tidak seperti yang berwarna hitam, sekalipun ada tapi sangat jarang muncul di alam; sama jarangnya dengan kemungkinan perempuan sombong yang suka mengenakan perhiasan untuk bisa masuk surga.
Hadist 10: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Pilihlah keturunanmu.” Artinya, orang tua perlu memerhatikan kriteria moral dalam memilih calon istri atau suami untuk anak laki-laki dan perempuannya, dengan memeriksa orang tua dari pasangan anak mereka nanti. Jika orang tuanya alim, tentunya anaknya juga demikian, dan demikian pula sebaliknya. (HR. Bukhari dan Muslim)
C. Kata Kunci Mufrodat/ Kata Kunci
- اسْتَوْصُوا : أُوصِيكُمْ بِهِنَّ خَيْرًا فَاقْبَلُوا وَصِيَّتِي . maksudnya adalah perintah menerima wasiat Nabi Muhammad yang berupa berbuat baik kepada istri.
- مُبَيِّنَةٍ بِفَاحِشَةٍ : diartikan sebagai suatu tindakan penyelewengan si istri terhadap suaminya yang berupa nusyuz, perilaku yang buruk maupun menyakiti hati suami.
- الْمَضَاجِعِ فِي فَاهْجُرُوهُنّ : perintah meninggalkan istri disini dimaknai dengan tidak menggauli mereka.
- سَبِيلًا : dimaksudkan sebagai celah-celah untuk mencari kesalahan-kesalahan istri.
- فُرُشَكُمْ يُوَطِّئَنّ فَلَا َ : maksudnya larangan istri untuk memasukkan orang laki-laki yang dibenci kehadirannya oleh suami di rumah
D. Status Hadits
Untuk menentukan derajat keshahihan suatu hadits diperlukan suatu langkah sistematis (takhrij) yang diawali dengan penelitian tentang silsilah sanad, keadilan dan kedlabitan rawi, terhindar dari syadz dan ‘illah. Dalam rangka menemukan kesinambungan sanad tersebut perlu diketahui terlebih dahulu tentang biografi perawi berupa tanggal lahir dan wafatnya rawi, kredibilitas serta hubungan masing-masing perawi satu sama lain (hubungan guru-muridkah atau bukan?). Berikut adalah biografi singkat para perawi hadits:
1. Nama : Muhammad bin Yazid Abu Abdillah Ibn Majjah Al-Hafidz (pengarang kitab Sunan Ibnu Majjah).
Lahir : tahun 209 Hijriyah
Wafat : tahun 273 hijriyah
Guru : Abdullah bin Muhammad bin Ibrohim
Murid : Ishaq bin Muhammad Al-Qazwaini, Abu Thayyib AhmAd bin Ruh Al-Baghdadi dll
Kredibilitasnya menurut Ibn Hajjar adalah salah seorang Imam dan seorang yang Hafidz (hafal hadits)
2. Nama : Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim (Abu Bakr bin Abi Syaibah)
Martabat : tabaqah ke 10 (Tubba’ul Atba’)
Guru : Ja’far bin Aun, Hatim bin Ismail, Husein bin Ali al-Ja’fi dll.
Murid : Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majjah dll.
Wafat : Tahun 235 H.
Kredibilitasnya menurut Ibn Hajjar adalah Tsiqah
3. Nama : Al Husein bin Ali Al Ja’fi (Abu Muhammad)
Martabat : tabaqah ke 9 (Atba’ut Tabi’in)
Guru : Abu Musa Isra’il bin Musa Al Bashari, Ja’far bin Burqan, Zaidah bin Qudamah dll.
Murid : Abu Bakar bin Abi Syaibah dll.
Wafat : Tahun 203 H.
Kredibilitas menurut ibnu Hajjar adalah Tsiqah
4. Nama : Zaidah bin Qudamah Ats-Tsaqafiy
Martabat : tabaqah ke 7 (Atba’ut Tabi’in)
Guru : Syabib bin Gharqah, Syaiban bin Abdirrahman, dll.
Murid : Husein bin Ali al-Ja’fiy, Hasan bin Musa dll.
Wafat : Tahun 160 H.
Kredibilitas menurut Ibn Hajjar adalah Tsiqah
5. Nama : Syabib bin Gharqah As-Silmiy
Martabat : tabaqah ke 4 (Tabi’in)
Guru : Sulaiman bin Amr bin Ahwash, Salmah bin Hartsamah al-Kuffi, dll.
Murid : Zaidah bin Qudamah, Sufyan Ats-Tsauri dll.
Kredibilitas menurut Ibn Hajjar adalah Tsiqah
6. Nama : Sulaiman bin Amr bin Ahwash
Martabat : tabaqah ke 3 (Tabi’in)
Guru : Amr bin Ahwash (ayahnya), Abi Hilal dll.
Murid : Syabib bin Gharqah As-Silmiy dll.
Kredibilitas menurut Ibn Hajjar adalah Maqbul
Kredibilitas menurut Adz-Dzahabiy adalah Tsiqah
7. Nama : Amr bin Ahwash Al-Jasymiy(Al-Anshariy)
Martabat : tabaqah ke 1 (Shahabat)
Guru : Nabi Muhammad SAW.
Murid : Sulaiman bin Amr bin Ahwash.
Kredibilitas menurut Ibn Hajjar adalah Shahabiy
Kredibilitas menurut Adz-Dzahabiy adalah Shahabiy
Berdasarkan penelitian biografi di atas sekiranya dapat disimpulkan bahwa status hadits ini secara sanad adalah shahih.
E. Kandungan Hukum
Hadits dari Amru ibn Al Ahwash di atas memberikan penjelasan bahwa di dalam rumah tangga, baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban. Hak bagi suami merupakan kewajiban bagi istri. Sedangkan hak bagi istri adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh suami terhadap terhadap istri.
Dalam menafsiri redaksi hadits utama di atas, di dalam kitab “Hashiyah As-Sanadi Ala Ibni Majjah” diterangkan bahwa kata خَيْرًا بِالنِّسَاءِ اِسْتَوْصُوا di sini berasal dari الِاسْتِيصَاء yang dalam redaksi di hadits tersebut diartikan أُوصِيكُمْ بِهِنَّ خَيْرًا فَاقْبَلُوا وَصِيَّتِي, yaitu perintah untuk menerima wasiat dari Nabi Muhammad yang berupa berlaku baik pada istri, dengan cara memenuhi semua hak-haknya dan sabar atas segala keburukan budi pekertinya.
Sedangkan dalam penafsiran kata مُبَيِّنَةٍ فَاحِشَة disini penulis lebih cenderung kepada pendapat ulama yang mengartikannya sebatas pada tindakan penyelewengan istri terhadap suami seperti nusyuz, perilaku yang tidak baik ataupun menyakiti hati suami. Dalam masalah ini, kata tersebut tidak diartikan zina sebagaimana kebiasaan pendapat kebanyakan ulama menafsiri kata ini karena jika diartikan demikian maka hal itu tidak sesuai dengan runtutan masalah yang terkandung dalam hadits tersebut. Di dalam runtutan hadits tersebut diterangkan bahwa jika melakukan مُبَيِّنَةٍ ِفَاحِشَة maka konsekuensinya adalah dipukul dengan ringan. Dan ضَرْبًا غَيْر مُبَرِّح itu sendiri merupakan penafsiran dari ayat وَاَللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزهن. Sehingga مُبَيِّنَةٍ ِفَاحِشَة diartikan sebagai nusyuz seorang istri terhadap suami.
Pada dasarnya, Istri dalam berumah tangga harus secara total mematuhi suaminya dalam hal memenuhi kewajibannya yang menjadi hak suaminya. Bahkan menurut hadits dari Aisyah dikatakan bahwa nabi Muhammad pernah bersabda :
“لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَلَ”
“Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk menyembah yang lain, aku akan memerintahkan istri untuk menyembah suaminya. Dan jika seandainya seorang suami memerintah istrinya untuk berpindah dari gunung merah ke gunung hitam atau sebaliknya dari gunung hitam ke gunung merah, maka ia wajib untuk melaksanakannya.”
Secara implisit, hadits di atas mengharuskan bagi para istri untuk patuh dan memenuhi kewajibannya kepada para suami mereka meskipun itu berat. Dengan catatan, bahwa perintah yang disampaikan oleh suami tidak melanggar ketentuan-ketentuan agama. Karena dalam hadits lain dikatakan :
"لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق"
“ Tidak diperbolehkan taat bagi makhluk dalam kema’shiyatan terhadap Sang Khaliq”
Menurut penulis, Meskipun suami mempunyai kewenangan untuk dipatuhi oleh sang istri, akan tetapi suami tidak boleh sewenang-wenang menyuruh dan melarang istri untuk melakukan suatu kegiatan seperti menunaikan suatu ibadah ataupun bergaul dengan masyarakat. Karena Istri pun disamping mempunyai kewajiban yang harus dijalankan, juga mempunyai beberapa kebebasan yang bisa dikategorikan tidak boleh dilarang oleh suaminya, apalagi jika berkenaan dengan keinginan istri untuk menjalankan suatu ibadah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Imam Bukhori yang menerangkan bahwa Nabi pernah bersabda :
« إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا »
” Jika Istri salah satu di antara kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah diantara kalian melarangnya”
Dari hadits ini penulis mempunyai kesimpulan bahwa setiap kegiatan si istri untuk melakukan aktifitas apapun, baik itu berkaitan dengan ibadah maupun bergaul dengan masyarakat ataupun juga hal-hal lain, seorang istri harus terlebih dulu minta izin terhadap suami. Hal ini ditujukan agar istri tetap di bawah pengawasan sang suami, karena sebagaimana telah diketahui bahwa di antara kewajiban suami adalah bertanggung jawab penuh terhadap istri dan keluarganya.
Mengenai kewajiban istri untuk meminta izin terhadap suami dalam menjalankan segala aktifitasnya juga penulis peroleh dari keterangan hadits lain yang disampaikan bahwa sekalipun seorang istri hendak menjalankan ibadah puasa, maka tetap harus mendapatkan izin dari suaminya. Jika suami mengizinkan maka istri diperbolehkan berpuasa, akan tetapi jika suami melarangnya maka istripun juga harus mematuhinya. Hal ini tentu jika alasan suami melarang istri berpuasa harus didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Adapun salah satu contoh kewajiban istri yang merupakan hak suami adalah seperti yang dijelaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi di atas:
فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلَا يُوَطِّئَنَّ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ
“Hak kalian terhadap mereka adalah, mereka tidak boleh memasukkan orang yang kalian benci ke dalam rumah (kecuali dengan izinnya).”
Mengenai larangan memasukkan orang yang dibenci selain ada izin dari suami adalah karena dikhawatirkan istri tidak bisa menjaga harta suami dan kehormatannya. Sedangkan, menjaga harta suami dan kehormatan diri adalah hak suami dan menjadi kewajiban istri.
Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi di atas, juga menjelaskan mengenai hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh suami, yaitu memberi makan dan pakain yang layak. Mengenai hal ini, Rosullah SAW menjelaskannya dalam hadits yang lain :
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ قَالَ أَنْ يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلَا يَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا يُقَبِّحْ وَلَا يَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“ Sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Rosululah SAW, apa yang menjadi hak istri atas suaminya? Nabi menjawab: “Hendaknya suami memberinya makan jika ia makan, memberi pakaian jika ia berpakaian, tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkan, dan tidak meninggalkannya kecuali dirumah.”
Kaitannya dengan kewajiban suami terhadap istri, Nabi pernah bersabda dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :
والرجال راع فى اهله, وهو مسؤل عن رعيته ( اخرجه البخارى و مسلم )
“Dan seorang laki-laki (suami/ayah) adalah penanggungjawab keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya atsa kepemimpinannya. (H.R. Bukhori Muslim)”
Dalam menyampaikan hadits ini, Nabi bermaksud menegaskan surat An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
•
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar “.
Dari keterangan hadits dan ayat di atas jelas terlihat bahwa tanggung jawab nafkah istri dan keluarga dibebankan kepada seorang suami.
Kewajiban suami, selain memenuhi hak-hak istri yang bersifat maliyah¸ juga memenuhi hak istri yang bersifat ghoir maliyah seperti menggauli istri dengan baik. Dalam hal ini penulis mempunyai pandangan bahwa ketika di dalam hadits dikatakan bahwa istri harus memenuhi kebutuhan biologis suami, begitu juga sang suami harus memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Ketika istri menghendakinya, maka jika tidak ada halangan suami harus memenuhi permintaan istri.
F. Kesimpulan
Dari beberapa keterangan di atas, penulis berpandangan bahwa baik suami maupun istri, keduanya saling mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diterima antara satu pihak dengan pihak yang lain. Adakalanya hak dan kewajiban itu untuk istri saja ataupun untuk suami saja, dan adakalanya hak dan kewajiban tersebut sama-sama dimiliki oleh kedua belah pihak. Di antara hak yang harus diterima oleh istri adalah sandang pangan dari suami, dan hak suami dari si istri diantaranya adalah dipenuhinya perintah/permintaan suami oleh istri. Sedangkan hak dan kewajiban antara keduanya yang harus saling memenuhi antara satu dengan yang lain adalah dipenuhinya kebutuhan biologis antara kedua belah pihak.
Terkait masalah dominasi kekuasaan antara hak dan kewajiban pihak laki-laki dan permpuan dalam keluarga yang lebih didominasi oleh kaum lelaki menuai kritik tajam dari sejumlah pemikir kontemporer yang mengedepakan asas kesamaan stratifikasi antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana terkandung dalam banyak hadits tentang hak dan kewajiban istri seperti hadits tentang penolakan istri untuk berhubungan dengan suami yang berdampak pada dosa bagi istri, meskipun misalnya siangnya ia puasa dan beribadah, serta hadits tentang begitu besarnya hak suami mengatur istri sampai ketika ayahnya meninggalpun jika suami tidak mengizinkan maka tidak boleh ta’ziyah, dan banyak hadits lain tentang dominasi hak suami, menunjukkan betapa terperangkap dalam genggaman suami . Pemikiran inilah yang menyebabkan kritikan dari para aktifis gender dan tokoh modernis terus mengalir.
Dari pemaparan masalah di atas, penulis mempunyai pemikiran bahwa pada dasarnya aturan tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh Islam melalui Al-Quran maupun Hadits merupakan aturan-aturan yang didasarkan pada kondisi sosial dan biologis kedua makhluk tersebut. Sehingga seorang perempuan yang tercipta dalam kondisi fisik yang tidak sekuat laki-laki dan terbatasnya kemampuan untuk bersosialisasi menjadikannya seolah-olah sangat terbatas dalam melakukan suatu kegiatan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika perempuan memiliki kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki akan dapat melakukan seluruh kegiatannya menjadi lebih mudah. Oleh karena itu, perbedaan perspektif tentang hal ini adalah suatu kewajaran yang diperkirakan akan selalu menuai terjadinya kontrofersi.
No comments:
Post a Comment