PEMBAHASAN
A. WASIAT
Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti: menjadikan, menaruh belasan kasihan, berpesan, menyambung, memerintahkan, mewajibkan .
Secara etimologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' . Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang me nyatakan wasit tersebut. Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Miliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia . Dan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf b).
Sehubungan dengan pengertian dan kedudukan wasiat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, sehingga menimbulkan beberapa problema hukum dan bersinggungan dengan hukum kewarisan Islam yang memerlukan solusi penyelesaiannya, maka di sini akan mencoba membahas tentang beberapa masalah hukum tentang wasiat tersebut dan permasalahannya, terutama yang berhubungan dengan ahli warisnya.
a. Orang Yang Menerima Wasiat
Diantara syarat-syarat orang yang akan menerima wasiat ialah, bukanlah pada ahli waris. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Syaf'i, dan Hambali. Dasar hukum yang ditunjukkan oleh hadis Rasulullah yang menegaskan "tidak ada wasiat bagi ahli waris"(H.R. Tirmizi). Pertimbangan mengapa wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris mudah dipahami, karena wasiat dalam fungsi sosialnya dimaksudkan untuk memberikan kelapangan kepada kerabat dekat yang tidak termasuk ke dalam jumlah ahli waris yang mendapat pembagian harta peninggalannya, untuk membantu kaum dhuafa', fakir miskin, atau untuk memberi sumbangan kepada sarana ibadah atau pendidikan . Tidak semua kerabat mendapat harta warisan, dan tidak semua mereka hidup lapang. Diantara mereka ada yang terhijab oleh kerabat yang lebih dekat, dan ada pula semacam kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapat warisan disamping banyak sarana ibadah atau pendidikan yang memerlukan dana dari yang punya harta. Tujuan seperti itu akan sulit dicapai bilamana wasiat ditujukan kepada ahli waris. Di sisi lain, berwasiat kepada ahli waris bisa menimbulkan silang sengketa diantar ahli waris itu sendiri. Pihak ahli waris yang mendapat harta wasiat merasa diutamakan, sedangkan pihak yang tidak mendapat wasiat merasa dianaktirikan. Membeda-bedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain dalam pemberian, terlarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: "Samakanlah pemberian diantara anak-anak kamu" (H.R. Bukhari). Mewasiatkan harta kepada sebagian anak berarti membuka kemungkinan silang sengketa diantara mereka.
Berwasiat kepada ahli waris tidaklah dibenarkan, kecuali atas persetujuan ahli waris yang lain, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Daruquthni. Ketentuan hadis itu dipegang oleh Imam Abu Hanifah, syafi'I dan Ahmad bin Hambal. Kesimpulan ini adalah didasarkan bahwa tidak bolehnya berwasiat kepada ahli waris karena menimbang hak dan perasaan hati ahli waris yang lain. Oleh sebab itu, jika ahli waris yang lain itu menyetujuinya, maka wasiat itu dibolehkan. Berbeda pendapat diatas, kalangan Malikiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan ahli waris yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia. Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah, agar harta tidak bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada hal-hal lain yagn membutuhkannya . Andaikan ahli waris menyetujuinya juga, begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat tertentu sebagai mana lazimnya hibah.
Bilamana berpegang kepada pendapat yang pertama tadi, yaitu wasiat kepada ahli waris dibolehkan dengan syarat persetujuan ahli waris yang lain, maka jika sebagian ahli waris menyetujui sedangkan sebagian lain tidak menyetujuinya, dalam ketentuan fikih, wasiat itu dianggap sah pada kadar hak ahli waris yang menyetujuinya, dan tidak sah pada kadar hak ahli waris yang tidak menyetujuinya.
Pendapat yang melarang berwasiat kepada ahli waris adalah pendapat mayoritas ulama' Syafi'iyah, Hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah. Berbeda dengan itu, kalangan Syi'ah Imamiyah dan sebagian dari kalangan Syi'ah Zaidiyah membolehkan wasiat kepada ahli waris, tanpa persetujuan ahli waris yang lain. Pendapat ini berlandaskan: kepada ayat 180 surat Al-Baqarah yang artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa" .
Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat diatas sudah dinasakh (dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakh hanya hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris .
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris menurut mereka dengan beberapa pertimbangan, antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah banyak mengurus dan mengabdi kepada orang tuannya di masa keduanya masih hidup. Untuk hal yang seperti ini adalah wajar mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping pembagian warisan yang akan diterimanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara ahli waris yang hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat mempertimbangkan sebelum wafat mewasiatkan sebagian hartanya untuk anaknya itu.
b. Jumlah Harta Yang Boleh Diwasiatkan
Demi kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, seseorang hanya berhak mewasiatkan sebagian kecil dari harta kekayaannya. Hal ini dimaksudkan, agar wasiat tidak menjurus kepada malapetaka bagi ahli waris yang ditinggalkan. Kadar sepertiga harta, dan hanya sekedar itu yang boleh diwasiatkan, adalah hak bagi seseorang yang akan menemui ajalnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah diceritakan, Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi saw pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. Hadis tersebut secara tegas melarang wasiat lebih dari sepertiga harta, dan sepertiga itu sudah dianggap banyak. Artinya dalam kondisi tertentu, berwasiat kurang dari sepertiga harta, dianggap lebih baik, sehingga dengan itu tidak mengurangi kelapangan ahli waris yang ditinggalkan. Ke simpulan tersebut sejalan dengan pendapat Abi Ishaq Asy-Syirazi dalam kitabnya Al-Mhazzab. Menurutnya, bilamana ahli waris hidup tidak lapang, jika seseorang mau berwasiat hendaknya kurang dari sepertiga hartanya. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa berwasiat sepertiga harta itu sudah dianggap banyak (H.R. Bukhari).
Adanya pembatasan dimaksudkan demi menjaga kepentingan ahli waris, maka wasiat lebih dari bsepertiga diakui jika ahli waris itu mneyetujuinya. Perbedaan pendapat terjadi terjadi dalam hal seseorang tidak mempunyai ahli waris. Menurut Abu Hanifah, mengacu pada pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud, bahwa dalam kondisi demikian seseorang boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga bahkan seluruh hartanya. Baitulmal baru berhak, bilamana yang punya harta tidak mewasiatkan seluruhnya. Berbeda dengan itu, pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta tetap berlaku ketika seseorang tidak mempunyai ahli waris. Seperti yang dinukil oleh Sayyid Sabiq , kesimpulan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama'. Menurut pandangan ini, harta yang duapertiga lagi adalah mutlak milik Baitulmal, untuk disalurkan kepada kepentingan umum.
c. Wasiat Wajibah
Tentang kewajiban wasiat wajibah diambil dari pendapatnya fuqoha dan Tabi'in besar ulama fikih dan ahli hadis, antara lain Said Ibnu Al-Musyyah, Hasan Al-Basyri, tawus, Ahmad, Ishaq Ibnu Rawaih, dan Ibnu Hazm. Pada dasarnya memberiakn wsasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagimana juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Adapaun kewajiban wasiat bagi seseorang disebabkan keteledoran dalam memenuhi hak-hak Allah SWT. Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan puasa dan lain sebagainya telah diwajibkan oleh syari'at sendiri, bukan oleh penguasa atau hakim .
Namun demikian penguasa mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat/ wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena dua hal:
1. hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan fpersetujuan si penerima wasiat.
2. ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 kali lipat bagian perempuan.
Adapun orang-orang yang berhak mendapat wasiat adalah cucu laki-laki atau perempuan baik pancer laki-laki atau perempuan yang terhalang mendapat warisan karena adanya anak si mayyit terlebih dahulu meninggal dunia.
Sedang besarnya wasiat wajibah adalah 1/3 harta peninggalan, tidak boleh lebih.
B. HIBAH
1. Pengertian Dan Ketentuan-Ketentuan Hibah
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak "pemberian" baik berupa harta benda ataupun yang lainnya. Menurut istilah syara' ialah: "Memberikan hak memiliki sesuatu kepada orang lain dengan tanpa imbalan" . Dan menurut para ulama adalah:
a) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu ada;ah sah milik si pemberi (menurut Mazhab Hanafi).
b) Memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan/ganti. Pemberian mana semata-mata hanya di peruntukan kepada orang yang diberi (Mauhublah). Artinya si pemberi hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut Mazhab Maliki ini sama dengan Hadiah. Apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan dapat pahala-Nya menurut mazhab ini dinamakan sedekah (Sadaqah).
c) Memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian mana tidak bersifat wajib dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan, (menurut Mazhab Hambali).
d) Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan Ijab dan Kabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya (menurut Madzhab Syafi'i).
Hal-hal yang berkaitan dengan ahli waris beragam masalah, diantaranya:
a. Tetang Penghibahan Seluruh Harta
Sayyid sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat bahwa se3sweorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya . tetapi Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik madhab Hanafi mengatakan tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas ahli hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, ,menurut Imam Malik dan ahli zhahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh. Sehubungan dengan tindakan Rasulullah SAW terhadap kaum Nukman Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadis lain yang reaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.
b. Hibah Pada Waktu Sakit
hibah yang dilakukan orang sakit dalam kondisi yang k\menghawatirkan (kronis) yang kemudian meninggal, menurut jumhur hanya sah untuk sepertiganya, hal ini dikiaskan dengan masalah wasiat. Berdasarkan hadis Imran bin Husain, "Diberitakan bahwa ada orang sakit sewaktu ia akan meninggal memerdekakan enam orang sahaya. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan kemerdekakan sepertiganya saja yaitu dua orang.
c. Hibah Umra'
Hibah 'Umra ini bermula seorang sahabat memberi rumah kepada sahabatnya yang lain selama sahabat itu masih hidup. Menurut Imam Maliki, mauhublah (penerima hibah) hanya berhak manfaat atas rumah atau benda itu selama hidupnya. Bila mauhublah itu meninggal dunia maka rumah atau benda yang dihibahkan itu kembali kepada wahib (pemberi hibah). Alasan hukumannya ialah hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bersabda Rasulullah SAW apabila seseorang berkata: "ini untukmu selama kami masih hidup", maka berlakulah selama hidup itu. Terhadap hal tersebut imam Syafi'I, Abu Hanifah, Atsauri, Ahmad dan segolongan fuqoha mengatakan bahwa 'Umra merupakan yang terputus sama sekali dan hibah tersebut merupakan hibah terhadap pokok barangnya (ar-roqobah). Sehubungan dengan ini, pengambilan hibah setelah orang yang diberi hibah itu meninggal dunia merupakan tindakan batil. Hibah yang diberikan itu merupakan pemberian yang permanen, baik dikala ia masih hidup dan dikala ia meninggal dunia. Jika meninggal terlebih dahulu, maka barang yang dihibahkan itu dapat diwariskan kepada ahli warisnya dan jika orang yang menerima hibah itu tidak ada ahli warisnya maka barang yang dihibahkan itu diserahkan kepada baitul mal dan tidak dikembalikan dan tidak dikembalikan kepada orang yang memberi hibah walaupun sedikit. Pendapat ini didasarkan pada hadis dari Urwah bahwa nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa barang-barang yang dihibahkan secara 'umra adalah untuk si penerima hibah dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Hadis yang serupa ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, At-Tirmidhi, An-Nasa'I dan Ibnu Majah .
A. WASIAT
Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti: menjadikan, menaruh belasan kasihan, berpesan, menyambung, memerintahkan, mewajibkan .
Secara etimologi, para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru' . Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang me nyatakan wasit tersebut. Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Miliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia . Dan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf b).
Sehubungan dengan pengertian dan kedudukan wasiat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, sehingga menimbulkan beberapa problema hukum dan bersinggungan dengan hukum kewarisan Islam yang memerlukan solusi penyelesaiannya, maka di sini akan mencoba membahas tentang beberapa masalah hukum tentang wasiat tersebut dan permasalahannya, terutama yang berhubungan dengan ahli warisnya.
a. Orang Yang Menerima Wasiat
Diantara syarat-syarat orang yang akan menerima wasiat ialah, bukanlah pada ahli waris. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab yang empat, Hanafi, Maliki, Syaf'i, dan Hambali. Dasar hukum yang ditunjukkan oleh hadis Rasulullah yang menegaskan "tidak ada wasiat bagi ahli waris"(H.R. Tirmizi). Pertimbangan mengapa wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris mudah dipahami, karena wasiat dalam fungsi sosialnya dimaksudkan untuk memberikan kelapangan kepada kerabat dekat yang tidak termasuk ke dalam jumlah ahli waris yang mendapat pembagian harta peninggalannya, untuk membantu kaum dhuafa', fakir miskin, atau untuk memberi sumbangan kepada sarana ibadah atau pendidikan . Tidak semua kerabat mendapat harta warisan, dan tidak semua mereka hidup lapang. Diantara mereka ada yang terhijab oleh kerabat yang lebih dekat, dan ada pula semacam kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapat warisan disamping banyak sarana ibadah atau pendidikan yang memerlukan dana dari yang punya harta. Tujuan seperti itu akan sulit dicapai bilamana wasiat ditujukan kepada ahli waris. Di sisi lain, berwasiat kepada ahli waris bisa menimbulkan silang sengketa diantar ahli waris itu sendiri. Pihak ahli waris yang mendapat harta wasiat merasa diutamakan, sedangkan pihak yang tidak mendapat wasiat merasa dianaktirikan. Membeda-bedakan antara anak yang satu dengan anak yang lain dalam pemberian, terlarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: "Samakanlah pemberian diantara anak-anak kamu" (H.R. Bukhari). Mewasiatkan harta kepada sebagian anak berarti membuka kemungkinan silang sengketa diantara mereka.
Berwasiat kepada ahli waris tidaklah dibenarkan, kecuali atas persetujuan ahli waris yang lain, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadis riwayat Daruquthni. Ketentuan hadis itu dipegang oleh Imam Abu Hanifah, syafi'I dan Ahmad bin Hambal. Kesimpulan ini adalah didasarkan bahwa tidak bolehnya berwasiat kepada ahli waris karena menimbang hak dan perasaan hati ahli waris yang lain. Oleh sebab itu, jika ahli waris yang lain itu menyetujuinya, maka wasiat itu dibolehkan. Berbeda pendapat diatas, kalangan Malikiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwa larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya persetujuan ahli waris yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu adalah termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia. Ahli waris tidak berhak membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut pandangan ini, suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah, agar harta tidak bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan kepada hal-hal lain yagn membutuhkannya . Andaikan ahli waris menyetujuinya juga, begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat tertentu sebagai mana lazimnya hibah.
Bilamana berpegang kepada pendapat yang pertama tadi, yaitu wasiat kepada ahli waris dibolehkan dengan syarat persetujuan ahli waris yang lain, maka jika sebagian ahli waris menyetujui sedangkan sebagian lain tidak menyetujuinya, dalam ketentuan fikih, wasiat itu dianggap sah pada kadar hak ahli waris yang menyetujuinya, dan tidak sah pada kadar hak ahli waris yang tidak menyetujuinya.
Pendapat yang melarang berwasiat kepada ahli waris adalah pendapat mayoritas ulama' Syafi'iyah, Hanafiyah, malikiyah, dan Hanabilah. Berbeda dengan itu, kalangan Syi'ah Imamiyah dan sebagian dari kalangan Syi'ah Zaidiyah membolehkan wasiat kepada ahli waris, tanpa persetujuan ahli waris yang lain. Pendapat ini berlandaskan: kepada ayat 180 surat Al-Baqarah yang artinya: "Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa" .
Mereka menolak pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa ayat diatas sudah dinasakh (dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan. Menurut mereka yang dinasakh hanya hukum wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah hukum wajibnya dihapuskan oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat kepada ahli waris .
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris menurut mereka dengan beberapa pertimbangan, antara lain, dari sekian jumlah anak umpamanya ada yang telah banyak mengurus dan mengabdi kepada orang tuannya di masa keduanya masih hidup. Untuk hal yang seperti ini adalah wajar mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat, disamping pembagian warisan yang akan diterimanya. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah, bisa jadi ada diantara ahli waris yang hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli waris yang lain. Untuk membela nasib mereka, orang tuanya dapat mempertimbangkan sebelum wafat mewasiatkan sebagian hartanya untuk anaknya itu.
b. Jumlah Harta Yang Boleh Diwasiatkan
Demi kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, seseorang hanya berhak mewasiatkan sebagian kecil dari harta kekayaannya. Hal ini dimaksudkan, agar wasiat tidak menjurus kepada malapetaka bagi ahli waris yang ditinggalkan. Kadar sepertiga harta, dan hanya sekedar itu yang boleh diwasiatkan, adalah hak bagi seseorang yang akan menemui ajalnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah diceritakan, Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi saw pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. Hadis tersebut secara tegas melarang wasiat lebih dari sepertiga harta, dan sepertiga itu sudah dianggap banyak. Artinya dalam kondisi tertentu, berwasiat kurang dari sepertiga harta, dianggap lebih baik, sehingga dengan itu tidak mengurangi kelapangan ahli waris yang ditinggalkan. Ke simpulan tersebut sejalan dengan pendapat Abi Ishaq Asy-Syirazi dalam kitabnya Al-Mhazzab. Menurutnya, bilamana ahli waris hidup tidak lapang, jika seseorang mau berwasiat hendaknya kurang dari sepertiga hartanya. Bahkan Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa berwasiat sepertiga harta itu sudah dianggap banyak (H.R. Bukhari).
Adanya pembatasan dimaksudkan demi menjaga kepentingan ahli waris, maka wasiat lebih dari bsepertiga diakui jika ahli waris itu mneyetujuinya. Perbedaan pendapat terjadi terjadi dalam hal seseorang tidak mempunyai ahli waris. Menurut Abu Hanifah, mengacu pada pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas'ud, bahwa dalam kondisi demikian seseorang boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga bahkan seluruh hartanya. Baitulmal baru berhak, bilamana yang punya harta tidak mewasiatkan seluruhnya. Berbeda dengan itu, pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga harta tetap berlaku ketika seseorang tidak mempunyai ahli waris. Seperti yang dinukil oleh Sayyid Sabiq , kesimpulan tersebut adalah pendapat mayoritas ulama'. Menurut pandangan ini, harta yang duapertiga lagi adalah mutlak milik Baitulmal, untuk disalurkan kepada kepentingan umum.
c. Wasiat Wajibah
Tentang kewajiban wasiat wajibah diambil dari pendapatnya fuqoha dan Tabi'in besar ulama fikih dan ahli hadis, antara lain Said Ibnu Al-Musyyah, Hasan Al-Basyri, tawus, Ahmad, Ishaq Ibnu Rawaih, dan Ibnu Hazm. Pada dasarnya memberiakn wsasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariah. Yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagimana juga. Penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Adapaun kewajiban wasiat bagi seseorang disebabkan keteledoran dalam memenuhi hak-hak Allah SWT. Seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan puasa dan lain sebagainya telah diwajibkan oleh syari'at sendiri, bukan oleh penguasa atau hakim .
Namun demikian penguasa mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat/ wasiat wajibah kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena dua hal:
1. hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan fpersetujuan si penerima wasiat.
2. ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 kali lipat bagian perempuan.
Adapun orang-orang yang berhak mendapat wasiat adalah cucu laki-laki atau perempuan baik pancer laki-laki atau perempuan yang terhalang mendapat warisan karena adanya anak si mayyit terlebih dahulu meninggal dunia.
Sedang besarnya wasiat wajibah adalah 1/3 harta peninggalan, tidak boleh lebih.
B. HIBAH
1. Pengertian Dan Ketentuan-Ketentuan Hibah
Menurut pengertian bahasa, hibah berarti mutlak "pemberian" baik berupa harta benda ataupun yang lainnya. Menurut istilah syara' ialah: "Memberikan hak memiliki sesuatu kepada orang lain dengan tanpa imbalan" . Dan menurut para ulama adalah:
a) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan diberikan itu ada;ah sah milik si pemberi (menurut Mazhab Hanafi).
b) Memberikan hak memiliki suatu zat materi dengan tanpa mengharapkan imbalan/ganti. Pemberian mana semata-mata hanya di peruntukan kepada orang yang diberi (Mauhublah). Artinya si pemberi hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT. Hibah menurut Mazhab Maliki ini sama dengan Hadiah. Apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan dapat pahala-Nya menurut mazhab ini dinamakan sedekah (Sadaqah).
c) Memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian mana tidak bersifat wajib dan dilakukan pada waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat ada imbalan, (menurut Mazhab Hambali).
d) Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan Ijab dan Kabul pada waktu si pemberi masih hidup. Pemberian mana tidak dimaksudkan untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya (menurut Madzhab Syafi'i).
Hal-hal yang berkaitan dengan ahli waris beragam masalah, diantaranya:
a. Tetang Penghibahan Seluruh Harta
Sayyid sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat bahwa se3sweorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya . tetapi Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik madhab Hanafi mengatakan tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum, mayoritas ahli hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, ,menurut Imam Malik dan ahli zhahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh. Sehubungan dengan tindakan Rasulullah SAW terhadap kaum Nukman Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadis lain yang reaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain.
b. Hibah Pada Waktu Sakit
hibah yang dilakukan orang sakit dalam kondisi yang k\menghawatirkan (kronis) yang kemudian meninggal, menurut jumhur hanya sah untuk sepertiganya, hal ini dikiaskan dengan masalah wasiat. Berdasarkan hadis Imran bin Husain, "Diberitakan bahwa ada orang sakit sewaktu ia akan meninggal memerdekakan enam orang sahaya. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan kemerdekakan sepertiganya saja yaitu dua orang.
c. Hibah Umra'
Hibah 'Umra ini bermula seorang sahabat memberi rumah kepada sahabatnya yang lain selama sahabat itu masih hidup. Menurut Imam Maliki, mauhublah (penerima hibah) hanya berhak manfaat atas rumah atau benda itu selama hidupnya. Bila mauhublah itu meninggal dunia maka rumah atau benda yang dihibahkan itu kembali kepada wahib (pemberi hibah). Alasan hukumannya ialah hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bersabda Rasulullah SAW apabila seseorang berkata: "ini untukmu selama kami masih hidup", maka berlakulah selama hidup itu. Terhadap hal tersebut imam Syafi'I, Abu Hanifah, Atsauri, Ahmad dan segolongan fuqoha mengatakan bahwa 'Umra merupakan yang terputus sama sekali dan hibah tersebut merupakan hibah terhadap pokok barangnya (ar-roqobah). Sehubungan dengan ini, pengambilan hibah setelah orang yang diberi hibah itu meninggal dunia merupakan tindakan batil. Hibah yang diberikan itu merupakan pemberian yang permanen, baik dikala ia masih hidup dan dikala ia meninggal dunia. Jika meninggal terlebih dahulu, maka barang yang dihibahkan itu dapat diwariskan kepada ahli warisnya dan jika orang yang menerima hibah itu tidak ada ahli warisnya maka barang yang dihibahkan itu diserahkan kepada baitul mal dan tidak dikembalikan dan tidak dikembalikan kepada orang yang memberi hibah walaupun sedikit. Pendapat ini didasarkan pada hadis dari Urwah bahwa nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa barang-barang yang dihibahkan secara 'umra adalah untuk si penerima hibah dan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Hadis yang serupa ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, At-Tirmidhi, An-Nasa'I dan Ibnu Majah .
No comments:
Post a Comment