1. TAKHARUJ
A. Definisi Takharuj
Takharuj adalah perjanjian yang diadakan antar pewaris untuk mengundurkan atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan tanpa paksaan. Harta benda yang seharusnya ia terima dibagikan kepada ahli waris selainnya sesuia dengan bagiannya masing-masing. Dengan demikian dia tidak mengambil bagian yang setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan syara’ , contohnya, seorang pewaris tidak mengambil bagiannya dan bagian itu diberikan pada orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa dia menghapus bagian warisnya sendiri.
Takharuj juga berarti suatu perjanjian yang diadakan oleh para pewaris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang pewaris dalam menerima warisan dengan dengan memberikan suatu tebusan atau pengganti yang diberikan oleh orang yang mengundurkan kepada yang mengundurkan diri. Adapun tebusan atau pengganti tersebut berasal dari orang yang mengundurkan atau dari harta peninggalan yang akan dibagi-bagikan.
B. Status Takharuj
Status takharuj ada 4, yaitu:
1. Perjanjian dua pihak.
Satu pihak menyerahkan sesuatu sebagai tebusan kepada pihak lain dan pihak lain tersebut menyerahkan bagian warisannya, sebagai imbalan kepada pihak pertama.
2. Perjanjian jual-beli.
Tebusan yang diberikan pihak pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan imbalan yang diberikan oleh pihak kedua seakan-akan merupakan barang yang dibeli. Jadi takharuj merupakan perjanjian jual-beli.
3. Perjanjian tukar-menukar. (‘aqdu mu’awadhah)
Perjanjian tersebut hampir sama dengan pertukaran barang atau barter. Tebusan yang diserahkan sebagai alat penukar terhadap imbalan yang akan dia terima.
4. Perjanjian pembagian.
Jika tebusan yang diberikan diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka disebut perjanjian pembagian.
C. Dasar Hukum
Takharuj hukumnya boleh. Argumentasinya :
1. Diriwayatkan bahwa Abdurrahman ibnu Auf r.a mempunyai 4 orang istri. Setelah meninggal, salah seorang istrinya Tumadhir binti al Ashbagh setuju tidak menerima bagian pusakanya, yakni 1/8 dibagi 4 = 1/32, karena ia telah rela menerima imbalan dari isteri yang lain sebanyak 83.000 dinar (ada yang menyatakan dirham).
2. Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik seperti perjanjian jual-beli, tukar-menukar, serta perjanjian pembagian dapat diterapkan di perjanjian takharuj dan selalu dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat dan ketentuannya telah dipenuhi. Yang paling utama adalah bila kedua belah pihak menyatakan kerelaan masing-masing.
D. Bentuk-bentuk takharuj dan cara pembagiannya.
Perjanjian takharuj mempunyai tiga bentuk.
1. Seorang pewaris mengundurkan pewaris yang lain dengan memberikan sejumlah uang atau barang yang diambilkan dari miliknya sendiri.
Ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan yang di dalamnya didapati perjanjian takharuj bentuk pertama ini adalah:
a. Hendak dicari dulu berapa besar bagian masing-masing pewaris termasuk juga pihak yang diundurkan diri.
b. Pihak yang diundurkan atau mutakharaj harus dianggap dan diperhitungkan sebagai pewaris yang ada yang harus dicari besar kecil bagian yang ia terima.
c. Kemudian bagian yang diundurkan tersebut dikumpulkan (ditambahkan) kepada yang mengundurkannya.
d. Besar asal masalah dalam pembagian harta warisan sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta warisan setelah terjadinya perjanjian takharuj.
2. Beberapa pewaris mengundurkan beberapa/seorang pewaris dengan memberikan pengganti/tebusan yang diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri. Dengan catatan seluruh pewaris terlibat dalam perjanjian takharuj. Ketentuannya adalah:
a. Sisa harta peninggalan setelah diambil sebanyak yang dijadikan tebusan terhadap pihak yang diundurkan, dibagi antar pewaris yang lain menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj.
b. Bagian mereka dijumlahkan untuk dijadikan asal masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama.
c. Pihak yang diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah tebusan, tetap diperhitungkan bagiannya untuk memperhitungkan bagian pewaris yang mengundurkan, sebab kalau tidak demikian akan berlainan dengan ijma’.
3. Beberapa pewaris mengundurkan pewaris dengan memberikan tebusan yang diambil dari harta milik mereka masing-masing. Besar kecilnya iuran yang harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati. Ketentuan bentuk ketiga:
a. Takharuj tidak mempengaruhi asal masalah semula.
b. Pewaris yang diundurkan dianggap tidak ada, ketika terjadi pembagian harta warisan pada yang mengundurkannya. dalam membagikan.
4. Seorang pewaris dengan pewaris lainnya, dan imbalan yang diberikan kepada mutakharaj berasal dari harta peninggalan. Bentuk takharuj ini hanya terjadi jika tidak ada pewaris selain mereka berdua.
E. Contoh Kasus dan Analisa
Deskripsi: Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan pewaris suami, anak perempuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar Rp 48.000.000,00. Para pewaris mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
Analisa kasus:
Pembagian sebelum takharuj:
-anak perempuan : ½ : 6 (diberikan sebuah rumah)
-suami : ¼ x12 : 3
-ibu : 1/6 : 2 Rp 48.000.000,00
-sdr. Laki sebapak : ashabah : 1
Pembagian sesudah takharuj:
Perjanjian takharuj di atas termasuk dalam bentuk takharuj kedua. Maka penyelesaiannya sebagai berikut:
-Anak perempuan mendapatkan harta peninggalan sebuah rumah sesuai dengan perjanjian.
-Suami :3 3/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 24.000.000,00
-Ibu :2 2/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 16.000.000,00
- Sdr. Selaki Sebapak :1 1/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
2. AKDARIYAH
A. Akdariyah adalah masalah pembagian harta pusaka yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, saudari kandung/seayah, kakek.
Contoh kasus.
Jika seandainya Harta warisan = Rp 216.000, maka bagian masing-masing adalah:
6
1. Suami : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
2. Ibu : 1/3 2 2/9 x 216.000 = 48.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
4. Kakek : 1/6 1 1/9 x 216.000 = 24.000
9
Dalam hitungan tersebut, yakni (kakek) sebagai ahli waris laki-laki ‘ashabah binnafsi mendapat bagian yang sedikit dari pewaris perempuan (saudara perempuan), dan mendapat bagian yang lebih kecil dari ibu. Maka timbullah masalah baru yang kemudian dinamakan dengan masalah “Akdariyah”.
B. Penamaan Akdariyah
Masalah ini dinamakan “Akdariyah” karena:
a. Adanya kakek dapat menyusahkan saudari dalam menerima harta warisan. Menyusahkan dalam bahasa arab adalah kaddara. Jika kakek tidak ada, maka saudari akan mendapat 1/2 dari seluruh harta warisan. Namun dengan adanya kakek, bagian saudari akan berkurang karena bagian ahli waris laki-laki harus lebih besar daripada ahli waris perempuan bahkan menjadi bias menjadi mahjub.
b. Suatu riwayat bahwa Abdul malik bin Marwan pernah menanyakan masalah ini kepada seseorang yang bernama Akdar. Akdar menjawab berdasarkan fatwa Zaid bin Tsabit r.a. tetapi nyatanya salah.
c. Sebagian pendapat bahwa Akdar adalah nama seorang perempuan yang mati dengan meninggalkan pewaris seperti masalah diatas.
C. Analisa Penyelesaian Masalah Akdariyah.
Beberapa pendapat untuk menghilangkan kejanggalan masalah tersebut adalah:
1. Pendapat Abu bakar ash-Shiddiq r.a., Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hanifah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kakek mempunyai posisi seperti ayah berdasarkan penggunaan kata “abun” dalam Al-Qur’an untuk kakek sehingga dapat menghijab saudara perempuan.
b. Kakek mempunyai derajat lebih tinggi dibandingkan saudara perempuan sekandung atau seayah. Dan dia termasuk garis ubuwwah (ke atas) yang lebih utama dari garis ukhuwwah (menyamping) sehingga menghijab saudara perempuan kandung dan seayah.
Perhitungan berdasarkan pendapat Abu Bakar diatas:
6
1. Suami : 1/2 3 3/6 x 216.000 = 108.000,00
2. Ibu : 1/3 2 2/6 x 216.000 = 72.000,00
3. Sdri kdg/seayah : gugur
4. Kakek : Ash 1 1/6 x 216.000 = 36.000,00
6
2. Pendapat Umar dan Ibnu Mas’ud:
6
1. Suami : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
2. Ibu : 1/6 1 2/8 x 216.000 = 27.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
4. Kakek : 1/6 1 1/8 x 216.000 = 27.000
8
Ibu hanya diberi bagian 1/6 untuk menghindari bagian ibu lebih besar dari bagian kakek.
3. Pendapat Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dan ketiga Imam Madzhab, bahwa kakek tidak dapat menghijab saudari kandung/seayah akan tetapi mendapat bagian bersama-sama (muqasamah). Alasannya adalah:
a. Antara kakek dan saudari kandung/seayah adalah sama-sama dari garis ayah, oleh karena itu keduanya mempunai kedudukan sama dan tidak saling memahjub.
b. Dalam Al-Qur’an tidak ada nash yang menerangkan terhijabnya saudari kandung/seayah oleh kakek. Karena penggunaan kata “jadd” dengan “abb” adalah penyebutan secara majazy.
c. Meskipun kakek kadang-kadang mendapat bagian 1/6, ‘ashabah, dan 1/6+’ashabah tidak menjamin tentang kelebihannya atas saudari kandung/seayah karena kenyataannya anak laki-laki selalu mendapat bagian ‘ashabah (kedudukannya melebihi semua ahli waris).
Pewaris Jumlah Bagian AM SM
6 aul 9 x3 27
Suami 1 1/2 3 x3 9
Ibu 1 1/3 2 x3 6
Kakek 1 2 1/6 1
3 4 x3 12
Sdri kdg/seayh 1 1 1/2 3
6 aul 9 27
Dengan harta peninggalan sejumlah Rp 216.000,00 maka:
Suami 9/27x Rp 216.000,00 = Rp 72.000,00
Ibu 6/27x Rp 216.000,00 = Rp 48.000,00
Kakek 2/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 64.000,00
Sdri kdng/seayah 1/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 32.000,00
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang ketigalah yang paling shahih karena Zaid bin Tsabit diakui keahliannya dalam bidang ilmu faraid oleh Nabi.
A. Definisi Takharuj
Takharuj adalah perjanjian yang diadakan antar pewaris untuk mengundurkan atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan secara ikhlas, sukarela, dan tanpa paksaan. Harta benda yang seharusnya ia terima dibagikan kepada ahli waris selainnya sesuia dengan bagiannya masing-masing. Dengan demikian dia tidak mengambil bagian yang setara dengan haknya dari harta waris atau dari hal lainnya. Hal ini dibolehkan syara’ , contohnya, seorang pewaris tidak mengambil bagiannya dan bagian itu diberikan pada orang lain. Ini dapat dikatakan bahwa dia menghapus bagian warisnya sendiri.
Takharuj juga berarti suatu perjanjian yang diadakan oleh para pewaris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang pewaris dalam menerima warisan dengan dengan memberikan suatu tebusan atau pengganti yang diberikan oleh orang yang mengundurkan kepada yang mengundurkan diri. Adapun tebusan atau pengganti tersebut berasal dari orang yang mengundurkan atau dari harta peninggalan yang akan dibagi-bagikan.
B. Status Takharuj
Status takharuj ada 4, yaitu:
1. Perjanjian dua pihak.
Satu pihak menyerahkan sesuatu sebagai tebusan kepada pihak lain dan pihak lain tersebut menyerahkan bagian warisannya, sebagai imbalan kepada pihak pertama.
2. Perjanjian jual-beli.
Tebusan yang diberikan pihak pertama seolah-olah merupakan harga pembelian dan imbalan yang diberikan oleh pihak kedua seakan-akan merupakan barang yang dibeli. Jadi takharuj merupakan perjanjian jual-beli.
3. Perjanjian tukar-menukar. (‘aqdu mu’awadhah)
Perjanjian tersebut hampir sama dengan pertukaran barang atau barter. Tebusan yang diserahkan sebagai alat penukar terhadap imbalan yang akan dia terima.
4. Perjanjian pembagian.
Jika tebusan yang diberikan diambil dari harta peninggalan itu sendiri, maka disebut perjanjian pembagian.
C. Dasar Hukum
Takharuj hukumnya boleh. Argumentasinya :
1. Diriwayatkan bahwa Abdurrahman ibnu Auf r.a mempunyai 4 orang istri. Setelah meninggal, salah seorang istrinya Tumadhir binti al Ashbagh setuju tidak menerima bagian pusakanya, yakni 1/8 dibagi 4 = 1/32, karena ia telah rela menerima imbalan dari isteri yang lain sebanyak 83.000 dinar (ada yang menyatakan dirham).
2. Suatu analogi bahwa setiap perjanjian yang bersifat timbal balik seperti perjanjian jual-beli, tukar-menukar, serta perjanjian pembagian dapat diterapkan di perjanjian takharuj dan selalu dibenarkan oleh syari’at sepanjang syarat dan ketentuannya telah dipenuhi. Yang paling utama adalah bila kedua belah pihak menyatakan kerelaan masing-masing.
D. Bentuk-bentuk takharuj dan cara pembagiannya.
Perjanjian takharuj mempunyai tiga bentuk.
1. Seorang pewaris mengundurkan pewaris yang lain dengan memberikan sejumlah uang atau barang yang diambilkan dari miliknya sendiri.
Ketentuan-ketentuan dalam menyelesaikan pembagian harta peninggalan yang di dalamnya didapati perjanjian takharuj bentuk pertama ini adalah:
a. Hendak dicari dulu berapa besar bagian masing-masing pewaris termasuk juga pihak yang diundurkan diri.
b. Pihak yang diundurkan atau mutakharaj harus dianggap dan diperhitungkan sebagai pewaris yang ada yang harus dicari besar kecil bagian yang ia terima.
c. Kemudian bagian yang diundurkan tersebut dikumpulkan (ditambahkan) kepada yang mengundurkannya.
d. Besar asal masalah dalam pembagian harta warisan sebelum terjadinya takharuj tetap dipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta warisan setelah terjadinya perjanjian takharuj.
2. Beberapa pewaris mengundurkan beberapa/seorang pewaris dengan memberikan pengganti/tebusan yang diambilkan dari harta peninggalan itu sendiri. Dengan catatan seluruh pewaris terlibat dalam perjanjian takharuj. Ketentuannya adalah:
a. Sisa harta peninggalan setelah diambil sebanyak yang dijadikan tebusan terhadap pihak yang diundurkan, dibagi antar pewaris yang lain menurut perbandingan saham mereka masing-masing sebelum terjadi perjanjian takharuj.
b. Bagian mereka dijumlahkan untuk dijadikan asal masalah baru, sebagai pengganti asal masalah yang lama.
c. Pihak yang diundurkan, walaupun telah menerima sejumlah tebusan, tetap diperhitungkan bagiannya untuk memperhitungkan bagian pewaris yang mengundurkan, sebab kalau tidak demikian akan berlainan dengan ijma’.
3. Beberapa pewaris mengundurkan pewaris dengan memberikan tebusan yang diambil dari harta milik mereka masing-masing. Besar kecilnya iuran yang harus dibayar oleh masing-masing mereka yang mengundurkan, adalah menurut yang telah mereka sepakati. Ketentuan bentuk ketiga:
a. Takharuj tidak mempengaruhi asal masalah semula.
b. Pewaris yang diundurkan dianggap tidak ada, ketika terjadi pembagian harta warisan pada yang mengundurkannya. dalam membagikan.
4. Seorang pewaris dengan pewaris lainnya, dan imbalan yang diberikan kepada mutakharaj berasal dari harta peninggalan. Bentuk takharuj ini hanya terjadi jika tidak ada pewaris selain mereka berdua.
E. Contoh Kasus dan Analisa
Deskripsi: Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan pewaris suami, anak perempuan, ibu, dan seorang saudara laki-laki sebapak. Harta peninggalan berupa sebuah rumah dan uang sebesar Rp 48.000.000,00. Para pewaris mengadakan takharuj, dengan perjanjian anak perempuan mengundurkan diri dan kepadanya diberikan sebuah rumah.
Analisa kasus:
Pembagian sebelum takharuj:
-anak perempuan : ½ : 6 (diberikan sebuah rumah)
-suami : ¼ x12 : 3
-ibu : 1/6 : 2 Rp 48.000.000,00
-sdr. Laki sebapak : ashabah : 1
Pembagian sesudah takharuj:
Perjanjian takharuj di atas termasuk dalam bentuk takharuj kedua. Maka penyelesaiannya sebagai berikut:
-Anak perempuan mendapatkan harta peninggalan sebuah rumah sesuai dengan perjanjian.
-Suami :3 3/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 24.000.000,00
-Ibu :2 2/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 16.000.000,00
- Sdr. Selaki Sebapak :1 1/6 X Rp 48.000.000,00 = Rp 8.000.000,00
2. AKDARIYAH
A. Akdariyah adalah masalah pembagian harta pusaka yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, saudari kandung/seayah, kakek.
Contoh kasus.
Jika seandainya Harta warisan = Rp 216.000, maka bagian masing-masing adalah:
6
1. Suami : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
2. Ibu : 1/3 2 2/9 x 216.000 = 48.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/9 x 216.000 = 72.000
4. Kakek : 1/6 1 1/9 x 216.000 = 24.000
9
Dalam hitungan tersebut, yakni (kakek) sebagai ahli waris laki-laki ‘ashabah binnafsi mendapat bagian yang sedikit dari pewaris perempuan (saudara perempuan), dan mendapat bagian yang lebih kecil dari ibu. Maka timbullah masalah baru yang kemudian dinamakan dengan masalah “Akdariyah”.
B. Penamaan Akdariyah
Masalah ini dinamakan “Akdariyah” karena:
a. Adanya kakek dapat menyusahkan saudari dalam menerima harta warisan. Menyusahkan dalam bahasa arab adalah kaddara. Jika kakek tidak ada, maka saudari akan mendapat 1/2 dari seluruh harta warisan. Namun dengan adanya kakek, bagian saudari akan berkurang karena bagian ahli waris laki-laki harus lebih besar daripada ahli waris perempuan bahkan menjadi bias menjadi mahjub.
b. Suatu riwayat bahwa Abdul malik bin Marwan pernah menanyakan masalah ini kepada seseorang yang bernama Akdar. Akdar menjawab berdasarkan fatwa Zaid bin Tsabit r.a. tetapi nyatanya salah.
c. Sebagian pendapat bahwa Akdar adalah nama seorang perempuan yang mati dengan meninggalkan pewaris seperti masalah diatas.
C. Analisa Penyelesaian Masalah Akdariyah.
Beberapa pendapat untuk menghilangkan kejanggalan masalah tersebut adalah:
1. Pendapat Abu bakar ash-Shiddiq r.a., Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hanifah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kakek mempunyai posisi seperti ayah berdasarkan penggunaan kata “abun” dalam Al-Qur’an untuk kakek sehingga dapat menghijab saudara perempuan.
b. Kakek mempunyai derajat lebih tinggi dibandingkan saudara perempuan sekandung atau seayah. Dan dia termasuk garis ubuwwah (ke atas) yang lebih utama dari garis ukhuwwah (menyamping) sehingga menghijab saudara perempuan kandung dan seayah.
Perhitungan berdasarkan pendapat Abu Bakar diatas:
6
1. Suami : 1/2 3 3/6 x 216.000 = 108.000,00
2. Ibu : 1/3 2 2/6 x 216.000 = 72.000,00
3. Sdri kdg/seayah : gugur
4. Kakek : Ash 1 1/6 x 216.000 = 36.000,00
6
2. Pendapat Umar dan Ibnu Mas’ud:
6
1. Suami : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
2. Ibu : 1/6 1 2/8 x 216.000 = 27.000
3. Sdri kdg/seayah : 1/2 3 3/8 x 216.000 = 81.000
4. Kakek : 1/6 1 1/8 x 216.000 = 27.000
8
Ibu hanya diberi bagian 1/6 untuk menghindari bagian ibu lebih besar dari bagian kakek.
3. Pendapat Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib dan ketiga Imam Madzhab, bahwa kakek tidak dapat menghijab saudari kandung/seayah akan tetapi mendapat bagian bersama-sama (muqasamah). Alasannya adalah:
a. Antara kakek dan saudari kandung/seayah adalah sama-sama dari garis ayah, oleh karena itu keduanya mempunai kedudukan sama dan tidak saling memahjub.
b. Dalam Al-Qur’an tidak ada nash yang menerangkan terhijabnya saudari kandung/seayah oleh kakek. Karena penggunaan kata “jadd” dengan “abb” adalah penyebutan secara majazy.
c. Meskipun kakek kadang-kadang mendapat bagian 1/6, ‘ashabah, dan 1/6+’ashabah tidak menjamin tentang kelebihannya atas saudari kandung/seayah karena kenyataannya anak laki-laki selalu mendapat bagian ‘ashabah (kedudukannya melebihi semua ahli waris).
Pewaris Jumlah Bagian AM SM
6 aul 9 x3 27
Suami 1 1/2 3 x3 9
Ibu 1 1/3 2 x3 6
Kakek 1 2 1/6 1
3 4 x3 12
Sdri kdg/seayh 1 1 1/2 3
6 aul 9 27
Dengan harta peninggalan sejumlah Rp 216.000,00 maka:
Suami 9/27x Rp 216.000,00 = Rp 72.000,00
Ibu 6/27x Rp 216.000,00 = Rp 48.000,00
Kakek 2/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 64.000,00
Sdri kdng/seayah 1/3x 12/27 x Rp 216.000,00 = Rp 32.000,00
Dari ketiga pendapat tersebut, pendapat yang ketigalah yang paling shahih karena Zaid bin Tsabit diakui keahliannya dalam bidang ilmu faraid oleh Nabi.
No comments:
Post a Comment