Monday, May 10, 2010

PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM

PENDEKATAN DALAM STUDI ISLAM
(Studi atas Pemikiran Charles J. Adams)

A.    Pendahuluan
Islam telah menjadi kajian yang menarik banyak minat belakangan ini. Studi Islam pun makin berkembang. Islam tidak lagi dipahami dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seseorang memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, tetapi dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Studi agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. 
Dalam perkembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme. Bahkan oleh Muhammad Abdul Rouf, Islamic Studies disebut juga dengan oriental studies.
Sarjana barat sebenarnya telah lebih dulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari berbagai aspek : sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk mengkaji Islam mulai digemari, Islam tidak lagi dipahami hanya dengan instrumen kajian tradisional, yakni mengkaji Islam dari sudut doktrinalnya.
Salah satu sarjana Barat yang mencurahkan perhatian intelektualnya untuk mengkaji Islam dengan menggunakan diversifikasi pendekatan adalah Charles Joseph Adams.  Pendekatan studi Islam yang ditawarkan oleh Adams terdapat dalam buku The Study of The Middle East : Research and Scholarship in Humanities and the Social Sciences terutama pada bab dua berjudul Islamic Religious Tradition yang dijadikan sumber utama penulisan paper ini.





B.    Kegelisahan Akademik
Kegelisahan akademik yang mengganggu Charles J. Adams adalah kegagalan ahli sejarah agama dalam mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang Islam sebagai agama, juga kegagalan Islamists dalam menjelaskan secara cermat tentang fenomena ke-Islaman. 
Hal yang biasa dilakukan untuk menemukan jalan keluar dari kegelisahan akademik di atas adalah dengan menggunakan dua disiplin, yaitu sejarah agama dan studi Islam sebagai kerangka teoritis atau tool conceptual guna mempertajam analisi terhadap tradisi Islam untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat mengenai hubungan antara unsur-unsur yang bermacam-macam termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya.
Ada dua hal yang mendasar yang penting untuk dipahami dalam studi Islam adalah definisi tentang Islam dan agama. Menurut Adams sangat sulit untuk bisa merumuskan definisi tentang Islam. Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang selalu berubah, berkembang, dan selalu terus berkembang dari generasi ke generasi dalam merespon realitas dan makna kehidupan ini. Islam adalah ”an on going process of experience and its expression, which in historical continuity with the message and influence of the prophet. Sedangkan konsep agama meliputi dua aspek, yaitu pengalaman dalam dan perilaku luar manusia (man’s inward experience and of his outward behavior).  Pengalaman dalam dan perilaku luar manusia itu saling terkait. Perilaku luar manusia secara umum merupakan manifestasi dari pengalaman dalamnya, walaupun hal ini tidak berlaku mutlak.
Wilfred Cantwell Smith, sebagaimana dikutip Adams dalam mendefinisikan agama Islam, berpendapat bahwa dalam agama terdapat dua aspek, yaitu aspek faith, yaitu, aspek internal, tak terkatakan, transenden, dan dimensi pribadi kehidupan beragama, dan aspek tradition, yaitu aspek eksternal keagamaan, sosial dan historis agama yang dapat diobservasi dalam masyarakat. Dengan pemahaman konseptual seperti ini, tujuan studi agama adalah untuk memahami pengalaman pribadi dan perilaku nyata seseorang. Dengan demikian, aspek yang tersembunyi dan yang nyata dari fenomena keberagaman harus dieksplorasi secara komprehensif oleh studi Islam.  Diantara dua aspek tersebut tidak ada yang berdiri sendiri, melainkan antar satu dengan yang lain saling terkait.
Kaitannya dengan studi Islam, menurut Adams tidak ada metode yang paling tepat untuk mendekati aspek kehidupan dalam atau faith seseorang dan masyarakat beragama. Tetapi pengkaji harus menggunakan tradition atau aspek luar sebagai keberagamaan sebagai pijakan dalam memahami dan melakukan studi agama. Dalam mengkaji Islam sebagai sebuah agama, pengkaji harus melampaui dimensi tradition agar mampu menjelaskan dimensi faith seseorang.
Menurut Adams, pengkaji Islam dalam melakukan studinya bisa menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif meliputi tiga pendekatan, yaitu pendekatan misionaris tradisional, pendekatan apologetik, dan pendekatan simpatik (irenic). Sedangkan pendekatam deskriptif meliputi pendekatan filologis dan sejarah, pendekatan sosial dan pendekatan fenomenologis.

C.    Pendekatan Normatif dan Keagamaan
1.    Pendekatan Misionaris Tradisional
Pada abad 19 terjadi letusan aktivitas misionaris di berbagai gereja, sekte, dan ajaran kristen yang berkaitan dengan pertumbuhan politik , ekonomi, dan militer Eropa yang mempengaruhi banyak tempat di Asia dan Afrika. Dorongan aktivitas misionaris tidaklah muncul karena semakin bagusnya kesadaran pada peradaban non Barat dan para pengikut kolonialisme, tetapi lebih disebabkan oleh ajaran Kristen sendiri. Akibatnya, banyak individu menempuh perjalanan ke Asia dan Afrika bersamaan dengan para opsir kolonial untuk mengkristenkan orang-orang di wilayah twrsebut dan menawarkan budaya Barat pada mereka. Para misionaris dan opsir kolonial bertekad bulat untuk bisa mendekatkan diri dengan penduduk di wilayah tersebut, karena itu mereka merasa perlu untuk belajar bahasa masyarakat setempat dan turut serta dalam kehidupan dan kebudayaan mereka. Akhirnya, banyak misionaris yang fasih dalam bahasa kaum muslimin dan terus mempelajari aspek kebudayaan. Dua kelompok inilah, misionaris dan kolonialis, yang menjadi pengembangan keilmuan Islam di Barat.
2.    Pendekatan Apologetik
Di awal abad XX, gerakan umat Islam ditandai dengan sikap apologetik terhadap agama. Sikap Apologetik ini sangat kuat untuk membangkitkan diri dari kesadaran palsu menuju kesadaran beragama yang utuh dan sekaligus sebagai respon atas peradaban Barat yang terus mengikis peradaban Islam sebagai akibat dari kolonoalisasi (westernisasi).
Salah satu bentuk sikap apologetik muslim adalah dengan berusaha membangun nilai-nilai Islam dan membangkitkan kembali warisan-warisan Islam yang mulai ditinggalkan, meningkatkan pelayanan terhadap muslim dengan berbagai cara, membentuk sense of identity of Islam di setiap generasi muda. Usaha ini telah menghasilkan sesuatu yang sangat berarti dalam hal meningkatkan kesadaran beragama yang sebelumnya mulai terlupakan oleh komunitas muslim.
Agaknya, gerakan apologetik ini cukup berhasil. Mereka mengumandangkan Islam sebagai ”favorable manner” dan peradaban modern yang civilize. Salah satu karya yang bisa memberikan gambaran tentang hal ini adalah Spirit of Islam, karya Sayyid Amir Ali (1922).


3.    Pendekatan Simpatik (irenic)
Di tengah-tengah Petang Dunia II, muncul gerakan distinktif yang bertujuan untuk memberikan apresiasi terhadap Islam. Gerakan ini diwakili oleh lingkungan agama dan universitas. Karena ternyata gerakan kolonialisme yang sekaligus misionarisme banyak meninbulkan masalah di dunia Islam (khususnya dalan hal pencitraan negative melalui tulisan-tulisan sarjana Barat), maka ada usaha untuk memecahkan masalah-masalah yang prejudiced, antagonistic, dan sikap-sikap orang Kristen Barat yang (selalu) merendahkan Islam. Pada saat bersamaan digagas ”dialog” dengan muslim untuk membangun jembatan mutual sympathy antara tradisi agama dan persoalan kebangsaan.
Salah satu contoh pendekatan irenic dalam studi Islam adalah karya Kenneth Cragg. Melalui beberapa karya yang ditulis, Cragg menunjukkan kepada Kristen Barat beberapa unsur keindahan dan nilai keberagamaan yang menjiwai tradisi Islam, dan kewajiban orang Kristen adalah terbuka atau menerima hal tersebut. Cragg mampu menggambarkan bahwa Islam memperhatikan banyak problem dan isu yang juga fundamental menurut umat Kristen. Inti pesan Cragg adalah makna Iman Islam adalah trealisasi dalam pengalaman Kristiani. Namun, dalam analisis akhirnya, Cragg tetap terpengaruh keyakinan Kristennya, bahkan dikatakan bahwa orang Islam harus menjadi Kristen agar Islam menjadi Islam Kaffah. Kontribusi Cragg melalui karyanya adalah bermanfaat untuk memberantas pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas dikalangan Barat.
    Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith, terutama dalam karyanya The Faith of Other Men (1962) dan artikelnya berjudul ”Comporative Religion, Whither and Why?” (1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan keyakinan itu, atau dengan mitif penyebaran agama. Dengan memilih Cragg dan Smith sebagai contoh penggunaan pendekatan irenic dalam studi Islam, Adam tidak bermaksud mengabaikan akademisi lain yang dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt, dan Geoffrey Parrinder.

D.    Pendekatan Deskriptif
1.    Pendekatan Filologis dan Historis
Tidak diragukan lagi bahwa pendekatan ini paling produktif dalam studi Islam. 100 tahun yang lalu para sarjana yang dibekali bahasa kaum muslimin dan dilatih dalam metode filologis (kajian naskah) telah mengabdikan diri mereka untuk menekuni teks-teks tentang Islam. Hasil kerja filologis ini bukanlah merupakan hasil langsung ketertarikan mereka pada Islam, tetapi merupakan hasil sampingan dari tujuan yang lain, seperti comparative simetik atau studi Injil. Karena status bahasa Arab merupakan perkembangan lebih jauh bahasa semetik dan paling terkenal dan senantiasa dipakai dengan warisa tulisan yang sangat banyak, maka bahasa Arab sangat gampang diakses pengkaji semetik bahkan dalam kajian yang lain. Bahasa arab merupakan kunci untuk memahami bahasa non Arab dalam tradisi kebahasaan semetik.
Pendekatan filologi dapat digunakan hampir dalam semua aspek kehidupan umat Islam, tidak hanya untuk kepentingan orang Barat tetapi juga berperan penting dalam dunia orang Islam sendiri seperti yang dilakukan ole pembaharu, intelektual, politisi dan sebagainya. Melalui pendekatan filologi dan sejarah, sarjana Barat telah menemukan kembali masa kejayaan budaya Islam yang terlupakan di kalangan muslim padahal ia menjadi salah satu faktor pada masa sekarang ini untuk revitalisasi Islam.
Menurut Adams, filologi memiliki peran vital dan harus tetap dipertahankan dalam studi Islam, karena Islam memiliki banyak dokumen masa lampau dalam bidang sejarah teknologi, hukum, tasawuf dan lain sebagainya. Literatur tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, sehingga pendekatan filologi sekali lagi memainkan peran vital dalam hal ini.
Metode filologis dan historis masih sangat relevan untuk studi Islam masa sekarang. Ke depan, diharapkan muncul upaya kombinasi antara philological and historical inquiry dengan behavior approach. Sehingga nantinya akan terbangun pendekatan interdisipliner.
Membaca gagasan Adams mengenai pentingnya filologi agaknya bisa dilacak pada pendapat Max Muller salah seorang dari tiga pendiri the study of religion  yang juga sangat menekan soal perbekalan bahasa pengkaji agama. Sampai-sampai ia mengutip paradoks Goethe yang mengatakan : ” He who knows one language knows none ”.  Penguasaan bahasa dapat membantu memahami sendiri secara langsung suatu agama, dibanding jika melalui terjemahan yang kemungkinan besar akan menagndung kesalahan-kesalahan dalam pemahaman.
Bagi Joachim Wach, penguasaan bahasa bagi para pengkaji agama akan memungkinkan untuk memperoleh the most extensive information, yaitu informasi yang luas berkaitan denagn subject matter-nya sehingga akan memungkinkan pemahaman terhadap fenomena agama.
Dengan penguasaan bahasa akan diperoleh kebenaran deskripsi agama secara akademik dan juga kebenaran dalam perspektif pemeluknya.
2.    Pendekatan Sosial
Munculnya kajian sosial dan cabang-cabangnya adalah hal yang tak terbantahkan dalam kehidupan intelektual dan di organisasi keilmuan di universitas saat ini. Untuk berbagi alasan, banyak hal sosial yang tertarik pada kajian Timur Tengah merasa perlu untuk mengkaitkan kajian sosial dengan Islam. Di amerika Utara, jika seseorang berpikir tentang banyaknya karya berkaitan dengan tradisi ke-Islaman khususnya pada jaman modern, maka sebagaian besarnya dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial, bukan orang-orang yang berorientasi humanistic dan bukan oleh individu-individu yang dididik dalam kajian keagamaan. Sebagian besar karya ini bernilai tinggi karena dapat meningkatkan informasi bagi para pengkaji dibidang kajian Timur Tengah, dan metode-metodenya dapat digunakan untuk menganalisis dan memperluas pemahaman.
Untuk menemukan ciri-ciri ”pendekatan ilmu-ilmu sosial” dalam studi Islam sangat sulit. Hal ini disebabkan beragamnya pendapat dikalangan ilmuan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan sosial adalah pembarian definisi yang tepat tentang objek telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak pada sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia, yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarawan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang bervariasi.
Studi agama dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial berusaha memahami agama sebagai ”objective term”  yang ditunjukan dalam perilaku manusia. Dalam wilayah ini yang dikaji adalah agama sebagai nilai-nilai sosial, sebagai mekanisme integrasi sosial, dan sebagainya. Persoalan sosial keagamaan yang terjadi di masyarakat dilihat dengan menggunakan teori-teori sosial. Seperti teori ”Struktural” untuk menjelaskan religiositas sebagai respon atas perkembangan masyarakat.
Secara jujur diakui oleh Adams, bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam studi agama mengandung kelemahan karena dapat mereduksi pandangan keagamaan manusia. Padahal, sejarah pemikiran tentang sifat agama penuh dengan teori-teori yang menerangkan bahwa agama merupakan perluasan  nilai-nilai sosial, mekanisme integrasi sosial dan sarana yang menghubungkan dengan yang tidak dapat diketahui atau dikontrol. Dari sini dapat diketahui bahwa timbulnya reaksi keagamaan terhadap pendekatan ilmu-ilmu sosial dikarenakan tercerabutnya beberapa referensi transendental dan diturunkan ke dunia material.
Beberapa ilmuan dibidang sosial seperti ilmu politik, sosiologi, dan anthropologi banyak menggunakan teori-teori sosial untuk melihat hubungan agama dan masyarakat, khusunya di negara-negara Islam. Pertanyaan kemudian melebar kearah sejauh mana pengaruh Islam terhadap politik, ekonomi, dan perubahan sosial.
3.    Pendekatan Fenomenologi
Di samping melalui pendekatan di atas, studi Islam dilakukan dengan pendekatan yang dikenal dengan sebutan Religionswissenschaft.  Mereka yang menggunakan pendekatan ini yang muncul sekitar seperempat akhir abad ke-19 ini berjuang menggunakan pendekatan ilmiah terhadap agama sebagai sebuah fenomena sejarah yang universal dan penting. Di Amerika Utara pendekatan studi seperti ini dikenal dengan sebutan sejarah agama atau perbandingan agama. Adams tidak mempedulikan perubahan konsepsi Religionswissenschaft seperti pada awal munculnya kemudian menjadi fenomenologi sebagai salah satu ciri pendekatan dalam studi agama. Diakui Adams sangat sulit mendefinisikan fenomenologi agama, karena memang mereka sendiri yang menyebut fenomenologi agama.
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama adalah bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain yang mengharuskan peneliti mengenyampingkan keimanannya sendiri sebagai upaya untuk mencoba merekonstruksi pikirannya untuk memahami agama tersebut. Aktivitas seperti ini disebut epoche. Dia berusaha untuk membayangkan pengalaman orang lain di benaknya. Ini mengimplementasikan kesatuan di dalam aspek personal kemanusiaan pada pengalaman keagamaan dan kesamaan mendasar pada semua orang sekali pun berbeda waktu, ruang, dan budaya.
Aspek fenomenologi pertama ini-epoche- sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (interested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Kontribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, dikatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Kedua adalah membuat skema taksonomi untuk mengklasifikasi fenomena dalam skop agama dan budaya. Dengan mengumpulkan materi sebanyak mungkin, para fenominologis mengelompokkan berbagai fenomena ke dalam kategori-kategori. Aktivitas dasarnya adalah mencari struktur pengalaman keagamaan agar sampai pada prinsip yang lebih luas yang termanifestasi dalam aspek keagamaan. 

E.    Objek Kajian Studi Islam
Dalam mengkaji Islam, ada beberapa bidang kajian yang ditawarkan Adams, yaitu, Arab pra-Islam, studi tentang Nabi Muhammad, al-Qur’an, hadis, kalam, hukum Islam, filsafat, tasawuf, aliran Islam khususnya Shiah, ibadah, dan populer religion.
  Adams berkeyakinan bahwa tidak mudah untuk menemukan kesepakatan tentang definisi Islam, mengingat Islam tidak hanya terdiri dari satu hal, melainkan terdiri dari banyak hal yang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi sejarah. Kaitannya dengan historisitas inilah, Islam dapat menjadi objek kajian.
1.    Arab pra-Islam
Arab pra-Islam, adalah kondisi sosial Arab sebelum Islam dan interaksi awal Islam dengan kebudayaan jahiliyah.Ada kesinambungan antara Islam dengan agama bangsa Semit. Adams membatasi pengertian tentang Arab pra-Islam adalah Arab menjelang munculnya Islam. Yang penting untuk digaris bawahi, menurut Adams, adalah kesinambungan pengalaman agama Islam dengan tradisi besar agama Timur Dekat, mempunyai hubungan erat antara keduanya.
2.    Muhammad
Studi tentang kehidupan Muhammad banyak bermunculan dalam beberapa tahun sejak Perang Dunia II. Adams memberikan contoh beberapa penulisan dan pengkaji dalam bidang ini. Satu di antaranya adalah Montgomery Watt yang menampilkan dimensi sosial dan ekonomi serta latar belakang aktivitas kenabian Muhammad. Karya Watt lebih menekankan aspek moral dari Nabi Muhammad dan belum menjelaskan bagaimana makna agama dari perspektif umat Islam pada masa Muhammad.
Satu bidang kajian yang masih perlu mendapat perhatian dan dikembangkan menurut Adams adalah eksplorasi tentang kehidupan keberagamaan muslim pada masa Muhammad. Menurut Adams kita bisa merujuk pada peran Muhammad dalam keshalehan Islam, fungsi keberagamaan bagi masyarakat dan posisi kenabian dalam pemahaman Islam. Karya terakhir dalam bidang ini barulah tulisan Tor Andrae yang berjudul Die Person Muhammads. Bagi adams,sebenarnya posisi Muhammad dalam perspektif dan pemikiran orang Islam lebih penting dari pada biografi dan perkembangan kepribadian Muhammad. Mestinya, kajian historis dan kritis tidak hanya berhenti pada persepsi keagamaan tentang Muhammad sebagai Nabi, melainkan di arahkan pada eksplorasi empiris bagaimana orang Islam berfikir mengenai Muhammad.
3.    Al-Qur’an
Kajian kritis tentang al-Qur’an yang dilakukan sarjana Barat banyak berkisar tentang bentuk teks al-Qur’an, kronologi turunnya al-Qur’an, sejarah teks, variasi bacaan, hubungan al-Qur’an dengan kitab sebelumnya, dan beberapa isu penting lainnya.
Toshihiko Izutsu melakukan studi al-Qur’an dengan menggunakan metode dan analisis sematik yang canggih dan mengembangkan makna kata-kata kunci yang mendalam dan menunjukkan hubungan struktural di antara konsep-konsep tersebut dalam al-Qur’an sebagai satu kesatuan.
4.    Hadis
Penelitian kritis terhadap hadis oleh ilmuwan Barat tidak bisa dilepaskan dari nama-nama berikut ini: Ignaz Goldziher (1910), Joseph Schacht (1945), Nabia Abbot (1967). Disamping juga Fazlur Rahman dalam Islamic Methodology and History (1965).
5.    Kalam
Dalam studi Kalam ada empat elemen penting yang perlu diperhatikan sebagai fokus kajia: pertama, model pembaharuan studi Kalam yang dilakukan oleh para sarjana Barat, khususnya Montgomery Watt. Dalam hal ini Adams memberikan catatan bahwa Watt sangat subyektif dan bias dalam mengkaji Kalam pada masa-masa awal. Kedua, upaya memperbaharui teologi konservatif yang generasi kedua seperti al-Juwaini, af-Ghazali, al-Baqillani, Abu Hudhayl al-Allaf, dll. Ketiga, studi tentang pemikiran awal teologi khususnya. Asy’ari dan al- Maturidi. Keempat, fokus studi pada gerakan teologi Mu’tazilah.


6.    Sufisme
Menurut Adams fokus studi tasawwuf yang masih relevan hingga sekarangbmeliputi: pertama, sejarah sufisme yang hingga kini terus menjadi pedebatan dan menjadi elemen penting dalam studi tentang sufisme. Kedua, studi tentang karya-karya penulis muslim khususnya dalam bentuk puisi dan prosa sebagai ungkapan simbolik kepatuhan dan kedekatan pada Allah. Ketiga, studi tentang mystical brotherhood (organisasi sufi/tarekat) yang merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran sufi.
7.    Shi’ah
Wilayah kajian shi’ah (terutama) difokuskan pada tiga hal ; pertama, sejarah shi’ah dan hubungannya dengan sunni. Kedua, sejarah munculnya shi’ah sab’iyyah (shi’ah ketujuh). Ketiga, sejarah dan aliran-aliran dalam shi’ah ithna’ashariyah.
8.    Keberagamaan Populer
Masalah Ibadah, ketaatan dan keberagamaan populer merupakan area yang mendapat sambutan tersendiri di kalangan ummat Islam. Banyak penelitian yang menggambarkan masalah ini. Antara lain paper Padwick, Muslim Devitions dan The Religious Life and Attitude in Islam tulisan Mac Donald pada tahun 1909.

F.    Kontribusi Adams Terhadap Studi Islam
 Amin Abdullah menyebut Adams sebagai salah satu Sarjana Barat yang berpendapat bahwa metodologi ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan pada ilmu-ilmu keIslaman, dan merasakan pentingnya menerapkan kaidah-kaidah ilmiah, metode dan cara pandang yang bisa digunakan dalam studi agama (religionwissenchaft) pada wilayah studi keIslaman.
Secara konseptual, pendekatan yang ditawarkan dalam studi Islam sebenarnya merupakan penguatan terhadap pendekatan yang ditawarkan oleh Joseph M. Kitagawa yang menyatakan bahwa disiplin religionwissenchaft terletak di antara disiplin normatif di satu sisi dan disiplin deskriptif di sisi lain. Mengkaji agama dapat dilakukan dengan menggunakan disiplin-disiplin normatif maupun deskriptif. Aspek deskriptif studi agama harus bergantung kepada disiplin-disiplin yang berhubungan dengan perkembangan historis masing-masing agama psikolog, sosiologi, antropologi, filsafat, filologi, dan hermeneutik.
Kontribusi konkrit Adams, adalah ketika memberikan eksplanasi dan pemetaan yang jelas dari pendekatan normatif dan deskriptif dalam studi Islam dengan diikuti uraian yang detail untuk masing-masing pendekatan. Kemudian masing-masing pendekatan tersebut coba digunakan dalam mengkaji bidang telaah studi Islam yang terdiri dari sebelas bidang kajian. Bagi pengkaji Islam sekarang, pemikiran Adams yang tertuang dalam artikel tersebut , sangat membantu karena Adams begitu banyak melaporkan hasil penelusuran literatur (prior research and concept on the topic) mengenai pendekatan tersebut.
Hasil bacaan yang sangat banyak tersebut tidak sekedar dilaporkan secara detail, tetapi Adams memberikan kritikan sekaligus menyuguhkan kegelisahan akademik untuk masing-masing wilayah telaah dalam studi Islam yang dapat ditindaklanjuti dengan penelitian oleh para pengkaji Islam sekarang. Tidak mengherankan kalau banyak sarjana Barat pun yang menjadikan pemikiran Adams sebagai referensi dalam pembahasan studi agama dan Islam.
Ricard C. Martin pun menempatkan Adams sebagai rujukan utama untuk menguatkan beberapa pendapatnya. Misalnya ketika menulis buku Appoarches to Islamic in Religious Studies, Richard Martin meminta Adams memberikan prakatanya.
Bahkan Ricard Martin sempat memuja Adams sebagai orang yang terdidik untuk menjadi Islamis, yang mempelajari sejarah agama bersama Joachim Wach di Universitas Chicago. Adams berusaha mengejar dua disiplin–sejarah agama dan studi Islam – dengan tujuan untuk mendapatkan alat konseptual guna mempertajam analisis terhadap tradisi Islam dan pemahaman yang lebih tepat tentang hubungan antara unsure-unsur berbeda sekaligus hubungan strukturalnya dengan tradisi lain.
Makalah Carl W. Ernst berjudul The Study of Religion and the Study of Islam   banyak juga mengutip pemikiran Adams, meskipun juga memberikan kritik tajam terhadap beberapa item yang menjadi kelemahan pemikiran Adams.   Di Indonesia, selain M. Amin Abdullah adalah Qodri Aziz yang melihat bahwa Charles J. Adams menampilkan uraian tersendiri dalam penjelasan tentang pendekatan yang ia lakukan dalam studi Islam.

BIBLIOGRAFI A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu KeIslaman, Jakarta: Dippertais, 2005. Carl W. Ernst, “The Study of Religion and The Study of Islam”, Paper Given at Workshop on “Integrating Islamic Studies in Liberal Art Curricula” University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 1998 Charles J.  Adams, “Foreword’, Dalam Approaches to Islam in Relegious Studies, ed. Richard C. Martin Tueson: The University of Arizona Press, VII-X, 1985. Charles J. Adams, “Islamic Religious Studies’, Study of the Middle East. Research and Scholarship in the Humanities and The Social Sciences, ed. Leonard Binder (newyork. John Wiley and Sons, 1976), 32-33. Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, 93. dikutip dari “Islamica Vol 2, No.1, September 2007. Joachim Wach, The Comparative Study of Religion, (New York and Columbia University, 1966), 9. dikutip dari “Islamica Vol 2, No.1, September 2007. Joseph M. Kitagawa, “Sejarah Agama-Agama di Amerika, “ Dalam  Metodologi Studi Agama, ed. Ahmad Norma Permata, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001, Luluk Fikrizuhriyah, Metode dan Pendekatan Dalam Studi Islam, dalam Islamica vol 2 Nomer 1, September 2007. M. Amin Abdullah, ”Pengantar”, Dalam Metodologi studi Agama, ed. Ahmad Norma Permata Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Muhammad Abdul Rouf, ” Outsiders Interpretation of Islam A Muslim’s Point of View”, dalam Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin, Tueson: The University of Arizona Press, 1985. Perta, Ketika Sarjana Muslim Membaca Islam : Eksperimentasi Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam,  Vol. VII, No.2, 2005. Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies: an Introductury Essay” dalam Approaches to Islam in Religious Studies, ed. Richard C. Martin Martin Tueson: The University of Arizona Press, 1985.  

No comments:

Post a Comment