Saturday, May 1, 2010

RUJUK DALAM KONSEPSI HADITS, FIQH, DAN HUKUM POSITIF

Justify Full
RUJUK DALAM KONSEPSI HADITS, FIQH, DAN HUKUM POSITIF

Islam sangat menghormati hak-hak para pemeluknya, termasuk juga di dalam pernikahan yang merupakan hak manusiawi setiap orang. Pernikahan mempunyai suatu tujuan yang sangat mulia, yaitu membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Akan tetapi, dalam menjalani suatu kehidupan berumah tangga, tidaklah selamanya selalu mulus. Ada juga saat-saat krusial yang bisa membahayakan biduk rumah tangga yang telah dibina. Bagi yang kuat, maka mereka dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga, sedangkan bagi yang tidak kuat dengan berbagai problem yang menantang, perceraian menjadi solusi terakhir. Meskipun demikian, Islam tidak serta merta memberikan kelapangan jalan bagi mereka yang bercerai. Akan tetapi, masih banyak konsekuensi dan prosedur yang harus dilalui. Dan meskipun halal, perceraian adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT karena bertentangan dengan tujuan suatu pernikahan.
Kemudian di sinilah Islam menunjukkan kehanifannya. Bagi suami-suami yang ingin merajut kembali tali rumah tangga yang sempat terputus, maka Islam memberikan kesempatan, yaitu melalui ruju’.
Sesuai dengan maksudnya, secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, rujuk berarti kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ruju’ mempunyai hubungan yang erat dengan talak dan iddah. Artinya, ruju’ berkaitan dengan talak karena talak mempunyai beberapa level dimana pada level tertinggi, yaitu talak tiga, ruju’ tidak lagi bisa diwujudkan.
Demikian juga dengan iddah. Iddah yang notabene merupakan konsekuensi logis karena jatuhnya talak, merupakan waktu yang telah ditentukan untuk bisa meruju’ kembali seorang istri. Sedangkan masa iddah bagi muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak) adalah berbeda-beda, tergantung dalam keadaan bagaimana talak itu dijatuhkan, apakah talak hidup atau mati, dalam keadaan hamil atau tidak, serta masih dalam periode subur ataukah menopause.
Demikianlah, pada pembahasan ini selain dikupas melalui perspektif hadits, juga akan dilihat melalui kacamata fikih dengan pendapat para ulamanya serta melalui konsepsi undang-undang sehingga hasilnya akan lebih obyektif selaras dengan perkembangan zaman saat ini.

B. Hadits Utama
Hadits yang menjelaskan tentang ruju’ jumlahnya sangat banyak. Adapun hadits utama ini merupakan hadits sentral yang akan menjadi fondasi awal pada pembahasan ini. Penulis sengaja memakai hadits yang matannya masih global sebagai gambaran umum tentang ruju’. Sedangkan secara terperinci akan dijelaskan pada penjelasan hadits.
Hadits utama pada pembahasan ini adalah hadits Abu Daud nomor 2283, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْعَسْكَرِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا
“Menceritakan Sahl Ibn Muhammad Ibn Al Zubair Al ‘Askariy menceritakan Yahya Ibn Zakariya Ibn Abi Zaidah dari Shalih Ibn Shalih dari Salamah Ibn Kuhail dari Sa’id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW menceraikan Hafshah kemudian merujuknya.”

C. Kosakata
رَاجَعَهَا: الرجَعَة: dengan difathah ra’nya atau dikasrah. Berarti kembali. Dalam arti syara’ berarti sebuah ibarat untuk kembali kepada pernikahan setelah talak ghoiru bain.

D. Hadits Pendukung
Adalah hadits-hadits yang mempunyai kesamaan, baik maksud maupun redaksinya. Hadits-hadits pendukung ini dapat berfungsi sebagai penjelas dan penguat hadits utama. Berikut ini adalah hadits-hadits pendukung yang dimaksud:
1. Riwayat Ibnu Majah
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ زُرَارَةَ وَمَسْرُوقُ بْنُ الْمَرْزُبَانِ قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحِ بْنِ حَيٍّ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا

2. Riwayat An Nasa’i
أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ ح وَأَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو سَعِيدٍ قَالَ نُبِّئْتُ عَنْ يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ عَمْرٌو إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِيهِ ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يُسْأَلُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا فَقَالَ أَتَعْرِفُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ حَائِضًا فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا حَتَّى تَطْهُرَ وَلَمْ أَسْمَعْهُ يَزِيدُ عَلَى هَذَا

3. Riwayat Al Bukhari
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ جُبَيْرٍ سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ فَقَالَ طَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَسَأَلَ عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا ثُمَّ يُطَلِّقَ مِنْ قُبُلِ عِدَّتِهَا قُلْتُ فَتَعْتَدُّ بِتِلْكَ التَّطْلِيقَةِ قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ عَجَزَ وَاسْتَحْمَقَ

4. Riwayat Muslim
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
5. Riwayat Ad Dharimi
أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ خَلِيلٍ وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبَانَ قَالاَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِى زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ قَالَ : طَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا
6. Riwayat Ahmad
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ثُمَّ رَاجَعَهَا

7. Riwayat Ibnu Abi Saibah
حدثنا أبو بكر قال نا عبدة بن سليمان عن عبد الله عن نافع عن ابن عمر أنه أشهد على رجعة صفية حين راجعها.

حدثنا أبو بكر قال نا محمد بن فضيل عن الشيباني عن الشعبي أنه سئل عن رجل طلق امرأته ثم راجعها فيجهل أن يشهد قال : يشهد إذا علم.

حدثنا أبو بكر قال نا وكيع عن سفيان عن مغيرة عن إبراهيم وعن جابر عن الشعبي وعن سلمان التيمي عن طاوس قالوا : الجماع رجعة فليشهد.

E. Takhrij Hadits
Takhrij atau juga dikenal dengan istilah istikhraj, merupakan suatu langkah yang sistematis untuk mengetahui ketersambungan sanad, keadilan dan kedhabitan rawi sehingga akan diketahui status hadits tersebut yang pada akhirnya bisa digunakan sebagai hujjah.
Berikut ini adalah biografi singkat para perawi hadits utama dan silsilah sanadnya:
1. Sahal bin Muhammad
Riwayat : Nama lengkapnya adalah Sahal bin Muhammad bin Zubair Al ‘Askary, termasuk thabaqat yang ke-10 dari kibar al- akhidzin ‘an tabi’ al atba’, dan wafat pada tahun 227 H.
Guru : Menurut Al Mazy dalam kitab Tahdzib Al Kamal beberapa diantara gurunya adalah Hafs bin Ghiyats, Abdullah bin Idris, Amr bin Abi al Muqaddam Tsabit bin Hurmuz, Waki’ bin Jarah, Yahya bin Zakariya bin Abi Zaidah.
Murid : Ja’far bin Hasyim al Baghdadi, Abdullah bin Ja’far al ‘Askari, Amr bin Mansur an Nasa’I, Abbas bin Muhammad Ad-Dauri, dll
Kredibilitas : An Nasa’i mengatakan bahwa beliau adalah orang yang tsubut, sedangkan menurut Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau memiliki derajad tsiqqah dan menurut Abu Zar’ah derajatnya lebih dari tsiqqah. Adapun Abu Hatim menyatakan bahwa beliau berderajat shaduq tsiqqah.

2. Yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah
Riwayat : Nama aslinya adalah Maimun bin Fairuz al Hamdani al Wadi’i Abu Sa’id Al Kufi, termasuk thabaqat ke-9 dari golongan Shighar at-Tabi’in dan wafat pada tahun 183 atau 184 H
Guru : Husain bin Harits al Jadali, Khalid bin Salamah al Makhzumi, Daud bin Abi Hindun, Zakaria bin Abi Zaidah (ayahnya), Sufyan bin ‘Ayyinah, Syu’bah bin Al Hujjaj, Shalih bin Shalih bin Hayyi, dll
Murid : Ahmad bin Hanbal, Asad bin Musa, Husain bin Ali al Kufi, Daud bin Rasyid, Sahal bin Utsman al ‘Askari, Sahal bin Muhammad bin Zubair al ‘Askari, dll
Kredibilitas : Menurut Ibnu Hajar beliau memiliki derajat tsiqqah yang unggul, sedangkan Adz- dzahabi menilai beliau sebagai al hafidz, berbeda dengan Ibnu al Madini, menurutnya keilmuan beliau hilang setelah adanya pemberontakan di Kufah. Adapun menurut al Mazy ; Ibrahim bin Musa al Farrak dari Abi Khalid al Ahmar beliau merupakan seorang yang baik pengambilan haditsnya, menurut Ibrahim juga tapi menurut cerita dari Hasan bin Tsabit beliau lahir sudah dalam keadaan sepandai-pandainya orang Kufah, selain itu Abdullah bin Ahmad bin hanbal dari ayahnya dan Ishaq bin Mansur dan Ahmad bin sa’ad bin Maryam dari cerita Yahya bin Mu’ayyan mengatakan bahwa derajad beliau sudah mencapai tsiqqah, An Nasa’I juga mengatakan seperti itu (tsiqqah tsubut)

3. Shalih bin Shalih
Riwayat : Nama aslinya Shalih bin Shalih bin Hayy (hayyan), ada juga yang mengatakan nama aslinya ialah Shalih bin Shalih bin Muslim bin Hayyan Ats- Tsauri al Hamdani al Kufi, beliau termasuk thabaqat yang ke-6 dari orang-orang yang hidup pada masa shighar at- Tabi’in dan wafat pada tahun 153 Hijriyah
Guru : Hamid Asy- Syami, Sa’id bin Amr bin Asywa’ al Qadli, Abi Safar Sa’id bin Yahmad al Hamdani, Salamah bin Kuhail, dll
Murid : Hasan bin Shalih bin Hayy (anaknya), Sufyan Ats- Tsauri, Sufyan bin ‘Ayyanah, Syu’bah bin Hujjaj, Abdullah bin Mubarrak, Ali bin Shalih bin Hayy, yahya bin Zakaria bin Abi Zaidah, dll
Kredibilitas : menurut Ibnu Hajar; Ahmad mengatakan bahwa derajat beliau adalah tsiqqah tsiqqah dan tsiqqah al ‘ajali, sedang menurut Adz- Dzahabi tsubut. Adapun Al Mazy dalam Tahdzib al Kamal menyebutkan bahwa Ahmad bin Sa’ad bin Abi Maryam diceritakan dari Yahya bin Muayyan mengatakan bahwasannya derajatnya tsiqqah, begitu juga dengan pendapat An Nasa’i, Al Hafidz pun dalam Tahdzib al Tahdzib menyebutkan bahwa Ibnu Khalafun mengatakan kalau derajatnya tsiqqah.

4. Salamah bin Kuhail
Riwayat : Nama aslinya ialah Salamah bin Kuhail bin Hushain bin al Hadlrami, beliau termasukthabaqat yang ke- 4 yakni thabaqah setelah masa pertengahan dari Thabi’in, dan wafat pada tahun 121 H (menurut anaknya yakni Yahya bin Salamah bin Kuhail )
Guru : Ibrahim bin Suwaid Ad- Dzakha’I, Suwaid bin Ghaflah, Hajar bin al ‘Anbas al Hadrami, Sa’id bin Jubair, dll
Murid : Isma’il bin Abi Khalid, Hasan bin Shalih bin Hayy, Hammad bin Salamah, Syu’bah bin al Hujjaj, Shalih bin Shalih bin Hayy, dll
Kredibilitas : Menurut Ibnu Hajar derajatnya tsiqqah, begitu juga pendapat Adz- Dzahabi juga tsiqqah dan ia termasuk dari sebagian ulama Kufah. Adapun Al Mazy dalam Tahdzib al Kamal menyatakan bahwa Ishaq bin Mansur dari cerita Yahya bin Mu’ayyan berderajat tsiqqah, menurut Abu Hatim beliau tsiqqah mutqan (unggul), menurut Muhammad bin Sa’id beliau tsiqqah dan banyak haditsnya

5. Sa’id bin Jubair
Riwayat : Nama aslinya ialah Sa’id bin Jubair bin Hisyam al Asadi al Walabi, beliau termasuk orang yang hidup pada masa pertengahan Tabi’in, wafat tahun 95 H
Guru : Anas bin Malik, Ad Dlahak bin Qais Al Fahri, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, Abi Hurairah, ’Aisyah, dll
Murid : Ja’far bin Abi Mughirah, Habib bin Abi Tsabit, Salamah bin Kuhail, dll
Kredibilitas : menurut Ibnu HAjar derajatnya tsiqqah tsubut faqih, sedangkan menurut Ad-Dzahabi beliau termasuk salah satu orang yang ‘alim

6. Abdullah bin Abbas
Riwayat : Nama aslinya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdu Manaf al Qurasyi al Hasyimi, beliau termasuk thabaqat yang ke-1 yakni termasuk dari sahabat, wafat pada tahun 68 H di Thaif
Guru : Nabi Muhammad saw, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, Tamim bin Ad Dari, dll
Murid : Ismail bin Abdur Rahman, Bakar bin Abdullah al Mizani, Said bin Jubair, dll
Kredibilitas : Menurut ibnu Hajar beliau termasuk sahabat, begitu juga dengan pendapat Adz- Dzahabi, al hafidz mengatakan dalam kitab Taqrib At Tahdzib bahwa beliau di juluki al bahr (lautan) karena keluasan ilmunya

7. Umar bin Khattab
Riwayat : Nama aslinya ialah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Azi bin Rayah bin Abdullah Qirth bin Razah bin al ‘Adi al Qurasyi al ‘Adawi, beliau termasuk thabaqat yang ke-1 dan sebagian dari sahabat, wafat pada tahun 23 H di Madinah
Guru : Nabi Muhammad saw, ubay bin ka’ab, abu bakar as shiddiq
Murid : Abdullah bin zubair, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dll
Kredibilitas : Menurut ibnu Hajar dan Ad- Dzahabi beliau termasuk dari sahabat, beliau termasuk amirul mukminin yang masyhur.






النّبى ص م عمر ابن عباس سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ
سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْعَسْكَرِيُّ ابو داود

F. I’tibar Hadits
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hadits utama tersebut telah memenuhi asas ketersambungan sanad tanpa mengalami keterputusan perawi. Karena para perawi yang meriwayatkan memiliki hubungan guru dan murid, yaitu: Sahl Ibn Muhammad Ibn Al Zubair Al ‘Askariy adalah murid dari Yahya Ibn Zakariya Ibn Abi Zaidah. Sedangkan Yahya Ibn Zakariya Ibn Abi Zaidah adalah murid dari Shalih Ibn Shalih yang pernah menjadi murid Salamah Ibn Kuhail, yang dia adalah murid dari Sa’id Ibn Jubair yang berguru kepada Abdullah Ibnu Abbas yang juga seorang sahabat. Ibnu Abbas berguru kepada Umar Ibn Khatab yang merupakan salah seorang Khulafaur Rasyidin. Umar sendiri mendengar langsung dari Nabi SAW.
Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa hadits utama tersebut merupakan hadits Masyhur Shahih dari segi sanad, sehingga dapat dijadikan hujjah.

G. Penjelasan Hadits
Secara umum hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tersebut mengindikasikan bahwasanya suami memiliki hak rujuk terhadap istri yang telah diceraikannya selama masa iddahnya belum berakhir dan tidak dijatuhi talak 3 (talak bain). Sesuai dengan pengertian ruju’ dalam istilah syara’ yaitu kembalinya suami kepada istri yang telah ditalak raj’I ketika masih dalam masa iddah.
Pengertian tersebut setidaknya mengandung tiga unsur, yaitu: kembalinya suami kepada istri, dalam talak raj’I, dan masih dalam masa iddah.
Pertama, Kembalinya suami kepada istri mengandung pengertian bahwa keduanya pernah terikat perkawinan sebelumnya. Akan tetapi, perkawinan tersebut putus karena adanya perceraian. Pengertian ini membatasi bahwa ruju’ hanya boleh kepada istri bukan orang lain yang sebelumnya tidak terikat perkawinan.
Kedua, dalam talak raj’I. Hal ini mengandung maksud bahwa ruju’ bisa dilakukan ketika istri hanya ditalak raj’I bukan talak bain. Sehingga apabila istri telah dijatuhi talak bain, maka suami tidak bisa meruju’ istrinya lagi meskipun masih dalam masa iddah. Seperti firman Allah QS. Al Baqarah ayat 230:
                    •     
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Tentang ayat tersebut, Ali Ash Shabuni dalam Tafsir Rawaai’ Al Bayan menjelaskan bahwa suami yang telah menjatuhkan talak ketiga (talak bain) kepada istrinya, maka dia haram untuk merujuknya. Kecuali jika istri tersebut telah dikawin oleh orang lain dan setelah keduanya saling merasakan manisnya menjadi suami istri.
Di dalam tafsir yang lain, Shafwah Al Tafaasir, dia juga menjelaskan mengenai kelanjutan ayat tersebut, bahwa jika suami yang kedua telah menceraikannya dan telah habis masa iddahnya, maka suami yang pertama boleh kembali kepada bekas istrinya tersebut, namun bukan dengan akad rujuk, melainkan dengan akad nikah yang baru dengan syarat-syarat dan rukun seperti pernikahan yang dahulu.
Dari penafsiran tersebut juga dipahami bahwa, perkawinan antara wanita yang ditalak bain dengan suami yang kedua harus dengan kerelaan dan tanpa paksaan serta tidak boleh ada suatu konspirasi antara suami yang pertama dan kedua. Dengan kata lain, suami yang pertama menyuruh calon suami kedua untuk mengawini bekas istrinya sesaat dan segera menceraikannya agar dia bisa mengawininya lagi.
Ketiga, masih dalam masa iddah. Maksudnya adalah kesempatan suami untuk merujuk istri hanya sebatas dalam masa iddah. Sehingga, apabila masa iddah telah selesai, maka suami tidak bisa lagi meruju’ istri, melainkan harus dengan akad nikah yang baru.
Selanjutnya, dalam hal suami merujuk isteri tersebut diharuskan pula adanya saksi sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. At-Thalaq: 2 yang berbunyi:
فإذا بلغن اجلهنّ فامسكو هنّ بمعروف او فارقو هنّ بمعروف و اشهدوا ذوى عدل منكم واقيموا الشهادة لله
”Jika telah dekat masa habis iddahnya, maka rujukilah ia dengan baik atau lepaskan dengan baik dan saksikanlah dengan dua orang saksi yang adil dari kalanganmu, dan hendaklah kamu tegakkan penyaksian itu karena Allah! (QS.At-Thalaaq:2)
serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi:
عن عمران بن حصين رضى الله تعالى عنه, أنه سئل عن الرجل يطلّق ثمّ يراجع ولا يشهد, فقال: أشهد على طلاقها, وعلى رجعتها. رواه ابو داود هكذا موقوفا, و سنده صحيح.
Dari Imran bin Husain r.a menceritakan, bahwa ia ditanya orang tentang seorang laki-laki yang mentalak isterinya dan kemudian ingin rujuk dan tanpa ada saksinya, lalu jawabnya, ”adakan saksinya jika mentalak dan pula jika rujuk kepadanya!”
Akan tetapi dalam persaksian ruju’ ini ulama banyak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat para ulama’ tersebut secara lebih detail akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.

H. Pendapat Ulama Tentang Ruju’
Pendapat para ulama tentang ruju’ lebih banyak berhubungan dengan tata cara dan persaksiannya. Tentang kedua hal tersebut, para ulama banyak sekali berbeda pendapat.
Mengenai cara ruju’, Imam Malik berpendapat bahwa apabila seorang suami mencium, bermesraan, atau bahkan bersetubuh pada masa iddah dengan istri yang telah di talaknya sedangkan ia bermaksud untuk merujuknya tetapi ia tidak tahu bahwa rujuknya harus dipersaksikan, maka perbuatannya itu dianggap sebagai ruju.
Dari pendapat tersebut, bisa disimpulkan bahwa menurut Imam Malik ruju’ sah dilakukan meski tanpa ada ucapan (shighot) yang jelas, yang terpenting sudah ada niat dari suami untuk meruju’ istrinya. Pendapat tersebut menganalogikan masa iddah seperti khiyar dalam akad jual beli budak. Seseorang yang menjual budak perempuan dengan khiyar, masih berhak menggauli budaknya pada masa khiyar. Menggauli budak tersebut, sama dengan ia menarik kembali jualannya, ia memilih membatalkan jual beli dengan cara menggauli budak perempuannya.
Pendapat Malik tersebut juga dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani, yang mengatakan bahwa rujuk boleh dilakukan dengan perbuatan. Selain Asy Syaukani masih ada beberapa ulama lain yang juga memperkuat pendapat Imam Malik tersebut, di antaranya Said Bin Al Musayyab, Al Hasan, Ibnu Sirrin, ’Atha’, Thawus, dan para ulama Hanafiyah serta Syi’ah Imamiah.
Sedangkan Imam Syafi’i mensyaratkan ruju’ harus dengan ucapan yang yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika hanya dilakukan dengan cara bersetubuh, berciuman, atau bermesraan dengan sahwat.
Pendapat Asy Syafi’i tersebut bisa dipahami bahwa ucapan yang jelas menjadi syarat sahnya ruju’ bagi orang yang mampu mengucapkan atau tidak bisu. Adapun bagi orang yang bisu, menurut Imam Ahmad, boleh dengan tanpa ucapan melainkan dengan isyarat yang dapat dipahami.
Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa hubungan kelamin bukanlah cara untuk meruju’ istri tetapi harus dengan ucapan dan disaksikan, istri juga harus diberi tahu sebelum lepasnya iddah.
Adapun ucapan-ucapan yang menurut Imam Syafi’i sebagai ucapan sharih dalam ruju’ adalah: raaja’tuki, irtaja’tuki, dan raja’tuki. Menurut Syafi’i kata-kata tersebut merupakan kata yang sangat jelas karena tidak menimbulkan pengertian ganda. Berbeda dengan redaksi amsaktuki, redaksi tersebut di kalangan ulama masih ada perbedaan. Namun Al Rafi’i dalam Kitab Al Muharrar menjelaskan bahwa redaksi tersebut sharih.
Mengenai kerelaan istri, jumhur ulama telah bersepakat bahwa ruju’ adalah hak suami. Suami boleh meruju’ istri saat masih dalam masa iddah tanpa memandang kerelaan istri ataupun wali. Hal ini didasarkan pada Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 228:
         
”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS. Al Baqarah: 228)
Selanjutnya mengenai kesaksian ruju’, para ulama juga berbeda pendapat. Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat, bahwa persaksian ruju’ itu bukanlah syarat, melainkan sunnah saja. Mereka berpendapat bahwa ruju’ hanyalah menyambung perkawinan yang terputus, bukan memulai perkawinan yang baru.
Sedangkan Imam Syafi’i di dalam qaul qadimnya, mensyaratkan adanya kesaksian dua orang saksi dalam rujuk. Alasan yang dikemukakan jelas, yaitu saksi ruju’ telah dinaskan di dalam Al Qur’an Surat At Thalaq ayat 2. Dengan demikian, pendapat Asy Syafi’i tersebut secara langsung berseberangan dengan pendapat Imam Malik. Hal itu disebabkan karena adanya pertentangan qiyas dengan lahir nash dari ayat tersebut.

I. Ruju’ dalam Perspektif Hukum Positif
Perkembangan zaman semakin hari semakin pesat. Pun demikian halnya dengan hukum Islam. Terkadang apa yang tersurat dalam nash Al Qur’an maupun hadits tidak sesuai dengan kultur masyarakat zaman sekarang. Seperti disebutkan dalam sebuah kaidah, “Taghayyur Al Ahkam Bi Taghayyur Al Azminah Wa Al Amkinah.” Bahwa berubahnya suatu hukum itu tergantung oleh berubahnya waktu dan tempat. Dari sini terdapat suatu kemungkinan bahwa hokum Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama salaf terdahulu kurang relevan jika diterapkan pada zaman sekarang dengan perbedaan tempat, rentang waktu, dan kultur masyarakat. Oleh karena itu, untuk menopang permasalahan yang semakin kompleks, perlu adanya ijtihad dalam hukum dengan tanpa meninggalkan dasar utamanya, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.
Di Indonesia, untuk lebih mengefektifkan konsep ruju’ dan hukum Islam lainnya yang telah dirumuskan oleh para ulama salaf dengan dasar Al Qur’an dan As Sunah, maka disahkan suatu Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sumber perumusannya mengambil dari kitab-kitab fikih berbagai madzhab, seperti Syafi’I (paling banyak), Hanafi, Maliki, Hanbali, dan Zhahiri.
Dalam KHI tersebut, ruju’ diatur dalam pasal 163 sampai pasal 169. Yang menarik adalah isi pasal 164 dan 165. Pada pasal 164, istri boleh mengajukan keberatan atas keinginan ruju’ yang diajukan bekas suami. Sedangkan pada pasal 165 dinyatakan, apabila rujuk dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dinyatakan tidak sah.
Isi kedua pasal tersebut sekilas sangat bertentangan dengan konsep fikih dan hadits yang menyatakan bahwa rujuk adalah hak suami dengan tanpa memandang kerelaan istri. Akan tetapi sebenarnya tidak, terlepas dari bias gender, pasal tersebut justru sesuai dengan nafas Islam yang sangat menghormati wanita. Pasal tersebut ditujukan untuk menghormati hak-hak wanita, yang dimungkinkan masih ada rasa trauma dan takut pasca perceraiannya dengan suami. Selain itu, pasal-pasal tersebut dan KHI secara umum difungsikan untuk melengkapi hukum Islam dalam konsep fikih.



DAFTAR PUSTAKA

A. Qadir Hasan. Ilmu Musthalah Hadits. 2007. Bandung: CV Diponegoro.
Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al Qaswiniy. Sunan Ibnu Majah Juz 2. 1998. Kairo: Daar El Hadits.
Abu Al Husain Muslim Ibn Al Hujjaj Al Qusyairi Al Naisyaburiy. Shahih Muslim Juz 1. 2005. Beirut: Daar El Fikr.
Abu Daud Sulaiman Ibn Al Asy’asy Al Sajastaniy. Sunan Abi Daud Juz 1. 1994. Beirut: Daar El Fikr.
Abu Ubaidah Yusuf Bin Mukhtar As Sidawi. Koreksi Hadits-Hadits Dha’if Populer. 2008. Bogor: Media Tarbiyah.
Al Asqalaniy. Ibanatul Ahkam. 2002. Dar Al Fikr. Beirut: Daar El Fikr.
Al Maktabah Al Syamilah. Kutub Al Mutuun: Musnad Ahmad
_________. Kutub Al Mutuun: Musnad Ibnu Abi Saibah
_________. Kutub Al Mutuun: Shahih Al Bukhari
_________. Kutub Al Mutuun: Sunan Ad Dharimi
_________: Tarjamah
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawainan. 2006. Jakarta: Kencana.
Hasbi Ash Shiddiqiy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. Cet. VII. 1991. Jakarta: Bulan Bintang.
HSA Al Hamdaniy. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). 2002. Jakarta: Pustaka Amani.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid juz 2. 2007. Jakarta: Pustaka Amani.
Imam An Nasa’i. Sunan An Nasa’I Juz 5-6. 2005. Beirut: Daar El Fikr.
Muhammad Ali Ash Shabuniy. Rawaai’ Al Bayaan Tafsir Ayat Al Ahkam min Al Qur’an Juz 1. 2001. Jakarta: Daar Al Kutub Al Islamiyah.
_________. Shafwah Al Tafaasir Juz 1. 2001. Beirut: Daar El Fikr. Hal.
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Al Mubarak. Ringkasan Nailul Authar Jilid 3. Cetakan Pertama. 2006. Jakarta: Pustaka Azzam.
Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al Hasiniy. Kifayah Al Ahyaar Fi Halli Ghayah Al Ikhtishar. Tt. Jeddah: Al Haramain.
Zainal Abidin. Fiqh Madzhad Syafi’I jilid 2. 2007. Bandung: Pustaka Setia.


No comments:

Post a Comment