Saturday, May 1, 2010

sejarah Tata Hukum.negara


Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri. Setiap waktu manusia ingin memenuhi kebutuhannya dengan baik. Kalau dalam saat yang bersamaan dua manusia ingin memenuhi kebutuhan yang juga sama dan objek kebutuhan itu pun juga satu dan kedua-duanya tidak mau mengalah, maka akan terjadi bentrokan.
Karena itu di dalam kehidupan suatu kelompok sosial, baik dalam situasi kebersamaan maupun dalam situasi sosial supaya teratur diperlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan tingkah laku itu. Maka diperlukan yang namanya hukum. Jadi hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup manusia.
Sesuai dengan tujuannya untuk mencapai tata tertib demi keadilan, maka aturan-aturan hukum itu akan berkembang sejalan dengan perkembangan pergaulan hidup manusia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tata Hukum.
Tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde” yang artinya adalah susunan hukum, yaitu memberikan tempat sebenarnya kepada hukum. Yang dimaksud dengan memberikan tempat sebenarnya yaitu menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap peristiwa hukum yang terjadi.
Tata hukum adalah susunan hukum terdiri atas aturan-aturan hukum yang tertata sedemikian rupa sehingga orang mudah menemukannya untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat.
Sedangkan menurut C.S.T Kansil, tata hukum sebagai suatu susunan merupakan keseluruhan yang bagian-bagiannya saling berhubungan dan saling menentukan pun saling mengimbangi. Berbicara tata hukum Indonesia digunakan untuk mengantarkan pada siapa saja yang ingin mempelajari aturan-aturan hukum yang sedang berlaku di Indonesia sekarang.
Adapun maksud dan tujuan tata hukum Indonesia antara lain:
1. Berlaku sah bagi bagi masyarakat hukum Indonesia.
2. Dibuat, ditetapkan dan dipertetapkan oleh penguasa masyarakat hukum Indonesia.

B. Sejarah Tata Hukum di Indonesia.
Membicarakan tata hukum di Indonesia tidak akan lengkap tanpa mempelajari sejarahnya, karena di Indonesia telah terjadi siklus perkembangan dunia hukum dari masa ke masa.
Untuk mendefinisikan sejarah, kiranya agak sulit, karena banyaknya pendekatan etimologi yang digunakan. Pendekatan tersebut menghasilkan pengertian yang hampir sama. Dilihat dari etimologi atau asal kata, sejarah dalam bahasa Latin adalah “Historis”. Dalam bahasa Jerman disebut “Geschichte’ yang berasal dari kata geschchen, berarti “sesuatu yang terjadi”. Sedangkan istilah “Historie”menyatakan kumpulan fakta kehidupan dan perkembangaan manusia.
Sejarah tata hukum di Indonesia dimulai dari berdirinya negara kesatuan RI 17 Agustus 1945, dimana kemerdekaan RI diproklamasikan. Dengan demikian jelaslah bahwa dengan proklamasi berarti pula memiliki dua arti, pertama menegarakan indonesia dan yang kedua menetapkan tata hukum Indonesia, dan ini terbagi kepada beberapa periode:
1. Periode 17 Agustus 1945 - 27 Desember 1949. Pada periode ini, konstitusi yang berlaku adalah UUD 1945 yang ditetapkan dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Menurut UUD yang berdaulat itu adalah rakyat dan dilakukan oleh MPR, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Karena MPR melakukan kedaulatan rakyat, oleh UUD ditetapkan pula beberapa hak dan wewenangnya seperti menetapkan UUD dan GBHN, memilih dan mengangkat presiden dan mengubah UUD.
2. Periode 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950. pada periode ini tidak lepas dari keinginan Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan tersebut Belanda mengadakan dua cara:
a. Melakukan kontak senjata (agresi) yaitu agresi I tahun 1947 dan agresi II tahun 1948.
b. Cara diplomatis, yaitu Belanda mengintimidasi PBB dan mengatakan bahwa keberadaan NKRI tidak ada dan TNI hanyalah perampok malam. Atas saran PBB diadakanlah KMB di Den Haag, Belanda dengan isi:
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
3. Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan kerajaan Belanda.
Sebagai negara serikat, maka UUD 1945 sebagai hukum dasar tidak berlaku lagi. Untuk itu perlu membuat UUD baru.
3. Periode 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959. Periode ini adalah persetujuan mendirikan NKRI kembali tertuang dalam perjanjian 19 Mei 1950. Untuk mewujudkan tujuan itu dibentuklah suatu panitia yang bertugas membuat UUD yang bertugas pada tanggal 12 Agustus 1950. Rancangan UUD tersebut oleh badan pekerja komite nasional pusat dan dewan perwakilan rakyat serta senat RIS pada tanggal 14 Agustus 1950 disahkan, dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Mengenai bentuk negara diatur dalam alinea 4 UUDS 1950 yang menentukan,”maka kami menyusun kemerdekaan itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik kesatuan... “. Demikian pula yang ditegaskan pada pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang menentukan rakyat Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
4. Periode 5 Juli 1959 - sekarang. Seperti halnya UUD 1949, UUD 1950 juga bersifat sementara. Pada tahun 1956 Presiden Soekarno mendirikan badan konstituante yang bertugas untuk menyusun UUD .Tetapi badan konstituante ini belum dapat menyelesaikan tugasnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka pada tanggal 22 April 1959 atas nama pemerintah, presiden memberikan amanat didepan sidang pleno konstituante yang berisi anjuran agar konstituante menetapkan saja UUD 1945 sebagai UUD yang tetap bagi RI. Setelah diberikan tenggang waktu, konstituante belum juga mampu menyusun UUD . Dengan kekhawatiran akan terjadi disintegrasi dan perpecahan, sebagai tindak lanjutnya pada Minggu 5 Juli 1959, di Istana Negara Presiden mengeluarkan dekrit yang berisi:
1. Pembubaran konstituante.
2. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
3. Pembentukan MPRS yang terdiri atas anggota MPR ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPA sementara.
Maka dengan dekrit presiden ini, berlaku kembali UUD 1945. Untuk mewujudkan pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 dibentuklah alat-alat perlengkapan negara seperti: presiden dan para menteri, DPR, MPR, DPA dan lain-lain.

C. Bentuk-bentuk Hirarki Aturan Hukum.
Yang dimaksud dengan hirarki aturan hukum adalah urutan-urutan mengenai tingkatan dan derajat daripada undang-undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya.
Undang-undang terbagi menjadi 2 macam arti, yaitu dalam arti formil dan materil. Dalam arti formil yang dinamakan undang-undang merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum. Sedangkan undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Dan sumbernya berasal dari 6 jenis, yaitu undang-undang, kebiasaan, traktat, yurispodensi, doktrin, dan hukum agama. Undang-undang juga memiliki 2 tingkatan, yakni tingkat atas dan bawahan yang dikenal dengan istilah hirarki.
Adapun hirarki perundangan di Indonesia terbagi menjadi 3 masa, yaitu sebagai berikut:
1. Masa Hindia Belanda.
Hirarki perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang dasar Belanda.
b. Undang-undang Belanda (ditetapkan oleh pemerintah Belanda bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat).
c. Ordonansi (ditetapkan oleh gubernur jenderal bersama dengan “Volksraad” atau Dewan Rakyat), Indische Staatsregeling (IS), titah raja Belanda yang membuat suatu Algemene Maatregel Van Bestuur (ANVB).
d. Peraturan pemerintah (regeringsverodening) ditetapkan oleh gubernur jenderal untuk menyelenggarakan undang-undang Belanda, titah raja Belanda (konimklijk besluit dan ordonansi).
e. Peraturan daerah.
2. Masa berlakunya UUDS 1950.
Pada masa ini hirarki perundangan yang berlaku adalah sebagai berikut:
a. Undang-undang dasar.
b. Undang-undang dalam arti formal dan undang darurat.
c. Peraturan pemerintah.
d. Peraturan daerah.
3. Masa setelah kemerdekaan.
Berdasarkan ketetapan MPRS no.xx/tahun 1966, telah ditentukan susunan dan tingkatan tata urutan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut:
a. Undang-undang dasar.
b. Undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
c. Peraturan pemerintah (pp).
d. Keputusan presiden (kepres).
e. Peraturan-peraturan lainnya seperti: peraturan menteri, instruksi menteri, peraturan daerah, dan sebagainya.

D. Proses Penyusunan UUD.
Dalam menyusun dan membuat UUD yang baik, sangat diperlukan adanya persiapan-periapan yang matang dan mendalam, maka proses pembentukan undang-undang terdiri dari 3 tahap, yaitu:
1. Proses penyiapan rancangan undang-undang, yaitu merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan pemerintah atau DPR (dalam hal RUU inisiatif).
2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di MPR.
3. Proses pengesahan (oleh presiden) dan pengundangan (oleh menteri sekretaris negara atas perintah presiden).
Tiga tahap proses pembentukan undang-undang:
1. Proses penyiapan rancangan undang-undang.
A. Proses penyiapan rancangan UU di lingkungan pemerintah.
Dalam proses penyiapan rancangan UU yang berasal dari pemerintah, kita berpedoman pada intruksi presiden no.15 tahun 1970 tentang tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan pemerintah RI. Instruksi presiden itu merupakan perintah yang berisi petunjuk presiden kepada para menteri (pimpinan departemen) dan para kepala non departemen (LPND) mengenai bagaimana prosedur penyusunan rancangan UU dan rancangan peraturan pemerintah. Instruksi presiden tersebut sebagai berikut:
• masing-masing departemen dan lembaga dapat mengambil prakarsa untuk mempersiapkan rancangan UU dan rancangan peraturan pemerintah sepanjang yang menyangkut tugasnya.
• Prakarsa tersebut dengan penjelasan pokok materi serta urgensinya supaya terlebih dahulu dilaporkan kepada presiden sebelum dilaksanakan persiapan penyusunannya.
B. Proses persiapan rancangan UU dilingkungan DPR.
Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat 1 yang kita kenal dengan rancangan UU usul inisiatif. Rancangan ini dapat diajukan oleh
• 10 orang anggota DPR yang tidak hanya terdiri atas satu fraksi.
• Komisi atau tabungan komisi.
2. Proses mendapatkan persetujuan (proses pembahasan di DPR).
Menurut peraturan tata tertib DPR RI no 9/DPR-RI/I/1997-1998, khususnya pasal 125 sampai dengan pasal 129 menentukan bahwa pembahasan rancangan UU dilakukan melalui 4 tingkat pembicaraan, yaitu:
1. Tingkat I dilakukan dalam rapat paripurna.
2. Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.
3. Tingkat III dilakukan dalam rapat komisi.
4. Tingkat IV dilakukan dalam rapat paripurna.
Pembahasan rancangan UU di DPR:
1. Pembicaraan tingkat I: rapat paripurna.
• Pada pembicaraan tingkat I acaranya adalah tunggal, yaitu keterangan atau penjelasan pemerintah mengenai rancangan UU tersebut.
• Keterangan atau penjelasan oleh pimpinan komisi atau rapat gabungan komisi atau rapat panitia khusus.
2. Pembicaraan tingkat II: rapat paripurna.
• - Pemandangan umum para anggota DPR yang membawakan suara fraksinya terhadap rancangan UU beserta keterangan atau penjelasan pemerintah.
- Jawaban pemerintah terhadap tanggapan/pemandangan umum para anggota DPR.
• - Tanggapan dari pemerintah terhadap rancangan UU usul inisiatif DPR beserta penjelasan komisi atau gabungan komisi atau panitia khusus.
- Jawaban pimpinan komisi atau gabungan komisi atau panitia khusus atas nama DPR terhadap tanggapan pemerintah.
3. Pembicaraan tingkat III: rapat komisi.
Dalam pembicaraan tingkat III ini baik rancangan UU dari pemerintah maupun rancangan UU usul inisiatif DPR akan dibahas secara keseluruhan, mulai dari penamaan, pembukaan, pasal-pasal, sampai bagian akhir dari rancangan UU tersebut.
4. Pembicaraan tingkat IV: rapat paripurna.
• Laporan hasil pembicaraan di tingkat III.
• Penyampaian pendapat akhir dari fraksi-fraksi yang disampaikan oleh para anggota.
• Pengambilan keputusan
• Pemberian kesempatan kepada pemerintah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut di atas.
3. Proses pengesahan dan pengundangan.
Apabila pembicaraan suatu rancangan UU dalam rapat paripurna tingkat IV telah selesai, rancangan UU yang sudah disetujui DPR tersebut akan dikirimkan oleh pimpinan DPR kepada presiden melalui sekretaris negara untuk mendapatkan pengesahan.
Setelah menerima rancangan UU yang telah disetujui DPR tersebut, sekretaris negara akan menuangkan pada kertas kepresidenan dan akhirnya akan dikirimkan kepada presiden untuk disahkan. Presiden kemudian akan mengesahkan UU tersebut dengan cara menandatangani UU tersebut. Setelah UU itu disahkan presiden, maka agar UU tersebut dapat berlaku dan mengikat umum, kemudian UU tersebut akan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara.


BAB III
KESIMPULAN

Dari materi di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan :
1. Menurut R. Abdoel Djamali tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda “recht orde” yang artinya adalah susunan hukum, yaitu memberikan tempat sebenarnya kepada hukum.
2. Sedangkan menurut J.B. Daliyo tata hukum adalah susunan hukum terdiri atas aturan-aturan hukum yang tertata sedemikian rupa sehingga orang mudah menemukannya untuk menyelesaikan peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat.
3. Sejarah tata hukum Indonesia terbagi kepada beberapa periode :
1. Periode 17 Agustus 1945 - 27 Desember 1949.
2. Periode 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950.
3. Periode 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959.
4. Periode 5 Juli 1959 - sekarang.
4. Hirarki perundangan di Indonesia terbagi menjadi 3 masa, yaitu sebagai berikut:
1. Masa Hindia Belanda.
a. Undang-undang dasar Belanda, b. Undang-undang Belanda, c. Ordonansi, d. Peraturan pemerintah (regeringsverodening), e. Peraturan daerah.
2. Masa berlakunya UUDS 1950.
a. Undang-undang dasar, b. Undang-undang dalam arti formal dan undang darurat, c. Peraturan pemerintah, d. Peraturan daerah.
3. Masa setelah kemerdekaan.
a. Undang-undang dasar, b. Undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), c. Peraturan pemerintah (pp), d. Keputusan presiden (kepres), e. peraturan-peraturan lainnya seperti: peraturan menteri, instruksi menteri, peraturan daerah, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Arrasjid, Chairul. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Daliyo, J.B. 1992. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Djamali, R. Abdoel . 1993. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Raya Grafindo Persada.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mas, Marwan. 2005. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka.

No comments:

Post a Comment