Prolog
Alasan ini sangat klasik bahwa ketidakjelasan pengembangan studi hukum Islam saat ini pada tataran materi dan metodologi adalah berawal dari perbedaan pendapat para ulama tentang istilah, makna dan cakupan dari hukum Islam itu sendiri. Apakah hukum Islam ini adalah terjemahan dari shari>'ah, shar'y atau fiqh? Kalau terjemahan dari fiqh, apakah dalam makna pada masa awal munculnya istilah itu sebagaimana dimaknai oleh Imam Abu Hanifah sebagai seluruh pranata dan aturan dalam Islam termasuk tauhid dan akhlak, ataukah dalam makna yang berkembang kemudian, yakni yang mencakup hukum murni an sich.
Perbedaan di atas sampai saat ini tetap eksis dan sudah tentu berpengaruh pada perkembangan hukum Islam, pilihan materi dan metodologinya. Lebih-lebih, perkembangan hukum Islam itu sendiri menghadapi kesulitan ketika dikomparasikan atau dilihat dengan perspektif hukum Barat dengan segala metodologinya. Hal ini sangat dirasakan oleh sarjana-sarjana hukum Islam Barat, sebut saja misalnya Wael Hallaq ketika mencoba mensinergikan terma dan metodologi hukum Barat dengan hukum Islam dalam bukunya A History of Islamic Legal Theories:An Introduction to Sunni> us}u>l al-fiqh.
Beragamnya pendapat tentang hukum Islam ini, mulai dari yang klasik sampai yang modern, sesungguhnya menjadi khazanah yang menyediakan opsi-opsi yang mencerdaskan yang mampu mencetak watak kesarjanaan yang progresif, menghargai perbedaan dan memahami makna hakiki dari pluralisme. Sayangnya, perkembangan yang terjadi saat ini adalah memilih satu opsi untuk diyakini dan dianut secara fanatis tanpa menyisakan ruang kebenaran untuk pemilih opsi hukum yang lain. Inilah yang juga lazim terjadi di PTAI di Indonesia.
Berikut ini adalah sketsa sekilas tentang materi dan metodologi hukum Islam yang dikembangkan di IAIN untuk melihat jelas kelemahan-kelemahan yang telah melahirkan potret hukum Islam di Indonesia yang handicap. Pada bagian akhir tulisan ini akan dipaparkan beberapa faktor lainnya yang mendukung kurang kokohnya kajian hukum Islam di IAIN.
Materi Hukum Islam di PTAIN
Sesungguhnya studi hukum Islam di PTAIN saat ini sudah banyak mengalami kemajuan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada Keputusan Menteri Agama tentang penyempurnaan KepMenag No. 110/1982, tanpak dengan jelas pembidangan ilmu-ilmu keislaman, disiplin, sub-disiplin dan arah pengembangannya. Ilmu Syari'ah adalah bidang kajian yang ke-6 dari 12 bidang kajian yang ada. Dari sini jelas bahwa makna fiqh yang dipakai adalah makna fiqh sebagai hukum murni.
Pilihan semacam ini masih menjadi bagus manakala diimbangi dengan matakuliah-matakuliah yang mengisi bagian-bagian lain dari studi Islam sehingga mahasiswa mampu memahami bangunan Islam yang utuh, walaupun kajian pokoknya adalah hukum Islam. Hal ini sudah dilakukan oleh PTAI, termasuk di fakultas dimana penulis mengajar.
Meskipun demikian, studi hukum Islam seperti ini membutuhkan pilar-pilar metodologis yang harus diajarkan bersama dengan materi hukumnya. Pendekatan-pendekatan filosofis, historis, sosiologis dan juga politik menjadi sangat urgent untuk menampilkan wajah hukum Islam yang membumi, luwes dan fleksibel. Sayangnya, materi-materi kuliah seperti inilah yang kurang mendapatkan tempat dan perhatian.
Kenyataan yang lebih parah adalah ternyata bukan hanya metodologi dan pendekatan kontemporer yang tidak mendapatkan tempat, kajian-kajian teori fiqh klasik pun, seperti us}u>l al-fiqh dan qawa>'id al-fiqh tidak mendapatkan porsi yang layak. Bagaimana studi hukum Islam akan mampu berkembang sementara landasan-landasan pokoknya tidak banyak dipelajari. Perkembangan hukum Islam tidaklah terletak pada materi-materi hukum Islam yang sudah "tidak berdaya" dalam teks kitab-kitab kuning, melainkan pada ruh hukum Islam itu sendiri yang ada pada aplikasi metodologi.
Ketidakseimbangan materi kuliah, antara materi hukum Islam dan teori hukum Islam memiliki implikasi negatif yang saat ini kita sudah rasakan. Kekayaan "hafalan" materi hukum Islam yang dibarengi dengan kemiskinan teori, metodologi dan pendekatan hukum telah melahirkan rigiditas dalam bersentuhan dengan realitas yang dinamis dan fanatisme yang kental ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat. Menurut hemat penulis, peningkatan kajian metodologis sebagai matakuliah wajib perlu dilakukan.
Metodologi Studi Hukum Islam
Lemahnya penguasaan metodologi studi hukum Islam di PTAIN dapat dilihat dari karya akhir studi mahasiswa. Karya akhir mereka, terutama yang S1 dan pada beberapa bagian juga S2 dan S3 menampilkan pola kajian yang seragam, metodologi yang kaku dan bahkan objek kajian yang relatif sama. Ada semacam keengganan untuk bersentuhan dengan kajian dengan menggunakan inter-disciplinary approach.
Pendekatan sosiologis, politik, filosofis terhadap hukum sangat jarang, kalau tidak bisa dikatakan tidak pernah, dilakukan oleh mahasiswa S1, namun sudah ada dilakukan oleh mahasiswa S2 dan S3. Skripsi mereka cenderung sama menggunakan judul "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ….", "PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG …" dan paling jauh adalah kajian komparatif antara hukum Islam dan hukum positif. Uraiannya sangatlah deskriptif dan sepi dari pendekatan-pendekatan kontemporer. Ini adalah indikator nyata gagalnya pencapaian target belajar MSI.
Kenyataan di atas, pada tataran yang lebih luas, telah menyebabkan tiga hal yang poisonous: pertama, lahirnya sarjana yang mendapatkan legitimasi akademik tetapi tetap berpola pikir non akademik. Menarik untuk dicatat bahwa penyakit seperti ini juga banyak terjadi pada mhasiswa alumni Barat yang pernah mengalami pencerahan tetapi kemudian kembali pada "madhhab masa lalunya" ketika kembali ke masyarakat. Akhirnya, tokoh dan teks hukum Islam klasik mengalami penguatan mistifikasi di kalangan masyarakat awam, reformasi hukum Islam mengalami hambatan yang sangat berat; kedua, hukum Islam akan terus going no where kecuali tetap menjadi teks yang tidak memiliki konteks karena kebutuhan sosial, budaya dan kehidupan masyarakat yang terus mengembang tidak pernah dikaji dan dipenuhi; ketiga, tetap bertahannya absolutisme, tradisionalisme dan aroganisme keberagamaan. Tafsir-tafsir keagamaan yang tidak bersahabat, tidak memiliki visi universalitas nilai keadilan dan kesejahteraan, serta tidak mau bersentuhan dengan realitas sangat mungkin muncul dari kelompok semacam ini.
Menurut hemat penulis, ada empat problem utama dalam pembelajaran Metodologi Studi Islam di PTAIN, minimum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel tempat penulis bekerja:
1. Kurangnya jumlah SKS untuk MSI dalam berbagai pendekatan. MSI dalam silabus S1 IAIN adalah dasar-dasar metodologis untuk semua kajian studi keIslaman mulai dari hukum Islam, teologi dan lain sebagainya yang diberikan pada mahasiswa semester satu dengan bobot 2 SKS. Ini adalah matakuliah yang berat dengan bobot yang sedikit diberikan kepada orang yang secara intelektual baru beranjak "matang."
2. Rendahnya intellectual ability and capability dosen pengajar, sehingga tidak mampu merangsang mahasiswa untuk searching and surfing lebih jauh dengan pendekatan-pendekatan kontemporer multi-disipliner. Harus diakui sebagai sebuah kenyataan bahwa masih banyak dosen dan pengajar di semua strata pendidikan yang tidak mengerti pendekatan studi keislaman kontemporer, seperti hermeneutika, fenomenologi, history of ideas, konstruksi sosial dan lain sebagainya. Yang unik adalah mereka menyembunyikan ketidakmengertiannya di balik ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan baru itu.
3. Kurangnya buku-buku referensi metodologi studi Islam yang bisa diakses dengan baik juga menjadi kendala. Perpustakaan masih dipenuhi dengan buku-buku lama. Buku-buku baru dan juga jurnal-jurnal yang biasanya mengusung isu dan ide baru pendekatan penelitian dan studi keagamaan sangat sulit didapatkan.
4. Rendahnya modal akademis mahasiswa. Penyaringan test masuk IAIN terlalu longgar, sehingga calon mahasiswa yang tidak bisa baca tulis Arabpun bisa lolos. Adalah naif, apabila ada mahasiswa S2 dan S3 yang sama sekali tidak menguasai bahasa Arab dan atau bahasa Inggris, karena akan mengalami kesulitan mengupgrade khazanah keilmuannya.
Strategi Pengembangan
Dari uraian di atas jelaslah bahwa wajah pengembangan hukum Islam yang cenderung lamban di PTAI dan juga dalam masyarakat muslim di Indonesia secara umum adalah implikasi dari kurang diperhatikannya aspek metodologi dan pendekatan studi hukum Islam.
Menyadari masalah-masalah tersebut, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Penambahan bobot sks MSI pada program S1, dan pendalaman berkelanjutan pada program S2 dan S3.
2. Peningkatan mutu dan kemampuan akademik dosen pengajar MSI, dengan diadakannya seminar, workshop dan training metodologi studi hukum Islam. Dosen MSI ini seharusnya adalah mereka yang sudah belajar dan ditraining secara khusus, bukan asal dosen yang setiap semester berganti matakuliah sebagaimana yang saat ini masih banyak terjadi di PTAI kita. Upaya mengembangan mutu dosen, sebagaimana yang dilakukan di UIN Yogyakarta, dengan cara mengirimkan dosen dan staf pengajarnya ke universitas-universitas Barat dan Timur Tengah adalah cara yang sangat efektif untuk proses enlightenment.
3. Kajian ulang silabus MSI di PTAI sekaligus penambahan referensi yang bisa diakses oleh mahasiswa. McGill University bisa menjadi salah satu contoh dalam hal kelengkapan buku dan jurnal dalam bentuk hard copy. Harvard University bisa ditiru dalam hal kelengkapan akses jurnal online dimana universitas subscribe ke situs jurnal untuk kemudian dibaca oleh mahasiswa.
Perbaikan output pendidikan PTAI akan sangat bermakna bagi perkembangan pemahaman hukum Islam di masyarakat umum. Pemahaman keislaman yang progresif akan mudah tumbuh apabila tabiat hukum Islam yang luwes dan fleksibel menjadi suatu kenyataan. Sejarah akan mencatat bahwa PTAI telah berhasil mengawal keberagamaan masyarakat yang damai "dari kampus untuk masyarakat."
No comments:
Post a Comment