Saturday, May 1, 2010

asas sababiyah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Islam sebagai agama samawi tidak hanya mengatur hal ihwal ibadah manusia, melainkan seluruh aspek kehidupan manusia, seperti politik, perdagangan, sosial termasuk kewarisan.
Kewarisan dalam Islam diatur dengan dan komprehensif baik dalam teks al-Qur’an maupun Hadits.
Mempusakai atau dalam istilah lain disebut mewariskan berfungsi untuk menggantikan kedudukan si mati (pewaris) dalam memiliki, mengatur dan mentasarrufkan harta si mati. Namun, peralihan harta ini tidak serta merta dialihkan kepada siapa saja, tapi ada asas-asas pembagian, syarat-syarat tertentu yang harus dipertimbangkan dan dipenuhi.
Oleh karena ada asas-asas dalam pembagian harta waris ini, diantaranya adalah asas ijbari, individul, keadilan, nasabiyyah. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang asas sababiyah. Semoga bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan makalah ini bisa mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka kami memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu asas sababiyah?
2. Siapa sajakah golongan sababiyah itu?

BAB II
PEMBAHASAN\

A. Asas Sababiyah
Asas berasal dari kata al-ussu kemudian berubah menjadi al-asasu atau al-asas yang bermakna asal, dasar atau pangkal suatu bangunan. Selanjutnya, kata asasa berubah menjadi ussu atau asas yang mengandung makna kaidah-kaidah yang harus dipertahankan karena ia berpangkal dari hati atau dasar.
Asas dapat juga diartikan sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.
Sedangkan sabab berarti sebab.

Memang secara khusus pengertian asas sababiyah ini tidak banyak ditemukan dalam buku atau dalam literatur-literatur klasik. Namun, dari arti dua kata di atas dapat difahami bahwa asas sababiyah dalam kewarisan Islam adalah menjadikan sebab-sebab tertentu seseorang mendapatkan harta waris (selain kerabat hakiki) sebagai dasar untuk mendapatkan warisan menurut syari’at.

B. Golongan Sababiyah
Golongan Sababiyah atau dalam bahasa arab dikenal dengan ‘ushubah sababiyah adalah golongan yang karena dengan sebab tertentu mendapatkan warisan dari pewaris tanpa ada hubungan nasab, tapi karena sebab-sebab lain. Dalam hal ini ada 2 golongan, yaitu sebab telah terjadi perkawinan dan sebab telah memerdekakan budak. Penjelasan tentang golongan sababiyah ini sebagai berikut:
1. Perkawinan (Mushaharah)
Perkawinan yang sah menurut syari’at merupakan suatu ikatan yang sentosa untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang wanita, selama ikatan perkawinan itu masih abadi. Beda halnya bila keduanya sudah bercerai (talak bain). Masing-masing pihak adalah teman hidup bagi yang lain dan pembantu dalam memikul beban hidup bersama.
Suami sebagai pemimpin yang bertanggungjawab tidak mengenal lelah dalam berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu bijaksana sekali jika Allah memberikan bagian tertentu sebagai imbalan pengorbanan dan jerih payahnya.
Demikian juga istri sebagai kawan hidup, yang sama-sam
a merasakan suka dukanya hidup berumah tangga bahkan tak jarang ia ikut berkorban membantu sang suami dan bekerja untuk menambah penghasilan. Maka adillah kiranya kalau istri diberi bagian yang pasti dari harta peninggalan suaminya sebagai imbalan jasa-jasanya atau sebagai sumbangan nafkah sampai ada orang lain yang akan menanggung nafkahnya atau sebagai modal hidup selanjutnya, apabila suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan.
Inilah sebabya suami dan istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris siapapun. Paling-paling mereka akan dapat dihijab nuqshan (diperkecil bagiannya) oleh anak turun mereka atau oleh ahli waris yang lain.
Keduanya akan mendapatkan furudul Muqaddarah yang telah ditetapkan oleh syara’, yaitu ½, ¼ atau 1/8 sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 12:
                                                                     •                             
Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Syarat-syarat Perkawinan
Tidak semua perkawinan yang menjadi sebab mendapatkan harta waris ini, namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1) Akad perkawinan itu sah menurut Syari’at, baik pasangan suami istri itu sudah dukhul (jima’) atau belum. Sebagaimana tindakan Rasulullah Saw bahwa beliau telah memutuskan kewarisan Barwa’ binti Wasyiq, suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan belum menetapkan maskawinnya. Putusan Rasulullah ini menunjukkan bahwa pernikahan antara Barwa’ dengan suaminya adalah sah. Suatu perkawinan tidak semata-mata tergantung pada hubungan kelamin saja, tapi tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan.
Dari pernyataan ini dapat ditarik pemahaman bahwa suatu perkawinan yang dinyatakan fasid (rusak) oleh pengadilan agama karena tidak terpenuhinya syarat dan rukun perkawainan maka tidak bisa menjadi penyebab mendapatkan warisan meskipun suami istri tersebut sudah melakukan hubungan kelamin berulang kali.
2) Ikatan perkawinan suami istri tersebut masih utuh atau dianggap masih utuh. Perkawinan dikatakan “masih utuh” jika dalam hubungan perkawinan itu tidak dalam keadaan talak, baik talak bain maupun raj’iy. Sedangkan yang disebut perkawinannya “dianggap masih utuh” adalah jika perkawinannya itu dalam keadaan talak raj’iy tapi masih dalam masa iddah (masa menunggu). Dikatakan dianggap masih utuh karena suami masih berhak ruju’ pada bekas istrinya yang masih dalam keadaan iddah itu dengan ucapan atau perbuatan tanpa memerlukan kerelaan atau persetujuan istri, membayar maskawin lagi, menghadirkan 2 orang saksi serta tanpa seorang wali lagi.
Dari uraian ini dapat kita fahami:
• Jika suami meninggal dan meninggalkan harta pusaka dan istri yang tertalak raj’iy dan dalam masa iddah, maka si istri masih bisa menerima harta waris dari suaminya.
• Suami berhak mendapatkan harta waris istri yang meninggal dalam keadaan talak raj’iy.
• Keduanya tidak dapat saling mewarisi bila masa iddah talak raj’iy itu telah habis (beralih ke talak bain) karena perkawinannya telah putus.
Ada sebuah pendapat yang bersumber dari Umar dan Utsman ra yang akhirnya dianut oleh Imam Syuraih, as-Sya’bi, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i dalam qoul qadimnya bahwa Bila seorang suami menalak istrinya dalam keadaan sakit berat, kemudian suami mati di saat istrinya masih dalam keadaan iddah maka istri masih bisa mewarisi harta peninggalan suaminya, tapi suaminya tidak dapat mewarisi harta istri jika istrinya yang mati.
Tapi menurut Ibnu Zubair perempuan yang sudah ditalak battah (tidak dapat diruju’) tidak berhak mendapatkan harta mantan suaminya. Pendapat ini bersumber dari Sahabat Ali dan Abdurrahman bin ‘Auf ra yang kemudian difatwakan oleh Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya. Sebab talak yang demikian itu adalah talak bain, seperti halnya talak bain yang terjadi di waktu sehat.
Inilah salah satu asas yang dengan sebab perkawinan seseorang mendapat harta warisan, yaitu Perkawinan yang sah menurut syari’at Islam, yang pada akhirnya dalam ilmu mawaris dinamakan asas sababiyah.
2. Wala’
Memang perbudakan sudah tidak relevan lagi karena sudah tidak ada di muka bumi ini. Namun, perlu sedikit dijelaskan untuk sekedar menambah wawasan kita dalam perbudakan dan untuk mengetahui bahwa wala’ atau perbudakan ini termasuk dari golongan sababiyah.
Secara etimologi wala’ berarti Persahabatan atau nikmat kemerdekaan, atau pertolongan untuk memperkuat kekerabatan.
Sedangkan secara terminologi wala’ berarti suatu kekerabatan yang disebabkan oleh adanya pemerdekaan budak yang dilakukan oleh tuannya.
Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris sebab ia telah memerdekakan budaknya. Jadi, apabila seseoranag telah dimerdekakan oleh tuannya ketika mati maka ahli warisnya adalah bekas tuannya tersebut.
Dasar hukumnya adalah surat An-Nisa’ ayat 33:
              •       
Artinya:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Kata “mawali” dalam ayat di atas adalah bentuk plural (jamak) dari wala yang mengandung arti kekuasaan, seperti kekuasaan tuan terhadap hambanya. Ini berarti berkuasa penuh terhadap hak kemerdekaan seseorang adalah suatu perbudakan yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Demikian pula dalam hadits dijelaskan:
انماالولاءلمن اعتق
Artinya: Hak wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.
Kata ”innama” dalam hadits tersebutmerupakan alat pembatasan sehingga hadits tersebut dipahami bahwa tidak ada wala’ kecuali untuk orang yang membebaskan saja. Karena itu, Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa perbudakan harus dihapuskan, dalam arti status seseorang harus mempunyai kesamaan dalam hak dan kewajiban. Dengan argumen ini terlihat apabila tuan memerdekakan budaknya, maka tuan dapat menjadi ahli waris dari budaknya tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat kami simpulkan:
1. Asas sababiyah dalam kewarisan Islam adalah menjadikan sebab-sebab tertentu seseorang mendapatkan harta waris (selain kerabat hakiki) sebagai dasar untuk mendapatkan warisan menurut syari’at.
2. Golongan Sababiyah atau dalam bahasa arab dikenal dengan ‘ushubah sababiyah adalah golongan yang karena dengan sebab tertentu mendapatkan warisan dari pewaris yang ada hubungan nasab, tapi karena sebab-sebab lain, yaitu Perkawinan dan Wala’.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an al-Karim
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.1989.
Fatchurrahman. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1971
Parman, Ali. Kewarisan dalam al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1995
Sarmadi, A. Sukris. Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997
Tsalbiy, Muhaummad Musthafa. Ahkamul Mawarits, Bainal Fiqhi Wal Qanun. Beirut: dar an-Nahdhah al-Arabiyah.1978



No comments:

Post a Comment