Monday, May 10, 2010

Penentuan Awal Bulan Hijriah

Surabaya, sabtu (27/12) Workshop mingguan CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya, kali ini mengangkat tema “Hisab Ruhyat”. Workshop menghadirkan pembicara, Drs. Abdul Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, yang mulai berkecimpung terhadap Hisab Ru’yat sejak tahun 1992. Pak Salam, sapaan akrabnya di kampus, membawakan makalah yanag berjudul “Teologi Hisab Ruhyat: untuk penentuan awal bulan hijrah”. Peserta workshop adalah anggota CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya angkatan 2006, yang berjumlah 40 mahasiswa fak. Syari’ah. Workshop berlangsung berkat kerjasama Akademik fak.Syari’ah dengan Departemen Agama RI. Dan workshop dilaksanakan di Auditorium Syariah IAIN Sunan Ampel.
Bagi umat Islam Penentuan awal bulan hijriah menjadi sesuatu yang urgen, karena kebanyakan praktek ibadah dalam islam mengacu kepada penanggalan Qamariah, yaitu penanggalan berdasarkan perputaran bulan. Pak Salam menjelaskan bahwa, ada kontroversi jawaban fikih dalam penentuan acuan awal bulan hijriah. Diantaranya:
1.    al-Ramli dan al-Khatib al-Syarbini: Rukyat, La ‘Ibrah li Qawl al-Hussab.  Lihat, Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatta al-Bakri, Hashiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 216
2.    al-Subkiy, al-Abbadiy, dan al-Qalyubiy: Rukyat tidak sesuai dengan Hisab, ditolak. ibid.; Syihabuddin al-Qalyubiy dan Shihabuddin ‘Umairah, Hasyiyah al-Qalyubiy wa ‘Umairah ‘ala Minhaj al-Thalibin, juz 2, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 49
3.    Ibnu Hajar al-Haitamiy: Rukyat ditolak bila semua ahli hisab sepakat menafikannya. Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, h. 382
Melihat pendapat pertama, ditegaskan bahwa penentuan awal bulan hijriah adalah dengan rukyat, apa pun pendapat ahli hisab itu tidak dapat dijadikan acuan/pelajaran. Begitupula, pendapat kedua, menjelaskan bahwa rukyat akan ditolak jika tidak sesuai dengan hisab. Dengan kata lain, menafikan pendapat pertama. Kemudian pendapt ketiga ingin menjadi penengah diantara perbedaan itu, yaitu dengan mengatakan rukyat itu ditolak bila semua ahlli hisab sepakat menolaknya, tapi selama ahli hisab juga tidak menyepakatinya, rukyat bisa diterima saja. Oleh karena itu, pak salam menawarkan gagasan dengan pendekatan lain, yaitu, “Teologi Hisab Rukyat”. Karena jika kita terus mengacu secara apa adanya kepada khazanah fikih warisan masa lalu, kontroversi seputar penentuan awal hijriah tidak akan pernah selesai.
Secara garis besar, teologi hisab rukyat berdasarkan pemahaman bahwa Allah SWT mencipta Alam. Alam besar (alam semesta/makro kosmos) dan alam kecil (manusia/mikro kosmos). Allah SWT mengatur ciptaan ini dengan sunnatullah (hukum alam) dan dinnullah (agama). Sunnatullah itu berlaku bagi alam besar dan alam kecil, yaitu suatu kepastian/ketetapan dari keadaan sesuatu. Sedangkan dinnullah hanya bagi manusia saja, yaitu aturan yang mengarahkan sikap manusia bagaimana bersikap terhadap dirinya, terhadap tuhan dan alam dilingkungannya. Adapun perbedaan secara rinci diantara keduanya, sebagai berikut:
Sunnatullah:
1.    Bersifat objektif, pasti, dan tetap. Seperti, Benda dilempar ke atas pasti ke bawah karena ada gaya gravitasnya,
2.    Tidak diwahyukan tetapi dibentangkan dalam hamparan alam semesta dan alam manusia
3.    Kajian sunnatullah ini melahirkan ilmu dunia (ilmu umum), seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, dsb
4.    Kebenarannya tergantung kepada seberapa akurat ia didukung oleh realitas empirical-obyektif.
Dinnullah:
1.    Bersifat subyektif (bias ditaati atau tidak oleh semua orang), tidak pasti dan tidak tetap. Dari 25 nabi yang dikenalkan, semua syari’at yang diajrkan berbeda-beda karena tergantung konteks yang dihadapinya. Misalnya, jaman nabi adam nikah dengan saudara boleh, sekarang tidak boleh.
2.    Diwahyukan berupa al-qur’an dan al-Hadits
3.    Kajian terhadap dinnullah melahirkan ilmu agama, seperti fikih, tauhid, tashawuf, dsb
4.    Kebenarannya terganung seberapa akura didukung oleh realitas legal-formal (dalil naql/al-qur’an dan as-sunnah)
Berangkat dari kerangka berfikri di atas, pak Salam mengaitkan dinnullah ‘penentuan awal bulan hijriah’ dengan sunnatullah ‘tentang perjalanan bulan dan matahari’. Dinnullah berbicara penentuan awal bulan hijriah, terdapat pada:
1.    Q.S. Al-Isra’:12
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا (12)
“dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
2.    Q.S. Yunus: 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5)
“5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Dari ayat di atas menyatakan bahwa Bahwa Allah menjadikan malam dan siang dengan tanda-tanda yang berbeda, Matahari bersinar dan Bulan bercahaya, dan menjadikan peredaraannya pada manzilah-manzilah yang ditentukan kadarnya adalah dimaksudkan supaya manusia mengetahui: Adad al-Sinin dan Hisab al-Sinin.
AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dan AL-’ILMU BI ‘ HISAB AL-SININ adalah pengetahuan-2 tentang Kalender. Hubungan antara keduanya bersifat FUNGSIONAL-PROGRESSIF, di mana AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ sebagai pengetahuan “pendahuluan” berguna untuk menyiapkan kerangka dasar menuju dicapainya AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ  sebagai pengetahuan “lanjutan”.  Iradah Ilahiyah supaya manusia mengetahui kedua pengetahuan itupun juga berlaku menurut pola FUNGSIONAL-PROGRESSIF itu, yakni dari AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ berproses maju menuju AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ.
Alur proses progresif tersebut:
1.    Ru’yah bi al-Fi’l “seadanya” menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi rendah dan peluang kekeliruan yang relatif besar
2.    Ru’yah bi al-Fi’l yang “cermat, terukur, dan tercatat” menghasilkan data posisi benda-benda langit (yang akurasinya terus dipertajam). Rukyah mulai dibantu dengan Hisab untuk menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi yang lebih tajam.
3.    Ketika produk Ilmu Hisab akurasinya sudah memadai, maka era AL-’ILMU BI HISAB AL-SININ sudah tiba
Sebelum mengambil kesimpulan pak Salam menyuguhnkan sabada Nabi Muhammad Saw berikut:
إنا أمة أمية لانكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا ، وعقد الإبهام فى الثالثة ، والشهر هكذا وهكذا وهكذا ، يعني تمام ثلاثين (sesungguhnya umatku itu ummiyun, tidak bisa menulis dan menghitung, .....)
Berarti, yang berlangsung pada zaman beliau bukanlah gambaran penentuan awal bulan Hijriyah yang sudah ideal dan final sehingga harus dipertahankan sepanjang masa, melainkan terbuka untuk terus dipertajam akurasinya sebagaimana ALUR PROSES PROGRESSIF di muka tadi.
Kemudian kesimpulan pak Salam dengan mengacu pada rambu-rambu Dinnullaah dan Sunnatullah tentang perjalanan Bulan dan Matahari, dapat disimpulkan bahwa:
1.    Dasar penentuan awal bulan Hijriyah ialah “FAKTA EMPIRIK” kemunculan Hilal (bukan Qamar) di atas Ufuk Barat “SETEMPAT” pada tanggal 29 petang sesudah terbenam Matahari paska ijtima’ atau konjungsi, atau ketidakmunculannya dengan akibat istikmal.
2.    Karena Sunnatullah tentang pergerakan Bulan dan Matahari sifatnya teratur dan terukur, maka fakta empirik tentang kemunculan Hilal bisa diperoleh dengan “RU’YAH BI AL-FI’L YANG CERMAT” atau dengan “HISAB YANG AKURAT”.
3.    RU’YAH BI AL-FI’L YANG TIDAK CERMAT (meskipun perukyatnya jujur) dan HISAB YANG TIDAK AKURAT tidak bisa diposisikan sebagai bukti empirik kemunculan atau ketidakmunculan Hilal. Karena itu keduanya tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan Hijriyah.
Sebelum mengakhir pemaparannya, pak Salam menegaskan: oleh karena ilmu hisab itu ilmu dunia, maka derajat kebenarannya ditentukan oleh seberapa akurat ia didukung realitas empirik. Terkait dengan derajat kebenarannya ilmu hisab kemudian lazim dikelompokkan menjadi tiga katagori: taqribi, tahqiqi, tadqiqi . wallahu ‘alam











1 comment:

  1. penyebab perbedaan dalam agama adalah pemimpin umat yang belum memahami betul dalam agama tetapi dia berpendapat dalam hal agama sehingga kemajuan ilmu teknologi merubah sisi pandang dalam hal menentukan titik nol perjalanan bulan mengelilingi bimi. demi jelasnya baca rotasi bulan blogspot.com bakrisyam

    ReplyDelete