Saturday, May 1, 2010

keadilan dalam kewarisan

keadilan dalam kewarisan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu tentang kewarisan di kenal beberapa asas, yang mana asas ini dijadikan sebagai acuan dalam mencapai kebenaran hukum. Karena tidak bisa dijumpai secara jelas dalam teks Al-Quran, maka alasan yang digunakan untuk memakai kata asas adalah pertimbangan akal. Salah satunya adalah asas keadilan.
Dalam hal kewarisan laki-laki mendapat bagian lebih besar daripada perempuan. Berdasarkan asas keadilan, keadilan itu merupakan keseimbangan antara keperluan dan kegunaan, maka laki-laki mendapatkan bagian lebih besar dari perempuan, hal ini dikarenakan tanggung jawab laki-laki lebih besar dari perempuan. Dalam masalah kewarisan perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu terletak pada jumlah dan tanggung jawab. Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Lebih lanjut lagi, di dalam makalah ini dijelaskan beberapa penafsiran mengenai ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan asas keadilan. Sebab bukan tidak mungkin, di lingkungan kita banyak orang yang belum memahami arti dari keadilan itu sendiri dan sering kali hal itu menimbulkan perpecahan keluarga. Untuk itu perlu dipahami betul makna keadilan baik itu adil menurut akal manusia terlebih lagi adil menurut allah SWT, dan rasulnya. Semoga apa yang ada di makalah ini sedikit banyak menambah wawasan keilmuan kita semua. Amin
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik pijar pada latar belakang masalah, maka permasalahan dasar yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini adalah:
1. Apakah devinisi Asas Keadilan?
2. Apakah dasar hukum dalam asas keadilan?
3. Apakah arti keadilan dalam kewarisan?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Devinisi Asas Keadilan
Kata adil berasal dari lafadz al-‘adlu. Dalam Al-Qur’an lafadz al-‘adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Kata al-‘adlu itu dikemukakan dalam konteks dan arah yang berbeda sehingga akan memberikan devinisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuannya.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dangan keperluan dan kegunaan.
Selain itu, dalam Al-Qur’an juga terdapat kata qisth yang pada dasarnya juga berarti keadilan, yakni secara proposional mendapat saham. Ini berarti bentuk keadilan bagi al-qisth adalah berupa kegiatannya. Kata qisth mempunyai parbedaan dengan dengan kata al-‘adl. Dalam surah Al-Maidah 5:8 bersifat immaterial, sedangkan kata al-qisth dalam surah An-Nisa’ 4:3 bersifat material. Dari itu, perbedaan al-‘adl dan al-qisth dilihat dari segi penerapannya adalah al-‘adl bersifat aktif sedangkan al-qisth bersifat pasif.
Menurut Al-Maraghi, keadilan adalah memberikan hak kepada yang berhak secara tepat. Oleh Abd. Muin Salim pandapat ini dinilai bukan pada segi persamaan hak melainkan tekanannya pada terpenuhinya hak-hak sebagai milik seseorang.
Dari uraian diatas, maka dapat dipertegas bahwa batasan keadilan bukan saja terbatas pada harta, akan tetapi hak termasuk pula didalamnya. Oleh karena itulah esensi keadilan adalah perimbangan tanggung jawab, baik dari segi hak maupun dari segi kewajiban. Dari sini maka keadilan dalam kewarisan terletak pada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Begitu pula keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.
2.2 Dasar Hukum Asas Keadilan
Pada dasarnya dasar hukum asas keadilan dalam Al-Quran terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya dalam surah Al-Maidah: 8
…..     •       
“…berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu ketahui.”

Namun jika dikaitkan dengan kewarisan, ayat tersebut ti
dak bisa dijadikan sebagai dasar hukum asas keadilan dalam warisan karena konsep keadilan di dalam surah An-Nisa': 7 lebih tegas menjelaskan tentang adanya keadilan dalam menerima hak waris antara laki-laki dan perempuan.
             •      • 
“bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”

Selain dalam surah An-Nisa': 7 juga dijelaskan lebih lanjut dalam surah An-Nisa': 11, 12, dan 176 tentang pembagian hak waris, siapa saja yang berhak menerima dan siapa saja yang terhalang tidak mendapatkan warisan. Dan dari beberapa ayat-ayat tersebut kemudian muncul beberapa penafsiran yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan umat Islam. Di antaranya adalah surah An Nisa':11
         …..
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan………..”

Ayat inilah yang pada dasarnya menjadi kontroversi dikalangan umat Islam. Ada yang melihat konsep pembagian waris 2:1 sebagai konsep keadilan namun ada juga yang melihat itu sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Untuk lebih lanjutnya akan dibahas dalam kontroversi formula 2:1 pada sub bab berikutnya.

2.3 Asas Keadilan dalam Kewarisan
Secara mendasar perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam surah An-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan. Pada surah an-Nisa’ ayat 11-12, 176 secara rinci telah menerangkan kesamaan kekuatan hak warisan antara laki-laki dan perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12), saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12 dan 176).
Tentang jumlah bagian yang didapat oleh laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk.
Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan, seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapatkan bagian 1/6 dalam kasus pewaris tidak memiliki ahli waris langsung atau bapak dan ibu sama-sama mendapatkan 1/6 dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung.
Kedua: laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat dari yang didapatkan perempuan. Hal ini dapat dijumpai dalam kasus pewaris meninggalkan a
hli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan atau dalam kasus pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara laki-laki dan perempuan.
Dilihat dari segi jumlah bagian memang jelas tidak sama, tetapi ini bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat ketika menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan.
Menurut pandangan Islam, pembagian harta warisan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan ini tetap adil karena secara umum, laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan, hal ini karena laki-laki baik itu seorang bapak atau saudara laki-laki memikul kewajiban ganda yakni untuk dirinya sendiri dan keluarganya termasuk perempuan. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 34:
              ……
“laki-laki adalah pembimbing bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan kerena mereka memberi nafkah dengan harta mereka……”

Bila dihubungkan dengan tanggung jawab dan kewajiban tersebut diatas, maka akan terlihat kadar manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan perempuan. Meski pada awalnya laki-laki menerima bagian dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian yang diterimanya akan diberikan kepada perempuan dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab.

2.4 Kontroversi Formula 2:1
Tidak dipungkiri bahwa ketentuan bagian perempuan separoh dari bagian laki-laki dalam pembagian waris dalam surah An-Nisa':11 menimbulkan kontroversi. Namun sebelum diuraikan beberapa pendapat berkenaan dengan kontroversi tersebut, perlu diketahui sejarah turunnya ayat diatas yaitu berkenaan dengan istri Sa’ad bin Ar Rabi yang telah ditinggal mati suaminya kemudian menghadap Rasulullah dan mengadukan bahwa paman dari kedua putrinya telah mengambil harta bendanya (warisan) dan tidak meninggalkan sedikitpun untuk mereka sedang kedua putrinya sukar mendapatkan jodoh kalau tidak berharta. Rasulullah menjawab bahwa Allah akan memutuskan persoalan tersebut. Maka turunlah ayat tersebut sebagai jawabannya.
Yang menjadi persoalan terhadap ayat ini adalah ketentuan bagian waris laki-laki dan perempuan yang berbanding 2:1 (li adz-dzakari mitslu hadzdz al-untsayain). Apakah ketentuan itu bersifat diskriminatif?
Berikut adalah beberapa pendapat Mufassir menyikapi pertanyaan di atas.
Menurut Zamakhsyari, ayat ini tidak bermaksud menyebutkan kekurangan anak perempuan, karena Al-Quran tidak mengungkapkannya dengan kalimat li al-untsayain mitslu hadz adz-dzakar (dua anak perempuan mendapat bagian yang sama dengan seorang anak laki-laki), atau li al-untsa nishfu hadz ad-dzakar (seorang anak perempuan mendapat bagian separoh bagian anak laki-laki). Menurut Zamakhsyari, dua kalimat pengan
daian di atas mengesankan kekurangan perempuan. Ayat ini menyebutkan bagian anak laki-laki terlebih dahulu, untuk menjelaskan kelebihan anak laki-laki dan dengan demikian mendapat bagian dua kali bagian anak perempuan. Tapi Zamakhsyari tidak menguraikan lebih lanjut kenapa anak laki-laki dapat bagian lebih besar dari anak perempuan. Sebagai ahli bahasa dan sastra arab, dia lebih tertarik mencari rahasia dibalik struktur bahasa yang digunakan al Quran seperti yang sudah digambarkan di atas.
Menurut Alusi, anak-anak perempuan mendapat bagian kurang dibandingkan bagian anak laki-laki, karena kekurangan akal dan agama mereka sebagaimana dijelaskan oleh Hadis; karena kebutuhan mereka terhadap harta lebih sedikit dibanding kebutuhan anak laki-laki; karena suami mereka telah menjamin biaya hidup mereka; dan karena nafsu mereka lebih besar sehingga bisa jadi harta menyebabkan mereka lebih fujur.
Sedang menurut Said Hawwa, anak laki-laki mendapat bagian dua anak perempuan karena kebutuhan anak laki-laki terhadap harta lebih besar karena banyaknya pembiayaan yang harus ditanggungnya, seperti untuk nafkah keluarga, modal kerja dan bisnis.
Al Sya’rawi juga sependapat bahwa kandungan ayat tersebut tidak bermaksud mendiskreditkan perempuan, justru memuat penghargaan lebih kepada perempuan. Perempuan kalau tidak bersuami, maka bagian itu untuk hidup sendiri dan kalau bersuami pun bagian itu untuk dirinya sendiri. Tetapi laki-laki yang mempunyai istri wajib memberi nafkah pada istrinya.
Berikut adalah pendapat dari tokoh feminimisme, Ashgar dan Amina.
Ternyata Asghar tidak menilai ketentuan ini bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Asghar selain mendapat bagian dari warisan, setelah kawin nanti dia akan mendapatkan tambahan harta berupa maskawin dari suaminya. Padahal disamping itu dia tidak mempunyai kewajiban apa pun untuk menafkahi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Asghar juga menyalahkan penafsiran yang menjadikan ketentuan warisan ini sebagai alasan untuk menganggap anak perempuan lebih rendah nilainya dibanding anak laki-laki, karena menurut Asghar, kesetaraan anak laki-laki dan perempuan termasuk kategori moral, sementara warisan masuk kategori ekonomi. Sedangkan Amina berpendapatt bahwa pembagian waris harus bersifat fleksibel, asal memenuhi asas manfaat dan keadilan.
Berikut adalah pendapat Munawir Syadzali. Menurut mantan menteri agama Republik Indonesia dua priode tersebut, untuk konteks sekarang,
konsep warisan anak perempuan separoh bagian anak laki-laki itu tidak memenuhi unsur keadilan. Hal ini sejalan dengan pengalaman pribadinya dalam berkeluarga dengan tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Beliau tidak merasa sreg ketika anak laki-laki yang telah menghabiskan banyak biaya hidup lebih banyak dibanding anak perempuannya mendapat bagian waris yang lebih besar dari anak perempuannya. Beliau menginginkan agar anak perempuannya juga mendapat harta yang sama besarnya dengan anak laki-laki.
Demikianlah beberapa pendapat kontroversi antara Mufassir maupun tokoh feminimisme, yang sebagian menganggap adil konsep pembagian waris dua banding satu dan sebagian yang lain menginginkan keadilan yang sama rata dalam kewarisan.
Namun terlepas dari itu semua, kembali kepada sejarah turunnya ayat ini adalah sebagai penekanan bahwa perempuan juga mendapatkan hak (bagian) dalam pembagian waris. Al-Quran pun telah menegaskan dalam Surah An-Nisa’: 7, satu prinsip pokok dalam pembagian warisan yaitu laki-laki sama-sama berhak mewarisi harta peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat mereka masing-masing. Serta merupakan koreksi terhadap sistem pembagian warisan yang berlaku pada masyarakat Arab kala itu yang tidak memberikan hak waris pada perempuan dan anak-anak.
Selain itu jika dilihat dari kodratnya manusia, dalam ayat di atas (An-Nisa’: 11) memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tapi itu bukan suatu pembedaan. Karena misi pokok diturunkannya Al-Quran adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi warna kulit, ras, etnis, dan jenis kelamin. Al-Quran menjelaskan seyogyanya manusia itu saling mengenal serta tidak ada diskriminasi dan penindasan.

BAB III
KESIMPULAN
1. Kata adil berasal dari lafadz al-‘adlu. Dalam Al-Qur’an lafadz al-‘adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali.
2. Dasar hukum asas keadilan dalam Al-Quran terdapat dalam beberapa ayat al- Quran, diantaranya dalam surah Al Maidah: 8 dan An-Nisaa: 7, 11, 12, 176.
3. Keadilan dalam kewarisan tidak hanya diukur dari jumlah yang didapat oleh ahli waris, tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan.


DAFTAR PUSTAKA
Ash Shabuni, Muhammad Ali. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Bandung, Trigenda Karya: 1995.
Ismail, Dr. Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, Yogyakarta, Lkis: 2003.
Lc. M.A., Dr. H. Yuhanar Ilyas. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar : 1997.
Musa, Dr. Muhammad Yusuf. At-Tirkatu Wal Mirotsu Fil Islam, Qohiroh, Darul Ma’rifah: 1967.
Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Jakarta, PT. Rajagrafindo Pustaka: 1995.
S.H. M.A, Dr. Hj. Istibsyaroh. Hak-Hak Perempuan, Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi, Jakarta Selatan, TERAJU: 2004.
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Prenada Media: 2004.

No comments:

Post a Comment