KAIDAH-KAIDAH PERNIKAHAN
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan rahmat serta taufiq hidayah-Nya kepada kita, sehingga kami bisa menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik, meskipun masih banyak kekurangan disana sini.
Sholawat dan salam tetap ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak suwito, selaku dosen pembimbing, serta teman–teman yang ikut mendukung dalam pembuatan serta penulisan makalah ini.
Adapun makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Seminar Hukum keluarga islam, dan mudah mudahan makalah ini membawa manfaat bagi kita terutama bagi penulis, oleh sebab itu kami memerlukan kritik dan saran dari pembaca, yang bisa membangun serta menjadi perbaikan dalam penulisan yang akan datang. Masih banyak dirasakan bahwa sejak diundangkannya UU. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang hingga saat ini sudah berumur 14 tahun, bagi masyarakat awam sendiri masih banyak yang belum mengetahui atau menyadari akan isi dari peraturan-peraturan tersebut, sehingga mengakibatkan tidak diketahuinya akan hak dan kewajiban masng-masing serta seringnya dilanggar hak dan kewajiban.
Oleh karena itu pemakalah tergerak untuk mengangkat masalah ini, dengan harapan bisa menambah cakrawala berfikir. Namun pemakalah merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, kritik dan saran tetap pemakalah harapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup, terutama dalam pergaulan atau bermasyarakat yang sempurna. Bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan berumah tangga dan berketurunan, akan tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju perkenalan antara satu kaum (keluarga) dengan yang lainnya.
Pernikahan juga merupakan suatu pokok yang utama untuk menyusun masyarakat kecil, yang nantinya akan menjadi anggota dalam masyarakat yang besar. Namun tujuan perkawinan sangat bergantung pada eratnya hubungan antara suami, hubungan suami isteri akan terjalin dengan baik jika masing-masing menjalankan kewajibannya menjadi suami isteri yang baik pula.
Hubungan antara suami dan isteri adalah inti atau merupakan masalah pokok dalam hubungan antara sesama manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial (zoonpoliticoon). Jadi, hubungan manusia itu baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Bangsa dan negara selalu saling membutuhkan. Suami isteri yang merupakan keluarga adalah dasar permulaan daripada hubungan antar kelompok yang membentuk masyarakat. Jadi keluarga merupakan unsur yang penting dalam pembentukan suatu masyarakat, bangsa dan negara tanpa suami dan isteri tidak ada keluarga tidak ada masyarakat dan seterusnya.
Demikianlah seharusnya hubungan antara suami isteri dalam rumah tangga, namun pada kenyataannya kadang-kadang pasangan suami isteri itu karena kesibukan mereka sehari-hari lupa menerapkan petunjuk-petunjuk Allah sehingga mereka tergelincir ke lembah pertengkaran yang hebat diantara mereka dan terjadilah apa yang sebenarnya tidak dikehendaki serta palung dibenci oleh allah yaitu putusnya perkawinan antara suami isteri tersebut.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah kami sampaikan diatas maka kami memberikan beberapa rumusan masalah untuk mempermudah para pembaca dalam merumuskan apa yang akan kami bahas dalam materi kali ini dan untuk memahami makalah kami, diantara rumusan masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana kaidah-kaidah atau Asas-asas yang diperlukan dalam suatu pernikahan?
2. Apa saja hikmah di adakannya pernikahan?
3. Apa saja tujuan dari pernikahan di lihat apabila dipandang dari beberapa aspek?
4. Bagaimana tentang hukum pernikahan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah-kaidah atau Asas-asas dalam pernikahan.
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas diantaranya:
Kaidah (asas) kesukarelaan.
Merupakan asas terpenting dalam perkawinan islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua belah calon suami isteri tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua menjadi wali seorang wanita merupakan sendi asas perkawinan islam.
Kaidah (asas) persetujuan kedua belah pihak.
Kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama yang telah kami sebutkan diatas. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan. Persetujuan seseorang gadis unutk dinikahkan dengan seorana pemuda misalnya, harus diminta terlebih dahulu oleh wali a tau orang tuanya. Dan menurut sunnha nabi persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut. Dari berbagai sunnah nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat dibatalkan oleh pengadilan.
Kaidah (asas) kebebasan memilih.
Diceritakan oleh Ibnu abbas bahwa pada suatu hari ketika seorang gadis bernama jariyah menghadap rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya, setelah mendenganr pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih unutk mneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya.
Kaidah (asas) kemitraan suami-isteri.
Fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sosial, asal dan pembawan) yang disebut dalam al-Qur’an surat an-nisa’:34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” dan surat al-baqarah: 187. Kemitraan menyebabkan kedudukan suami isteri dalam beberapa hal sama dalam hal lainberbeda, suami menjadi kepala keluarga dan isteri menjadi kepala dan penanggung jawab pegaturan rumah, anak-anak dan lain-lainnya.
Kaidah (asas) untuk selama-lamanya.
Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan unutk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup sebagaimana yang tertera dalam surat ar-rum:21
وَمِنْ اأيتِه أَنْ خَلَقَ لَكُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ أَ زْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا اِلَيْهَاوَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدةً وَرَحْمَةً انْ فِي ذلِكَ لايت لِقَوْم يَتَفَكرُوْنَ.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Karena asas ini pula maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah islam datang.
Kaidah (asas) monogami terbuka.
Disimpulkan dalam al-qur’an dalam surat an-nisa’:3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُو
“...Kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja…”
Dari keterangan ayat diatas dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristeri lebih dari seorang asal memenuhi beberapa syarat tertentu diantaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi isterinya.
Sedangkan dalam ayat 129:
ولن تستطعوا أن تعدلوا بين النساء ولوحرصتم فلا تملواكل الميل فتذروهاكالمعلقة وان تصلحوا وتتقوا فان الله كان غفورارحيماْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menyatakan bahwa manusia tidak mungkin berlaku adil terhadap isteri-isterinya walaupun ia berbuat demikian. Oleh karena ketidak mungkinan berbuat adil terhadap isteri-isteri tersebut maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan seorang wanita saja. Ini berarti bahwa beristeri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki muslim apabila terjadi bahaya, antara lain untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, misalnya tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.
B. Tujuan pernikahan berdasarkan beberapa aspek.
Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Oleh karena itu, Allah menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut. Kalau hanya itu, maka tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi yaitu mempertemukan jantan dan betina untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan yang diajarkan Islam meliputi multiaspek.
Dan diantara aspek-aspek terebut antara lain:
Aspek Personal.
Penyaluran kebutuhan biologis.
Sebagai sunatullah, manusia selalu hdup berpasangan akibat adanya daya tarik, nafsu syahwat diantara dua jenis kelamin yang berelainan. Hidup bersama dan berpasangan tadi tidaklah harus selalu dihubungkan dengan masalah seks walaupun faktor ini merupakan faktor yang dominan.
Namun demikian tak dapat disangkal lagi bahwa faktor hubungan badan ini merupakan faktor utama. Prof. Wirjono Prodjodikoro mengatakan “pada umumnya dapat dikatakan bahwa hal persetubuhan ini faktor pendorong yang penting unutk hidup bersama tadi, dengan maksud mendapatkan keturunan ataupun hanya untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya saja. Jadi jelaslah bahwa faktor yang ini sangat mempengaruhi manusia disamping faktor-faktor yang lain dalam sebuah pernikahan.”
Reproduksi generasi.
Ada orang yang berpendapat bahwa untuk mendapatkan keturunan tidak perlu selalu melalui pernikahan. Hal ini karena akibat yang ditimbulkan dari persetubuhan adalah kehmailan yang diakhiri dengan kelahiran keturunan. Akan tetapi, persetubuhan diluar perkawinan jelas dilarang oleh ajaran agama islam. Oleh karena itu meskipun persetubuhan yang ilegal itu menghasilkan keturunan, itu dianngap tidak ada. Keturunan yang dimaksud adalah keturunan yang sah melalui perkawinan, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
تزوجوا فاني مكاثربكم الأمم يوم القيامة
“Nikahkanlah kamu sesungguhnya aku menginginkan darimu umat yang banyak.”
Dari pengertian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya sebaiknya kita memperbanyak dan menikahi wanita yang mampu member kita keturunan yang banyak.
Aspek sosial.
Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik.
Perkawinan diibaratkna sebagai ikatan yang sangat kuat, bagaikan ikan dengan airnya, dan bagaikan beton bertulang yang sanggup menahan getaran gempa. Kalau kita amati, pada awalnya mereka yang melakukan pernikahan tidak saling kenal dan kadangkala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan tetapi, tatkala memasuki dunia perkawinan, mereka begitu menyatu dalam keharmonisan, bersatu dalam mengahadapitantangan dalam mengaruhi bahtera kehidupan.
Prof. Dr. Mahmud syaltut dalam bukunya Al-Islam Aqidah wa Syariah mengumpamakan keluarga sebagai batu-batu dalam tembok suatu bangunan. Apabila batu-batu itu rapuh karena kualitas batu itu sendiri ataupun karena kualitas perekatnya, maka akan rapuhlah seluruh bangunan itu. Sebaliknya apabila batu-batu perekat itu baik, maka kokohlah bangunan tersebut. Keluarga sebagai bagian dari struktur suatu bangsa mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap bangsa ini sendiri. Jadi, kokoh pula bangsa tersebut, akan tetapi sebaliknya apabila keluarga sebagai fondasi suatu bangsa itu lemah, maka lemahlah bangsa tersebut.
Membuat manusia kreatif
Perkawinan juga mengajarkan kepada kita tanggung jawab akan segala akibat yang timbul karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih sayang terhadap keluarga ini timbullah keinginan untuk mengubah keadaanke arah lebih baik dengan berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha untuk membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorong untuk lebih kreatif dan produktif, tidak seperti pada masa lajang.
Sikap tersebut akan memberikan dampak yang baik terhadap lingkungannya. Sebagai makhluk social,manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Jadi, tatkala berkreasi dan berproduksi, dia pastu akan melibatkan orang lain. Akibatnya terbentuklah dinamika pribadi-pribadi yang pada gilirannya mendinamikan bangsanya.
Aspek ritual.
Banyak contoh dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik ysng menyebutkan adanya kecenderungan manusi untuk melecehkan ikatan perkawinan mereka untuk kemudian hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau mereka tergabung dalam kelompok bebas dan menganut faham free sex.
Mereka menggangap ikatan perkawinan sebagai belenggu kebebasan tidak lebih sebagai eprjanjian biasa, perjanjian hitam diatas putih dan hanya sebagai tertib administrasi belaka. Refrensi yang mereka pakai memang konvensional, sebab perundangan mereka menggangap bahwa perkawinan itu tidak lebih sekedar peristiwa keperdataan artinya bahwa perkawinan itu sama derajatnya dengan peristiwa keperdataan lainnya. Itulah sebabnya mereka melakukan hal tersebut tanpa sedikitpun mereka merasa berdosa. Menurut mereka perkawinan itu bkan suatu yang berkaitan dengan perintah tuhannya, kondisi ini kemudian diperparah dan dilegalisasikannya oleh ketentuan yang mengatakan bahwa hubungan seksual diluar pernikahan selam adilakukan atas dasar kerelaan dan tanpa unsur paksaan adalah biasa, bukan suatu kejahatan dan bukan suatu pelanggaran, selama tidak ada seorang pun yang merasa dirugikan.
Dalam agama islam pelampiasan kebutuhan biologis hanya dibolehkan melalui satu cara yaitu pernikahan. Penyaluran kbuthan biologis diluar pernikahan itu adalah dosa besar yang dilarang agama dan patut dipindana secara berat. Dalam kondisi seperti ini pernikakhan pun manjadi wajib hukumnya.
Nabi Muhammad SAW melarang kita untuk membujang sebgaimana sabda beliau:
نهي رسول الله صلي الله عليه وسلم عن التبتل نهيا شديدا
“Nabi telah melarang (umatnya) membujang (melajang terus) dengan larangan yang keras.”
Perintah nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan pernikahan dan melarang membujang terus-menerus sangant beralasan. Karena libido seksualitas merupakan fitrah kemanusiaan dan juga makhluk hidup lainnya yang melekat dalam diri setiap makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak penyalurannya. Bagi manusia penyaluaraan itu hanya ada satu jalan yaitu pernikahan, sedangkan penyaluran diluar itu sangat di benci islam.
Aspek moral.
Seperti telah kita ketahui bahwa libido seksualitas pada dasarnya adalah suatu fitrah kemanusiaan dan juga fitrah bagi makhluk hidup lainnya, sama-sama memerlukan pelampiasan terhadap lawan jenisnya, jadi dari segi kebuAllah biologis, manusia dan hewan mempunyai kepentingan yang sama. Adapun yang membedakannpya yaitu pelaksanaan kebutuhan tersebut.
Manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau norma-norma agama, moralitas sedangkan hewan tidak dituntut demikian. Jadi perkawinan adalah garis yang membedakan manusia dengan hewan untuk menyalurkan kepentingan yang sama.
Aspek Kultural.
Perkawinan disamping membedakan manusia dengan hewan, juga membedakan antara manusia yang beradab dengan manusia yang biadab, ada juga manusia yang primitif dan manusia modern. Walaupun pada dunia primitif mungkin terdapat aturan-aturan perkawinan, dipastikan aturan-aturan kita jauh lebih baik daripada aturan-aturan mereka. Itu menunjukkan bahwa kita mempunyai kultur yanglebih baik daripada manusia-manusia primitif.
Apalagi dalam praktek keseluruhan, peristiwa perkawinan sepertinya tidak cukup dengan persyaratan-persyaratan agama semata. Hampir di seluruh tempat didunia ini peristiwa keagamaan tersebut selalu dibumbui oleh kultur-kultur lokal yang syarat dengan simbol. Sesuatu yang oleh Islam dibolehkan selama tidak mengarah pada hal-hal yang terlarang, bahkan simbol-simbol keagamaan sering terkubur oleh banyaknya muatan lokal yang mewarnai acara perkawinan, apalagi setelah acara tersebut mereka lebur dalam pencampuran budaya.
C. Hikmah diadakannya pernikahan.
Disamping tujuan dari pernikahan yang telah kami uraikan diatas, pernikahan juga mempunyai beberapa hikmah agar manusia sadar akan adanya sebuah pernikahan dan supaya manusia tidak meremahkan pernikahan itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menyambung Silaturrahim
Pada awalnya Allah hanya menciptakan seorang manusia, yakni Adam as. Kemudian Allah menciptakan Siti Hawa sebagai pasangan Adam. Setelah itu manusia berkembang biak menjadi kelompok bangsa yang bertebaran ke seluruh alam karena desakan habitat yang menyempit serta sifat keingintahuan manusia akan isi alam semesta. Mereka makin menjauh dari lokasi asal dan nenek moyangnya. Membentuk kelompok bangsa tersendiri yang secara evolutif menyebabkan terjadinya perubahan, peradaban bangsa, dan warna kulit hingga akhirnya mereka tidak mengenal antara satu dengan lainnya. Datangnya islam dengan institusi perkawinan memberi peluang dan untuk menyambung kembali tali kasih yang lama terputus.
2. Memalingkan pandangan yang liar
Seorang yang belum berkeluarga belum mempunyai ketetapan hati dan pikirannya pun masih labil. Dia belum mempunyai pegangan tempat untuk menyalurkan ketetapan hatinya dan melepaskan kerinduan serta gejolak syahwatnyta. Sangat wajar jika seorang pemuda selalu berkhayal bahkan berpindah-pindah khayalan. Ia membayangkan setiap lawan jenis yang tidak jelas. Mata dan hatinya liar. Karena sifat itulah sebagian masyarakat, terutama kaum santri di jawa barat mengatakan bahwa orang yang bujangan tidak sah sebagai imam. Secara yuridis kaidah tersebut patut dipertanyakan namun secara empiris kita merasakan bahwa memang begitulah keadaan seorang bujangan. Dengan perkawinan, sifat seperti itu walaupun tidak seluruhnya dapat dikurangi.
3. Menghindari dari perzinaan
Pandangan yang liar adalah langkah awal dari keinginan nuntuk berbuat zina. Seperti yang telah diutarakan, godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan beragam. Sutu kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Hal ini akan menggiring manusia, kea rah jalan yang sesat. Apabila di jaman yang fasilitas kemaksiatan begitu mudah dan bertebaran, seolah-olah memanggil untuk memulai gelimangan dosa. Itulah sebabnya institusi perkawinan merupakan terapi yang bagi mereka yang masih membujang.
4. Estafeta Amal manusia
Kehidupan manusia di bumi ini sangat singkata dan dibatasi waktu ironisnya, kemauan mkanusia sering kali melampaui batas umurnya dan batas kemampuannya. Pertambahan usia menyebabkan berkurangnya kemampuan karena kerja seluruh organ masih melemah. Akhirnya kreatifitasnya dan produktivitasnya menurun baik sedara kualitas maupun kuantitas, hingga suatu saat ajal datang menjemput.
Untuk melanjutkan amal serta cita-citanya yang terbelengkalai tersebut, anak sebagai pelanjut cita-cita dan penambah amal orang tuanya, hanya mungkian dapat melalui pernikahan. Anak yang lahir di luar pernikahan, sangat tidak mungkin berbuat seperti itu. Anak adalah pewaris materil dan imateril ayahnya. Dialah yang mengetahui keinginan ayahnya serta mendoakannya, sebagai penambah berat amal ayahnya yang telah tiada. Dialah yang berusaha melanjutkan cita-cita ayahnya.
Dalam sejarah terbukti bahwa, seorang pendiri dinasti sering kali tidak dapat menyaksikan apa yang dia cita-citakan. Puncak kejayaan kerajaan yang dia rintis hanya dapat dialami dan diupayakan oleh anak- cucunya. Raden wijaya misalnya, walaupun sebagai pendiri majapahit, dia tidak membayangkan suatu saat kelak apa yang dirintisnya lebih besar daripada yang ia bayangkan. Hayam wuruk secara jitu berhasil menjabarkan keinginan pendahulunya, bahkan melebihi obsesi pendahulunya.
Begitulah betapa pentingnya keturunan sebagai pelanjut perjuangan nenek moyangnya, penerus cita-cita ayahnya. Yang lebih utama adalah anak sebagai satu-satunya penambah berat amalnya, manakala dia ditakdirkan miskin dan harta benda.
5. Estetika kehidupan
Pada umumnya memilki sifat materialistik. Manusia selalu ingin memilki perhiasan yang banyak dan bagus. Entah itu perhiasan materiel, seperti emas permata, kendaraan, rumah mewah, alat-alat yang serba elektronik, maupun perhiasan yang terbaik diantara perhiasan duniawi, seperti sabda nabi Muhammad SAW:
الدنيا كلها متاع وخيرمتاعهاالمرأةالصالحة
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalehah.”
Wanita yang salehah ini tidak didapati di dunia ini hitam walaupun disana berkeliaran wanita yang terlihat cantik dan indah. Wanita yang shalehah hanya dapat ditemukan melalui lembaga pernikahan. Jadi, penekanannya bukan pada segi fisik semata akan tetapi pada sikap hidup dan akhlak yang baik.
6. Mengisi dan menyemarakan dunia
Salah satu eksistensi manusia di bumi ini adalah memakmurkan dunia dan membuat dunia ini semarak dan bernilai. Untuk itu, Allah memberikan kemudahan-kemudahan melalui kemampuan ilmu dan teknologi. Dengan bekal yang dikaruniai Allah tersebut, manusia dapat menaklukkan alam ini dan mengambil manfaatnya.
Dengan kemampuan dan kecerdasan akalnya, manusia dapat menaklukkan isi alam ini. Sekeras apapun suatu benda, ia akan dapat dipecahnkan dan dihancurkan. Tebing yang terjal dapat dilalui dan lembah yang dalam dapat dilintasi bahkan lautan yang ganas dengan gelombang yang tinggi dan udara yang sangat dingin dapat ditaklukkan manusia. Batu yang keras mereka jadikan lantai keramik dan logam mulia, hutan, tebing, dan lembah mereka gusur untuk kepentingan industri perkayuan dan juga pertambangan. Lautan yang dalam dengan gelombang dahsyat dan suhu di bawah nol derajat, seperti di lautan pasifik atau daerah kutup lainnya, dapat dieksploitasikan diambil isinya melalui pengeboran minyak lepas pantai.
Semua itu adalah upaya memakmurkan dunia ini dan mengisi alam. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang banyak untuk mengolah sumber alam agar dunia ini makmur. Perkawinan sebagai satu-satunya alat reproduksi generative yang legal dan terhormat adalah satu-satunya cara menuju tercapainya tujuan tersebut.
7. Menjaga kemurnian nasab.
Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat diperoleh melalui pernikahan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat diharapkan lahirnya nasab yang sah pula, sebab wanita yang mendapatkan keturunan yang dapt dijamin orisinilitasnya.
Menjaga keturunan atau dalam istilah hukuk islam disebut dengan Hifzhu nasl adalah sesuatu yang Dharury (sangat esensial). Hal ini malapetaka yang sangat besar, merusak sendi-sendi kemanusiaan. Oleh karena itu, reproduksi generasi di luar ketentuan nikah, tidak mendapatkan legitimasi dan ditentang keras oleh agama islam. Selain tidak sesuai dengan etika kemanusiaan, dapat pula mengacungkan nasab (keturunan), menghasilkan generasi yang syubhat ( generasi yang samar-samar).
D. Berbagai macam hukum pernikahan.
Berdasarkan perintah nikah dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama berbeda pendapat dalam nenetapkan hukum nikah. Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumah tangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.
Berdasakan keterangan diatas maka kami mencoba untuk memaparkan lebih lanjut tentang lima hukum pernikahan diatas yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu:
1. Pernikahan Yang Wajib.
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya: “Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.” (QS.An-Nur: 33)
2. Penikahan yang Sunnah.
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. HR. Al-Baihaqi. Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya Pernikahan yang Haram.
3. Pernikahan yang haram.
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah: Pertama: Tidak mampu memberi nafkah, Kedua: tidak mampu melakukan hubungan seksual, kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat fisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal diatas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi atau nikah kontrak.
4. Pernikahan yang makruh.
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan yang mubah.
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Dari keterangan kami diatas kita mengambil contoh tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa, gadis berusia 12 tahun. Pernikahan yang sempat membuat heboh hukum nasional. Hampir semua media cetak dan elektronik mengulas pernikahan tidak lazim tersebut.
Kasus tersebut menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat, bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa tersebut? Sah atau tidak? Di sini terdapat perbedaan pendapat antara sah dengan tidak.
Yang berpendapat sah, berargumentasi bahwa hukumnya karena rukun dan syarat nikah telah terpenuhi sehingga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Wali, saksi, mahar dan akad (ijab dan qabul) ada. Soal umur yang masih 12 tahun tidak masalah dengan alasan pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah.
Sebaliknya, yang menjawab tidak sah dan bisa dibatalkan karena pernikahan tersebut melanggar ketentuan pasal 2 dan 7 UU Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 5 dan 15 KHI. Ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap pernikahan harus sesuai dengan hukum agama dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah serta calon isteri minimal berusia 16 tahun, jika belum mencapai umur tersebut harus mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.
Terlepas dari silang pendapat tersebut, kasus pernikahan Syekh Puji dan Ulfa tersebut akan lebih menarik jika dijadikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk berfikir secara falsafati dalam hukum Islam. Artinya dibalik hukum Islam yang normatif, ada filsafat hukum Islam yang melatari dan menjadi inti dari adanya hukum Islam tersebut.
Dengan pendekatan filsafat hukum Islam ini, kita akan bisa melihat dan membandingkan dengan jelas mana di antara dua pendapat di atas yang lebih sesuai dengan tujuan hukum Islam. Salah satu konsep penting dan fundamental dalam filasafat hukum Islam adalah konsep maqasid al syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia.
Adapun inti dari konsep maqasid al syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian suci antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, berlaku beberapa asas diantaranya:
• Kaidah (asas) kesukarelaan
• Kaidah (asas) monogami terbuka.
• Kaidah (asas) kebebasan memilih.
• Kaidah (asas) Kemitraan Suami isteri.
• Kaidah (asas) persetujuan kedua belah pihak.
• Kaidas (asas) untuk selamanya.
Menurut Jumhur Ulama, nikah itu sunnah dan bisa juga menjadi wajib atau haram. Perkawinan termasuk dalam bidang muamalat, sedang kaidah dasar muamalat adalah ibahah (boleh). Oleh karena itu, asal hukum melakukan perkawinan dilihat dari segi kategori kaidah hukum Islam adalah: Ibahah (boleh), Sunnah (kalau dipandang dari pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental, kesiapan membiayai kehidupan berumah tangga telah benar-benar ada), Wajib (kalau seseorang telah cukup matang untuk berumah tangga, baik dilihat dari segi pertumbuhan jasmani dan rohani, maupun kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus dalam lubang perzinahan), Makruh (kalau dilakukan oleh seseorang yang belum siap jasmani, rohani (mental), maupun biaya rumah tangga), Haram (kalau melanggar larangan-larangan atau tidak mampu menghidupu keluarganya.
Disamping tujuan dari pernikahan yang telah kami uraikan diatas, pernikahan juga mempunyai beberapa hikmah agar manusia sadar akan adanya sebuah pernikahan dan supaya manusia tidak meremahkan pernikahan itu sendiri. Diantaranya adalah sebagai berikut:
• Menyambung tali silaturrahmi.
• Menjaga kemurnian nasab.
• Mengisi dan menyemarakan dunia.
• Memalingkan pandangan yang liar.
• Estetika kehidupan.
• Estafeta Amal manusia
• Menghindari dari perzinaan
تزوجوا فاني مكاثربكم الأمم يوم القيامة
“Nikahkanlah kamu sesungguhnya aku menginginkan darimu umat yang banyak.” Dari tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya sebaiknya kita memperbanyak dan menikahi wanita yang mampu member kita keturunan yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA Syarifuddin Amir Dr Prof, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2006. Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta Universitas Indonesia, 1974. Rusyd Ibn, Bidayah al-Mujtahid fi nihayah al-Muqtashid, Beirut: dar-al-fikr. Juz II. Prof Dr. Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994. Hasan Tholhah M, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta, Lanta Bunta press, 2005. Drs.H Hakim Rahman, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. Shiddiqie ash Hasbi TM, Pedoman rumah tangga, Medan, Pustaka Maju,1979 Ramulyo Idris Moh, Hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum acara peradilan agama, Sinar Grafika, Jakarta, 1990. Ramulyo Idris Moh, Hukum Perkawinan Islam: suatu analisis UU no 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT Bumi Aksara, 1994. Ali Daud Muhammad Dr Prof, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1998.
No comments:
Post a Comment