Saturday, May 22, 2010

Teori perilaku politik

Teori perilaku politik adalah sebagai salah-satu aspek dari ilmu politik yang berusaha untuk mendefinisikan, mengukur dan menjelaskan pengaruh terhadap pandangan politik seseorang, ideologi  dan tingkat partisipasi politik. Secara teoritis, perilaku politik dapat diurai dalam tiga pendekatan utama yakni melalui pendekatan sosiologi, psikologi dan rasionalitas.

Political

Political scientists study the allocation and transfer of power in decision making, role and system of governance including governments and international organizations, political behavior and public policy. They measure the success of governance and specific policies by examining many factors, including stability, justice, material wealth, and peace. Some political scientists seek to develop this science in a positive way by doing political analysis. While others perform a normative development by making specific policy recommendations.

The study of politics is complicated by frequent involvement of political scientists in the political process, because they usually provide the teaching framework used by other commentators, such as journalists, specific interest groups, politicians, and the election participants to analyze problems and make choices. Political scientists may act as an advisor for a particular politician, or even play a role as a politician himself. Political scientists can be found working in governments, in political parties, or providing public services. They may work in the Non-Governmental Organizations (NGOs) or political movements. In various capacities, people educated and trained in political science can add value and contribute their expertise to the company. Companies such as think tanks (think-tank), research institutes, polling and public relations agencies often employ political scientists.

kebijakan politik

Ilmuwanmempelajari alokasi dan transfer kekuasaan dalam pembuatan keputusan, peran dan sistem pemerintahan termasuk pemerintah dan organisasi internasional, perilaku politik dan kebijakan publik. Mereka mengukur keberhasilan pemerintahan dan kebijakan khusus dengan memeriksa berbagai faktor, termasuk stabilitas, keadilan, kesejahteraan material, dan kedamaian. Beberapa ilmuwan politik berupaya mengembangkan ilmu ini secara positif dengan melakukan analisa politik. Sedangkan yang lain melakukan pengembangan secara normatif dengan membuat saran kebijakan khusus.

Studi tentang politik diperumit dengan seringnya keterlibatan ilmuwan politik dalam proses politik, karena pengajaran mereka biasanya memberikan kerangka pikir yang digunakan komentator lain, seperti jurnalis, kelompok minat tertentu, politikus, dan peserta pemilihan umum untuk menganalisis permasalahan dan melakukan pilihan. Ilmuwan politik dapat berperan sebagai penasihat untuk politikus tertentu, atau bahkan berperan sebagai politikus itu sendiri. Ilmuwan politik dapat terlihat bekerja di pemerintahan, di partai politik, atau memberikan pelayanan publik. Mereka dapat bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pergerakan politik. Dalam berbagai kapasitas, orang yang dididik dan dilatih dalam ilmu politik dapat memberi nilai tambah dan menyumbangkan keahliannya pada perusahaan. Perusahaan seperti wadah pemikir (think-tank), institut riset, lembaga polling dan hubungan masyarakat sering mempekerjakan ilmuwan politik.

Pemisahan kekuasaan

Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.

Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyelahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif

Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normative bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahugunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat

Bentuk pemerintahan

Bentuk pemerintahan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada rangkaian institusi politik yang digunakan untuk mengorganisasikan suatu negara  untuk menegakkan kekuasaannya atas suatu komunitas  politik [1]. Definisi ini tetap berlaku bahkan untuk pemerintahan yang tidak sah atau tidak berhasil menegakkan kekuasaannya. Tak tergantung dari kualitasnya, pemerintahan yang gagalpun tetap merupakan suatu bentuk pemerintahan.

Characteristics of Democratic Governance...

The term democracy first introduced by Aristotle as a form of government, namely a government which outlines that power in the hands of many people (the people).In its development, democracy becomes an order is received and used by almost all countries in the world.The characteristics of a democratic government is as follows.
   1. The involvement of citizens (the people) in political decision making, either directly or indirectly (representative).
   2. The existence of equal rights for all citizens in all fields.
   3. The existence of freedom and independence for all citizens.
   4. The existence of a general election to choose representatives who sit on people's representative institutions.

Ciri-Ciri Pemerintahan Yang Demokrasi

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat).Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut
   1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
   2. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
   3. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
   4. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Various definitions of bureaucrats

In Big Indonesian Dictionary, bureaucracy is defined as:

   1. Governmental system run by government employees because the meal has held positions in the hierarchy and levels
   2. How to work or composition of slow-paced job, and according to the grammar rules (customs and others) that many of the ins and likunya and so forth.

It has revised the definition of bureaucracy, where the bureaucracy further defined as

   1. System of government that is run by paid employees who are not elected by the people, and
   2. Governance mode is controlled by the employee.

Based on these definitions, an employee or employees of the bureaucracy was obtained from the appointment or appointed (appointed) and not chosen (elected).a

Sistem pemerintahan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :

   1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh makan pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
   2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.

Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai

   1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
   2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).

Bureaucracy

Bureaucracy is derived from the bureaucracy (english bureau + cracy), defined as an organization that has a chain of command to the shape of a pyramid, where more people are below the level at the top level, usually found on the nature of administrative agencies and the military.

In the chain of command at any position and work responsibilities clearly described in the organigram. This organization also has strict rules and procedures that tend to be less flexible. Another characteristic is usually there are many forms to be completed and the delegation of authority must be conducted in accordance with the hierarchy of power.

Birokrasi

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy), diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif  maupun militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.

Basic Principle of Democracy

Main idea or the basic idea of a democratic government is the recognition of human nature, which is basically the same people have abilities in social relations.  Based on these basic ideas there are 2 (two) fundamental principles of democracy, namely:
   1. Recognition of citizen participation in government, such as elections for representatives of the people directly representative institutions, universal, free and confidential and Jurdil; and
   2. Recognition of nature and human dignity, such as the existence of government action to protect human rights for the common interest.

Asas Pokok Demokrasi

Gagasan  pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.[10]  Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:[10]

   1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jurdil; dan
   2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

Principles of Democracy

Every principle of democracy and a prerequisite of the establishment of democracy has been accommodated in a constitution of the Republic of Indonesia. [8] The principles of democracy, can be evaluated from Almadudi opinion which then known as the "cornerstone of democracy." [9] According to him, the principles democracy are: [9]

   1. Popular sovereignty;
   2. Government based on consent from the governed;
   3. Majority rule;
   4. Minority rights;
   5. Guarantee human rights;
   6. Free and fair elections;
   7. Equality before the law;
   8. Fair legal process;
   9. Government is constitutionally restricted;
  10. Social pluralism, economic, and political;
  11. Tolerensi values, pragmatism, cooperation, and consensus.

Prinsip-Prinsip Demokrasi

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi  dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[8] Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi."[9]  Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:[9]

   1. Kedaulatan rakyat;
   2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
   3. Kekuasaan mayoritas;
   4. Hak-hak minoritas;
   5. Jaminan hak asasi manusia;
   6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
   7. Persamaan di depan hukum;
   8. Proses hukum yang wajar;
   9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Demokrasi

 adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[1]  Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.[1]  Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan  (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.[2]  Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia.[2]  Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan.[3]  Menjaga proses demokratisasi  adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu.[3]  Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik.[4] Sedang demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak.[5] Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme  dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis.[6] Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian  dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini.[7]  Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai it

Democracy

Democracy is a government of the people, by the people, and for the people. [1] That's the simplest understanding of democracy, which is known by almost everyone. [1] Talking about democracy is memburaskan (rap) about power, or rather the management of a civilized power. [2] He is a power management system which is based on values and ethics and civilization which respects human dignity. [2] The main perpetrator of democracy is that we all, each person who has always diatasnamakan but never determine. [3] Keeping the democratization process is properly understood the rights that we have, keep those rights in order to respect anyone, against anyone who tried to violate those rights. [3] Democracy is basically the rule of people (people rule), and in the democratic political system that citizens have rights, equal opportunity and voice in the government regulate in the public world. [4] While democracy is a decision based on majority vote. [5] In Indonesia, the national movement also aspire to the establishment of a democratic country the character of anti-feudalism and anti-imperialism, with the aim of creating a socialist society. [6] For Gus Dur, the foundation of democracy is justice, in the sense of opening up opportunities to everyone, and also means autonomy or independence from the person concerned to organize his life, in accordance with what he want. [7] So the issue of justice is important, in the sense he has the right to determine their own path of life, but must be respected and their rights must be given the opportunity and convenience and help to achieve it

Political Behavior

Political behavior or (UK: politics Behaviour) is performed by human behavior / individuals or groups to fulfill its rights and obligations as individuals politik.Seorang individuals / groups are required by countries to do the right and obligation to conduct political behavior as for the definition of political behavior examples are:

    * Conduct elections to choose representatives of the people / leaders
    * Attended and entitled to be political beings who follow a political party or political parties, following the mass society organizations or NGOs or NGO
    * Participate in a political party
    Come to criticize or lower * the authoritative political actors
    * Eligible to become political leaders
    * Obliged to do as human rights and political obligations in order to conduct political behavior that has been set either by the constitution and applicable laws and regulations

Perilaku politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

    * Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
    * Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
    * Ikut serta dalam pesta politik
    * Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
    * Berhak untuk menjadi pimpinan politik
    * Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku

State political

state is a territorial area in which there are a number of people who inhabit it, and have the sovereignty to run the government, and its existence is recognized by other countries. The above provisions is a requirement established by a state Montevideo Conference in 1933

Body politic...

Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik. Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen. Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan. Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.
Translate from:       
Translate into:   
   
Indonesian to English translationShow romanization
In layman means an organization, but the institution could also be a habit or behavior pattern. Marriage is a social institution, well recognized by the state through the Civil KUA or in Indonesia as well as being recognized by society without state recognition. In this context, an organization also is a pattern of behavior by giving the position on certain people to perform certain functions in order to achieve a common goal, the organization can be formal or informal. Political institutions is a political behavior that are plotted in the political field.

Election officials, namely the process of determining who will occupy a certain position and then perform certain functions (often as a leader in a field / specific community) is a democratic institution. Not a general election institute (or its now the Commission) but the whole pattern of behavior that we find and determine who will become leaders or our representatives to sit in parliament.

The major problem in the middle of the country through the transition process to democracy such as Indonesia currently is the institutionalization of democracy. Namely how to make behavioral decisions for and on behalf of the people could walk in accordance with democratic norms, are generally to be overcome is the change feudalistic institution (the patterned behavior in a feudal, that there are certain positions to people based on birth or as a noble profession political and the other as ordinary people) as an institution that is open and reflects the wishes of many to get welfare.

To institutionalize democracy and the law required legislation and structural devices that will continue to encourage democratic behavior terpolanya to be a view of life. Because it is believed that with such a new real prosperity can be achieved, as each individual's rights are protected even assisted by the state to be actualized, when every individual in touch with other individuals in accordance with the norms and laws.

Lembaga politik

Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.

Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.

Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Indeks artikel politik

Berikut merupakan daftar topik-topik politik didalamnya termasuk istilah-istilah ilmu politik, filsafat politik, isu-isu politik, dan lain-lain

Politik adalah proses di mana terdapat sekelompok manusia dalam membuat keputusan, walaupun sering kali istilah ini lebih diterapkan dan berhubungan dengan perilaku dalam pemerintahan sipil namun politik masih dapat diamati dalam semua interaksi diantara kelompok manusia, termasuk korporasi, akademik dan lembaga-lembaga keagamaan. Politik sendiri bisa terdiri dari "merupakan hubungan-hubungan interaksi sosial yang melibatkan otoritas kewenangan atau kekuasaan" [1]],mengacu pada peraturan dari sebuah unit politik,[2] atau berkaitan dengan metode dan stategi yang dipergunakan dalam perumusan dan penerapan kebijakan.[3]

Dalam Ilmu politik (atau dalam pelajaran studi politik) adalah belajar mengenai perilaku politik, akuisisi pengujian dan penerapan dari kekuasaan dan dalam bidang studi ini mempunyai keterkaitan dengan filsafat politik yakni sebuah ilmu yang mempelajari dasar-dasar pemikiran atas politik, etika perilaku publik politik dan administrasi publik yang mana termasuk pelakuan dalam penelitian dari praktek-praktek pemerintahan.

Political theory

Political theory

Political theory is the study of the concept of a political goal setting, how to achieve these objectives, and its consequences. Discussion in Political Theory, among others, political philosophy, the concept of the political system, state, society, sovereignty, power, legitimacy, state institutions, social changes, political development, comparative politics, and so on.

There are many political systems developed by nations in the world include: anarchism, authoritarian, democratic, diktatorisme, fascism, federalism, feminism, religious fundamentalism, globalism, imperialism, capitalism, communism, liberalism, libertarianism, Marxism, meritocracy, the monarchy, nationalism, racism, socialism, theokrasi, totalitarianism, oligarchy, etc..

Teori politik

Teori politik

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.

Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Sistem politik

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.

Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.

Political system

In a system perspective, the political system is a subsystem of the social system. Perspective or approach to see the whole system of existing interactions in a system that is a unit of relatively separate from their environment and have relatively fixed relationship between its constituent elements. Political life from the perspective of the system can be viewed from any angle, for example by insisting on the existing institutional structure we can look at the relationship between the various agencies or institutions forming the political system. The relationship between the various state institutions such as the central political power is one aspect, while the role of political parties and pressure groups is another part of a political system. By changing the angle of view of the political system could be viewed as political culture, political institutions, and political behavior.
Model of political system will describe the simplest input (input) into a political system, which changes through the political process into outputs (output). In this model inputs are usually associated with support and demands that must be processed by the political system through the various decisions and public services diberian by the government to be able to generate wealth for the people. In this perspective, the effectiveness of the political system is its ability to create prosperity for the people.

Politics


Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan  dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi  yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

    * politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
    * politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
    * politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
    * politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Politics

Politics is the process of formation and distribution of power in society which, among other tangible decision-making process, especially in the country. [1] This understanding represents a merger attempt between the various different definitions about the nature of politics that is known in political science.

Politics is the art and science to gain power constitutionally and nonkonstitusional.

In addition, politics can also be judging from a different perspective, namely, among others:

    * Politics are efforts taken by citizens to realize the common good (Aristotle's classical theory)
    * Politics are matters relating to the administration and state
    * Politics is an activity that is directed to obtain and retain power in society
    * Politics is all about the process of formulating and implementing public policy.

In the context of political understanding necessary to understand some of the key, among others: political power, legitimacy, political systems, political behavior, political participation, political process, and also equally important to know the ins and outs of the political parties.

Monday, May 10, 2010

KOROPSI

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI
 (STUDI TERHADAP PENGEMBANGAN WACANA KEAGAMAAM ANTIKORUPSI) MUHAMMADIYAH

Abstrak: Tulisan ini mencoba mendeskripsikan salah satu wujud partisipasi Muhammadiyah dalam upaya pemberantasan praktek korupsi melalui wacana keagamaan anti korupsi. Menurut Muhammadiyah korupsi bukan hanya tergolong pencurian biasa, tetapi lebih dari itu. Dampak yang diakibatkan oleh korupsi begitu dahsyat, sehingga Muhammadiyah mencoba menempatkan posisi korupsi pada fikih dalam berbagai posisi, bias masuk qulu’, riswah, dan lainnya. Muhammadiyah juga mencoba memaparkan wacana sebagai langkah-langkah melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kata Kunci: Wacana Keagamaan, Pemberantasan, Korupsi.

A.    Pendahuluan
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah masalah korupsi, dalam arti bagaimana cara memberantas dan menghentikan praktik-praktik korupsi yang nampaknya sudah melembaga dan membudaya. Korupsi adalah masalah kompleks, korupsi berakar san bercabang diseluruh aspek masyarakat Indonesia. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktik penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh.
Yang sangat menyedihkan bagi kita adanya fakta bahwa Indonesia merupakan negara terkorup se-Asia. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Political and economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan minggu, 10 Maret 2002 menyatakan bahwa Indonesia Merupakan Negara paling korup di Asia dengan tingkat skor 9,92. Ini merupakan angka terjelek bagi Republik Indonesia sejak PERC melakukan survey pada tahun 1995. sementara India menduduki peringkat ke dua dengan skor 9,17. Sedangkan Vietmnam peringkat ke tiga, dengan skor 8,25. Survey tersebut dilakukan dengan mengambil responden 1.000 pengusaha ekspatriat di 12 negara Asia.  Selain survey yang dilakukan oleh PERC di atas, sebuah survey yang dilakukan oleh lembaga survey lainnya juga selalu menetapkan Indonesia sebagai negara terkorup, bahkan selalu masuk 10 besar dalam deretan negara terkorup di dunia. Misalnya survey yang dilakukan oleh TI (Transparasi Internasional) – sebuah lembaga yang mengkampanyekan anti korupsi dan memiliki 80 cabang di seluruh dunia, termasuk Indonesia-pada tahun 1996 yang menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara dengan derajat korupsi tertinggi. Posisi ini bertahan sampai tahun 1999 yajni sebagai negara terkorup nomor 3 dari 99 negara di dunia, disusun kemudian Nigeria dan Kamerun skor Indonesia saat ini adalah 1,7.
Pada tahun 2001 posisi Indonesia masih sangat menyedihkan dalam deretan negara terkorup di dunia yakni menempati urutan ke empat dari 91 negara terkorup di dunia. Dalam urutan Corruption Perceptions Indeks (Indeks Citra Korupsi) 2001 yang dikeluarkan Transparancy International (TI) itu, Indonesia mendapat skor sekelas dengan Uganda, yakni 1,9. Hal ini hanya sedikit lebih baik ketimbang dua negara terkorup di dunia, yakni Nigeria (1,0) dan Bangladesh (0,4).  Tahun 2006-2007 Indonesia menempati urutan kedua dari Filipina sebagai Negara Korup di Asia.
Korupsi merupakan salah satu fenomena hukum yang perlu mendapat prioritas untuk negara diselesaikan dan harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Sebab, bahaya korupsi terkait dengan keuangan negara yang dapat mengganggu bahkan mengguncang perekonomian negara dan stabilitas nasional, menghambat proses pembangunan, merusak moral bangsa dan menurunkan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap pemerintah, sehingga para investor dan para pelaku bisnis enggan untuk investasi ke negara Indonesia.
Akibat lain dari bahaya tindak kejahatan korupsi, yaitu bisa mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa, membuat wibawa pemerintah turun serta dapat menimbulkan apatisme dan pesimisme di kalangan masyarakat termasuk kalangan remaja. Karena itu, maka korupsi harus diberantas secara efektif dan menyeluruh dalam segala bentuk manifestasinya.
Dalam kontek inilah Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar tergerak untuk ikut serta dan memprakarsai sebuah gerakan untuk memberantas korupsi dan mewujudkan good governance. Tulisan ini bermaksud memaparkan konsep-konsep Muhammadiyah dalam upaya pemberantasan sebagaimana yang terangkum dalam buku “ Fikih Anti Korupsi”.

B.    Pengertian Korupsi dan Unsur-Unsurnya
Pengertian korupsi secara etimologi, berasal dari bahasa latin yaitu Coruption, yang berarti keburukan, ketidakjujuran, kejahatan, dapat disuap, tidak bermoral.
Adapun perngertian korupsi secara terminologi adalah penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan di mana tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Kartini Kartono, seorang ahli patologi sosial mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi merugikan kepentingan umum dan negara.
Jeremy Pope membuat definisi yang cukup simpel dan mudah dipahami bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan/kepercayaan untuk keuntungan pribadi. 
Senada dengan itu, Azyumardi Azra mengutip beberapa definisi korupsi, antara lain menurut Leiken korupsi adalah “penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan (matrial) pribadi atau kemanfaatan politik”. Definisi Leiken ini menyebut unsur keuntungan matrial, padahal korupsi juga banyak terkait dengan keuntungan non matrial yang jauh lebih banyak. Azyumardi berpendapat bahwa pengertian ini bersifat minimalis tetapi mencakup hampir seluruh bentuk korupsi.  Lebih lanjut Azyumardi juga mengutip pendapat Syed Husen Alatas, korupsi adalah “penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.  Tampaknya definisi Husen Alatas dan Jeremy Pope inilah yang lebih luas sehingga mudah diterapkan.
Pengertian tindak pidana korupsi yang banyak dikutip adalah:
“Tingkah laku yang menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan statur atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi” .

Dalam undang-undang No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 1 pengertian tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang yang secara melawan hukum yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.

Definisi ini diperkuat lagi pada pasal 3, bahwa korupsi adalah setiap tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Yang dimaksud dengan setiap orang yang secara “melawan hukum” dalam pasal ini adalah meliputi perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal maupun material, yakni walaupun perbuatn itu tidak diatur dalam perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dipandang tercela karena tidak sejalan dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan melihat beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan kepentingan umum, keuangan dan perekonomian negara.
Berdasarkan pengertian korupsi di atas, pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana korupsi itu ialah:
1.    Adanya tindakan mengambil atau menggelapkan yang dilakukan oleh seseorang.
2.    Bersifat melawan norma yang sah dan berlaku
3.    Penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya yang diancam dengan pidana
4.    Merugikan orang lain
C.    Korupsi dalam Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah menyebutkan bahwa apabila mengacu pada khazanah hukum Islam, maka sulit untuk mendefinisikan korupsi secara persis sebagaimana yang dimaksud dengan istilah korupsi yang dikenal pada saat ini. Namun demikian, ternyata korupsi merupakan sebuah istilah yang mengacu kepada beberapa praktek kecurangan dalam transaksi antara manusia, sehingga istilah tersebut dapat dilacak perbandingannya dalam beberapa ekspresi tindakan curang yang dilarang dalam hukum Islam. 
Untuk mengidentifikasi beberapa bentuk ekspresi yang disebutkan dalam kitab fikih, maka terlebih dahulu harus diketahui unsur-unsur korupsi secara tepat. Merujuk pada hukum positif Indonesia yang disebutkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1999 ayat 2 dan 3, bahwa unsur-unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, merugikan pihak lain baik pribadi maupun negara dan menyalagunakan wewenang atau kesempatan atau sarana karena kedudukan dan jabatan.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka Muhammadiyah menyebutkan bahwa definisi korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan norma masyarakat, agama, moral dan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri  atau orang lain atau korporasi yang mengakibatkan rusaknya tatanan yang sudah disepakati yang berakibat pada hilangnya hak-hak orang lain, korporasi atau negara yang semestinya diperoleh. Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi terakhir yang ditawarkan oleh Muhammadiyah, dapat dijumpai ekspresinya dalam berbagai kasus yang terangkum dalam beberapa konsep-konsep normatif dan fikih, atau pemberian yang pada dasarnya halal menjadi haram karena mengandung unsur korupsi.
Berikut ini adalah beberapa istilah sebagai bentuk ekspresi yang mengandung unsur-unsur korupsi :
1)    Gulul
Konsep yang sering dihubungkan dengan korupsi karena dilihat sebagai bentuk pengkhianatan atas amanat yang seharusnya dijaga, adalah gulul. Secara leksikal, gulul bermakna "ahz|u al-syai wa dassahu fi mata'ihi", yaitu mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya.  Pada mulanya, gulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan. Oleh karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan gulul sebagai "al-hiya>nah fi al-magnam", yaitu pengkhianatan pada harta rampasan perang. 
Menurut Muhammadiyah, meskipun istilah gulul berawal dari harta rampasan perang (gani>mah), namun istilah ini dapat juga digunakan untuk penyelewengan dalam bidang pemerintahan atau penyelewengan yang dilakukan oleh seorang pejabat. Alasannya adalah karena kedua bentuk gulul tersebut merupakan manifestasi dari tindakan khianat pada pekerjaan, serta karena kedua bentuk gulul tersebut diharamkan sebab adanya unsur merugikan pihak lain, baik satu orang maupun masyarakat umum dan negara karena melakukan penggelapan atau juga menerima hadiah yang bukan menjadi haknya.
Muhammadiyah menyimpulkan bahwa gulul memenuhi semua unsur korupsi, karena :
    Gulul terjadi karena ada niat untuk memperkaya diri sendiri.
    Gulul merugikan orang lain dan sekaligus merugikan kekayaan negara karena gani>mah dan hadiah yang digelapkan (diterima) oleh para pelakunya mengakibatkan tercecernya hak orang lain dan hak negara.
    Gulul terjadi disebabkan karena adanya penyalagunaan wewenang.
    Gulul merupakan tindakan yang bertentangan dan sekaligus melawan hukum karena dilarang agama dan merusak sistem hukum dan moral masyarakat.
2)  Risywah (Suap)
Secara leksikal, risywah mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan, yang bermakna al-ju'l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan risywah (penyuapan) secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. 
Namun dalam hal ini, Muhammadiyah menyamakan risywah dengan istilah "sogok" dalam bahasa Indonesia.  Namun, tidak sepenuhnya risywah identik dengan korupsi, karena istilah tersebut mengandung cakupan yang lebih luas. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa korupsi mencakup beragam bentuk penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak ada unsur suapnya. Dengan kata lain, risywah tidak sama persis dengan korupsi. Namun, merupakan salah satu bentuk ekspresi dari korupsi.
3) Khianat
Secara umum, khianat berarti tidak menepati janji. Dalam al-Qur'an Surat al-Anfal ayat 27 juga telah dijelaskan tentang larangan mengkhianati amanat sesama manusia beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rosul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.

Yang dimaksud dengan amanat sesama yang dilarang untuk dikhianati adalah meliputi amanat politik, ekonomi, bisnis (muamalah), sosial dan pergaulan.  Dalam hubungan pemidanaan yang dibicarakan dalam fikih, khianat dikhususkan untuk tindakan yang mengingkari pinjaman barang yang telah dipinjamnya, dengan bahasa fikihnya yaitu 'ariyah.  Khianat juga merupakan sesuatu yang melekat pada gulul. Sebagaimana M. Shadiq Khan dalam tafsirnya Nail al-Maram min Tafsir ayat al-ahkam :
Artinya : “Mengkorup sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam hartanya dan menyembunyikannya, kemudian ia mengkhianati sahabatnya dalam (harta) itu”.
   
4) Mukabarah dan Gasab
Konsep lain yang dapat dihubungkan dengan korupsi karena dipandang dari sudut dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan adalah mukabarah dan gasab. Ali mengungkapkan bahwa arti gasab menurut bahasa adalah:
Artinya : “Gasab adalah mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan kekerasan (paksa)”.
Sedangkan menurut istilah syara', para Ulama' berbeda pendapat. Muhammadiyah merujuk pada pendapat al-Hanafiyah yang merumuskan gasab sebagai berikut:

Artinya : “Gasab yaitu menghilangkan kekuasaan orang yang berhak (pemilik) dengan menetapkan kekuasaan orang yang berbuat batil secara terang-terangan, tidak secara rahasia, pada harta yang berharga dan dapat dipindahkan".

Adapun pengertian mukabarah bersifat lebih umum, yaitu meliputi eksploitasi secara tidak sah atas benda dan manusia. Dengan pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa gasab termasuk di dalamnya. Mengingat bahwa gasab merupakan tindakan menguasai atau mengeksploitasi milik pihak lain berdasarkan kekuatan dan kekuasaan.
5( Saraqah (Pencurian)
Konsep lain menurut Muhammadiyah yang biasanya langsung dihubungkan dengan korupsi karena populer sebagai konsep perpindahan hak atas harta secara melawan hukum adalah saraqah atau pencurian. Pencurian (saraqah) adalah tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya.  Dan pelaku atas kejahatan ini dijatuhi hukuman potong tangan, sebagaimana yang disebutkan dalam Surat al-Maidah ayat 38:
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".


6( Intikab
Menurut Muhammadiyah, konsep selanjutnya yang banyak disinggung dalam kitab fikih adalah Intikab dan Iktilas}. Intikab adalah "ahz|u syai mugalabatah" yang berarti merampas atau menjambret, dan iktilas} adalah "qat}fu syai jiharan bi hadrat sahibihi fi gaflah minhu wal harab bih" yang berarti mencopet atau mengutil.
Dua konsep tersebut dapat dihubungkan dengan korupsi dilihat dari hakikatnya sebagai pemindahan hak secara melawan hukum. Dua kejahatan tersebut bersama dengan khianat, dan para pelakunya tidak dijatuhi hukuman potong tangan, sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Nasa'i berikut:

Artinya : “Diriwayatkan oleh 'Ali bin Khosyrimin, diriwayatkan oleh 'Isa bin Yunus, dari Ibnu Jurayj dari Abi Zubair dari Jabir dari Nabi saw bersabda: tidaklah dihukum potong tangan seorang pengkhianat, perampas dan pencuri secara diam-diam".

7) Aklu suht (makan hasil atau barang haram)
Konsep terakhir yang menurut Muhammadiyah dekat dengan korupsi adalah suht. Menurut asal katanya, suht berarti sesuatu yang membinasakan. Kemudian dianggap sebagai sesuatu yang haram, karena dianggap sesuatu yang haram pasti membinasakan pelakunya. Adapun ayat al-Qur'an yang menyebutkan tentang suht adalah:
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk minta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil".

Dari definisi yang dipaparkan di atas, Muhammadiyah menyimpulkan bahwa aklu suht mencakup semua kebiasaan dan kesenangan dalam berusaha dan memakan serta memanfaatkan barang yang haram atau dari hasil yang diharamkan. Dengan demikian, semua konsep yang merupakan ekspresi korupsi tercakup dalam istilah aklu suht ini, karena korupsi merupakan bentuk usaha yang haram dan sesuatu yang dihasilkannya menjadi haram pula. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir yang menafsirkan QS. Al-Maidah: 62 bahwa memakan harta dengan cara yang bathil maka tidak dibenarkan.
Dari beberapa konsep yang dipaparkan, Muhammadiyah menganggap konsep yang paling tepat untuk pidana korupsi dan dianggap memudahkan dalam penyelesaian sanksinya adalah konsep gulul (penggelapan) dan risywah (penyuapan). Yaitu dengan dikenai sanksi ta'zi>r dari hukuman yang terberat yakni hukuman mati, hingga hukuman yang teringan yakni penjara, dan tentunya sesuai dengan berat tindakan dan dampak korupsi yang dilakukan. 
Nampaknya kecenderungan Muhammadiyah untuk menggunakan terminologi gulul dan risywah terhadap korupsi daripada terminologi lain adalah berdasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
1) Berkaitan dengan tidak dikenalnya terminologi korupsi dalam khazanah Islam dan modus operandi yang relatif baru dan canggih sehingga sulit untuk dikaitkan dengan jari>mah had yang memiliki unsur-unsur tertentu yang seringkali tidak dapat terpenuhi atau samar untuk menarik definisinya kepada tindak pidana korupsi. Misalnya, kesukaran untuk menganalogikan korupsi terhadap hirabah, hal ini disebabkan karena pada hirabah, konsep yang terpenting adalah adanya unsur kekerasan. Sedangkan dalam korupsi sendiri, seringkali menggunakan cara-cara yang halus bahkan dilegalkan dengan perangkat hukum yang koruptif serta dilakukan atas dasar suka sama suka.
2) Pemilihan konsep gulul dan risywah memudahkan para penegak hukum untuk menentukan jenis sanksi yang disesuaikan dengan berat tindak pidana korupsi, yakni dengan instrumen ta'zimah had masih diliputi keraguan dan kesamaran dalam menganalogikan unsur materiil, dan Rasulullah memerintahkan untuk menghindari dari sanksi had apabila terdapat keraguan atau kesamaran.
3) Dengan memanfaatkan kelenturan ta'zir sebagai perangkat kriminalisasi tindak pidana korupsi, maka dapat dengan mudah mengaitkan pada berbagai jenis sanksi yang terberat seperti had, sampai pada jenis hukuman yang paling ringan seperti hukuman penjara.

D.    Langkah-Langkah Pemberantasan Korupsi Menurut Muhammadiyah
Langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Muhammadiyah antara lain sebagai berikut:
a)  Dekonstruksi budaya yang melestarikan korupsi.
Langkah ini dapat dilakukan dengan cara, antara lain seperti:
    Memberantas dan mengikis budaya kultus dan paternalistik. Budaya ini telah melahirkan sikap ewuh pakewuh atau rikuh (sungkan) dalam upaya pemberantasan korupsi atau penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
    Memberantas budaya pemberian hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan tertentu dalam kaitannya dengan urusan publik. Karena pada prakteknya, makna hadiah telah mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksud oleh konsep hadiah itu sendiri.
    Memberantas budaya komunalisme dalam kehidupan masyarakat dalam konteks ketergantungan akan kehidupan kolektif yang kemudian melahirkan sikap toleran terhadap praktek-praktek korupsi.
    Memberantas budaya instant. Karena selama ini dalam meraih segala sesuatu dengan serba singkat dan tanpa bekerja keras, sehingga aturan atau prosedur yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah akan dilanggar.
    Mengikis budaya permissif , hedonistik dan materialistik. Dimana fenomena ini sudah menjadi wabah endemik di kalangan masyarakat.
    Perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada masyarakat, sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya praktek korupsi. Dengan demikian, orang akan berfikir lagi apabila akan melakukan korupsi karena masyarakat akan bersikap kritis dan sekaligus menuntut akuntabilitas terhadap setiap jabatan yang diemban.
    Perlunya identifikasi problem korupsi secara menyeluruh disertai informasi yang jelas mengenai dampak korupsi dan strategi untuk melawan korupsi kepada masyarakat. Sehingga rakyat akan terdorong untuk bersama-sama melawan korupsi.
    Masyarakat harus diberi penjelasan secara terus-menerus bahwa sebagian dari sikap, kebiasaan dan perilaku mereka memiliki kecenderungan kolutif dan koruptif. Sehingga perlu dilakukan suatu usaha yang lebih sistematis untuk melawan kecenderungan itu.      
b)  Melalui jalur pendidikan
Pendidikan masih dapat diharapkan untuk menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didik, sehingga sejak dini mereka memahami bahwa korupsi bertentangan dengan norma hukum maupun norma agama. Upaya ini dapat dilakukan melalui jalur formal, non formal, maupun informal.
(1)    Jalur formal
(a)    Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran atau mata kuliah civic aducation di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak melahirkan warga negara yang memiliki komitmen akan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran.
(b)    Perlunya pengajaran dan penyisipan materi atau mata pelajaran "Kurikulum Antikorupsi" secara menyeluruh. Hal ini dilakukan agar kesadaran "Antikorupsi" dapat ditumbuhkan mulai di dunia pendidikan. Tindakan menyontek, menjiplak (plagiat) hasil karya orang lain, korupsi waktu bagi guru dan dosen, korupsi uang bagi para pejabat dan pengelola pendidikan dan jual beli nilai harus diberantas dengan aturan main yang jelas serta sanksi yang tegas.
(c)    Melakukan reformasi silabus pendidikan keagamaan dari yang lebih menekankan kesalehan individual menuju pada kesalehan sosial, dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara lebih kontekstual khususnya yang terkait dengan isu korupsi.
(d)    Mendorong para akademisi untuk terus melakukan berbagai penelitian tentang korupsi maupun yang terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.    
(e)    Membersihkan lembaga-lembaga pendidikan dari praktek korupsi, seperti pungutan berlebihan dengan dalih sumbangan, uang praktikum atau sebagainya.
(f)    segera merealisasikan anggaran pendidikan 20% sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan Undang-Undang. Sehingga peluang untuk memperoleh akses pendidikan yang berkualitas dapat merata bagi seluruh lapisan masyarakat, yang kemudian berakibat pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
(2)    Jalur non-formal
(a)    Mengadakan pelatihan-pelatihan dan pemantauan anti korupsi.
(b)    Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya korupsi melalui lembaga pengajian dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
(c)    Para pejabat, tokoh masyarakat, pemimpin informal, serta para hartawan harus memberikan keteladanan bagi masyarakat dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang dimiliki.
(3)    Jalur informal
(a)    Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang terkait dengan bahaya korupsi yang diberlakukan kepada seluruh anggota keluarga.
(b)    Para orang tua harus membimbing anak agar dibiasakan memiliki rasa bangga dan senang dengan usahanya sendiri, tidak dipacu untuk mendapatkan hasil tanpa usaha.
(c)    Mendorong para orang tua, tokoh dan pimpinan masyarakat, politisi maupun pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat dan birokrasi negara.
(d)    Para keluarga hendaknya membiasakan budaya menabung dan hidup secara produktif dan tidak konsumtif melalui pembudayaan sistem manajemen keuangan keluarga secara proporsional dan professional.
c)  Melalui jalur keagamaan
Strategi yang dapat dilakukan melalui jalur ini, antara lain dengan:
1)    Mendorong para tokoh dan lembaga agama untuk mengeluarkan fatwa atau opini tentang korupsi serta sanksi moral bagi para pelaku korupsi.
2)    Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih menghayati ajaran agamanya, karena penghayatan agama yang benar akan mencegah seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun tindak kejahatan lainnya.
3)    Membersihkan organisasi kemasyarakatan Islam dan institusi-institusi keagamaan dari unsur-unsur dan praktek-praktek korupsi.
4)    Mengoptimalkan potensi institusi masjid sebagai pusat pembinaan umat.
5)    Proses penyadaran dan pemberdayaan melalui media pengajian majlis ta'lim, khotbah jum'at dan momentum hari-hari besar Islam serta metode dakwah lain mengenai bahaya korupsi.
d)  Pendekatan sosio-kultural
            Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah:
1)    Menciptakan dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga bangsa khususnya yang terkait dengan kasus penyalahgunaan atau korupsi itu sendiri.
2)    Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya pengucilan bagi setiap anggota masyarakat yang terbukti melakukan korupsi.
3)    Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya korupsi di tengah masyarakat melalui media massa, elektronik maupun cetak serta memanfaatkan media kesenian rakyat dan lain sebagainya.
4)    Memanfaatkan media olahraga, melalui pertandingan-pertandingan olahraga secara jujur, fair  dan sebagainya.
5)    Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai pada kasus money politics.
6)    Mendorong segenap warga masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang berwenang apabila ada indikasi penyalahgunaan wewenang (korupsi).
7)    Memberikan penghargaan (award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.
8)    Menerbitkan dan mempublikasikan berbagai literatur keagamaan yang mengkritisi perilaku korupsi dan menjelaskan bahaya korupsi.
e)  Pendekatan hukum dan politik
Adapun cara yang dapat dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi melalui jalur hukum dan politik, antara lain:
1)    Mendorong pemerintah maupun anggota legislatif untuk segera merevisi Undang-Undang antikorupsi dengan mengedepankan "asas pembuktian terbalik" terhadap orang yang diduga melakukan tindakan pidana korupsi.
2)    Perlunya penyusunan anggaran yang rasional dan proporsional bagi setiap pejabat negara atau pelaksana pemerintahan, seperti anggaran baju dinas pejabat, anggaran kesehatan dan sebagainya.
3)    Setiap anggota masyarakat, baik secara individual maupun kelembagaan hendaknya melakukan tekanan kepada para aparat penegak hukum untuk konsekuen dan memiliki keberanian dalam menindak para pelaku tindak pidana korupsi.
4)    Memperluas horizon tentang makna korupsi, bahwa korupsi bukan hanya korupsi uang, namun juga termasuk korupsi waktu, kesetiaan, informasi dan lain-lain.
5)    Mendorong aparat birokrasi agar mengembangkan sistem pemerintahan yang transparan dan responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat yang berkembang, serta selalu berupaya agar terwujud sistem birokrasi yang memiliki akuntabilitas tinggi.
6)    Mendorong seluruh aparat pemerintahan, maupun pimpinan atau anggota parpol untuk tidak melakukan rangkap jabatan.
7)    Menghimbau dan mendorong semua komponen masyarakat umum maupun masyarakat politik untuk melakukan koalisi bersih yang bersifat lintas agama, lintas ormas atau LSM, dan lintas parpol.
8)    Mempublikasikan inisial para koruptor yang diduga terkait dengan isu korupsi.
9)    Mempublikasikan berbagai kasus-kasus korupsi dari yang tingkat rendah sampai tingkat tinggi berdasarkan informasi yang akurat sehingga membuat jera para pelaku korupsi.
10)    Mendorong setiap proses sosial-politik yang dapat mewujudkan terciptanya kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, dapat mereduksi munculnya berbagai penyakit sosial termasuk korupsi.
11)    Pemerintah dan segenap masyarakat harus terus-menerus meningkatkan pengawasan yang sudah tersedia, disamping media informal lain.
12)    Segera dilakukan perbaikan sistem pemerintahan dan pembangunan dengan mengedepankan empat kriteria, yaitu; a). bersifat komprehensif, saling sinergi dan tidak parsial; b). bersifat ideologis; c). menganut asas keimbangan; dan d). semakin mendekati tujuan perjuangan. 
f)   Memilih pemimpin yang bersih
Adapun untuk memilih pemimpin yang bersih dan pemerintahan yang baik, dibutuhkan kepemimpinan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1)    Memiliki integritas kepribadian yang tinggi, beriman dan bertakwa, serta memiliki kekuatan moral dan intelektual.
2)    Memiliki kapabilitas, yakni kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang serta mengelola keberagaman menjadi kekuatan yang sinergis.
3)    Populis, berjiwa kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
4)    Visioner, memiliki visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri).
5)    Berjiwa negarawan dan memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
6)    Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional.
7)    Berjiwa reformasi, memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi.
g)  Keteladanan pemimpin
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan seorang pemimpin agar memberi keteladanan adalah:
1)    Pemimpin harus memiliki sikap terpuji dalam segala aspek kehidupannya. Selain itu, kata-katanya harus sesuai dengan perbuatannya.
2)    Konsisten untuk mengusung idealisme, dan sikap antikorupsi harus selalu dijunjung oleh para pejuang reformasi, agar tidak terjerumus atau bahkan menunggu giliran dalam praktek korupsi.
3)    Memegang amanat dan janji.
4)    Tidak menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.
5)    Seorang pemimpin hendaknya selalu menyelesaikan setiap persoalan berlandaskan kepada aturan hukum.
6)    Selain seorang pemimpin harus bersifat jujur, amanah dan bertanggung jawab, seorang pemimpin juga harus dapat mengelola atau mendayagunakan kekayaan negara secara proporsional dan tidak untuk kepentingan pribadi.
7)    Seorang pemimpin hendaklah berani menyampaikan kebenaran, serta tidak takut memberantas KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme), tidak bekerjasama dengan para koruptor, tidak terlibat dalam kasus-kasus kriminal, serta bersikap tegas terhadap perbuatan munkar.
h)  Perbaikan sistem upah
Untuk meningkatkan kualitas layanan publik dan produktivitas kerja, maka kesejahteraan pegawai, karyawan dan buruh harus diperhatikan. Pemerintah dan pimpinan perusahaan memiliki kepentingan untuk terus berupaya agar gaji karyawan dan upah buruh harus selalu disesuaikan dengan tingkat yang wajar. Karena, dengan kondisi kurangnya gaji maka akan mendorong terjadinya korupsi.
Selain penetapan gaji yang proporsional, aspek perlindungan hukum, masalah kesehatan dan pendidikan keluarga karyawan serta jaminan hidup pasca pensiun perlu menjadi perhatian yang serius. Dengan demikian, karyawan akan bekerja sepenuh hati, sehingga akan mengurangi terjadinya penyelewengan-penyelewengan dalam jabatan.

i)   Debirokratisasi
Sudah saatnya untuk merealisasikan prinsip kemudahan dalam penyelenggaraan administrasi dan manajemen. Sebagaimana dimaklumi, bahwa penyebab terbesar dari munculnya berbagai praktek korupsi di Indonesia adalah karena sistem birokrasi pemerintahan yang rumit dan berbeli-belit. Di samping itu, terdapat beberapa hal mendesak yang harus diakukan oleh pemerintah, yaitu:
1)    Penyederhanaan birokrasi dengan target peningkatan kualitas pelayanan publik.
2)    Menerapkan manajemen otomasi di mana proses pengawasan internal dan eksternal berjalan secara transparan dan professional dengan funsionalisasi IT (International Transparancy) secara optimal.
3)    Melantik pejabat yang selain memiliki kemampuan keilmuan dan kompetensi, yang tidak kalah penting diantaranya adalah berkepribadian dan bermoral tinggi, sehingga tidak hanya menggunakan standar kepangkatan struktural semata, sebagaimana yang masih berlangsung.
j)   Pembuktian terbalik
Tanpa alat bukti, seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran atau kejahatan, sebagaimana yang dikenal dengan asas praduga tak bersalah. Dengan demikian, untuk melacak dan mencari alat-alat bukti bagi tindak pidana korupsi seringkali merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Seperti, karena terlalu lama perbuatan korupsi tersebut dilakukan sehingga sebagian atau keseluruhan barang bukti telah hilang, baik karena sengaja dihilangkan oleh terdakwa untuk menutupi perbuatannya, maupun karena faktor bencana alam yang berakibat musnahnya barang bukti.
Apabila hal tersebut terjadi, maka pihak penyelidik akan sulit sekali mencari barang bukti padahal diyakini seseorang tersebut telah melakukan tindak korupsi. Sehingga, menurut Muhammadiyah perlu diupayakan upaya hukum lain yaitu dengan pembuktian terbalik. Yakni, terdakwa dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, antara lain dengan membuktikan asal-usul harta terdakwa itu sendiri. 
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sesungguhnya penggunaan pembuktian terbalik merupakan bagian dari memberlakukan aturan khusus yang dinilai lebih dapat mendatangkan kemaslahatan di kala berhadapan dengan aturan umum. Metode pembuktian terbalik ini dalam Kaidah Hukum Islam dikategorikan penggunaan dalil al-Istihsan. 
k)  Partisipasi masyarakat untuk mengontrol kebijakan publik
Adapun bentuk keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat berupa:
1)    Masyarakat harus terlibat dalam penyusunan RAPBN dan RAPBD.
2)    Mengkritisi berbagai peraturan perundang-undangan agar tidak ada celah untuk disalahgunakan yang akan merugikan negara dan masyarakat.
3)    Meminta transparansi dari suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah, lembaga atau siapa pun yang menyangkut tugas yang diembannya.
4)    Melaporkan setiap orang yang diduga melakukan KKN kepada instansi penegak hukum.
5)    Memantau jalannya proses peradilan dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi.
l)   Reward dan punishment (Imbalan dan Hukuman)
Sistem reward dan punishment ini memiliki nilai yang sangat penting dalam pembentukan moral. Sebab dengan hal ini, akan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mendukung perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk, bahkan akan membuat jera para pelaku kejahatan termasuk korupsi, karena ia akan selalu mendapat hukuman atas perbuatannya. 

E.    Penutup
    Pendekatan dan pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama pendekatan politik dan hukum, ini menjadi tugas pemerintah. Pemerintah bertugas membuat aturan dan mengimplementasikan aturan-aturan tersebut. Kedua melalui pendekatan budaya, dimana Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan membantu pemerintah dalam upaya mempertegas  pemberantasan korupsi baik melalui social pressure, input berupa masukan saran dan penyadaran masyarakat.
    Konsep-konsep dan langkah-langkah strategi yang dihasilkan oleh Muhammadiyah yang kemudian dituangkan dalam buku “ Fikih Anti Korupsi “ merupakan wujud upaya pemberantasan praktek korupsi melalui pengembangan wacana keagamaan anti korupsi. Harus diakui bahwa sejauh ini arti penting wacana anti korupsi berspektif keagamaan belum begitu banyak disadari disamping itu wacana sendiri tersebut belum luas dikembangkan. Padahal dalam teks-teks agama sendiri, khususnya agama Islam kutukan terhadap korupsi mendapat ruang yang cukup luas. Dengan demikian upaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini memiliki arti penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.


HUKUM ISLAM


Prolog
Alasan ini sangat klasik bahwa ketidakjelasan pengembangan studi hukum Islam saat ini pada tataran materi dan metodologi adalah berawal dari perbedaan pendapat para ulama tentang istilah, makna dan cakupan dari hukum Islam itu sendiri. Apakah hukum Islam ini adalah terjemahan dari shari>'ah, shar'y atau fiqh? Kalau terjemahan dari fiqh, apakah dalam makna pada masa awal munculnya istilah itu sebagaimana dimaknai oleh Imam Abu Hanifah sebagai seluruh pranata dan aturan dalam Islam termasuk tauhid dan akhlak, ataukah dalam makna yang berkembang kemudian, yakni yang mencakup hukum murni an sich.
Perbedaan di atas sampai saat ini tetap eksis  dan sudah tentu berpengaruh pada perkembangan hukum Islam, pilihan materi dan metodologinya. Lebih-lebih, perkembangan hukum Islam itu sendiri menghadapi kesulitan ketika dikomparasikan atau dilihat dengan perspektif hukum Barat dengan segala metodologinya. Hal ini sangat dirasakan oleh sarjana-sarjana hukum Islam Barat, sebut saja misalnya Wael Hallaq ketika mencoba mensinergikan terma dan metodologi hukum Barat dengan hukum Islam dalam bukunya A History of Islamic Legal Theories:An Introduction to Sunni>  us}u>l al-fiqh. 
Beragamnya pendapat tentang hukum Islam ini, mulai dari yang klasik sampai yang modern, sesungguhnya menjadi khazanah yang menyediakan opsi-opsi yang mencerdaskan yang mampu mencetak watak kesarjanaan yang progresif, menghargai perbedaan dan memahami makna hakiki dari pluralisme. Sayangnya, perkembangan yang terjadi saat ini adalah memilih satu opsi untuk diyakini dan dianut secara fanatis tanpa menyisakan ruang kebenaran untuk pemilih opsi hukum yang lain. Inilah yang juga lazim terjadi di PTAI di Indonesia.
Berikut ini adalah sketsa sekilas tentang materi dan metodologi hukum Islam  yang dikembangkan di IAIN untuk melihat jelas kelemahan-kelemahan yang telah melahirkan potret hukum Islam di Indonesia yang handicap. Pada bagian akhir tulisan ini akan dipaparkan beberapa faktor lainnya yang mendukung kurang kokohnya kajian hukum Islam di IAIN.

Materi Hukum Islam di PTAIN
    Sesungguhnya studi hukum Islam di PTAIN saat ini sudah banyak mengalami kemajuan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada Keputusan Menteri Agama tentang penyempurnaan KepMenag No. 110/1982, tanpak dengan jelas pembidangan  ilmu-ilmu keislaman, disiplin, sub-disiplin dan arah pengembangannya. Ilmu Syari'ah adalah bidang kajian yang ke-6 dari 12 bidang kajian yang ada.  Dari sini jelas bahwa makna fiqh yang dipakai adalah makna fiqh sebagai hukum murni.
    Pilihan semacam ini masih menjadi bagus manakala diimbangi dengan matakuliah-matakuliah yang mengisi bagian-bagian lain dari studi Islam sehingga mahasiswa mampu memahami bangunan Islam yang utuh, walaupun kajian pokoknya adalah hukum Islam. Hal ini sudah dilakukan oleh PTAI, termasuk di fakultas dimana penulis mengajar.
    Meskipun demikian, studi hukum Islam seperti ini membutuhkan pilar-pilar metodologis yang harus diajarkan bersama dengan materi hukumnya. Pendekatan-pendekatan filosofis, historis, sosiologis dan juga politik menjadi sangat urgent untuk menampilkan wajah hukum Islam yang membumi, luwes dan fleksibel. Sayangnya, materi-materi kuliah seperti inilah yang kurang mendapatkan tempat dan perhatian.
    Kenyataan yang lebih parah adalah ternyata bukan hanya metodologi dan pendekatan kontemporer yang tidak mendapatkan tempat, kajian-kajian teori fiqh klasik pun, seperti us}u>l al-fiqh dan qawa>'id al-fiqh tidak mendapatkan porsi yang layak. Bagaimana studi hukum Islam akan mampu berkembang sementara landasan-landasan pokoknya tidak banyak dipelajari. Perkembangan hukum Islam tidaklah terletak pada materi-materi hukum Islam yang sudah "tidak berdaya" dalam teks kitab-kitab kuning, melainkan pada ruh hukum Islam itu sendiri yang ada pada aplikasi metodologi.
    Ketidakseimbangan materi kuliah, antara materi hukum Islam dan teori hukum Islam memiliki implikasi negatif yang saat ini kita sudah rasakan. Kekayaan "hafalan" materi hukum Islam yang dibarengi dengan kemiskinan teori, metodologi dan pendekatan hukum telah melahirkan rigiditas dalam bersentuhan dengan realitas yang dinamis dan fanatisme yang kental ketika berhadapan dengan perbedaan pendapat. Menurut hemat penulis, peningkatan kajian metodologis sebagai matakuliah wajib perlu dilakukan.

Metodologi Studi Hukum Islam
Lemahnya penguasaan metodologi studi hukum Islam di PTAIN dapat dilihat dari karya akhir studi mahasiswa. Karya akhir mereka, terutama yang S1 dan pada beberapa bagian juga S2 dan S3 menampilkan pola kajian yang seragam, metodologi yang kaku dan bahkan objek kajian yang relatif sama. Ada semacam keengganan untuk bersentuhan dengan kajian dengan menggunakan inter-disciplinary approach.
Pendekatan sosiologis, politik, filosofis  terhadap hukum sangat jarang, kalau tidak bisa dikatakan tidak pernah, dilakukan oleh mahasiswa S1, namun sudah ada dilakukan oleh mahasiswa S2 dan S3. Skripsi mereka cenderung sama menggunakan judul "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ….", "PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG …" dan paling jauh adalah kajian komparatif antara hukum Islam dan hukum positif.   Uraiannya sangatlah deskriptif dan sepi dari pendekatan-pendekatan kontemporer. Ini adalah indikator nyata gagalnya pencapaian target belajar MSI.
Kenyataan di atas, pada tataran yang lebih luas, telah menyebabkan tiga hal yang poisonous: pertama, lahirnya sarjana yang mendapatkan legitimasi akademik tetapi tetap berpola pikir non akademik. Menarik untuk dicatat bahwa penyakit seperti ini juga banyak terjadi pada mhasiswa alumni Barat yang pernah mengalami pencerahan tetapi kemudian kembali pada "madhhab masa lalunya" ketika kembali ke masyarakat.  Akhirnya, tokoh dan teks hukum Islam klasik mengalami penguatan mistifikasi di kalangan masyarakat awam, reformasi hukum Islam mengalami hambatan yang sangat berat; kedua, hukum Islam akan terus going no where kecuali tetap menjadi teks yang tidak memiliki konteks karena kebutuhan sosial, budaya dan kehidupan masyarakat yang terus mengembang tidak pernah dikaji dan dipenuhi; ketiga, tetap bertahannya absolutisme, tradisionalisme dan aroganisme keberagamaan. Tafsir-tafsir keagamaan yang tidak bersahabat, tidak memiliki visi universalitas nilai keadilan dan kesejahteraan, serta tidak mau bersentuhan dengan realitas sangat mungkin muncul dari kelompok semacam ini. 
Menurut hemat penulis, ada empat problem utama dalam pembelajaran Metodologi Studi Islam di PTAIN, minimum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel tempat penulis bekerja:
1.    Kurangnya jumlah SKS untuk MSI dalam berbagai pendekatan. MSI dalam silabus S1 IAIN adalah dasar-dasar metodologis untuk semua kajian studi keIslaman mulai dari hukum Islam, teologi dan lain sebagainya yang diberikan pada mahasiswa semester satu dengan bobot 2 SKS. Ini adalah matakuliah yang berat dengan bobot yang sedikit diberikan kepada orang yang secara intelektual baru beranjak "matang."
2.    Rendahnya intellectual ability and capability dosen pengajar, sehingga tidak mampu merangsang mahasiswa untuk searching and surfing lebih jauh dengan pendekatan-pendekatan kontemporer multi-disipliner.  Harus diakui sebagai sebuah kenyataan bahwa masih banyak dosen dan pengajar di semua strata pendidikan yang tidak mengerti pendekatan studi keislaman kontemporer, seperti hermeneutika, fenomenologi, history of ideas, konstruksi sosial dan lain sebagainya. Yang unik adalah mereka menyembunyikan ketidakmengertiannya di balik ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan baru itu.
3.    Kurangnya buku-buku referensi metodologi studi Islam yang bisa diakses dengan baik juga menjadi kendala. Perpustakaan masih dipenuhi dengan buku-buku lama. Buku-buku baru dan juga jurnal-jurnal yang biasanya mengusung isu dan ide baru pendekatan penelitian dan studi keagamaan sangat sulit didapatkan.
4.    Rendahnya modal akademis mahasiswa. Penyaringan test masuk IAIN terlalu longgar, sehingga calon mahasiswa yang tidak bisa baca tulis Arabpun bisa lolos. Adalah naif, apabila ada mahasiswa S2 dan S3 yang sama sekali tidak menguasai bahasa Arab dan atau bahasa Inggris, karena akan mengalami kesulitan mengupgrade khazanah keilmuannya.

Strategi Pengembangan
Dari uraian di atas jelaslah bahwa wajah pengembangan hukum Islam yang cenderung lamban di PTAI dan juga dalam masyarakat muslim di Indonesia secara umum adalah implikasi dari kurang diperhatikannya aspek metodologi dan pendekatan studi hukum Islam.
Menyadari masalah-masalah tersebut, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan, yaitu:
1.    Penambahan bobot sks MSI pada program S1, dan pendalaman berkelanjutan pada program S2 dan S3.
2.    Peningkatan mutu dan kemampuan akademik dosen pengajar MSI, dengan diadakannya seminar, workshop dan training metodologi studi hukum Islam. Dosen MSI ini seharusnya adalah mereka yang sudah belajar dan ditraining secara khusus, bukan asal dosen yang setiap semester berganti matakuliah sebagaimana yang saat ini masih banyak terjadi di PTAI kita. Upaya mengembangan mutu dosen, sebagaimana yang dilakukan di UIN Yogyakarta, dengan cara mengirimkan dosen dan staf pengajarnya ke universitas-universitas Barat dan Timur Tengah adalah cara yang sangat efektif untuk proses enlightenment.
3.    Kajian ulang silabus MSI di PTAI sekaligus penambahan referensi yang bisa diakses oleh mahasiswa. McGill University bisa menjadi salah satu contoh dalam hal kelengkapan buku dan jurnal dalam bentuk hard copy. Harvard University bisa ditiru dalam hal kelengkapan akses jurnal online dimana universitas subscribe ke situs jurnal untuk kemudian dibaca oleh mahasiswa.
Perbaikan output pendidikan PTAI akan sangat bermakna bagi perkembangan pemahaman hukum Islam di masyarakat umum. Pemahaman keislaman yang progresif akan mudah tumbuh apabila tabiat hukum Islam yang luwes dan fleksibel menjadi suatu kenyataan. Sejarah akan mencatat bahwa PTAI telah berhasil mengawal keberagamaan masyarakat yang damai "dari kampus untuk masyarakat."




Penentuan Awal Bulan Hijriah

Surabaya, sabtu (27/12) Workshop mingguan CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya, kali ini mengangkat tema “Hisab Ruhyat”. Workshop menghadirkan pembicara, Drs. Abdul Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, yang mulai berkecimpung terhadap Hisab Ru’yat sejak tahun 1992. Pak Salam, sapaan akrabnya di kampus, membawakan makalah yanag berjudul “Teologi Hisab Ruhyat: untuk penentuan awal bulan hijrah”. Peserta workshop adalah anggota CSS MoRA IAIN Sunan Ampel Surabaya angkatan 2006, yang berjumlah 40 mahasiswa fak. Syari’ah. Workshop berlangsung berkat kerjasama Akademik fak.Syari’ah dengan Departemen Agama RI. Dan workshop dilaksanakan di Auditorium Syariah IAIN Sunan Ampel.
Bagi umat Islam Penentuan awal bulan hijriah menjadi sesuatu yang urgen, karena kebanyakan praktek ibadah dalam islam mengacu kepada penanggalan Qamariah, yaitu penanggalan berdasarkan perputaran bulan. Pak Salam menjelaskan bahwa, ada kontroversi jawaban fikih dalam penentuan acuan awal bulan hijriah. Diantaranya:
1.    al-Ramli dan al-Khatib al-Syarbini: Rukyat, La ‘Ibrah li Qawl al-Hussab.  Lihat, Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatta al-Bakri, Hashiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 216
2.    al-Subkiy, al-Abbadiy, dan al-Qalyubiy: Rukyat tidak sesuai dengan Hisab, ditolak. ibid.; Syihabuddin al-Qalyubiy dan Shihabuddin ‘Umairah, Hasyiyah al-Qalyubiy wa ‘Umairah ‘ala Minhaj al-Thalibin, juz 2, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 49
3.    Ibnu Hajar al-Haitamiy: Rukyat ditolak bila semua ahli hisab sepakat menafikannya. Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, h. 382
Melihat pendapat pertama, ditegaskan bahwa penentuan awal bulan hijriah adalah dengan rukyat, apa pun pendapat ahli hisab itu tidak dapat dijadikan acuan/pelajaran. Begitupula, pendapat kedua, menjelaskan bahwa rukyat akan ditolak jika tidak sesuai dengan hisab. Dengan kata lain, menafikan pendapat pertama. Kemudian pendapt ketiga ingin menjadi penengah diantara perbedaan itu, yaitu dengan mengatakan rukyat itu ditolak bila semua ahlli hisab sepakat menolaknya, tapi selama ahli hisab juga tidak menyepakatinya, rukyat bisa diterima saja. Oleh karena itu, pak salam menawarkan gagasan dengan pendekatan lain, yaitu, “Teologi Hisab Rukyat”. Karena jika kita terus mengacu secara apa adanya kepada khazanah fikih warisan masa lalu, kontroversi seputar penentuan awal hijriah tidak akan pernah selesai.
Secara garis besar, teologi hisab rukyat berdasarkan pemahaman bahwa Allah SWT mencipta Alam. Alam besar (alam semesta/makro kosmos) dan alam kecil (manusia/mikro kosmos). Allah SWT mengatur ciptaan ini dengan sunnatullah (hukum alam) dan dinnullah (agama). Sunnatullah itu berlaku bagi alam besar dan alam kecil, yaitu suatu kepastian/ketetapan dari keadaan sesuatu. Sedangkan dinnullah hanya bagi manusia saja, yaitu aturan yang mengarahkan sikap manusia bagaimana bersikap terhadap dirinya, terhadap tuhan dan alam dilingkungannya. Adapun perbedaan secara rinci diantara keduanya, sebagai berikut:
Sunnatullah:
1.    Bersifat objektif, pasti, dan tetap. Seperti, Benda dilempar ke atas pasti ke bawah karena ada gaya gravitasnya,
2.    Tidak diwahyukan tetapi dibentangkan dalam hamparan alam semesta dan alam manusia
3.    Kajian sunnatullah ini melahirkan ilmu dunia (ilmu umum), seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, dsb
4.    Kebenarannya tergantung kepada seberapa akurat ia didukung oleh realitas empirical-obyektif.
Dinnullah:
1.    Bersifat subyektif (bias ditaati atau tidak oleh semua orang), tidak pasti dan tidak tetap. Dari 25 nabi yang dikenalkan, semua syari’at yang diajrkan berbeda-beda karena tergantung konteks yang dihadapinya. Misalnya, jaman nabi adam nikah dengan saudara boleh, sekarang tidak boleh.
2.    Diwahyukan berupa al-qur’an dan al-Hadits
3.    Kajian terhadap dinnullah melahirkan ilmu agama, seperti fikih, tauhid, tashawuf, dsb
4.    Kebenarannya terganung seberapa akura didukung oleh realitas legal-formal (dalil naql/al-qur’an dan as-sunnah)
Berangkat dari kerangka berfikri di atas, pak Salam mengaitkan dinnullah ‘penentuan awal bulan hijriah’ dengan sunnatullah ‘tentang perjalanan bulan dan matahari’. Dinnullah berbicara penentuan awal bulan hijriah, terdapat pada:
1.    Q.S. Al-Isra’:12
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آَيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا (12)
“dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
2.    Q.S. Yunus: 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5)
“5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”
Dari ayat di atas menyatakan bahwa Bahwa Allah menjadikan malam dan siang dengan tanda-tanda yang berbeda, Matahari bersinar dan Bulan bercahaya, dan menjadikan peredaraannya pada manzilah-manzilah yang ditentukan kadarnya adalah dimaksudkan supaya manusia mengetahui: Adad al-Sinin dan Hisab al-Sinin.
AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dan AL-’ILMU BI ‘ HISAB AL-SININ adalah pengetahuan-2 tentang Kalender. Hubungan antara keduanya bersifat FUNGSIONAL-PROGRESSIF, di mana AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ sebagai pengetahuan “pendahuluan” berguna untuk menyiapkan kerangka dasar menuju dicapainya AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ  sebagai pengetahuan “lanjutan”.  Iradah Ilahiyah supaya manusia mengetahui kedua pengetahuan itupun juga berlaku menurut pola FUNGSIONAL-PROGRESSIF itu, yakni dari AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ berproses maju menuju AL-’ILMU BI ‘HISAB AL-SININ.
Alur proses progresif tersebut:
1.    Ru’yah bi al-Fi’l “seadanya” menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi rendah dan peluang kekeliruan yang relatif besar
2.    Ru’yah bi al-Fi’l yang “cermat, terukur, dan tercatat” menghasilkan data posisi benda-benda langit (yang akurasinya terus dipertajam). Rukyah mulai dibantu dengan Hisab untuk menghasilkan AL-’ILMU BI ‘ADAD AL-SININ dengan akurasi yang lebih tajam.
3.    Ketika produk Ilmu Hisab akurasinya sudah memadai, maka era AL-’ILMU BI HISAB AL-SININ sudah tiba
Sebelum mengambil kesimpulan pak Salam menyuguhnkan sabada Nabi Muhammad Saw berikut:
إنا أمة أمية لانكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا ، وعقد الإبهام فى الثالثة ، والشهر هكذا وهكذا وهكذا ، يعني تمام ثلاثين (sesungguhnya umatku itu ummiyun, tidak bisa menulis dan menghitung, .....)
Berarti, yang berlangsung pada zaman beliau bukanlah gambaran penentuan awal bulan Hijriyah yang sudah ideal dan final sehingga harus dipertahankan sepanjang masa, melainkan terbuka untuk terus dipertajam akurasinya sebagaimana ALUR PROSES PROGRESSIF di muka tadi.
Kemudian kesimpulan pak Salam dengan mengacu pada rambu-rambu Dinnullaah dan Sunnatullah tentang perjalanan Bulan dan Matahari, dapat disimpulkan bahwa:
1.    Dasar penentuan awal bulan Hijriyah ialah “FAKTA EMPIRIK” kemunculan Hilal (bukan Qamar) di atas Ufuk Barat “SETEMPAT” pada tanggal 29 petang sesudah terbenam Matahari paska ijtima’ atau konjungsi, atau ketidakmunculannya dengan akibat istikmal.
2.    Karena Sunnatullah tentang pergerakan Bulan dan Matahari sifatnya teratur dan terukur, maka fakta empirik tentang kemunculan Hilal bisa diperoleh dengan “RU’YAH BI AL-FI’L YANG CERMAT” atau dengan “HISAB YANG AKURAT”.
3.    RU’YAH BI AL-FI’L YANG TIDAK CERMAT (meskipun perukyatnya jujur) dan HISAB YANG TIDAK AKURAT tidak bisa diposisikan sebagai bukti empirik kemunculan atau ketidakmunculan Hilal. Karena itu keduanya tidak bisa dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan Hijriyah.
Sebelum mengakhir pemaparannya, pak Salam menegaskan: oleh karena ilmu hisab itu ilmu dunia, maka derajat kebenarannya ditentukan oleh seberapa akurat ia didukung realitas empirik. Terkait dengan derajat kebenarannya ilmu hisab kemudian lazim dikelompokkan menjadi tiga katagori: taqribi, tahqiqi, tadqiqi . wallahu ‘alam











AKTA JUAL BELI TANAH


Yang Bertanda Tangan di bawah ini        :                
Nama                    : ………………………………………………..
Tempat Tanggal Lahir            : ………………………………………………..
Pekerjaan                : ..........................................................................
Alamat                 : ………………………………………………..
                          ..........................................................................
Selanjutnya Disebut Sebagai Pihak Pertama (Penjual).

Telah menjual sebidang tanah         :
1.    Luas Tanah                : ………………………m2
2.    Batas Wilayah :
a.    Sebelah Utara berbatasan dengan     : ..........................................................................
b.    Sebelah Selatan berbatasan dengan    : ..........................................................................
c.    Sebelah barat berbatasan dengan     : ..........................................................................
d.    Sebelah timur berbatasan dengan    : ..........................................................................
3.    Alamat Lengkap                : Dusun ...................................RT........./RW......
  Desa..................................................................
  Kec...............................Kab..............................
4.    Harga                    : Rp.......................................,-


Terbilang                    :


Kepada saudara
Nama                    : ..........................................................................
Tempat Tanggal Lahir            : ..........................................................................
Pekerjaan                : ..........................................................................
Alamat                 : ..........................................................................
                      ..........................................................................

Selanjutnya Disebut Pihak Kedua (Pembeli).

Dengan dibuatnya akta ini telah terjadi pemindahan hak milik dari pihak pertama kepada pihak kedua, untuk kemudian dimaklumi dan digunakan sebagaimana mestinya.

    Di tetapkan di  :
Pada tanggal    :......,..........................200_
Menyetujui,
Pihak Pertama


( ________________________ )    Pihak Kedua


( _______________________ )
    Mengetahui,
   
Pejabat Yang Berwenang
Kepala Dusun...........................




( ____________________ )
     NIP.    Saksi I





( ____________________ )

    Saksi II





( ____________________ )