Saturday, May 1, 2010

perbuatan pidana (concursus) dalam KUHP

1. Latar belakang masalah
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan pidana itu terbagi menjadi dua macam yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Dari segi kodifikasinya, kejahatan diatur dalam buku kedua KUHP, sedangkan pelanggaran diatur tersendiri dalam buku ketiga KUHP. Dari sisi akibat hukumnya, kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara bagi pelakunya. Adapun untuk perbuatan yang masuk kategori pelanggaran, pelakunya dijatuhi hukuman berupa kurungan dan denda.
Jadi, kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai perbedaan. Perbuatan pidana di atas masing-masing mempunyai konsekwensi tersendiri yang tidak sama. Akan tetapi, pada kenyataannya seringkali ditemukan adanya suatu perbuatan kejahatan yang bersamaan dengan kejahatan lain. Ada juga satu perbuatan pelanggaran yang disertai dengan pelanggaran lain. Atau bahkan perbuatan kejahatan yang bersamaan dengan pelanggaran dan sebaliknya. Adakalanya suatu tindakan pidana yang ternyata diatur dalam lebih dari satu ketentuan pidana. Kejadian seperti di atas biasa disebut perbarengan.
Ajaran mengenai perbarengan (samenloop van strafbaar feit atau concursus) ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri.
Makalah ini akan membahas tentang karakter ajaran perbarengan perbuatan pidana (samenloop van strafbaar feit atau concursus) dalam KUHP, bentuk-bentuk perbarengan, perbarengan pidana dalam hukum pidana umum dan khusus. Tujuannya adalah untuk mengetahui akibat hukum dari perbarengan (concursus) tersebut.

2. Rumusan masalah
 Apa yang dimaksud dengan ajaran perbarengan perbuatan pidana (concursus) dalam KUHP?
 Bagaimana karateristik concursus dalam KUHP?
 Apa saja bentuk-bentuk concursus itu?
 Apa saja akibat hukum yang ditimbulkan dari perbarengan perbuatan pidana (concursus) itu?


BAB II
PEMBAHASAN
1. Karakteristik perbarengan perbuatan pidana (concursus)
Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau disebut juga dengan concursus.

Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbaar feit itu sendiri, perlu diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van strafbaar feit, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang telah ia lakukan.
Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang menerjemahkannya dengan gabungan. Seperti Wirjono Prodjodikoro yang menerjemahkan samenloop van strafbaar feit dengan gabungan tindak pidana. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak-tindak pidana yang telah terjadi itu sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua atau lebih tindakan atau beberapa tindakan secara berlanjut. Dalam hal dua atau lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri, dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.
2. Bentuk-bentuk perbarengan
Ada tiga bentuk concursus yang dikenal dalam ilmu hukum pidana, yang biasa juga disebut dengan ajaran, yaitu:
 Concursus idealis (eendaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Dalam KUHP disebut dengan perbarengan peraturan.
 Concursus realis (meerdaadsche samenloop): apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus.
 Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling): apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas secara rinci mengenai ketiga bentuk perbarengan atau concursus di atas.
A. Concursus Idealis
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Disebut juga sebagai gabungan berupa satu perbuatan (eendaadsche samenloop), yakni suatu perbuatan meliputi lebih dari satu pasal ketentuan hukum pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Dalam KUHP bab II Pasal 63 tentang perbarengan peraturan disebutkan:
(1). Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2). Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Berdasarkan rumusan pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan ( feit ). Prof. Mr. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan yang dimuat dalam pasal 63 KUHP sebagai berikut :
“ Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara melakukan, atau karena tempatnya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang lain.” Hoge Raad menyatakan pendapatnya mengenai concursus idealis. Yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana, dalam hal yang demikian yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285 tentang memperkosa perempuan, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281 karena melanggar kesusilaan di muka umum. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara. Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) terkandung adagium lex specialis derogat legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum). Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan pembunuhan terhadap bayinya, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara 15 tahun. Namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya (kinderdoodslaag), maka ibu tersebut dikenai ancaman hukuman selama-lamanya tujuh tahun sebagaimana diatur dalam pasal 341.

B. Concursus realis
Concursus realis atau gabungan beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop) terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana. Sistem pemberian pidana bagi concursus realis ada beberapa macam, yaitu:
 Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem absorbsi yang dipertajam . Misalnya A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing diancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun penjara. Jika A melakukan dua kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun + 9 tahun = 10 tahun penjara. Tidak dikenakan 9 tahun + (1/3 x 9) tahun, karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.
 Apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. Sistem ini dinamakan sistem kumulasi diperlunak. Misalkan A melakukan dua kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan 2 tahun penjara. Maka maksimum pidananya adalah 2 tahun + (1/3 x 2 tahun) = 2 tahun 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus dijatuhkan, maka hakim misalnya memutuskan 2 tahun penjara 8 bulan kurungan.
 Apabila concursus realis berupa pelanggaran, maka menggunakan sistem kumulasi yaitu jumlah semua pidana yang diancamkan. Namun jumlah semua pidana dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
 Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu Pasal 302 (1) (penganiayaan ringan terhadap hewan), 352 (penganiayaan ringan), 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), dan 482 (penadahan ringan), maka berlaku sistem kumulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
 Untuk concursus realis , baik kejahatan maupun pelanggaran, yang diadili pada saat yang berlainan, berlaku Pasal 71 yang berbunyi: “Jika seseorang, setelah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara diadili pada saat yang sama.” Misalkan A tanggal 1 Januari melakukan kejahatan pencurian (Pasal 362, pidana penjara 5 tahun), tanggal 5 Januari melakukan penganiayaan biasa (Pasal 351, pidana penjara 2 tahun 8 bulan), tanggal 10 Januari melakukan penadahan (Pasal 480, pidana penjara 4 tahun), dan tanggal 20 Januari melakukan penipuan (Pasal 378, pidana penjara 4 tahun), maka maksimum pidana yang dapat dijatuhkan kepada A adalah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara untuk keempat tindak pidana itu, maka jika kemudian ternyata A pada tanggal 14 Januari melakukan penggelapan (Pasal 372, pidana penjara 4 tahun), maka putusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan itu paling banyak banyak hanya dapat dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus) dikurangi 6 tahun (putusan I), yaitu 8 bulan penjara.
Dengan demikian Pasal 71 KUHP itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
Putusan II = (putusan sekaligus) - (putusan I)

C. Perbuatan berlanjut
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:
- Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan.
- Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya..
- Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda maka dikenakan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

3. Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus
Telah diutarakan bahwa persoalan pokok dalam masalah perbarengan adalah mengenai ukuran pidana yang dikaitkan dengan stelsel atau sistem pemidanaan. Ada dua stelsel pemidanaan untuk perbarengan, yaitu: stelsel komulasi dan stelsel absorbsi murni. Sedangkan stelsel antara adalah stelsel komulasi terbatas dan stelsel absorsi dipertajam.
Stelsel Komulasi murni atau stelsel penjumlahan murni.
Menurut stelsel ini, untuk setiap tindak pidana diancamkan/dikenakan pidana masing-masing tanpa pengurangan. Jadi, apabila seseorang melakukan 3 tindak pidana yang masing-masing ancaman pidananya maksimum 5 bulan, 4 bulan, 3 bulan maka jumlah (komulasi) maksimum ancaman pidana adalah 12 bulan.
Stelsel absorsi murni atau stelsel penyerapan murni.
Menurut stelsel ini, hanya maksimun ancaman pidana yang terberat yang dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya (sejenis atau tidak sejenis) diserap oleh yang lebih tinggi. Penggunaan stelsel ini sukar dielakkan apabila salah satu tindak pidana di antaranya diancam dengan pidana yang tertinggi, misalnya pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara maksimum 20 tahun. Akan tetapi dalam hal terjadi perbarengan tindakan, di mana yang satu diancam dengan pidana penjara maksimum 9 tahun dan yang lainnya maksimum 4 tahun, dengan penggunaan stelsel ini seakan-akan tindak pidana lainnya itu dibiarkan tanpa penyelesaian secara hukum pidana. Karenanya para sarjana pada umumnya cenderung untuk “ mempertajam “ atau “ menambahnya “.
Stelsel Komulasi terbatas, atau stelsel komulasi terhambat atau reduksi.
Stelsel ini dapat dikatakan sebagai bentuk antara atau bentuk tengah dari tersebut pertama dan kedua. Artinya untuk setiap tindak pidana dikenakan masing-masing ancaman pidana yang ditentukan pidananya, akan tetapi dibatasi dengan suatu penambahan yang lamanya/jumlahnya ditentukan berbilang pecahan dari yang tertinggi. Misalnya 2 tindak pidana yang masing-masing diancam dengan maksimum 6 dan 4 tahun. Apabila ditentukan maksimum penambahan sepertiga dari yang tertinggi, maka maksimum ancaman pidana untuk kedua tindakan pidana tersebut adalah 6 tahun + sepertiga x 6 tahun + 8 tahun.
Stelsel penyerapan dipertajam. Stelsel ini merupakan varian dari stelsel komulasi terbatas. Menurut stelsel ini, tindak pidana yang lebih ringan ancaman pidananya tidak dipidana, akan tetapi dipandang sebagai keadaan yang memberatkan bagi tindak pidana yang lebih berat ancaman pidananya. Penentuan maksimum pidana menurut stelsel ini hampir sama dengan tersebut sebelumnya (stelsel komulasi tebatas), yaitu pidana yang diancamkan terberat ditambah dengan sepertiganya.

4. Ketentuan pidana yang bersifat khusus dan ketentuan pidana yang bersifat umum
Pada awal pembicaraan kita mengenal samenloop dari beberapa perilaku yang terlarang ini telah dikatakan bahwa dalam bab ke-VI dari buku ke-I KUHP itu, pembentuk undang-undang juga telah mengatur tentang kemungkinan suatu perilaku itu memenuhi rumusan suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, akan tetapi pada saat yang sama juga memenuhi rumusan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.
Kemungkinan seperti itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi: “ Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan “.
Dalam hal semacam itu apabila ketentuan pidana yang disebutkan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana, maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itulah yang diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal semacam itu berlakulah ketentuan hukum yang mengatakan : lex specialis derogat legi generali (undang-undang khusus meniadakan undang-undang umum).
Di dalam doktrin terdapat dua cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu untuk dapat mengatakan apakah ketentuan pidana itu merupakan sutu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau bukan. Pertama, menurut pandangan secara logis, suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, apabila ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara logis seperti itu, di dalam doktrin juga disebut suatu logische specisliteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Kedua, menurut pandangan secara yuridis atau secara sistematis, suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus. Kekhususan suatu ketentuan pidana berdasarkan pandangan secara yuridis atau secara sistematis seperti itu di dalam doktrin juga disebut suatu juridische specialiteit atau suatu systematische specieliteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis.





BAB III
KESIMPULAN
1) Ajaran perbarengan perbuatan pidana (concursus atau samenloop) membahas perbuatan seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana sekaligus, atau melakukan satu perbuatan yang diatur dalam beberapa ketentuan pidana.
2) KUHP mengatur perbarengan peraturan, perbuatan berlanjut dan perbarengan perbuatan pidana dalam buku kedua bab VI pasal 63-71.
3) Concursus terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
Concursus Idealis (eendaadsche samenloop)
Concursus realis (meerdaadsche samenloop)
Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling)

4) Secara garis besar, akibat hukum yang timbul dari concursus adalah sebagai berikut:
 Untuk concursus idealis, sanksi pidana yang dikenakan terhadap pelakunya adalah hukuman pidana pokok yang paling berat.
 Untuk concursus realis, jika hukuman pokoknya sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan. Sedangkan apabila hukuman pokoknya tidak sejenis, maka setiap hukuman dari masing-masing perbuatan pidana itu dijatuhkan.
 Untuk perbuatan berlanjut, dikenai ancaman pidana yang terberat atau yang mengandung ancaman hukuman yang lebih berat.

DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian 1, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2005
http://www.indoskripsi.com//25-10-2008
http://www.delicious.org//25-10-2008
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Jakarta; Sinar Grafika, 2006
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta; PT.Rineka Cipta, 2002
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta; PT.Bumi Aksara, 2008
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor; Politeia, 1995
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung; PT. Refika Aditama, 2003
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung; PT.Refika Aditama, 2003



1 comment:

  1. Apabila seseorang dikenai pasal 374 dan sudah dijatuhi hukuman penjara. sesudah bebas dilaporkan perusahaan lagi, pasal yang sama dengan objek yang berbeda tapi jangka waktu yang sama dengan perkara yang pertama. Apakah masih bisa disebut perbuatan berlanjut ??? dan apakah masih bisa dihukum lagi ???? Apabila polisi menyatakan si pelaku tersangka, apakah masih ada hukum di Indonesia menghukum dalam perkara yang sama ??? makasih

    ReplyDelete